Portal Berita Al-Kalam

Alih Status IAIN ke UIN, Username dan Profil Media Sosial UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Belum Berganti? Ini Alasannya

Foto: IST www.lpmalkalam.com -  Humas Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menuai pertanyaan dari mahasiswa terkai...

HEADLINE

Latest Post

16 Juli 2025

Model Advokasi dan Pemberdayaan Perempuan Muslim untuk Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan pada Pemilu 2024 (Studi Kasus pada LKP2A Pati Jawa Tengah)

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com

Pendahuluan  

Partisipasi perempuan dalam politik bukan sekadar isu representasi, tetapi menyangkut kualitas demokrasi itu sendiri. Meski jumlah pemilih perempuan sangat besar, keterwakilan mereka dalam lembaga politik formal masih rendah. Pemilu 2024 menjadi momentum penting untuk mengubah kenyataan ini. Namun, perubahan tidak datang begitu saja. Butuh kerja advokasi dan pemberdayaan yang terstruktur, seperti yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LKP2A) Pati, yang menjadi contoh konkret gerakan akar rumput dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan.  

Pembahasan  

1. Politik Perempuan: Dari Representasi ke Substansi  

Perempuan bukan sekadar pelengkap dalam politik. Mereka membawa perspektif khas dalam merespons isu-isu penting seperti kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan ketimpangan akses pendidikan. Sayangnya, dominasi laki-laki dalam politik masih menghambat perempuan untuk maju. Gerakan seperti LKP2A membuktikan bahwa dengan pendidikan politik dan pendampingan yang konsisten, perempuan bisa tampil sebagai aktor politik yang tangguh.  

2. Strategi Advokasi LKP2A Pati  

LKP2A menerapkan strategi pemberdayaan melalui berbagai kegiatan seperti kursus kepemiluan, diskusi politik, sekolah calon legislatif (caleg) perempuan, kampanye tolak politik uang, dan pelatihan relawan demokrasi. Tiga kelompok sasaran utama mereka adalah perempuan calon penyelenggara pemilu, perempuan calon legislatif, dan perempuan pemilih. Dari strategi ini, tercatat 8 perempuan lolos sebagai penyelenggara pemilu, 2 perempuan terjun ke politik, dan lebih dari 1.200 perempuan menjadi pemilih cerdas.  

3. Tantangan Kultural dan Struktural  

Meskipun dampak positifnya nyata, LKP2A masih menghadapi tantangan besar. Budaya patriarki, keterbatasan dana, serta kurangnya dukungan dari partai politik dan lembaga negara menjadi hambatan utama. Perempuan sering dianggap tidak layak atau kurang kompeten untuk terlibat dalam politik. Padahal, pengalaman mereka di ranah domestik justru bisa menjadi kekuatan dalam merumuskan kebijakan publik yang berpihak pada rakyat kecil.  

4. Efek Domino dari Gerakan Akar Rumput  

Kekuatan utama LKP2A terletak pada pendekatannya yang berbasis komunitas. Gerakan ini membuktikan bahwa perubahan tidak selalu datang dari pusat kekuasaan, tetapi bisa lahir dari komunitas kecil yang konsisten bekerja. Model seperti ini harus direplikasi di berbagai daerah, agar gerakan perempuan semakin masif, dan perubahan politik menjadi lebih inklusif.  

Penutup  

Politik yang sehat adalah politik yang inklusif, dan inklusivitas hanya bisa dicapai jika perempuan mendapat tempat yang setara. Apa yang dilakukan oleh LKP2A Pati menunjukkan bahwa ketika perempuan diberdayakan, dilatih, dan diberi ruang, mereka mampu menjadi agen perubahan. Sudah saatnya negara, partai politik, dan lembaga demokrasi mendukung gerakan seperti ini secara nyata bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kebijakan, dana, dan pengakuan. Tanpa perempuan, demokrasi kita akan pincang. Karena itu, advokasi politik perempuan bukan hanya soal emansipasi, melainkan tentang menyelamatkan masa depan demokrasi Indonesia.


