![]() |
Sumber: Pexels.com |
www.lpmalkalam.com- Di era globalisasi, keberagaman adalah hal yang tak terhindarkan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun sayangnya, perbedaan yang seharusnya menjadi kekayaan justru banyak yang menyalahgunakan sebagai alat untuk memojokkan seseorang. Hal ini menjadi fenomena yang terjadi di lingkungan sosial kita, dimana oknum menggunakan bahasa Aceh sebagai sarana bullying terhadap seseorang yang tidak memahaminya.
Sebagai masyarakat Aceh, kita sepatutnya menaati nilai-nilai kebudayaan yang mengajarkan sopan santun dan saling menghargai. Bahasa Aceh, sebagai warisan leluhur yang tak bernilai harganya, seharusnya menjadi media pemersatu, bukan pemecah belah. Menggunakan bahasa daerah untuk mengucilkan seseorang jelas bertentangan dengan filosofi “Peumulia Jamee” (memuliakan tamu) yang telah mengakar dalam budaya Aceh.
Perlu kita sadari bahwa tidak semua orang berkesempatan yang sama dengan kita untuk mempelajari bahasa Aceh sejak kecil. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor mulai dari latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal, atau pendidikan. Alih-alih kita mengejek, mengapa tidak kita jadikan sebagai kesempatan untuk berbagi pengetahuan dan memperkenalkan bahasa Aceh dengan cara yang positif ?
Bullying dalam bentuk apapun, termasuk menggunakan bahasa daerah dapat memberikan dampak psikologis bagi korban. Perasaan terisolasi, rendah diri, dan tidak diterima dapat mengganggu mental seseorang. Sebagai generasi muda, sudah seharusnya kita menjadi agen perubahan yang mempromosikan keharmonisan dan saling mengerti dalam keberagaman.
Mari kita ubah pola ini, dengan jadikan ketidakmampuan seseorang berbahasa Aceh sebagai peluang bagi kita untuk mengajarkan dengan penuh kesabaran dan ketulusan. Dengan begitu, kita tidak hanya melestarikan bahasa dan budaya, tetapi juga menumbuhkan rasa persaudaraan yang lebih kuat.
Tindakan yang bisa kita lakukan antara lain:
1. Menggunakan bahasa Aceh dengan cara yang menyenangkan dan positif
2. Memberi pemahaman kepada pelaku bullying tentang dampak terhadap perbuatannya
3. Menggunakan bahasa Indonesia ketika sedang berkomunikasi dengan orang yang belum bisa bahasa Aceh
Sudah saatnya kita membangun jembatan persaudaraan, bukan tembok pemisah. Dengan sikap dan pemahaman akan keberagaman, kita dapat menciptakan lingkungan sosial yang harmonis
Oleh: Ishfa Naisila (Magang)
Editor: Redaksi