Portal Berita Al-Kalam

Klasik Goes to SMA Negeri 1 Syamtalira Bayu Raih Antusias Siswa Pelajari Cara Penulisan Berita

Foto: Nurul Fadilah   www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) L...

HEADLINE

Latest Post

12 November 2025

Realfood vs Junkfood: Hidup Sehat Mulai dari Kukusan Sehat Dua Ribuan

Foto: Razwa Syuib (Magang)

www.lpmalkalam.com- Setiap hari kita mengonsumsi makanan yang bahkan belum jelas manfaatnya. Banyak orang tidak memikirkan efek jangka panjang, yang penting perut terisi dan dompet aman.

Padahal makanan yang kita konsumsi setiap saat sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuh. Makanan sehat dapat memberikan manfaat yang baik bagi organ tubuh. Makanan sehat yang terbuat dari bahan alami biasanya disebut realfood, seperti sayuran, biji-bijian, serat, protein, serta tinggi vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh tanpa mengandung lemak berlebih.

Sebaliknya, makanan yang tidak sehat adalah makanan cepat saji yang rendah gizi dan dapat menimbulkan berbagai penyakit. Jenis ini disebut junkfood, yang menjadi makanan favorit di kalangan remaja dan anak muda. Padahal masa pertumbuhan seperti mereka membutuhkan makanan yang kaya manfaat untuk mendukung kesehatan di masa depan. Sebenarnya, apa yang kita konsumsi hari ini akan berdampak pada lima tahun ke depan.

Banyak ibu muda yang menderita berbagai penyakit akibat faktor makanan, terlebih bagi ibu hamil yang dapat menimbulkan efek samping pada bayi dalam kandungannya. Dalam hal ini, perlu memulai langkah untuk memperbaiki pola hidup sehat, tidak hanya dengan berolahraga, tetapi juga melalui jenis makanan yang dikonsumsi.

Namun di era yang serba instan ini, sangat jarang ditemukan makanan realfood. Hal ini disebabkan oleh kurangnya peminat dan harga jual yang relatif tinggi, sehingga kalangan muda seperti mahasiswa lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji yang murah untuk menghemat biaya, terutama bagi anak kos.

Padahal makanan yang bernutrisi tidak harus mahal yang paling penting adalah kandungannya. Banyak jenis makanan sehat dan lezat yang seharusnya menjadi pilihan utama sehari-hari untuk menggantikan junkfood. Diperlukan sedikit usaha untuk memulai hidup sehat, baik secara pribadi maupun dalam keluarga.

Kini, di Pasar Ahad Lhokseumawe tersedia kukusan sehat dengan harga mulai dari dua ribuan. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ini hadir untuk mendukung masyarakat memulai sarapan sehat. Jenis kukusan yang dijual beragam, mulai dari labu, ubi, kentang, kacang-kacangan, telur, pisang, hingga jagung.

Ternyata, minat terhadap realfood cukup tinggi, hanya saja belum banyak yang mengetahui cara mengolah berbagai bahan makanan alami seperti yang dilakukan oleh dr. Tammyukhty dan dibagikan melalui akun Instagram-nya.

Saatnya kita menumbuhkan kesadaran untuk hidup sehat demi masa depan yang lebih baik. Sayangilah tubuhmu, karena apa yang kamu konsumsi hari ini akan berpengaruh pada kesehatan di masa depan.


Penulis: Annisa Maulianda (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah

08 November 2025

Program MBG di Sekolah: Niat Baik yang Berujung Petaka

Foto: IST

www.lpmalkalam.com- Program Makanan Bantuan Gizi (MBG) di sekolah sejatinya merupakan langkah mulia yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan semangat belajar siswa. Namun, di balik tujuan positif tersebut, pelaksanaannya justru menimbulkan persoalan serius yang patut menjadi bahan refleksi bersama.

Belasan siswa dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Insiden ini menunjukkan bahwa program yang seharusnya memberikan manfaat malah berubah menjadi ancaman bagi kesehatan peserta didik. Hal ini memperlihatkan adanya kelemahan mendasar dalam pengawasan serta pengendalian kualitas makanan yang disediakan.

