![]() |
foto: pexels.com |
www.lpmalkalam.com- Setiap sore, di jalan berbatu menuju bukit kecil di pinggir desa, tampak sosok perempuan bergaun sederhana membawa sesuatu di pelukannya, seberkas warna jingga yang mengalir dari tangannya ke udara. Anak-anak sering berlari mengikutinya, tertawa-tawa, berusaha menangkap kelopak cahaya yang mengambang di sekitarnya.
Mereka memanggilnya Dara. Bagi penduduk desa, Dara bukan perempuan biasa. Ia datang entah dari mana, dan membawa senja di jemarinya. Setiap langkahnya menaburkan langit merah, setiap helaan napasnya mengalirkan bayang-bayang emas ke sawah dan pepohonan.
Tak ada yang tahu dari mana Dara mendapatkan senja itu. Beberapa orang bilang ia adalah utusan dewa, dikirim untuk mengobati bumi yang mulai lelah. Yang lain berkata, ia hanya perempuan yang patah hati, membawa warna langit untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Namun Dara tidak pernah bicara banyak. Ia hanya tersenyum tipis, matanya memantulkan semburat warna yang berubah-ubah, seakan menyimpan seribu matahari kecil di dalamnya.
Suatu sore, hujan turun tanpa peringatan. Desa menjadi abu-abu. Anak-anak yang biasa mengejar Dara bersembunyi di kolong rumah, sementara para petani menutup ladang dengan tarpal lusuh. Tapi Dara tetap berjalan.
Di bawah hujan, senja di tangannya tidak padam. Warnanya justru menjadi lebih dalam merah darah, jingga pekat, ungu membara. Langit melihat Dara, dan sejenak hujan pun mereda, membiarkan perempuan itu melukis cakrawala sekali lagi.
Sejak hari itu, desa percaya senja bukan hanya tentang matahari yang jatuh. Senja adalah tentang perempuan kecil yang berjalan di antara hujan dan harapan, membawa warna untuk dunia yang nyaris lupa bagaimana caranya bermimpi.
karya: Rahmi Izzati (Rilis)