![]() |
Foto: IST |
Setiap pagi dimulai lebih awal dibanding kebanyakan mahasiswa lain. Saat teman-teman kampus baru bersiap memulai hari, seorang mahasantri mungkin sudah menunaikan salat Subuh berjamaah, melanjutkan dengan mengaji, sebelum akhirnya berangkat ke kampus. Di sana, lautan tugas, diskusi, dan aktivitas organisasi menanti. Ritme ini menuntut manajemen waktu yang ketat. Tidak ada ruang untuk menunda.
Tantangan tidak hanya soal waktu. Dunia kampus dan dunia pesantren bagaikan dua kutub dengan karakter yang berbeda. Kampus mendorong kebebasan berpikir, gaya hidup yang lebih luas, serta pergaulan yang dinamis. Pesantren, sebaliknya, mengajarkan kesederhanaan, adab, dan ketundukan pada aturan. Di sinilah seorang mahasantri belajar menyeimbangkan diri: bagaimana tetap aktif di organisasi kampus tanpa mengurangi nilai-nilai pesantren, serta bagaimana membaur dengan teman kuliah sambil menjaga batas-batas yang telah diajarkan sejak awal.
Kadang rasa lelah datang bergelombang. Di satu sisi ada ujian tengah semester yang menuntut fokus penuh, di sisi lain ada kewajiban menghafal atau mengkaji kitab yang tidak bisa diabaikan. Malam hari yang seharusnya menjadi waktu istirahat, sering kali berubah menjadi ruang untuk mengejar tugas kuliah atau menyelesaikan hafalan. Namun, justru dari kelelahan itu tumbuh kekuatan baru, yakni kesadaran bahwa perjuangan tidak selalu nyaman, dan keberhasilan lahir dari pengorbanan.
Di balik segala kesulitan, ada kebanggaan tersendiri. Mahasantri belajar mandiri, mengasah kemampuan mengatur waktu, dan melatih mental agar tetap tegar. Ketika akhirnya menengok ke belakang, semua kelelahan dan air mata berubah menjadi cerita indah tentang keteguhan hati. Menjadi mahasantri bukan hanya sebuah gelar, melainkan proses pembentukan diri menjadi insan yang siap menebarkan cahaya ilmu dan akhlak di tengah masyarakat.
Penulis: Rusmawati
Editor: Putri Ruqaiyah