![]() |
Foto: Pixabay.com |
www.lpmalkalam.com- Terhitung sudah 13 hari sejak ketuk palu sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas pemberhentian Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dalam bentuk tindak asusila. Bersinggungan dengan kontroversi kasus beliau sebelumnya ketika Hasyim Asy'ari telah dijatuhi sanksi peringatan hingga peringatan keras beberapa kali sejak awal tahun 2023 karena melanggar kode etik.
Padam surut isu dimasyarakat kemudian bagaimana masyarakat memandang legitimasi kpu saat ini ?
Legitimasi adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap kewenangan, keputusan, atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin atau otoritas. Dalam konteks politik, legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap sistem politik atau pemerintah yang berwenang.
Akibat beberapa pelanggaran kode etik yang telah dilakukan baik ketua KPU maupun jajaran menimbulkan dampak yang buruk antara rasa kepercayaan publik dengan kinerja KPU . Publik semakin hilang kepercayaan terhadap KPU sebagai penyelenggara pemilu yang berintegritas.
Disamping itu , putusan DKPP terhadap kasus ini menimbulkan kritik , apakah DKPP akan menjatuhkan sanksi yang konsisten terhadap kasus kekerasan seksual lain yang tidak disorot oleh publik dan menerapkan sanksi yang sama terhadap kasus serupa di masa depan.Komnas Perempuan dan NGO Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia berharap DKPP tidak hanya memperlakukan kasus teranyar sebagai kasus yang berdiri sendiri, tetapi juga harus melihat rekam jejak kasus-kasus sebelumnya. Mereka menuntut tindakan yang lebih tegas daripada sanksi peringatan keras terakhir.
Berkaca melalui kasus ini betapa pentingnya pemahaman tentang bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan dalam hubungan kerja. Kritik terhadap relasi kuasa antara Hasyim Asy'ari dan PPLN Den Haag Belanda menunjukkan betapa krusialnya integritas dan akuntabilitas dalam institusi publik
Oleh: Ismi Saydina Lubis
Editor: Redaksi