HEADLINE

Latest Post
Loading...

13 Mei 2025

Dari Pelindung Menjadi Pemangsa: Wajah Gelap Kekerasan Seksual di Indonesia

foto: pixabay

 www.lpmalkalam- Kasus pelecehan seksual di Indonesia makin hari semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya dilakukan oleh orang asing, namun juga oleh orang-orang yang seharusnya kita percaya dan hormati, seperti guru, pemuka agama, bahkan aparat penegak hukum. Ini bukan lagi sekadar masalah moral, tapi sudah menjadi darurat sosial yang nyata.

Yang lebih menyedihkan, korban pelecehan seksual paling banyak justru berasal dari kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Dilansir dari Kompas.id, sebanyak 74% korban kekerasan seksual sepanjang 2023 hingga awal 2024 adalah anak perempuan. Ini adalah angka yang sangat besar dan seharusnya membuat kita semua sadar bahwa lingkungan sekitar kita tidak seaman yang kita kira, terutama untuk anak-anak.

Sementara itu, dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang dikutip dari Detik.com, tercatat sebanyak 8.674 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi sepanjang tahun 2024. Bahkan, banyak dari kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan pesantren. Bayangkan, tempat yang seharusnya menjadi tempat belajar dan tumbuh, malah menjadi tempat yang merusak masa depan anak-anak.

Ironisnya, tak sedikit pelaku justru berasal dari institusi yang seharusnya memberi perlindungan. Beberapa waktu terakhir, kita mendengar kasus pelecehan yang dilakukan oleh anggota kepolisian, guru, bahkan oknum pejabat. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan bisa disalahgunakan, dan korban sering kali tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.

Padahal, negara sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini seharusnya menjadi alat hukum untuk melindungi korban dan menghukum pelaku secara tegas. Sayangnya, penerapan UU ini masih lemah. Masih banyak aparat hukum yang tidak berpihak kepada korban, proses hukum yang lambat, bahkan ada korban yang justru dipersulit ketika melapor.

Banyak korban akhirnya memilih diam. Mereka takut, malu, atau merasa tidak akan mendapatkan keadilan. Beberapa bahkan mengalami tekanan dari keluarga, sekolah, atau lingkungan tempat tinggal. Hal ini menjadikan pelaku merasa aman dan bisa mengulangi perbuatannya lagi. Kita juga masih menghadapi budaya yang cenderung menyalahkan korban. Cara berpakaian, cara bicara, bahkan jam keluar rumah sering dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan pelaku. Inilah yang membuat korban merasa dua kali disakiti, pertama oleh pelaku dan kedua oleh masyarakat.

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang ini. Pelecehan seksual bukan soal pakaian atau perilaku korban. Ini adalah soal kekuasaan dan penyalahgunaannya. Pelaku memilih untuk melukai karena merasa lebih kuat dan bisa lolos dari hukuman. Kita semua punya tanggung jawab. Bukan hanya pemerintah atau aparat hukum, tapi juga masyarakat. Kita harus mendukung korban, bukan menyudutkan. Kita harus berani bersuara dan mendorong agar keadilan ditegakkan. Karena jika kita terus diam, maka siapa pun bisa menjadi korban berikutnya, bahkan orang terdekat kita. Pelecehan seksual bukan hanya merusak tubuh, namun juga menghancurkan mental dan masa depan seseorang. Mari hentikan lingkaran kekerasan ini bersama-sama. Karena jika pelindung berubah menjadi pelaku, maka siapa lagi yang bisa kita percaya?


Penulis: Meutia Rahma

Editor: Zuhra

banner
Latest
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnaslis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0831 6327 5415 (Pimpinan Umum) 082365083003 (Pimpinan Redaksi) 085262278755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.