Portal Berita Al-Kalam

Istighotsah dan Zikir Kebangsaan jadi Pertemuan Pertama Mahasiswa Setelah Libur Semester

Foto: Muhammad Izzat Saputra www.lpmalkalam.com-  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe menyelenggara...

HEADLINE

Latest Post

17 September 2025

Belajar dari Setiap Persinggahan Hidup


 

Foto: Pixabay
www.lpmalkalam.com- Hidup adalah perjalanan panjang yang tidak pernah bisa kita tebak alurnya. Hidup ibarat sebuah jalan dengan banyak persimpangan, tanjakan, turunan, bahkan kadang jalan buntu yang memaksa kita berhenti sejenak untuk mencari arah baru. Setiap fase kehidupan yang kita lalui dapat disebut sebagai persinggahan. Ada persinggahan yang penuh dengan kebahagiaan, ada yang di balut tangisan, dan ada pula yang sekedar menjadi tempat singgah sebentar untuk kita beristirahat. Dari setiap persinggahan itulah manusia belajar, tumbuh, dan perlahan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Sering kali kita merasa nyaman pada persinggahan tertentu. Misalnya, ketika berada pada masa-masa penuh pencapaian atau saat dikelilingi orang-orang yang kita cintai. Namun, hidup tidak pernah berhenti. Kita dipaksa untuk terus bergerak, meninggalkan kenyamanan, dan terus melangkah menuju persinggahan berikutnya. Pada titik ini, banyak orang merasa berat hati. Padahal, di situlah letak pembelajarannya bahwa hidup bukan sekedar soal bertahan di satu titik, melainkan soal keberanian untuk terus melanjutkan perjalanan. 

Setiap persinggahan bahagia mengajarkan kita tentang rasa syukur. Ia mengingatkan bahwa hidup tidak selalu keras karena selalu ada ruang untuk merayakan. Kebahagiaan sekecil apapun adalah hadiah yang patut disyukuri. Di sisi lain, persinggahan yang penuh luka dan kegagalan pun punya nilai yang tidak kalah penting. Kegagalan melatih kita untuk lebih sabar, lebih kuat, dan lebih berlapang dada menerima kenyataan. Dari kegagalan, kita belajar bahwa tidak semua yang kita rencanakan akan berjalan sesuai kehendak. Namun, justru ketidaksempurnaan itulah yang membentuk kekuatan sejati dalam diri kita.

Hidup juga mengajarkan bahwa setiap orang memiliki persinggahannya masing-masing. Ada yang singgah di fase kesulitan ekonomi, ada yang singgah di masa kehilangan orang terkasih, dan ada pula yang singgah di ruang kesepian meski dikelilingi banyak orang. Tidak ada yang sama, tetapi semua punya pelajaran masing-masing. Maka, seharusnya kita tidak perlu membandingkan perjalanan hidup kita dengan orang lain. Setiap perjalanan unik dan setiap persinggahan punya waktu sendiri. 

Yang sering lewat dari kita adalah momen-momen kecil di persinggahan hidup. Kita mengejar hal-hal besar, padahal banyak hikmah yang bersembunyi di kejadian tersebut. Sebuah senyuman yang tulus, sapaan hangat dari teman lama, bahkan kesalahan kecil yang membuat kita malu semua itu adalah persinggahan yang patut kita syukuri karena menjadi bahan refleksi. Hal-hal kecil itulah yang seringkali membekas, bahkan lebih dari lama dari pencapaian besar sekali pun. 

Pada akhirnya, hidup adalah rangkaian perjalanan dari satu persinggahan ke persinggahan lain. Setiap fase adalah guru setia, sedangkan pengalaman adalah buku pelajaran. Kita tidak bisa mengulang waktu, tetapi kita bisa mengambil hikmah darinya. Jika diibaratkan, hidup adalah sebuah kereta yang berhenti di berbagai stasiun. Ada stasiun yang ramai, penuh tawa, ada pula yang sepi, dingin, bahkan menakutkan. Namun, kereta tetap harus berjalan. Dan kita sebagai penumpang harus siap untuk belajar dari setiap pemberhentian, karena perjalanan hanya akan selesai saat kereta berhenti di tujuan terakhir. 