Program MBG memang memiliki nilai sosial yang besar, terutama dalam membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu agar memperoleh asupan gizi yang lebih baik. Namun, ketika pelaksanaannya tidak diimbangi dengan pengawasan yang ketat, manfaat tersebut akan hilang dan bahkan berbalik menjadi bumerang. Kesehatan siswa, yang seharusnya menjadi prioritas utama, justru dikorbankan karena kelalaian dalam proses penyediaan dan distribusi makanan.

Pihak terkait seharusnya menyadari bahwa anak-anak merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap makanan yang tidak layak konsumsi. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap program MBG wajib dilakukan sebelum kegiatan ini kembali dijalankan. Pemerintah, pihak sekolah, dan penyedia makanan harus memastikan bahwa setiap makanan yang diberikan benar-benar aman, bergizi, dan sesuai dengan standar kesehatan.

Niat baik saja tidak cukup. Tanpa pengawasan yang ketat dan tanggung jawab yang jelas, program seperti MBG hanya akan meninggalkan trauma serta menumbuhkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat.


Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah

03 November 2025

Anak di Bawah Umur Merelakan Waktu Mudanya untuk Mencari Rezeki: Siapa yang Menjamin Masa Depan Anak Bangsa ke Depannya?

Foto: Daffa Alkausar (magang)

www.lpmalkalam.com- Di tengah hiruk pikuk modernisasi dan derasnya arus ekonomi global, masih banyak anak di bawah umur yang terpaksa menukar masa kecil mereka dengan kerasnya kehidupan. Di sudut pasar, di jalanan yang ramai, hingga di area konstruksi, terlihat wajah-wajah belia yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah, namun justru memanggul beban pekerjaan orang dewasa demi sesuap nasi.

Fenomena ini bukan hal baru di Indonesia. Banyak anak yang lahir dari keluarga kurang mampu merasa memiliki tanggung jawab besar untuk membantu orang tua. Mereka menjajakan dagangan, menjadi buruh cuci, pengamen, atau bahkan pemulung. Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan tidak tahu rasanya mengenakan seragam sekolah.

Dari sisi moral, kita patut mengapresiasi semangat dan keikhlasan anak-anak ini. Mereka menunjukkan kemandirian dan rasa tanggung jawab yang luar biasa. Namun di sisi lain, ini adalah cermin buram ketimpangan sosial dan lemahnya perlindungan anak di negeri ini. Seharusnya anak anak menikmati masa muda dengan belajar, bermain, dan bermimpi, bukan terjaga hingga larut malam demi penghasilan yang bahkan tidak seberapa.

Feri berkata, “Aku mengambil keputusan besar yang jarang diambil anak seusiaku. Aku memilih berhenti sekolah dan meneruskan usaha kecil ayahku, yaitu menjual martabak di Rek Bireuen, demi membantu perekonomian keluarga.”

Feri telah memahami arti kerja keras dan pengorbanan, sesuatu yang seharusnya belum menjadi beban anak seusianya.

Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan justru harus ditinggalkan. Akibatnya, lingkaran kemiskinan pun terus berputar: anak yang bekerja di usia muda berpotensi tumbuh tanpa pendidikan memadai dan akhirnya sulit mendapatkan pekerjaan layak di masa depan.

Pemerintah sejatinya telah memiliki undang-undang yang melarang pekerja di bawah usia 15 tahun, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta peraturan turunan lainnya yang menjamin hak anak untuk tumbuh, belajar, dan bermain. Namun, peraturan tersebut sering kali hanya berhenti di atas kertas. Di lapangan, penegakannya masih lemah dan pengawasan terhadap pekerja anak di sektor informal nyaris tidak ada. Masih banyak perusahaan kecil maupun sektor informal yang mempekerjakan anak karena alasan “membantu keluarga.” Padahal, hal tersebut justru memperpanjang lingkaran kemiskinan dan menghambat perkembangan sumber daya manusia di masa depan.

