![]() |
Foto: Pixabay.com |
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, apakah mengumpat dalam pergaulan hanya sekadar bercanda, atau justru mencerminkan budaya komunikasi yang semakin kebablasan?
Bagi sebagian orang, kata-kata kasar hanya dianggap sebagai gaya bicara dan tidak selalu bermaksud menghina. Mereka beralasan bahwa penggunaan umpatan dalam percakapan sehari-hari bisa menciptakan kedekatan dan kesan lebih ekspresif. Namun, di sisi lain, kebiasaan ini bisa mengikis nilai kesopanan dan rasa hormat dalam berkomunikasi. Jika dibiarkan, generasi mendatang mungkin akan semakin sulit membedakan antara bercanda dan sikap tidak menghargai orang lain.
Penelitian dalam jurnal KAGANGA KOMUNIKA menemukan bahwa remaja laki-laki di BTN Karang Dima Indah Sumbawa sering menggunakan bahasa kasar dalam pergaulan mereka. Bentuk bahasa kasar yang digunakan meliputi nama hewan, profesi negatif, sifat buruk, dan bahasa gaul, dengan fungsi seperti ekspresi emosi, penghinaan, dan humor. (mendeley.com)
Penggunaan bahasa kasar yang berlebihan juga bisa memengaruhi cara berpikir dan bersikap. Kata-kata yang sering diucapkan dapat membentuk pola komunikasi seseorang, dan jika umpatan menjadi hal yang lumrah, maka bisa jadi rasa empati dalam interaksi sosial semakin berkurang.
Sementara itu, penelitian dalam jurnal ACTA DIURNA KOMUNIKASI menunjukkan bahwa mahasiswa di Badan Tadzkir Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi sering menggunakan kata-kata kasar dalam bentuk hinaan, umpatan, dan sindiran. Penggunaan bahasa kasar ini dipengaruhi oleh faktor emosi, candaan, spontanitas, kekecewaan, dan pergaulan. (ejournal.unsrat.ac.id)
Mengumpat mungkin sudah menjadi bagian dari budaya gaul, tetapi perlu ada batasan agar tidak berubah menjadi kebiasaan yang merusak. Bercanda boleh, tapi tetap dengan kesadaran bahwa bahasa mencerminkan karakter seseorang. Jika kesopanan dianggap kuno dan umpatan dianggap keren, apakah ini tanda kemunduran dalam budaya komunikasi kita?
Oleh: Putri Ruqaiyah
Editor: Redaksi