Maka, jangan pernah menganggap remeh setiap persinggahan hidup. Syukuri yang membahagiakan, terima yang menyakitkan, dan nikmati yang sederhana. Karena justru dari kumpulan persinggahan itulah terbentuk pribadi yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap menghadapi perjalanan berikutnya. 

Hidup memang singkat, tapi setiap persinggahan membuatnya penuh dengan makna.


Penulis: Juramaida Ziliwu
Editor: Tiara Khalisna

25 Agustus 2025

Indonesia Terjerat dalam Belenggu Kekuasaan bahkan di Era Kemerdekaan

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com - Indonesia sebagai negara kepulauan yang saat ini memiliki 38 provinsi dan 17.508 pulau dengan 10 diantaranya berada di perbatasan maritim dan 3 diantaranya berada di perbatasan darat negara tetangga. Siapa yang menyangka bahwa tanah air Indonesia dulunya hanya berasal dari dua benua yaitu Sunda Shelf (Paparan Sunda) dan Sahul Shelf (Paparan Sahul). Saat itu, Paparan Sunda menghubungkan wilayah Indonesia bagian barat (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) dengan daratan Asia, sedangkan Paparan Sahul menghubungkan Indonesia bagian timur (Papua) dengan daratan Australia. Karena pemanasan global permukaan air laut naik secara signifikan pertahunnya hingga banyaknya dataran yang tenggelam sehingga terbentuknya pulau-pulau saat ini.  

Pada abad ke-19 negeri ini juga telah memiliki berbagai sebutan sebelum akhirnya disebut dengan Indonesia. Terdapat berbagai nama terdahulu dari bangsa ini seperti Hindia Timur, Nusantara, serta dua nama yang diusulkan oleh George Samuel Windsor Earl yang berasal dari Inggris yaitu "Indunesia" dan "Melayunesia". Selain nama-nama yang telah disebutkan masih banyak lagi penyebutan wilayah ini. Hingga pada akhirnya James Richardson Logan, yaitu seorang antropolog, melalui konsistensi dalam menuliskan nama "Indonesia" di dalam karya tulisnya menjadikan sebutan itu sebagai nama wilayah yang disebutkan (Indonesia). Nama "Indonesia" dipilih setelah melakukan perubahan bunyi fonem /u/ menjadi /o/ karena lebih mudah diujarkan oleh penduduk lokal. Meskipun nama tersebut berasal dari warga negara asing, di negara ini orang pertama yang menggunakan nama "Indonesia" ialah Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara tepatnya pada tahun 1913.

Setelah melewati sejarah terbentuknya wilayah dan nama negara Indonesia yang kaya akan rempahnya, menjadikannya banyak didatangi oleh warga negara asing. Salah satunya berasal dari Belanda. Siapa yang tidak mengetahui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang akrab dikenal sebagai perampok tersadis dalam sejarah. Tidak bisa dipungkiri bahwa dahulu saat Belanda masih berada di Indonesia, VOC yang merupakan sebuah perusahaan dagang milik Belanda yang telah berdiri dari tahun 1602 dianggap jahat oleh penduduk pribumi karena mencuri harta (berupa rempah) milik Indonesia. Sejak berada di Sekolah Dasar (SD)/sederajat masyarakat Indonesia sudah ditanamkan bahwa warga Belanda telah melakukan kerja paksa atau dikenal dengan kerja rodi tanpa digaji.

Kerja rodi ini awalnya terjadi karena Daendels  yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang meminta warga Indonesia untuk membangun jalan dengan jarak 1000 Kilometer (KM) tepatnya dari Anyer—Panarukan. Dengan kabar bahwa pembangunan tersebut tidak dibayar sehingga seolah menjadi kerja paksa yang dilakukan pribumi. Padahal faktanya adalah pada tahun 1808 Daendels telah memberikan uang sebesar RM30,000 masa itu yang diberikan kepada bupati yang hingga saat ini tidak diketahui namanya. Sadisnya ialah justru perampok tersebut berasal dari kaum yang sama dengan keturunan yang sama. Warga Indonesia yang memegang kekuasaan justru menjadi tikus yang siap memakan apapun yang menurutnya baik (terlebih soal kertas) apalagi dengan nilai tinggi. Seolah sejauh ini sejarah hanya ditulis oleh pemenang yang ingin menampakkan sisi positifnya. 