Sudah seharusnya kita semua, masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan bersatu menjaga hak anak-anak. Membuka peluang beasiswa, menyediakan lapangan kerja bagi orang tua, serta menegakkan hukum bagi para pelanggar. Karena sesungguhnya, setiap anak berhak memiliki masa kecil yang bahagia, bukan masa kecil yang diselimuti tanggung jawab orang dewasa.

Mari berhenti menganggap kerja anak sebagai “bukti kepatuhan” atau “kemandirian.”

Sebaliknya, mari kita jadikan itu sebagai alarm nurani bahwa masih ada mimpi yang tertunda, mimpi anak anak yang merelakan waktu mudanya untuk mencari rezeki.


Penulis: Daffa Alkausar (magang)

Editor: Putri Ruqaiyah

01 November 2025

Independent Women: Pembelaan Bagi Jiwa Perempuan di Era Modern

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Safa, dosen muda sekaligus Sekretaris Jurusan (Sekjur) Fisika yang populer di kampus karena prestasinya yang luar biasa. Di tengah kesibukan para ibu muda mengurus anak-anak mereka sekolah di pagi hari, Safa sibuk membalas chat (pesan) mahasiswa yang meminta parafnya di kampus. Setiap wanita paruh baya yang melihat Safa pasti akan berkata, "Andai dia menjadi menantuku."

Dia di puja-puja oleh mahasiswanya dan menjadi inspirasi bagi mereka. Berbeda keadaannya jika Safa berada di luar kampus. Keluarga Safa mengkhawatirkan keadaan Safa yang menginjak usia 29 tahun. Para tetangga sibuk membicarakan Safa yang tak kunjung memiliki tujuan hidup, yaitu "menikah." Padahal, bagi Safa tujuan hidupnya bukan hanya sekedar menikah, tetapi benar-benar menikmati hidupnya menjadi seorang perempuan. Perempuan yang berperan dalam hidup sendiri, tidak hanya bergantung pada pasangannya kelak. Bukan tidak mau, tapi Safa masih menunggu seseorang yang benar-benar bisa menjadi partner hidup yang searah dengannya. "Karena wanita independen harus mendapatkan cinta berkelas," itu kata-kata yang selalu menjadi pegangan Safa.

"Perempuan itu tugasnya hanya di rumah. Nanti juga bakal urus dapur, sumur, dan kasur." Kalimat yang tak jarang di dengar oleh Safa, namun dia hanya fokus pada tujuannya. Karena menurutnya, menjadi wanita harus cerdas dan berkualitas sehingga bisa menjadi orang tua yang mampu memberikan semangat untuk anak-anaknya kelak.

Di era modern ini, tak jarang terdengar tentang wanita yang berjuang. Banyak dari mereka yang memilih menjadi independent women. "Untuk perempuan, jika kalian mengikuti aturan agama, tidak perlu bekerja, kalian akan baik-baik saja," begitu kata seseorang yang belum paham betul tentang beberapa perempuan yang belum mendapatkan keberuntungan seperti yang dia katakan. Bukan menyalahi aturan agama, namun banyak muslimah hebat yang bisa dijadikan panutan. 

Menjadi independent women yang sesuai aturan syariat tak kalah hebat, bukan? Dalam Islam pun banyak wanita yang yang bisa dijadikan contoh, seperti: Ibunda Khadijah bint Khuwailid; Arwa al-Sulayhi, sebagai ratu di Yaman yang memimpin politik; Fatimah al-Fihri, yang mendirikan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko; dan banyak lainnya. Dalam Islam pun tidak menyebutkan bahwa wanita independen termasuk pemberontak, karena sejatinya perempuan berhak mencari keadilan untuk hidupnya.

"Mari menjadi wanita independen, karena perempuan adalah tiang. Tiang tidak harus cantik, tapi harus kuat," tutur Safa sebagai penutup kelasnya pada sore itu.


