![]() |
Foto: Pexels.com |
Lihat saja Iran. Setelah kepergian mendadak Presiden Ebrahim Raisi, rakyat Iran kembali hidup dalam ketidakpastian. Di tengah kesedihan dan kekacauan, Amerika bukannya menaruh simpati, malah sibuk bersiap mengambil posisi seolah-olah tragedi orang lain adalah peluang untuk menunjukkan kuasa.
Amerika memang selalu datang dengan wajah “penolong”, membawa demokrasi, menegakkan hak asasi manusia, menyuarakan keadilan. Tapi, mengapa hasilnya justru luka yang lebih dalam, rumah-rumah yang rata dengan tanah, dan anak-anak yang kehilangan masa depan?
Pertanyaan itu menggema di hati banyak orang. Salah satu pengguna X menuliskan, “Jika AS datang untuk membawa kedamaian, mengapa yang tersisa hanya konflik dan kehancuran?” Sebuah kalimat sederhana, tapi sarat akan luka. Karena, bukan hanya Iran yang mengalaminya, Irak, Suriah, Afghanistan semuanya telah menjadi saksi bisu bagaimana "bantuan" bisa berubah menjadi belenggu.
Yang membuat miris, Amerika cepat sekali menunjuk jari dan menuduh negara-negara lain melanggar hak asasi manusia, tapi justru menutup mata saat kekejaman terjadi di negara sahabatnya sendiri. Di sinilah dunia mulai lelah. Standar ganda ini terlalu terang untuk diabaikan.
Tentu, setiap negara punya kepentingan. Tapi bila kepentingan itu dibungkus dengan dalih kemanusiaan, lalu berakhir pada penderitaan manusia itu sendiri, bukankah itu sebuah ironi?
Dunia tidak butuh polisi global yang merasa paling benar. Dunia butuh ruang dialog, keadilan yang adil, dan kerjasama yang setara. Bukan dominasi, bukan ancaman, bukan intervensi sepihak.
Sudah waktunya Amerika bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar ingin menciptakan perdamaian, atau hanya ingin memastikan roda kekuasaan tetap berpihak padanya?
Dan bagi kita semua, saatnya juga untuk tidak diam. Karena perdamaian sejati lahir bukan dari tekanan, tapi dari hati yang benar-benar peduli.
Penulis: Putri Ruqaiyah
Editor: Zuhra