Saat ini banyak yang sudah menyadari bahwa ternyata rakyat Indonesia justru ditindas sesamanya. Akankah ini prediksi Bapak Proklamator yang mengatakan, "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri." Menanggapi beberapa kalimat sebelumnya bisa saja bukti pembayaran Bupati kepada rakyatnya tidak terarsip baik, jika hal demikian terjadi anggaplah tadi ialah dongeng pembelajaran. Jika hal tersebut benar adanya, maka hentikan rantai ketamakan tersebut.

Saat ini, bahkan kemerdekaan ke-80 tahun, rakyat justru meringis tertindas. Begitu banyak penindasan yang dilakukan para "Pejabat," maaf "Oknum pejabat," yang menjelma seekor tikus hanya saja perampakannya lebih rapi. Bahkan kasus pembunuhan yang dilakukan kaum berseragam kepada pihak sesamanya. 

Pada hari kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke-80 tahun, dengan jiwa patriotisme sebagai warga negara mari kita satukan tekad mencintai tanah air dengan sepenuhnya. Menjadi pengeras suara demi kesejahteraan bersama dan secara perlahan membuat para mereka yang "Haus," (jabatan mungkin demi kertas bernilai) mampu mengelola pikiran dengan benar bahwa semuanya akan kembali pada rakyat termasuk uang pajak dan bukan pada mereka yang, "Haus." Semoga selama 80 tahun kemerdekaan NKRI hukum juga akan tajam (tidak tumpul) ke atas bukan hanya tajam kebawah (hanya tumpul dibawah). Tulisan ini mungkin terlalu sensitif dalam menyambut hari kemerdekaan, tapi pada kenyataannya hal itulah yang terjadi. Mari kita rayakan kembali HUT NKRI Ke-80 seolah telah ikut berjuang dengan pahlawan demi merebutkan kemerdekaan.


Penulis: Ririn Dayanti Harahap 

Editor: Tiara Khalisna

23 Agustus 2025

Budaya adalah Warisan Leluhur: Jangan Sampai Dilupakan!

Foto: Infocavit.com

www.lpmalkalam.com - Negara Indonesia adalah negara yang sangat terkenal akan keberagamannya, baik itu keberagaman suku, budaya, agama, ras, dan masih banyak lagi. Semua itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi bangsa kita. Akan tetapi, banyak keberagaman yang hampir hilang dan dilupakan, salah satunya adalah kebudayaan Pakpak Barat, Sumatera Utara, sebuah warisan leluhur yang jarang disebut apalagi dipelajari.

Budaya Pakpak bukan sekadar lagu daerah, makanan khas, atau tarian tradisionalnya saja, melainkan juga kebiasaan sosial dalam bermasyarakat. Namun, generasi sekarang kebanyakan sudah mengikuti gaya hidup sebagaimana yang ada di media sosial. Mereka bahkan lebih fasih menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris, lebih hafal nama-nama makanan yang ada di restoran, sampai-sampai lupa dengan lagu daerah sendiri, lupa dengan nama makanan khas daerah sendiri, dan masih banyak lagi.

Kalau pun mau disalahkan, tidak bisa menyalahkan siapa pun. Sebab, yang namanya perkembangan zaman itu pasti ada, sehingga seiring waktu dunia pasti berubah. Tetapi, pertanyaannya apakah kita harus melupakan budaya kita sendiri agar bisa disebut maju? Rasanya tidak. Justru di tengah gempuran budaya luar, di tengah perkembangan zaman, kita harus mampu berdiri tegak membawa jati diri untuk mempertahankan budaya.