Penulis: Annisa Maulianda (Magang)

Editor: Tiara Khalisna
 

29 Oktober 2025

Hari Sumpah Pemuda: Menyalakan Kembali Api Sumpah Pemuda di Era Digital

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.comDalam hiruk-pikuk arus modern di masa globalisasi, muncul sebuah pertanyaan yang esensial, apakah generasi masa kini masih memahami makna persatuan layaknya para pemuda 1928 sebelumnya? Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah yang selalu dikenang pada tanggal 28 Oktober, melainkan semangat juang yang berlandaskan identitas bangsa, yakni Tanah Air Satu, Berbangsa Satu, dan Berbahasa Satu (Indonesia).

Sumpah pemuda merangkai makna ikrar:

1. Persatuan di atas Perbedaan

Sumpah pemuda lahir atas kesadaran bahwasanya bangsa yang besar bisa dibangun di kala adanya persatuan para pemuda dari berbagai suku, agama, dan daerah, serta rela menepikan ego kelompok demi satu tujuan, yakni Indonesia merdeka.

2. Bahasa sebagai Simbol Identitas

Bahasa Indonesia menjadi pemersatu yang menghapus batas-batas daerah. Di tengah agresi bahasa asing sekarang, menjaga bahasa Indonesia tetap hidup adalah sebuah bukti juang generasi muda bangsa.

3. Pemuda sebagai Pelaku Perubahan 

Di masa kini, perjuangan bukan lagi mengangkat senjata, tetapi dengan ide karya dan teknologi untuk membangun bangsa. Kreativitas dan kepedulian sosial adalah sebuah bukti nyata Sumpah Pemuda di masa modern kini.

Sumpah Pemuda mengajarkan kita bahwa masa depan bangsa ada pada tangan generasi muda yang berani bersatu, berpola pikir kritis, dan bertindak positif. Semoga semangat juang 1928 tidak hanya dikenang setiap tahun, tetapi dalam tindakan sehari-hari, baik dunia nyata maupun dunia maya.


Penulis: Rozatun Navais (Magang) 

Editor: Tiara Khalisna

 

Hormat Sumpah Pemuda, Merajut Kembali Semangat

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Tanggal 28 Oktober merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, kita semua memperingati Hari Sumpah Pemuda, sebuah momentum yang tercatat dalam sejarah sebagai lahirnya semangat persatuan di tengah keberagaman suku, bahasa, dan daerah yang berjauhan, untuk menjadi satu kesatuan bernama Indonesia.

Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa yang termaktub dalam buku sejarah, tetapi juga merupakan tonggak lahirnya kesadaran bagi para pemuda negeri ini untuk bersatu. Waktu demi waktu terus berlalu, hingga kini kita perlu menanyakan kepada diri masing-masing: “Apakah semangat itu masih ada dan terus kita tumbuhkan?”

Di era digitalisasi saat ini, kita mampu mengakses informasi secara luas. Namun ironisnya, kemudahan tersebut justru sering menimbulkan masalah baru, seperti perpecahan, penyebaran informasi yang salah, serta menurunnya kemampuan berpikir kritis dan berempati di kalangan masyarakat.

Semangat Sumpah Pemuda pada dasarnya terdiri dari tiga pilar utama, yaitu persatuan, kesadaran identitas, dan tanggung jawab kebangsaan. Tantangan pemuda masa kini bukan lagi tentang mengangkat senjata, melainkan melawan bentuk penjajahan baru: penjajahan mental, seperti sikap acuh tak acuh, mementingkan diri sendiri, dan kehilangan arah di tengah arus globalisasi.

Oleh karena itu, memperingati Hari Sumpah Pemuda seharusnya bukan sekadar seremonial atau kegiatan unggah konten di media sosial. Lebih dari itu, peringatan ini menjadi momen untuk kita menghayati kembali dan memahami makna sejati dari Sumpah Pemuda: semangat persatuan, tanggung jawab, dan cinta terhadap tanah air.