Karya: Elya Munawwaroh Nasution, Mahasiswi Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe  (Rilisan)

Editor: Tiara Khalisna

15 Juli 2025

Feminisme Islam dan Partisipasi Politik Perempuan: Menafsir Ulang Peran Gender dalam Ruang Publik

Pexels.com

www.lpmalkalam.com

Pendahuluan

Diskursus tentang perempuan dalam politik Islam telah menjadi salah satu perdebatan paling dinamis dalam pemikiran Islam kontemporer. Pertanyaan fundamental yang terus bergulir adalah apakah Islam membatasi atau justru memberdayakan perempuan dalam ranah politik? Perdebatan ini tidak hanya melibatkan aspek teologis, tetapi juga dimensi sosial, kultural, dan historis yang kompleks. Feminisme islam, sebagai gerakan intelektual dan sosial, hadir untuk menjawab tantangan ini dengan menawarkan perspektif yang berbeda dari feminisme barat maupun interpretasi islam tradisional yang cenderung patriarkal.

Dalam konteks global, perempuan muslim menghadapi tantangan ganda yaitu di satu sisi mereka harus berhadapan dengan stereotip dan diskriminasi yang berakar pada kesalahpahaman tentang Islam, di sisi lain mereka juga harus menghadapi interpretasi keagamaan yang membatasi ruang gerak mereka dalam politik. Feminisme Islam muncul sebagai respon terhadap kedua tantangan ini, dengan berusaha membuktikan bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan partisipasi politik perempuan, tetapi bahkan mendorongnya melalui prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang menjadi fondasi ajaran agama.

Artikel opini ini akan mengeksplorasi bagaimana feminisme Islam merekonstruksi pemahaman tentang peran gender dalam ruang publik, khususnya dalam konteks politik. Melalui pendekatan hermeneutis yang kritis terhadap teks-teks keagamaan dan analisis terhadap praktik historis, feminisme Islam berusaha membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik perempuan tanpa mengorbankan identitas keagamaan mereka. Diskusi ini menjadi semakin relevan di era di mana perempuan Muslim di berbagai belahan dunia semakin aktif dalam politik, baik sebagai pemimpin negara, anggota parlemen, maupun aktivis sosial.

Pembahasan

1. Fondasi Teologis Feminisme Islam

Feminisme Islam berbeda secara fundamental dari feminisme sekuler dalam pendekatannya terhadap emansipasi perempuan. Jika feminisme sekuler cenderung memandang agama sebagai sumber penindasan terhadap perempuan, feminisme Islam justru melihat Islam sebagai sumber pembebasan yang telah disalahartikan oleh interpretasi patriarkal selama berabad-abad. Para feminis Muslim seperti Amina Wadud, Asma Barlas, dan Riffat Hassan mengembangkan metodologi hermeneutis yang memungkinkan pembacaan ulang terhadap Al-Qur'an dan Hadis dengan perspektif gender yang lebih sensitif.

Salah satu argumen utama feminisme Islam adalah bahwa Al-Qur'an secara fundamental mengakui kesetaraan spiritual antara laki-laki dan perempuan. Ayat-ayat seperti "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (An-Nahl: 97)

Ini menunjukkan bahwa Islam tidak membedakan nilai spiritual berdasarkan gender. Dari fondasi kesetaraan spiritual ini, para feminis Muslim berargumen bahwa tidak ada alasan teologis yang kuat untuk mengecualikan perempuan dari partisipasi politik.

Lebih lanjut, feminisme Islam juga menunjukkan bahwa banyak pembatasan terhadap perempuan dalam tradisi Islam sebenarnya berakar pada interpretasi yang dipengaruhi oleh konteks budaya patriarkal Arab pra-Islam dan tradisi Bizantium serta Persia yang kemudian terinternalisasi dalam pemikiran Islam. Misalnya, hadis-hadis yang sering dikutip untuk membatasi kepemimpinan perempuan, seperti "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan," perlu dipahami dalam konteks historis spesifik dan bukan sebagai prinsip universal yang berlaku untuk semua zaman.