Melestarikan budaya tidak harus dengan hal-hal besar, bisa dimulai dari hal-hal kecil, misalnya berbicara dengan bahasa daerah jika sama-sama mengerti, memposting di media sosial jika ada acara adat seperti upacara, atau mengenalkan kepada kawan-kawan asal usul kita. Dalam hal ini, pemerintah dan lembaga pendidikan juga memiliki peran yang sangat penting, bukan hanya di acara tahunan saja, melainkan juga dalam membuka ruang sebagai wadah untuk mempelajari kebudayaan itu sendiri.


Penulis: Arrahmadan Jaminur Berutu

Editor: Putri Ruqaiyah

15 Agustus 2025

Stereotip dan Prasangka Negatif: Tantangan dalam Keberagaman Manusia

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com-  Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai macam suku, bangsa, warna kulit, dan bahasa. Tidak ada manusia yang memiliki kesamaan identik, karena pada dasarnya setiap individu memiliki ciri khas tersendiri, baik secara fisik maupun kepribadian. Penjelasan tentang perbedaan antarsesama manusia ini sudah tertera di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13. Tujuan dari penciptaan manusia yang berbeda-beda ini adalah agar manusia dapat saling mengenal, saling memahami, dan saling menghargai.

Namun, alih-alih mengingat tujuan diciptakannya manusia dengan perbedaan untuk saling mengenal dan menghargai, kondisi di masyarakat saat ini justru sebaliknya. Di zaman sekarang, justru timbul yang namanya stereotip terhadap suatu kelompok. Menurut Samovar & Porter, stereotip adalah persepsi atau kepercayaan yang dianut mengenai kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Stereotip ini identik dengan perbedaan ras, etnis, suku, maupun kelompok kepercayaan/agama.

Stereotip juga sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang bernuansa negatif. Salah satu contohnya adalah stereotip terhadap orang India. Di Indonesia, orang India sering disebut dengan “Vrindavan” dan kerap kali dikaitkan dengan kemiskinan serta lingkungan yang kotor dan kacau. Stereotip tersebut menyebar dan dipercaya di kalangan masyarakat tanpa adanya verifikasi atau pengamatan yang lebih lanjut. Padahal, Vrindavan sendiri adalah sebuah kota di India yang dianggap sebagai salah satu tempat suci dalam agama Hindu karena berkaitan erat dengan kehidupan Dewa Krishna. Sebutan “Vrindavan” untuk orang India di Indonesia muncul karena pengaruh seri animasi mitologi Hindu berjudul Little Krishna yang dulu kerap tayang di televisi Indonesia.

Selain orang India, agama Islam juga kerap dikaitkan dengan stereotip negatif, terutama di luar negeri. Faktanya, Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia dengan jumlah penganut sekitar 1,8 miliar orang, tidak terlepas dari pandangan negatif. Bahkan, muncul istilah Islamophobia sebagai bukti adanya prasangka buruk terhadap agama Islam dan umat muslim.

Dari contoh-contoh tersebut, dapat kita ketahui bahwa prasangka negatif hampir selalu muncul terhadap suatu kelompok masyarakat, bahkan untuk kelompok mayoritas sekalipun. Oleh karena itu, kita tidak boleh terbawa arus dan menerima begitu saja semua prasangka negatif tersebut tanpa informasi yang benar dan terpercaya. Kita harus bisa membedakan antara kewaspadaan dan prasangka buruk.

Untuk menghindari prasangka buruk, kita dapat menelusuri kembali asal-usul munculnya stereotip negatif yang ada. Periksa apakah stereotip tersebut berasal dari fakta dan pengalaman, atau hanya sekadar cerita dan kabar burung. Carilah informasi yang benar, beragam, dan pahami latar belakang serta sejarah suatu kelompok. Kita juga harus memandang setiap orang sebagai individu yang unik, bukan sekadar perwakilan dari kelompoknya. Dengan cara ini, kita dapat menyaring stereotip negatif yang muncul, sehingga tidak selalu memandang suatu kelompok secara negatif.