Penulis: Ilham Dwi Temas Miwa

Editor: Putri Ruqaiyah
 

28 Oktober 2025

Mengenal Istilah Strict Parents: Pola Asuh Anak yang Berujung Trauma

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Pola asuh orang tua sangat penting dan berpengaruh terhadap anak. Hal tersebut mempengaruhi bagaimana cara anak berperilaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pola asuh yang diterapkan pun sangat beragam, bahkan ada yang sampai menerapkan pola asuh strict parents. Strict parents adalah pola pengasuhan ketat dari orang tua yang melibatkan berbagai aturan dan pembatasan yang kaku terhadap anak. Kekakuan tersebut dapat berupa perilaku, pilihan, hingga rutinitas. Aturan yang diterapkan oleh orang tua dengan pola asuh demikian biasanya diikuti dengan hukuman tertentu. Tak hanya itu, aturan yang ditetapkan juga tidak bisa ditawar sehingga pergerakan anak semakin dibatasi. Sehingga bukannya mendidik anak dengan tepat melainkan mengekang anak tanpa tujuan yang jelas, terutama jika didasari gaya otoriter tanpa kompromi.

Karakteristik dari pola asuh ini diantaranya; Pertama, kontrol yang tinggi dari orang tua terhadap kehidupan anak-anak, termasuk pengawasan terhadap teman-teman dan aktivitas mereka; Kedua, kurangnya fleksibilitas dalam mengubah aturan atau memberikan izin tambahan. Orang tua cenderung memegang teguh aturan yang telah ditetapkan tanpa banyak perubahan; Ketiga, tidak menoleransi kesalahan. Orang tua yang memiliki sikap demikian cenderung memberlakukan hukuman atau konsekuensi yang berat ketika anak melakukan kesalahan; Keempat, Bersikap dingin dan tidak responsif. Orang tua jarang menunjukkan empati terhadap perasaan dan kebutuhan anak. Ketika anak merasa sedih, marah, atau bingung, orang tua dengan pola asuh ini cenderung kurang mampu memahami dan merespons perasaan tersebut; Kelima, menggunakan kata-kata kasar dan mempermalukan anak. Bisa jadi orang tua beranggapan dengan bersikap keras kepada anak dapat membangun disiplin. Hal ini membuat orang tua dengan gaya strict parents melakukan hal tersebut supaya anak tidak mengulangi kesalahan; Keenam, tertutupnya ruang untuk berdiskusi dengan anak. Tipe orang tua ini menganggap kalau anak tidak perlu memberikan pendapat.

Dari pola asuh tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi anak seperti merasakan kepuasan hidup yang rendah. Anak tidak pernah merasa bahagia akibat banyak aturan dan pengawasan dari ayah dan ibunya sehingga anak menjadi mudah stres dan tertekan. Terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan kehidupan masa kanak-kanak yang diasuh oleh strict parents, berdampak pada kualitas kehidupan remajanya di masa depan. Dampak negatif lainnya seperti kesulitan dalam mengambil keputusan, tidak bisa mengekspresikan diri, tingkat intensitas konflik yang lebih tinggi, serta meningkatnya kecemasan dan depresi hingga berujung trauma karena ketakutan yang selalu menghantui dirinya. 

Untuk mencegah hal tersebut, penting untuk setiap orang tua mempelajari cara pola asuh yang tepat bagi anak, karena bagaimanapun anak merupakan titipan sekaligus tanggung jawab bagi orang tua. Mempelajari pola asuh yang tepat sangat penting agar membekali orang tua dengan pengetahuan untuk membantu anak tumbuh dengan optimal secara fisik dan mental, serta membangun keluarga  yang harmonis dan mencegah terjadinya strict parents . Jika strict parents ini terus dibiarkan maka akan menghambat tumbuh kembang anak secara baik dan merusak mentalnya. Mental anak yang rusak sangat berpengaruh dengan pola perilakunya sehari-hari seperti menjadi pribadi yang pendiam atau agresif, kesulitan tidur atau makan, hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Dengan mempelajari pola asuh yang tepat, diharapkan dapat mencegah terjadinya strict parents antara orang tua dan anak.


