Portal Berita Al-Kalam

Tim CBP Rupiah KPw Bank Indonesia Lhokseumawe Gelar "KAnJI RUMBI": CBP Goes to Campus di IAIN Lhokseumawe

Foto: Qurrata A'yuni www.lpmalkalam.com- Tim CBP Rupiah KPw Bank Indonesia Lhokseumawe mengadakan kegiatan KAnJI RUMBI (KAJIan RUpiah be...

HEADLINE

Latest Post

18 Mei 2025

Anak Jalanan: Mereka Bukan Sampah Kota, tapi Harapan yang Terabaikan

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Setiap hari, kita menyaksikan anak-anak kecil mengamen, mengemis, bahkan mengelap kaca mobil di lampu merah. Mereka disebut “anak jalanan”, sebuah istilah yang kerap membuat kita berpaling, bukannya peduli. Padahal, mereka bukan masalah kota, namun korban dari sistem sosial yang gagal memberi keadilan ke kehidupannya. 

Anak-anak ini hidup di jalan bukan karena pilihan, tapi karena keadaan. Banyak dari mereka berasal dari keluarga miskin, rumah tangga yang retak, atau lingkungan tempat tinggal yang keras. Mereka kehilangan hak kehidupan seorang anak, yaitu pendidikan, keamanan, dan juga kasih sayang. Yang lebih menyedihkan, banyak dari mereka dianggap sebagai gangguan atau ancaman, bukan manusia yang butuh uluran tangan.

Pemerintah memang punya program penanganan anak jalanan, tapi kenyataannya, mereka sering “diamankan” alias disembunyikan dari penglihatan mata hanya saat ada tamu penting atau menjelang acara besar. Setelah itu? Mereka kembali ke trotoar, ke bawah jembatan, ke kerasnya dunia jalanan yang tidak mengenal belas kasih terhadap tangan mungilnya itu. 

Sudah saatnya negara dan masyarakat berhenti menutup mata. Pendekatan harus berganti dari sekadar pengusiran ke pemberdayaan yang lebih baik, seperti pendidikan alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan hak pendidikan, pelatihan keterampilan untuk mengasah kemampuan mereka di dunia luar, dan perlindungan hukum yang jelas demi memberikan rasa aman kepada meraka. Anak-anak ini punya potensi jika diberi kesempatan. Mereka bukan generasi gagal, namun hanya belum pernah diberi ruang untuk tumbuh.

Anak jalanan bukan wajah buruk sebuah kota. Mereka adalah cermin kegagalan kita sebagai bangsa dalam merawat masa depan.

Penulis: Siti Rayhani

Editor: Zuhra

Teknologi Memudahkan, tapi Apakah Membuat Kita Lebih Bahagia?

foto: istockPhoto.com

www.lpmalkalam.com- Dalam dua dekade terakhir, kemajuan teknologi telah merevolusi kehidupan manusia. Dengan satu sentuhan jari, kita bisa terhubung dengan siapa saja di berbagai penjuru dunia. Aktivitas seperti belanja, bekerja, belajar, hingga mengakses layanan kesehatan kini dapat dilakukan dari rumah. Tanpa diragukan, teknologi menghadirkan kemudahan yang luar biasa. Namun, di balik segala kepraktisan itu, muncul pertanyaan penting apakah hidup kita benar-benar menjadi lebih bahagia?

Tak bisa dimungkiri, teknologi telah menyederhanakan berbagai aspek kehidupan. Komunikasi yang dulu lambat kini berlangsung dalam hitungan detik melalui pesan instan atau video call. Pekerjaan yang dulunya menyita waktu dan tenaga kini dapat diselesaikan dengan bantuan perangkat digital. Informasi dari seluruh dunia pun mudah diakses kapan saja dan di mana saja.