Penulis: Najwa Aulia Putri

Editor: Putri Ruqaiyah

06 Agustus 2025

Kelalaian Salat di Kalangan Mahasiswa Gen Z, Tanda Krisis Spiritual?

 
Foto: Muhammad Izzat Saputra

www.lpmalkalam.com - Salat merupakan kewajiban utama bagi setiap Muslim. Namun, di tengah kesibukan perkuliahan dan arus digital yang terus mengalir, banyak mahasiswa generasi Z yang mulai melalaikan kewajiban ini. Gaya hidup instan, tekanan akademik, dan distraksi dari media sosial menjadi beberapa penyebab yang sering diabaikan.

Dikutip dari laman resmi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI), yakni bimasislam.kemenag.go.id, salat memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan menjaga stabilitas emosi seseorang. Namun, sayangnya banyak generasi muda saat ini yang cenderung menomorduakan kewajiban tersebut karena terpengaruh oleh budaya instan dan kurangnya kesadaran spiritual.

Dalam keseharian, tidak sedikit mahasiswa yang lebih memilih menyelesaikan tugas atau berselancar di media sosial ketimbang menyegerakan sholat. Bahkan, sebagian menunda hingga waktu salat habis.

“Kadang niatnya mau salat setelah nugas, tapi malah ketiduran atau kelupaan,” ungkap seorang mahasiswa yang enggan disebutkan namanya.

Kelalaian seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi kebiasaan yang membahayakan. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga berdampak pada mental dan keseimbangan hidup mahasiswa. Salat seharusnya menjadi jeda untuk menenangkan hati, bukan beban yang justru ditinggalkan.

Beberapa kampus sudah mulai menyadari fenomena ini dengan mendorong mahasiswa lebih disiplin dalam menjalankan ibadah. Misalnya dengan menyediakan ruang ibadah yang nyaman, jadwal istirahat yang ramah waktu salat, serta kegiatan pembinaan rohani yang lebih menarik bagi anak muda.

Di era serba cepat ini, menjaga salat justru menjadi ujian nyata bagi generasi muda. Apakah mereka tetap mampu menempatkan kewajiban spiritual di atas godaan dunia yang tak ada habisnya? Pertanyaan ini menjadi refleksi bersama, terutama bagi mahasiswa yang sedang meniti masa depan.


Penulis: Muhammad Izzat Saputra

Editor: Tiara Khalisna

04 Agustus 2025

Dampak Kebijakan PPATK pada Rekening Masyarakat: Tabungan Anak dan Dana Mendesak Terpengaruh

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com - Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam membekukan rekening sebagai upaya pencegahan pencucian uang telah memberikan efek besar pada masyarakat. Beberapa orang mengadukan bahwa rekening pribadi mereka, termasuk simpanan untuk biaya sekolah anak dan dana keperluan mendadak, tiba-tiba tidak dapat digunakan. Meskipun maksud dari kebijakan ini adalah untuk menjaga keamanan sistem keuangan, dampaknya telah menimbulkan kegelisahan di antara para pemilik rekening yang merasa terperangkap dalam mekanisme yang tidak transparan.

PPATK menjelaskan bahwa pembekuan rekening dilakukan untuk mengawasi transaksi yang dianggap mencurigakan dan menghindari kemungkinan tindakan kriminal di bidang keuangan. Akan tetapi, banyak orang berpendapat bahwa sistem yang berlaku saat ini belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Dana darurat yang seharusnya tersedia kapan saja saat diperlukan, kini berpotensi tertunda, sementara tabungan pendidikan anak yang telah dipersiapkan dengan matang juga tidak bisa diakses.

Tanggapan negatif terhadap kebijakan ini semakin meningkat, dengan banyak pihak yang mendesak adanya pembenahan pada sistem pemeriksaan dan proses pembukaan rekening. Para pakar keuangan dan pembela hak masyarakat menyoroti pentingnya mencapai keseimbangan antara mencegah tindakan kriminal di sektor keuangan dan melindungi hak-hak konsumen. Mereka meminta PPATK untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan responsif agar rekening yang memiliki kepentingan vital tidak diblokir tanpa alasan yang jelas.

