![]() |
Foto: istockphoto.com |
Partisipasi warga, transparansi pemerintahan, sampai akuntabilitas pejabat daerah, semuanya seakan berjalan lambat. Pemerintah daerah tampaknya lebih rajin menyusun aturan moral dibanding memperkuat sistem politik yang sehat dan terbuka. Akibatnya, publik lebih sibuk dipantau perilaku personalnya ketimbang dilibatkan dalam keputusan-keputusan besar.
Dalam laporan Komnas HAM Aceh tahun 2021, ada beberapa kasus yang menunjukkan pelanggaran hak sipil atas nama penegakan qanun. Seperti proses penindakan khalwat yang tanpa prosedur jelas, atau tekanan sosial terhadap kelompok minoritas. Ini bikin kita bertanya-tanya: Apakah hukum agama bisa berjalan tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan hak warga negara?
Yang lebih mengkhawatirkan, pembuatan qanun sering kali minim partisipasi rakyat. Padahal, menurut Robert A. Dahl, demokrasi sejati butuh ruang dialog dan keterlibatan masyarakat. Kalau rakyat hanya jadi objek yang diatur, tapi tidak pernah diajak bicara, maka demokrasi hanya tinggal nama.
Lebih jauh lagi, dominasi politik identitas di Aceh juga bikin suara-suara kritis diredam. Banyak yang takut mengkritik, karena khawatir dianggap melawan agama. Tapi bukankah demokrasi justru butuh ruang untuk beda pendapat?
Tentu saja syariat dan demokrasi bukan dua hal yang saling bertentangan. Dalam sejarah Islam, konsep musyawarah dan keadilan sosial adalah inti dari kepemimpinan. Tapi kalau pelaksanaannya tertutup, tidak transparan, dan tanpa pengawasan publik, maka bukan keadilan yang muncul, melainkan bentuk lain dari kekuasaan yang sewenang-wenang.
Aceh butuh pemimpin yang bukan cuma tahu dalil, tapi juga paham tata kelola. Demokrasi bukan sekadar kotak suara dan pemilu lima tahunan, tapi soal bagaimana rakyat punya akses dan kuasa untuk ikut menentukan arah kebijakan.
Kalau syariat terus dipacu tapi demokrasi dibiarkan tertinggal, maka masyarakat hanya akan taat aturan tapi kehilangan daya kritis. Dan itu, dalam jangka panjang, bukan hanya menghambat kemajuan Aceh, tapi juga mencederai nilai-nilai Islam itu sendiri yang sebenarnya mengajarkan keadilan dan kebebasan berpendapat.
Problem stagnasi demokrasi di Aceh tak hanya soal minimnya partisipasi publik dalam penyusunan qanun atau lemahnya kontrol masyarakat terhadap penguasa. Tapi juga menyangkut bagaimana narasi politik agama digunakan sebagai alat untuk menutup diskusi publik yang sehat.
Setiap kali muncul kritik terhadap pelaksanaan qanun, sering kali tanggapannya adalah “Kalau menolak syariat, berarti menolak Islam.” Narasi semacam ini membunuh logika kritis dan menempatkan syariat pada posisi sakral yang tidak boleh disentuh. Padahal, dalam Islam sendiri, ijtihad atau berpikir kritis untuk menafsirkan hukum merupakan bagian dari tradisi keilmuan yang panjang.
Lebih ironis lagi, dalam praktiknya. Penegakan syariat sering kali tidak menyentuh persoalan struktural seperti korupsi, nepotisme, atau ketimpangan sosial. Yang diawasi justru hal-hal kecil yang bersifat simbolik: panjang celana, posisi duduk di warung kopi, atau status hubungan di media sosial.
Syariat dan demokrasi seharusnya tidak saling memusuhi. Justru, jika dirancang dengan semangat keadilan dan keterbukaan, keduanya bisa saling menguatkan. Namun, syaratnya satu: jangan menjadikan agama sebagai tameng untuk menolak transparansi dan kritik. Karena ketika agama dijadikan alat kekuasaan, yang muncul bukanlah masyarakat Islami, tapi rezim moral yang menakutkan.
Demokrasi tak akan pernah tumbuh jika rakyat dibungkam dengan dalih kesucian hukum. Dan Aceh dengan sejarah panjang perjuangannya pantas mendapat lebih dari sekadar aturan yang mengatur cara berpakaian. Ia layak mendapatkan ruang politik yang sehat, adil, dan berpihak pada rakyatnya.
Referensi :
Komnas HAM Aceh, Laporan Tahunan 2021, Banda Aceh
Robert A. Dahl, On Democracy, Yale University Press, 1998.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Karya: M. Dzakia, Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sultanah Nahrasiah
Editor: Indira ulfa