![]() |
foto: pixabay |
www.lpmalkalam- Kasus pelecehan seksual di Indonesia makin hari semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya dilakukan oleh orang asing, namun juga oleh orang-orang yang seharusnya kita percaya dan hormati, seperti guru, pemuka agama, bahkan aparat penegak hukum. Ini bukan lagi sekadar masalah moral, tapi sudah menjadi darurat sosial yang nyata.
Yang lebih menyedihkan, korban pelecehan seksual paling banyak justru
berasal dari kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Dilansir dari
Kompas.id, sebanyak 74% korban kekerasan seksual sepanjang 2023 hingga awal
2024 adalah anak perempuan. Ini adalah angka yang sangat besar dan seharusnya
membuat kita semua sadar bahwa lingkungan sekitar kita tidak seaman yang kita
kira, terutama untuk anak-anak.
Sementara itu, dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang dikutip dari Detik.com, tercatat sebanyak
8.674 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi sepanjang tahun 2024.
Bahkan, banyak dari kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah
dan pesantren. Bayangkan, tempat yang seharusnya menjadi tempat belajar dan
tumbuh, malah menjadi tempat yang merusak masa depan anak-anak.
Ironisnya, tak sedikit pelaku justru berasal dari institusi yang
seharusnya memberi perlindungan. Beberapa waktu terakhir, kita mendengar kasus
pelecehan yang dilakukan oleh anggota kepolisian, guru, bahkan oknum pejabat.
Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan bisa disalahgunakan, dan korban sering kali
tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.
Padahal, negara sudah memiliki Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Undang-undang ini seharusnya menjadi alat hukum untuk melindungi korban dan
menghukum pelaku secara tegas. Sayangnya, penerapan UU ini masih lemah. Masih
banyak aparat hukum yang tidak berpihak kepada korban, proses hukum yang
lambat, bahkan ada korban yang justru dipersulit ketika melapor.
Banyak korban akhirnya memilih diam. Mereka takut, malu, atau merasa
tidak akan mendapatkan keadilan. Beberapa bahkan mengalami tekanan dari
keluarga, sekolah, atau lingkungan tempat tinggal. Hal ini menjadikan pelaku
merasa aman dan bisa mengulangi perbuatannya lagi. Kita juga masih menghadapi
budaya yang cenderung menyalahkan korban. Cara berpakaian, cara bicara, bahkan
jam keluar rumah sering dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan pelaku.
Inilah yang membuat korban merasa dua kali disakiti, pertama oleh pelaku dan kedua
oleh masyarakat.
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang ini. Pelecehan seksual bukan
soal pakaian atau perilaku korban. Ini adalah soal kekuasaan dan
penyalahgunaannya. Pelaku memilih untuk melukai karena merasa lebih kuat dan
bisa lolos dari hukuman. Kita semua punya tanggung jawab. Bukan hanya
pemerintah atau aparat hukum, tapi juga masyarakat. Kita harus mendukung
korban, bukan menyudutkan. Kita harus berani bersuara dan mendorong agar
keadilan ditegakkan. Karena jika kita terus diam, maka siapa pun bisa menjadi
korban berikutnya, bahkan orang terdekat kita. Pelecehan seksual bukan hanya
merusak tubuh, namun juga menghancurkan mental dan masa depan seseorang. Mari
hentikan lingkaran kekerasan ini bersama-sama. Karena jika pelindung berubah
menjadi pelaku, maka siapa lagi yang bisa kita percaya?
Penulis: Meutia Rahma
Editor: Zuhra