Seiring dengan bertambahnya keluhan di berbagai platform media sosial, terlihat bahwa kebijakan ini masih menuai berbagai reaksi dari masyarakat, baik yang positif maupun negatif. Beberapa orang kini merasa khawatir dan berencana untuk memindahkan dana mereka ke rekening dengan keuntungan yang lebih baik atau menarik dana secara berkala untuk menghindari risiko pemblokiran secara tiba-tiba. Meskipun tujuan dari kebijakan ini baik, perlu dilakukan evaluasi agar tidak berdampak buruk bagi mereka yang menabung dengan bertanggung jawab dan memerlukan akses ke dana mereka.


Penulis: Aprilia Fira Purnama

Editor: Tiara Khalisna

03 Agustus 2025

Bunga Telang: si Biru Cantik yang Kaya Manfaat

Foto: Halifah Tarisa Hani

www.lpmalkalam.com- Di balik kelopak birunya yang mencolok, bunga telang menyimpan segudang manfaat. Tidak hanya digunakan sebagai tanaman hias, bunga ini juga semakin populer di dunia kuliner dan kesehatan, terutama di Indonesia. Bunga telang banyak tumbuh liar, namun belakangan mulai dibudidayakan karena potensi alamnya yang luar biasa.

Bunga telang merupakan tanaman merambat yang berasal dari wilayah Asia tropis, termasuk Indonesia. Bunganya berbentuk seperti kupu-kupu, berwarna biru tua sedikit ungu, dengan gradasi putih di bagian tengah. Bentuknya yang unik menjadikannya mudah dikenali. Nama latinnya adalah Clitoria ternatea. Tanaman ini tumbuh subur di iklim hangat, sehingga cocok ditanam di pekarangan rumah atau dijadikan tanaman pagar.

Bukan hanya sekadar cantik, bunga ini juga kaya manfaat. Menurut Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, Ph.D., ahli gizi dari IPB, “Bunga telang mengandung senyawa antosianin yang tinggi, yang berfungsi sebagai antioksidan kuat untuk melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas.” Kandungan flavonoid dan antosianin dalam bunga telang bermanfaat untuk menjaga kesehatan mata, mengurangi peradangan, dan merangsang regenerasi sel kulit.

Tanaman ini sangat mudah ditanam di pekarangan rumah. Cukup menanam bijinya di tanah yang terkena sinar matahari langsung, lalu sediakan rambatan seperti tali atau pagar. Siram dua kali sehari, dan dalam beberapa minggu tanaman akan berbunga indah.

Bunga telang adalah contoh nyata bagaimana alam menyediakan keindahan sekaligus manfaat bagi manusia. Dari tampilan estetik hingga khasiat kesehatan, bunga telang cocok digunakan dalam gaya hidup sehat dan alami. Seperti kata Dr. Siti Muslimah, herbalis dan praktisi tanaman obat, “Kembali ke alam bukan sekadar tren, tetapi pilihan sadar untuk hidup lebih sehat dan harmonis.”


Penulis: Halifah Tarisah Hani

Editor: Putri Ruqaiyah
 

02 Agustus 2025

Harga Mahal, Kualitas Diragukan: Saatnya Konsumen Bijak Memilih UMKM daripada Tren Influencer

Foto: Qurrata A'yuni

www.lpmalkalam.com- Belakangan ini, sedang ramai dibicarakan publik tentang jualan influencer yang  overprize berkedok bahan premium, pasalnya harga produk yang dijual ini tidak sesuai dengan kualitas yang diberikan, terutama ketika dibandingkan dengan jajanan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang lebih terjangkau dan terjamin kualitasnya. Namun, yang menjadi daya tarik dari influencer sendiri adalah cara yang mereka punya untuk menarik minat pembeli dengan gaya promosi yang menarik. 