Namun, kemudahan ini datang dengan konsekuensi. Di tengah konektivitas digital yang semakin luas, relasi manusia justru terasa semakin renggang. Kita mungkin memiliki ratusan bahkan ribuan teman di media sosial, tetapi merasa kesepian dalam kehidupan nyata. Rasa cemas meningkat, terutama karena tekanan untuk selalu tampil sempurna di dunia maya. Tak jarang, kita terjebak dalam siklus membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih bahagia, padahal itu hanya representasi sepihak dari realitas.

Ironisnya, teknologi yang seharusnya membebaskan justru sering kali membelenggu. Kita menjadi tergantung pada notifikasi, sulit beristirahat tanpa menyentuh ponsel, dan merasa bersalah jika tidak terus produktif. Pilihan yang melimpah di dunia digital bukannya menenangkan, melainkan sering membuat kita bimbang dan merasa tidak pernah cukup.

Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkaitan dengan penurunan tingkat kebahagiaan dan peningkatan risiko depresi, terutama di kalangan remaja dan anak muda. Ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak secara otomatis membawa kesejahteraan emosional.

Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa teknologi hanyalah alat. Ia bisa menjadi sumber kebaikan jika digunakan dengan bijak, namun bisa juga menjadi jebakan yang menjauhkan kita dari makna hidup yang sesungguhnya. Maka, di tengah arus kemudahan ini, penting bagi kita untuk kembali bertanya: apakah teknologi membuat hidup kita lebih bermakna? Ataukah justru menjauhkan kita dari hal-hal sederhana yang selama ini menjadi sumber kebahagiaan?


Penulis: Qurrata A'yuni

Editor: putri Ruqaiyah

15 Mei 2025

BOM WAKTU

foto: Pixabay


www.lpmalkalam.com- Ini dongeng tentang sepasang anak manusia yang memiliki bom waktu. Mereka mengasuhnya dengan baik, teliti, dan mengagungkannya bak anugerah terindah bagi mereka. Tapi mereka keliru, yang mereka rawat itu bukanlah anugerah melainkan bom waktu. Ia lahir dari harapan-harapan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka memberi makanan, pakaian, pendidikan yang sedemikian rupa serta tempat berteduh. Namun, bersamaan dengan itu mereka menanggalkan telinga mereka, menutup rapat-rapat mata mereka akan kenyataan bahwa bom waktu itu juga punya perasaan, punya keinginan. Mereka tak pernah benar-benar melihatnya. Tak pernah benar-benar mendengarnya. Mereka selalu membungkam sang bom waktu dengan kata-kata yang terdengar seperti mantra "kami tahu yang terbaik untukmu,"  ataupun "ini demi kebaikanmu." 

Meski begitu, bom waktu itu terus tumbuh. Walau tanpa jati diri, tanpa suara. Seakan ia tidak pernah berhak akan hidupnya. Baginya, akan selalu ada hari dengan bayang-bayang pertanyaan, "untuk apa aku dilahirkan? mengapa aku tetap menjalani hidup ini?" diikuti dengan kesedihan yang segelap lautan, seakan ia hidup dalam gelap malam tak berujung. 

Pernah ia bersuara akan hal sepele "kapan terakhir kali ayah menanyakan warna kesukaan-ku?" manusia yang disebut ayah itu menoleh "bukankah kau menyukai hijau?"  ia tersenyum getir. Tidak, seumur hidupnya ia membenci warna itu, tapi karena jika ia mengatakan warna lain, yang datang hanyalah sindiran atau tatapan kecewa. Maka ia belajar untuk menyukai apa yang mereka sukai. Bukan karena suka, tapi karena takut akan cacian yang akan ia dapatkan karena bersuara. 