2. Reinterpretasi Konsep Kepemimpinan dalam Islam

Salah satu isu paling kontroversial dalam diskusi tentang partisipasi politik perempuan dalam Islam adalah konsep kepemimpinan atau imamah. Interpretasi tradisional sering kali membatasi kepemimpinan politik tertinggi (seperti khalifah atau imam) hanya untuk laki-laki. Namun, feminisme Islam mengajukan reinterpretasi yang lebih nuansed terhadap konsep ini.

Para feminis Muslim berargumen bahwa konsep kepemimpinan dalam Islam tidak selalu bersifat hierarkis dan maskulin. Mereka menunjukkan bahwa Al-Qur'an menggunakan istilah "khalifah" (wakil Tuhan di bumi) untuk merujuk pada semua manusia, tanpa pembedaan gender. Lebih lanjut, konsep "wilayah" (otoritas) dalam Islam tidak selalu dipahami sebagai dominasi maskulin, tetapi bisa juga diartikan sebagai tanggung jawab untuk melindungi dan memelihara, yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kapasitas untuk itu.

Feminisme Islam juga menarik pelajaran dari sejarah Islam awal, di mana perempuan memainkan peran penting dalam kehidupan politik dan sosial. Khadijah binti Khuwaylid, istri pertama Nabi Muhammad, adalah seorang pedagang sukses yang memiliki otoritas ekonomi dan sosial yang signifikan. Aisyah binti Abu Bakar tidak hanya dikenal sebagai periwayat hadis terpenting, tetapi juga sebagai pemimpin politik yang berani, bahkan pernah memimpin pasukan dalam Perang Jamal. Contoh-contoh historis ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam ruang publik dan politik bukanlah hal yang asing dalam tradisi Islam.

3. Tantangan Interpretasi Patriarkal

Meskipun memiliki fondasi teologis yang kuat, feminisme Islam menghadapi tantangan serius dari interpretasi patriarkal yang telah mengakar dalam tradisi Islam selama berabad-abad. Interpretasi ini sering kali menggunakan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an atau hadis-hadis spesifik untuk membenarkan subordinasi perempuan dalam ruang publik. Salah satu ayat yang sering disalah artikan adalah An-Nisa ayat 34 yang berbicara tentang "qiwamah (kepemimpinan) laki-laki atas perempuan. Interpretasi patriarkal memahami ayat ini sebagai pemberian otoritas absolut kepada laki-laki atas perempuan dalam semua aspek kehidupan. Namun, para feminis Muslim berargumen bahwa ayat ini harus dipahami dalam konteks keluarga dan hubungan suami-istri, bukan sebagai prinsip umum yang berlaku dalam semua ruang sosial dan politik.

Feminisme Islam juga mengkritik metodologi interpretasi tradisional yang cenderung androsentris, yaitu memahami teks-teks keagamaan dari perspektif laki-laki sebagai norma. Mereka mengusulkan pendekatan hermeneutis yang lebih inklusif, yang mempertimbangkan pengalaman dan perspektif perempuan dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan ini tidak berarti menolak otoritas teks, tetapi berusaha memahaminya dengan lebih komprehensif dan kontekstual.

4. Partisipasi Politik Perempuan dalam Praktik

Dalam praktiknya, partisipasi politik perempuan Muslim di berbagai negara menunjukkan variasi yang sangat luas. Di beberapa negara mayoritas Muslim seperti Bangladesh, Pakistan, dan Indonesia, perempuan telah menjadi pemimpin tertinggi negara. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hambatan teologis yang absolut terhadap kepemimpinan politik perempuan dalam Islam.

Namun, di negara-negara lain, perempuan Muslim masih menghadapi berbagai hambatan dalam partisipasi politik. Hambatan ini tidak selalu berakar pada ajaran Islam itu sendiri, tetapi lebih pada interpretasi konservatif yang dipengaruhi oleh budaya lokal dan struktur sosial yang patriarkal. Misalnya, di beberapa negara Arab, pembatasan terhadap perempuan dalam politik lebih terkait dengan tradisi budaya Badui yang patriarkal daripada ajaran Islam yang murni.