Penulis: Rizky Ramadhani (Magang) 

Editor: Zuhra

26 Oktober 2025

Belajar dari Laba-laba

Foto: Bellivia Al-Kamariana (Magang) 

www.lpmalkalam.com- Laba-laba adalah hewan yang hidup di tengah jaringnya yang kuat dan rapi. Dalam pandangan saya, laba-laba merupakan simbol ketekunan dan ketelitian. Laba-laba menunjukkan bahwa makhluk sekecil apapun memiliki kemampuan luar biasa untuk membangun sesuatu yang rumit dan indah hanya dengan naluri alami.

Laba-laba tidak pernah terburu-buru dalam membangun jaring tersebut. Ia sabar menenun benang demi benang hingga menjadi jaring sempurna. Dari situ kita bisa belajar bahwa hasil yang baik selalu lahir dari kesabaran dan konsistensi. Selain itu, jaring laba-laba juga bisa diibaratkan seperti  kehidupan rapuh jika tidak dijaga, namun kuat bila disusun dengan tekun dan hati-hati.

Meskipun sering dianggap menakutkan, laba-laba sebenarnya berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan memangsa serangga pengganggu. Jadi, daripada takut, kita seharusnya menghargai keberadaannya sebagai makhluk kecil yang membawa manfaat besar bagi alam. 


Penulis: Bellivia Al-Kamariana 

Editor: Tiara Khalisna

 

24 Oktober 2025

Batik sebagai Jati Diri Bangsa: Lebih dari Sekadar Busana Kain

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Tanggal 2 Oktober merupakan tanggal yang memperingati hari batik nasional. Tanggal ini dipilih untuk memperingati pengakuan UNESCO terhadap batik Indonesia. Bicara tentang UNESCO, pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO secara resmi telah mengakui batik Indonesia telah menjadi sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan. Oleh karena itu di setiap memperingati hari batik, jutaan masyarakat merayakan hari batik dengan cara menggunakan baju batik, baik pekerja, mahasiswa, pelajar, dan lain-lain. 

Namun, apakah kita mengetahui makna-makna di setiap lukisan batik dan tetesan yang mengukir karya indah tersebut? Batik bukan hanya sekedar kain bermotif yang memenuhi gaya orang kantor, guru, atau gaya untuk ke berbagai acara, namun batik merupakan simbol yang sangat bermakna dan merupakan cerminan bangsa dan identitas yang membedakan kita dari setiap bangsa dan budaya-budaya yang lain. 

1. Batik Sebagai Diplomasi Budaya

Di panggung internasional batik telah menjadi duta budaya yang sangat efektif, ketika pemimpin menggunakan baju batik di saat acara pertemuan-pertemuan penting, batik berbicara tentang budaya Indonesia tanpa perlu kata kata. Namun, kita harus selalu waspada terhadap klaim budaya dari negara negara yang lain, UNESCO merupakan benteng perlindungan untuk kita, tetapi kita tidak boleh menjaminnya sebagai jaminan mutlak, sesama budaya harus tetap aktif  mempromosikan batik dan terus berinovasi agar batik menjadi relevan dan diakui sebagai milik Indonesia. 

2. Batik Adalah Cermin Diri Kita

Batik bukanlah hanya sekadar kain busana biasa yang menghiasi tubuh kita, namun batik adalah cermin diri kita yang mengungkapkan siapa  kita sebagai bangsa yang sabar, penuh makna, dan kaya akan keberagaman, setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas batik tersendiri. sama seperti keberagaman, bahasa, dan kebudayaan yang menjadi kekayaan di negeri ini. 

Batik bukan hanya sekedar tentang estetika, tapi tentang bagaimana sebuah negara memahami dirinya sendiri melalui  setiap goresan, warna, dan lukisan yang tercipta. 


Penulis: Cut Saputri (Magang)

Editor: Zuhra
 

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.