Salah satu faktor utama mengapa orang memilih untuk membeli produk dari influencer yaitu karena FOMO (fear of missing out) atau merasa "takut" tertinggal karena tidak mengikuti sesuatu. Hal ini membuat banyak orang merasa tertarik untuk mencoba, meskipun harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jajanan UMKM. Rasa ingin tahu dan keinginan untuk menjadi bagian dari tren ini sering kali mendorong pembeli untuk mengeluarkan uang lebih.

Ketika dagangan influencer sedang menjadi topik hangat, jualan UMKM menjadi kurang dilirik. Padahal jika diperhatikan, selain harganya yang terjangkau dagangan UMKM ini sendiri memiliki ciri khas dalam rasa dan keunikan tersendiri dalam memberikan pengalaman kuliner yang lebih kaya. Selain itu, membeli dari UMKM juga berarti mendukung usaha kecil dan lokal, yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ini adalah nilai tambah yang sering kali diabaikan oleh pembeli yang terjebak dalam tren influencer.

Mari menormalisasikan membeli di pedagang UMKM, bukan hanya untuk mendukung usaha mereka, namun juga menjaga ekonomi kita agar tetap stabil. Jajanan UMKM juga tidak hanya menawarkan harga yang lebih bersahabat, tetapi juga pengalaman yang lebih autentik dan mendukung komunitas lokal. Dengan semakin banyaknya orang yang menyadari hal ini, diharapkan akan ada pergeseran dalam preferensi konsumen menuju pilihan yang lebih bijak dan berkelanjutan.


Penulis: Qurrata A'yuni

Editor: Tiara Khalisna

30 Juli 2025

Resmi Diluncurkan 17 Agustus 2025, Payment ID Jadi Sistem Pembayaran Nasional: Solusi Digital atau Ancaman Privasi?



Foto: CNN Indonesia

www.lpmalkalam.com- Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan Payment ID, sebuah sistem pembayaran nasional yang terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada 17 Agustus mendatang. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan transparansi dan keamanan dalam transaksi keuangan digital. Namun, keberadaannya juga menimbulkan kekhawatiran terkait privasi data pengguna. Dengan kemampuan untuk melacak riwayat transaksi, Payment ID diharapkan dapat mencegah praktik penipuan dan meningkatkan efisiensi sistem keuangan. Meski demikian, banyak pihak mempertanyakan sejauh mana data pribadi masyarakat akan terlindungi dalam sistem ini.

Peluncuran Payment ID yang bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia menjadi sorotan utama dalam dunia keuangan digital. Sistem ini, yang dikembangkan oleh Bank Indonesia, bertujuan untuk mengintegrasikan data keuangan masyarakat menggunakan NIK sebagai identitas tunggal. Melalui Payment ID, BI berharap dapat memantau seluruh transaksi keuangan secara real-time, mulai dari pemasukan dan pengeluaran, hingga aktivitas yang berisiko seperti perjudian daring dan pinjaman ilegal.

Akan tetapi, di balik berbagai manfaat yang ditawarkan, muncul kekhawatiran yang serius mengenai perlindungan data pribadi. Masyarakat mulai mempertanyakan bagaimana data mereka akan dikelola dan diamankan. Bank Indonesia menegaskan bahwa akses terhadap data yang terhubung dengan Payment ID hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari pemilik data, serta sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Meski begitu, sebagian masyarakat tetap meragukan keamanan data mereka dalam sistem yang terintegrasi ini.

Dudi Dermawan, Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, menjelaskan bahwa Payment ID akan berfungsi sebagai alat autentikasi dan identifikasi profil pengguna dalam sistem pembayaran. Dengan sistem ini, lembaga keuangan dapat menilai profil calon nasabah secara lebih menyeluruh. Namun, hal ini juga memunculkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Seiring dengan semakin dekatnya waktu peluncuran, diskusi mengenai Payment ID semakin menghangat. Berbagai pihak menyampaikan pandangannya terkait upaya menyeimbangkan inovasi digital dengan perlindungan hak privasi warga negara. Masyarakat diharapkan dapat memahami secara menyeluruh implikasi dari penerapan sistem ini sebelum diimplementasikan secara luas.


Penulis: Aprillia Fira Purnama

Editor: Putri Ruqaiyah

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.