Feminisme Islam berperan penting dalam mengadvokasi partisipasi politik perempuan dengan memberikan legitimasi teologis yang kuat. Gerakan ini membantu perempuan Muslim untuk tidak harus memilih antara identitas keagamaan dan aspirasi politik mereka. Sebaliknya, mereka dapat mengintegrasikan kedua aspek ini dalam perjuangan mereka untuk kesetaraan dan keadilan.

5. Transformasi Ruang Publik

Partisipasi aktif perempuan Muslim dalam politik tidak hanya mengubah lanskap politik, tetapi juga mentransformasi konsep ruang publik itu sendiri. Tradisi Islam yang cenderung memisahkan ruang publik dan privat mulai diredefinisi dengan adanya partisipasi perempuan yang semakin aktif.

Perempuan Muslim politisi sering kali membawa perspektif yang berbeda dalam kebijakan publik, dengan lebih menekankan pada isu-isu yang berkaitan dengan keadilan sosial, perlindungan keluarga, dan pemberdayaan masyarakat marginal. Mereka juga cenderung menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif dalam pengambilan keputusan politik.

Transformasi ini juga tercermin dalam cara perempuan Muslim menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam ruang politik. Penggunaan hijab oleh politisi perempuan Muslim, misalnya, tidak lagi dipandang sebagai simbol ketundukan, tetapi sebagai simbol pemberdayaan dan identitas yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa feminisme Islam berhasil merekonstruksi makna simbol-simbol keagamaan dalam konteks politik modern.

Penutup

Feminisme Islam telah membuka jalan bagi reinterpretasi yang lebih progresif terhadap peran gender dalam ruang publik, khususnya dalam konteks partisipasi politik perempuan. Melalui pendekatan hermeneutis yang kritis dan kontekstual, feminisme Islam berhasil menunjukkan bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan partisipasi politik perempuan, tetapi bahkan mendorongnya melalui prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang menjadi fondasi ajaran agama.

Reinterpretasi ini tidak berarti menolak otoritas teks-teks keagamaan, tetapi berusaha memahaminya dengan lebih komprehensif dan sesuai dengan konteks zaman. Feminisme Islam membuktikan bahwa tradisi keagamaan dapat menjadi sumber pemberdayaan perempuan jika diinterpretasikan dengan metodologi yang tepat dan sensitivitas gender yang memadai. Namun, perjuangan untuk mewujudkan partisipasi politik perempuan yang setara masih

menghadapi berbagai tantangan, baik dari interpretasi konservatif dalam komunitas Muslim maupun dari stereotip dan diskriminasi dalam masyarakat yang lebih luas. Feminisme Islam perlu terus mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, sambil tetap mempertahankan autentisitas keagamaan yang menjadi kekuatan utamanya.

Ke depan, feminisme Islam diharapkan dapat terus berkontribusi dalam memperkaya diskursus tentang gender dan politik dalam Islam. Dengan semakin banyaknya perempuan Muslim yang aktif dalam politik di berbagai belahan dunia, pengalaman praktis mereka dapat menjadi bahan untuk pengembangan teori feminisme Islam yang lebih matang dan aplikatif. Transformasi ini tidak hanya penting untuk kemajuan perempuan Muslim, tetapi juga untuk pengembangan pemikiran Islam yang lebih inklusif dan relevan dengan tantangan zaman modern.

Pada akhirnya, feminisme Islam menawarkan model alternatif untuk emansipasi perempuan yang tidak mengharuskan mereka untuk meninggalkan identitas keagamaan mereka. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa Islam dapat menjadi sumber kekuatan dan legitimasi untuk perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan dalam ruang publik. Inilah kontribusi unik feminisme Islam dalam diskursus global tentang gender dan politik yang patut terus dikembangkan dan diperkuat.