Anehnya bom waktu itu tetap tumbuh, meski dengan jiwa yang menyimpan luka. Tidak sekalipun ia meledak, belum tentu jiwanya akan sembuh. Tapi, dentumnya kini terdengar lebih jelas dalam pikirannya. Sebuah pertanyaan terus mengendap "Kapan kalian akan mengerti? Apakah kata maaf sesulit itu untuk diucapkan?" Menghitung detik demi detik hingga dimana bom waktu itu akan berhenti berdetak. Bukan karena akhirnya ia meledak, tapi karena lelah. Diam tak lagi cukup untuk didengar, dan menangis pun tak lagi punya tempat untuk jatuh. Bangunan yang mereka sebut rumah untuk pulang pun sudah lama kehilangan damainya. Dan saat itu tiba, mereka hanya bisa menyesal dan bertanya-tanya, "Mengapa ia tak pernah bicara?" padahal suara itu sudah lama ada, hanya saja tak pernah mereka anggap sebagai kebenaran.


Penulis: Khairatun Naja

Editor: Tiara Khalisna

13 Mei 2025

Dari Pelindung Menjadi Pemangsa: Wajah Gelap Kekerasan Seksual di Indonesia

foto: pixabay

 www.lpmalkalam- Kasus pelecehan seksual di Indonesia makin hari semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya dilakukan oleh orang asing, namun juga oleh orang-orang yang seharusnya kita percaya dan hormati, seperti guru, pemuka agama, bahkan aparat penegak hukum. Ini bukan lagi sekadar masalah moral, tapi sudah menjadi darurat sosial yang nyata.

Yang lebih menyedihkan, korban pelecehan seksual paling banyak justru berasal dari kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Dilansir dari Kompas.id, sebanyak 74% korban kekerasan seksual sepanjang 2023 hingga awal 2024 adalah anak perempuan. Ini adalah angka yang sangat besar dan seharusnya membuat kita semua sadar bahwa lingkungan sekitar kita tidak seaman yang kita kira, terutama untuk anak-anak.

Sementara itu, dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang dikutip dari Detik.com, tercatat sebanyak 8.674 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi sepanjang tahun 2024. Bahkan, banyak dari kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan pesantren. Bayangkan, tempat yang seharusnya menjadi tempat belajar dan tumbuh, malah menjadi tempat yang merusak masa depan anak-anak.

Ironisnya, tak sedikit pelaku justru berasal dari institusi yang seharusnya memberi perlindungan. Beberapa waktu terakhir, kita mendengar kasus pelecehan yang dilakukan oleh anggota kepolisian, guru, bahkan oknum pejabat. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan bisa disalahgunakan, dan korban sering kali tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.

Padahal, negara sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini seharusnya menjadi alat hukum untuk melindungi korban dan menghukum pelaku secara tegas. Sayangnya, penerapan UU ini masih lemah. Masih banyak aparat hukum yang tidak berpihak kepada korban, proses hukum yang lambat, bahkan ada korban yang justru dipersulit ketika melapor.

Banyak korban akhirnya memilih diam. Mereka takut, malu, atau merasa tidak akan mendapatkan keadilan. Beberapa bahkan mengalami tekanan dari keluarga, sekolah, atau lingkungan tempat tinggal. Hal ini menjadikan pelaku merasa aman dan bisa mengulangi perbuatannya lagi. Kita juga masih menghadapi budaya yang cenderung menyalahkan korban. Cara berpakaian, cara bicara, bahkan jam keluar rumah sering dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan pelaku. Inilah yang membuat korban merasa dua kali disakiti, pertama oleh pelaku dan kedua oleh masyarakat.

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang ini. Pelecehan seksual bukan soal pakaian atau perilaku korban. Ini adalah soal kekuasaan dan penyalahgunaannya. Pelaku memilih untuk melukai karena merasa lebih kuat dan bisa lolos dari hukuman. Kita semua punya tanggung jawab. Bukan hanya pemerintah atau aparat hukum, tapi juga masyarakat. Kita harus mendukung korban, bukan menyudutkan. Kita harus berani bersuara dan mendorong agar keadilan ditegakkan. Karena jika kita terus diam, maka siapa pun bisa menjadi korban berikutnya, bahkan orang terdekat kita. Pelecehan seksual bukan hanya merusak tubuh, namun juga menghancurkan mental dan masa depan seseorang. Mari hentikan lingkaran kekerasan ini bersama-sama. Karena jika pelindung berubah menjadi pelaku, maka siapa lagi yang bisa kita percaya?


