![]() |
Foto: Pixabay.com |
Salah satu faktor utama yang menyebabkan ketimpangan ini adalah sistem penilaian yang lebih menitikberatkan pada angka dibandingkan pemahaman konsep. Banyak siswa yang hanya menghafal materi untuk ujian tanpa benar-benar memahaminya. Selain itu, adanya tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi baik dari sekolah maupun orang tua mendorong praktik-praktik seperti mencontek, kerja kelompok yang tidak adil, atau bahkan manipulasi nilai demi citra sekolah yang baik.
Lebih dari itu, kurikulum yang terlalu fokus pada aspek teori dan kurang memberikan ruang bagi keterampilan praktis juga menjadi penyebab utama. Banyak lulusan yang kesulitan menghadapi dunia kerja karena apa yang mereka pelajari di sekolah tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Akibatnya, ada jurang yang besar antara nilai akademik dan kompetensi nyata.
Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis oleh OECD memperlihatkan bagaimana kemampuan siswa Indonesia masih jauh tertinggal. Dalam laporan tersebut, hanya 30 persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan membaca tingkat dua, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 77 persen. Sementara dalam bidang matematika, hanya 28 persen siswa yang mencapai kemahiran tingkat dua, dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 76 persen (Tempo.co).
Hal ini juga diperkuat oleh laporan Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang menyatakan bahwa skor Indonesia dalam PISA masih di bawah rata-rata, menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini masih belum mampu meningkatkan kompetensi siswa secara optimal (IGI.or.id).
Sistem pendidikan yang ideal seharusnya tidak hanya mengejar angka, tetapi juga membangun pemahaman, kreativitas, dan keterampilan siswa. Jika tidak ada perubahan dalam pola evaluasi dan metode pembelajaran, maka nilai raport hanya akan menjadi angka tanpa makna, sementara kualitas generasi penerus tetap dipertanyakan.
Oleh: Putri Ruqaiyah
Editor: Redaksi