Karya: Ayu yuniawati Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe (Rilisan)

Editor: Putri Ruqaiyah

11 Juli 2025

Ketika Jumlah Pendaftar Meningkat, tapi Kualitas Fasilitas Jalan di Tempat

Foto: Raja Oktariansyah

www.lpmalkalan.com- Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe belum lama ini mencetak prestasi membanggakan sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dengan peningkatan jumlah pendaftar terbanyak melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UM-PTKIN) tahun 2025. Sebuah pencapaian yang layak diapresiasi karena mencerminkan kepercayaan publik yang kian tinggi terhadap institusi ini.

Namun, di balik angka yang mengesankan tersebut, muncul ironi yang tidak bisa diabaikan begitu saja: kondisi fasilitas kampus yang masih jauh dari kata layak.

Mahasiswa, sebagai pengguna langsung dari sistem pendidikan ini, masih harus bersabar dengan sanitasi yang tidak memadai, seperti toilet kampus yang sering rusak, air yang kadang tidak mengalir, hingga bau tak sedap yang mengganggu kenyamanan belajar. Di ruang kelas, kipas angin yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar di tengah suhu ruang yang tinggi, justru belum tersedia secara merata. Beberapa kelas bahkan masih harus dijalani dengan lantai ubin yang pecah, membahayakan keselamatan dan kenyamanan mahasiswa.

Tak hanya itu, akses internet kampus yang lamban juga menjadi keluhan utama. Di era digital saat ini, konektivitas internet merupakan bagian tak terpisahkan dari proses belajar dan pengembangan diri. Sayangnya, access point yang digunakan masih tergolong usang, sehingga tidak mampu mengakomodasi kebutuhan digital ribuan mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa kesulitan mengakses sumber belajar daring, mengikuti kelas hybrid, atau sekadar mencari referensi akademik secara lancar.

Pertanyaannya, apakah prestasi dalam jumlah pendaftar layak dirayakan ketika kualitas pelayanan dasar bagi mahasiswa justru diabaikan?

Tentu kita tidak menolak kemajuan. Namun, kemajuan seharusnya bersifat menyeluruh, bukan hanya pada angka-angka pendaftar, melainkan juga pada kualitas hidup dan pengalaman belajar mahasiswa. Sebab pada akhirnya, wajah sejati sebuah kampus tidak ditentukan dari berapa banyak yang diterima, tetapi dari bagaimana mereka diperlakukan setelah diterima.

Jika Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe ingin mempertahankan, bahkan meningkatkan kepercayaan publik, maka sudah saatnya perhatian dialihkan dari sekadar mengejar kuantitas menuju pembangunan kualitas. Prestasi tidak cukup berhenti pada seremoni penghargaan, ia harus diterjemahkan dalam bentuk nyata yang dapat dirasakan mahasiswa: toilet yang layak, ruang belajar yang nyaman, koneksi internet yang stabil, serta fasilitas yang aman dan merata.

Mahasiswa tidak butuh angka. Mereka butuh bukti.


Reporter: Raja Oktariansyah

Editor: Putri Ruqaiyah

07 Juli 2025

Pengaruh Pendidikan Anak terhadap Gadget yang Membludak Saat Ini

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com - Di era digital saat ini, gadget seperti smartphone dan tablet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahkan untuk anak-anak. Fenomena ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga menyangkut pendidikan serta nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini.

Gadget bukan sepenuhnya alat yang buruk. Ia bisa menjadi sarana edukatif yang luar biasa jika digunakan dengan benar, misalnya untuk belajar bahasa, membaca buku digital, atau menonton video pembelajaran. Namun, jika dibiarkan tanpa pengawasan, gadget dapat menjadi sumber kecanduan, menurunkan konsentrasi, serta mengganggu perkembangan sosial dan emosional anak.

Banyak orang tua dan pendidik yang belum memiliki pengetahuan atau keterampilan dalam mengatur penggunaan gadget secara sehat. Akibatnya, anak-anak dibiarkan terlalu bebas, atau justru terlalu dilarang tanpa penjelasan yang memadai. Kedua pendekatan ini bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak.

