![]() |
foto: Pixabay |
www.lpmalkalam.com- Ini dongeng tentang sepasang anak manusia yang memiliki bom waktu. Mereka mengasuhnya dengan baik, teliti, dan mengagungkannya bak anugerah terindah bagi mereka. Tapi mereka keliru, yang mereka rawat itu bukanlah anugerah melainkan bom waktu. Ia lahir dari harapan-harapan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka memberi makanan, pakaian, pendidikan yang sedemikian rupa serta tempat berteduh. Namun, bersamaan dengan itu mereka menanggalkan telinga mereka, menutup rapat-rapat mata mereka akan kenyataan bahwa bom waktu itu juga punya perasaan, punya keinginan. Mereka tak pernah benar-benar melihatnya. Tak pernah benar-benar mendengarnya. Mereka selalu membungkam sang bom waktu dengan kata-kata yang terdengar seperti mantra "kami tahu yang terbaik untukmu," ataupun "ini demi kebaikanmu."
Meski begitu, bom waktu itu terus tumbuh. Walau tanpa jati diri, tanpa suara. Seakan ia tidak pernah berhak akan hidupnya. Baginya, akan selalu ada hari dengan bayang-bayang pertanyaan, "untuk apa aku dilahirkan? mengapa aku tetap menjalani hidup ini?" diikuti dengan kesedihan yang segelap lautan, seakan ia hidup dalam gelap malam tak berujung.
Pernah ia bersuara akan hal sepele "kapan terakhir kali ayah menanyakan warna kesukaan-ku?" manusia yang disebut ayah itu menoleh "bukankah kau menyukai hijau?" ia tersenyum getir. Tidak, seumur hidupnya ia membenci warna itu, tapi karena jika ia mengatakan warna lain, yang datang hanyalah sindiran atau tatapan kecewa. Maka ia belajar untuk menyukai apa yang mereka sukai. Bukan karena suka, tapi karena takut akan cacian yang akan ia dapatkan karena bersuara.
Anehnya bom waktu itu tetap tumbuh, meski dengan jiwa yang menyimpan luka. Tidak sekalipun ia meledak, belum tentu jiwanya akan sembuh. Tapi, dentumnya kini terdengar lebih jelas dalam pikirannya. Sebuah pertanyaan terus mengendap "Kapan kalian akan mengerti? Apakah kata maaf sesulit itu untuk diucapkan?" Menghitung detik demi detik hingga dimana bom waktu itu akan berhenti berdetak. Bukan karena akhirnya ia meledak, tapi karena lelah. Diam tak lagi cukup untuk didengar, dan menangis pun tak lagi punya tempat untuk jatuh. Bangunan yang mereka sebut rumah untuk pulang pun sudah lama kehilangan damainya. Dan saat itu tiba, mereka hanya bisa menyesal dan bertanya-tanya, "Mengapa ia tak pernah bicara?" padahal suara itu sudah lama ada, hanya saja tak pernah mereka anggap sebagai kebenaran.
Penulis: Khairatun Naja
Editor: Tiara Khalisna