Penulis: Meutia Rahma

Editor: Zuhra

Langkah di Tengah Badai

foto: pixabay

 www.lpmalkalam.com- 

Langit menggelap, angin menggila,

dedaunan terhempas tanpa suara.

Namun kakiku tak ingin diam,

meski dunia seolah menolak langkahku.


Aku bukan perwira tanpa luka,

bukan pula pahlawan yang tak gentar.

Tapi di balik gemetar yang tersembunyi,

ada tekad yang tak bisa dibungkam.


Setiap tetes hujan yang menyapa wajah,

adalah pengingat bahwa aku masih ada.

Masih bernapas, masih melangkah,

walau arah samar, dan harapan samar-samar.


Badai boleh menari di sekelilingku,

tapi aku menari dalam diamku sendiri.

Menjemput pagi yang belum terlihat,

dengan langkah kecil, tapi tak henti.


karya: Alfiaturrahmi (Rilis)

12 Mei 2025

Tindak Hakim Sendiri: Cermin Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap Sistem Hukum

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Dewasa ini, eigenrichting atau tindak main hakim sendiri kerap menjadi isu yang marak terjadi di negara kita, Indonesia. Hal ini terjadi ketika masyarakat mengambil alih peran penegak hukum melalui tindakan kekerasan tanpa melalui prosedur hukum yang sesuai, hanya berdasar pada spekulasi atau dugaan bahwa "seseorang bersalah". Perbuatan ini jelas melanggar asas praduga tak bersalah dan semakin menjalar di masyarakat sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja para penegak hukum.

Maraknya berita di media sosial mengenai kasus atau skandal yang melibatkan oknum penegak hukum turut memperburuk citra institusi hukum. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat akibat penyalahgunaan wewenang serta perilaku amoral sebagian oknum penegak hukum.

Kegagalan penegak hukum dalam menjalankan fungsi preventif dan represif terhadap tindak kejahatan juga menjadi faktor besar yang mendorong terjadinya eigenrichting. Dalam praktiknya, ketika suatu kejahatan dianggap ditangani terlalu lambat oleh aparat, masyarakat sering merasa berhak untuk mengambil tindakan sendiri demi keadilan yang cepat dan langsung. Namun, tindakan ini pada dasarnya adalah keliru.

Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal kejahatan. Hak dan perlindungan bagi pelaku maupun korban telah diatur dalam sistem hukum kita demi menjaga tatanan keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh lembaga yang berwenang.

Mengatasi masalah ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi para penegak hukum untuk memulihkan kepercayaan publik dengan menjaga integritas, moral, dan martabat profesinya. Masyarakat pun dituntut untuk memiliki kesadaran hukum dan kedewasaan dalam menyikapi kasus-kasus hukum.

Oleh karena itu, dibutuhkan peran aktif pemerintah dalam menyosialisasikan edukasi hukum yang menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat demi membentuk kehidupan bangsa yang lebih adil dan tertib.

Referensi :

https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/download/2168/1244/4990

https://shariajournal.com/index.php/IJIJEL/article/download/744/384/1344

https://www.penasihathukum.com/sebuah-pelanggaran-hukum-ini-5-contoh-tindakan-main-hakim-sendiri

https://kolom.espos.id/hentikan-main-hakim-sendiri-2038925

https://www.kompasiana.com/muhammaddahron2351/67a6f22ec925c45f2811e032/fenomena-main-hakim-sendiri-apa-yang-salah-dengan-sistem-hukum-kita?page=2&page_images=1

Penulis: Ismi Sayyidina Lubis

Editor: Putri Ruqaiyah

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnaslis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.