Foto: Pexels.com

Pendidikan yang baik tidak hanya mengajarkan apa yang boleh dan tidak boleh, tetapi juga menjelaskan "mengapa?". Oleh karena itu, anak-anak perlu diajak berdiskusi mengenai dampak bermain gadget terlalu lama, diajarkan cara mengelola waktu, serta diberikan alternatif kegiatan yang menyenangkan dan mendidik di luar layar.

Orang tua adalah "guru pertama" bagi anak. Keteladanan mereka sangat menentukan. Jika orang tua sendiri kecanduan gadget, maka akan sulit mengharapkan anak mampu membatasi diri. Maka dari itu, edukasi kepada orang tua tentang pola pengasuhan digital sangatlah penting.

Dengan demikian, ledakan penggunaan gadget yang membludak saat ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Ia merupakan cermin dari bagaimana pendidikan anak, baik di rumah maupun di sekolah, dijalankan. Dengan pendidikan yang kuat dan bijak, gadget dapat menjadi alat yang mendidik, bukan merusak. Sebaliknya, tanpa bimbingan, anak-anak dapat tersesat dalam dunia digital.


Penulis: Rusmawati

Editor: Putri Ruqaiyah

02 Juli 2025

Refleksi Mahasiswa Perantauan dalam Perayaan 1 Muharam di Lhokseumawe, Aceh

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Sebagai mahasiswa asal Sumatera Utara yang merantau untuk menempuh pendidikan di Lhokseumawe, Aceh, saya tidak hanya datang untuk belajar di ruang kelas, tetapi juga menjadi saksi hidup dari kekayaan budaya serta nilai-nilai religius masyarakat setempat. Salah satu pengalaman yang sangat membekas adalah ketika saya mengikuti perayaan 1 Muharam, tahun baru dalam kalender Hijriah. Apa yang semula saya kira hanya merupakan seremonial keagamaan, ternyata jauh lebih dari itu. Perayaan ini membuka pandangan tentang bagaimana Islam tidak hanya menjadi keyakinan pribadi, tetapi juga menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat di kota ini.

Di Lhokseumawe, 1 Muharam bukan sekadar angka baru dalam penanggalan Islam, melainkan dapat dimaknai sebagai momentum kolektif untuk berhijrah secara spiritual dan sosial. Saya menyaksikan bagaimana masyarakat menyambut hari besar ini dengan kekhidmatan dan kebersamaan yang luar biasa. Pawai akbar yang melibatkan pelajar, santri, tokoh masyarakat, dan umat Muslim dari berbagai kalangan menjadi bukti bahwa semangat hijrah tidak hanya hidup dalam kisah sejarah Rasulullah saw. tetapi juga tercermin nyata dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Sebagai perantau, saya merasa tidak hanya disambut, tetapi juga diajak turut serta dalam kebersamaan itu. Saya tidak hanya menyaksikan keramaian, tetapi merasakan keterikatan yang menghangatkan hati.

Pada malam harinya, suasana religius semakin terasa. Masjid-masjid dipenuhi jamaah yang mengikuti zikir akbar dan doa bersama. Saya berkesempatan mengikuti salah satu kegiatan tersebut di lingkungan kampus. Tausiah dari para ulama tidak hanya membahas sejarah hijrah, tetapi juga menyentuh sisi personal, bagaimana kita sebagai individu perlu terus memperbaiki diri, meninggalkan keburukan, dan menjemput kebaikan. Dalam suasana tersebut, saya merasa benar-benar diajak untuk merenung bukan hanya sebagai mahasiswa, tetapi sebagai manusia yang terus berproses dalam perjalanan spiritualnya.

Yang tak kalah menyentuh adalah kegiatan santunan anak yatim yang menjadi bagian penting dalam perayaan ini. Di Lhokseumawe, kepedulian terhadap anak yatim bukan hanya wacana, tetapi benar-benar diwujudkan dalam bentuk perhatian dan kasih sayang. Saya menyaksikan sendiri bagaimana mereka tidak hanya diberikan bantuan materi, tetapi juga disapa hangat, ditemani, dan dirangkul sebagai bagian utuh dari masyarakat. Dari situ saya belajar bahwa keberagamaan bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga tentang kepedulian sosial.

