![]() |
Foto: IST |
Dalam forum tersebut, Baiquni mempresentasikan hasil penelitian berjudul “Makna Perang Sabil Teungku Kuta Karang sebagai Kritik terhadap Tatanan Dunia Eurosentris pada Akhir Abad ke-19”.
Forum ini merupakan salah satu program fellowship unggulan ARI dan sudah berlangsung sejak 20 tahun lalu yang mempertemukan peneliti muda dari berbagai negara, seperti Thailand, Jepang, India, Australia, Filipina, Cina, Sri Lanka, hingga Amerika Serikat, termasuk Indonesia.
Baiquni menjelaskan dari sekitar 200 pendaftar hanya 50 peserta yang dinyatakan lolos seleksi abstrak penelitian. Selanjutnya peserta diharuskan mengumpulkan 4000-5000 kata artikel untuk memaparkan tulisan.
Forum ini berlangsung secara campuran, yakni minggu pertama dilaksanakan secara daring, sementara minggu kedua berlangsung secara during di NUS.
Selama dua minggu, peserta tidak hanya mempresentasikan riset mereka dengan tema interdisipliner terkait studi Asia Tenggara, tetapi juga mengikuti serangkaian masterclass yang membahas metode penelitian terbaru. Misalnya bagaimana menggabungkan Artifisial Inteligen dengan versi lokal bisa digunakan untuk menganalisis data-data kualitatif, seperti dari kajian digital humaniora secara kuantitatif.
Pada sesi panel, peserta dibagi berdasarkan tema penelitian, dimana setiap presentasi mendapat masukan dari ahli dan peserta lain. Diskusi ini menjadi ruang kritis untuk memperkaya perspektif, terutama dalam menggali pendekatan-pendekatan inovatif yang jarang dibahas di ranah akademik konvensional .
“Bagi saya, forum ini tidak hanya wadah untuk memaparkan hasil penelitian, tetapi juga kesempatan emas untuk membangun jejaring dengan peneliti global. Interaksi dengan peserta dari latar belakang budaya dan disiplin ilmu beragam memberikan wawasan baru tentang dinamika sejarah, politik, dan budaya Asia Tenggara yang kompleks”, tuturnya.
Dengan menggabungkan presentasi riset, masterclass, dan diskusi intensif, forum ini berhasil menciptakan ekosistem kolaboratif yang mendorong peneliti muda untuk melihat Asia Tenggara dari kacamata kritis dan transnasional jauh dari narasi eurosentris yang selama ini mendominasi .
Baiquni berharap forum ini menjadi pengalaman akademik yang tak ternilai, sekaligus pengingat bahwa studi Asia Tenggara harus terus dikembangkan dengan pendekatan inklusif dan reflektif.
Rilisan
Editor: Tiara Khalisna