Terlihat juga bagaimana institusi pendidikan di Aceh berperan aktif dalam menyemarakkan Muharam. Lomba-lomba Islami di sekolah dan pesantren seperti tilawah, azan, kaligrafi, dan ceramah agama menjadi sarana untuk menumbuhkan semangat kompetisi yang sehat sekaligus menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini. Di kalangan mahasiswa, diskusi keagamaan dan kajian makna hijrah dalam konteks kekinian menjadi ruang intelektual yang sangat bermanfaat. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai keislaman di Aceh tidak hanya diwariskan, tetapi juga dibumikan secara konkret.

Sebagai mahasiswa dari luar daerah, saya merasa sangat beruntung bisa menyaksikan langsung sebuah perayaan yang tidak hanya kaya akan tradisi, tetapi juga sarat dengan nilai. Saya belajar bahwa hijrah bukan hanya soal berpindah tempat, melainkan juga berpindah sikap, cara pandang, dan pola hidup ke arah yang lebih baik. Perayaan 1 Muharam di Lhokseumawe menjadi contoh nyata bagaimana semangat itu dapat tumbuh dalam kehidupan masyarakat secara alami dan berkelanjutan.

Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa tradisi perayaan 1 Muharam di Lhokseumawe adalah kekayaan yang tidak hanya layak dipertahankan, tetapi juga perlu dikembangkan dan dikenalkan lebih luas. Di tengah arus globalisasi yang sering kali mengikis nilai-nilai lokal dan spiritual, perayaan seperti ini menjadi ruang dakwah kultural yang efektif. Ia tidak hanya mempererat ukhuwah, tetapi juga menjadi penanda bahwa identitas keislaman masih kuat berakar dalam masyarakat. Sebagai mahasiswa perantauan, saya tidak hanya membawa ilmu dari kampus, tetapi juga pengalaman batin yang akan saya kenang dan jadikan bekal dalam perjalanan hidup saya ke depan.


Penulis: Arahmadan Jaminur Berutu

Editor: Putri Ruqaiyah

 

30 Juni 2025

1 Muharram sebagai Hari dengan Tekad Perubahan

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com - 1 Muharram bukan hanya sekadar memperingati tahun baru Islam atau pergantian tahun dalam kalender Hijriah. Tetapi, di hari tersebut juga mengingatkan umat islam akan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah. Dari peristiwa tersebut dapat kita ambil pembelajaran bahwasanya 1 Muharram bukan hanya sekadar pergantian tahun, akan tetapi di hari tersebut kita dapat mengevaluasi diri untuk lebih baik lagi dan menjadi pribadi yang berani untuk perubahan ke hal-hal yang lebih positif.

1 Muharram juga dapat dijadikan juga sebagai hari kebangkitan diri sendiri dari sifat yang takut akan mengambil keputusan dan takut akan mempertahankan kejujuran, karena di hari ini Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk lebih jujur, ikhlas dalam segala hal, dan lebih tegas dalam meninggalkan hal yang tidak baik. Di tengah lingkungan sosial, hijrah dapat dimaknai secara luas, diantaranya adalah keluar dari zona nyaman menuju ruang perbaikan, dan siap untuk menghadapi tantangan moral, perpecahan sosial, dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Maka, semangat 1 Muharram bisa dijadikan sebagai titik bagi umat Islam untuk berhijrah dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik, serta menjadi contoh yang baik di tengah-tengah masyarakat seperti yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw. kepada kita umatnya.

Dengan semangat tahun baru Islam 1447 H, alangkah baiknya kita perkuat iman serta tanamkan dalam diri untuk bertekad memperbaiki diri dan menjadi masyarakat yang lebih berani mengambil keputusan dan berani dalam mempertahankan kejujuran.

“Selamat tahun baru Islam, hijrah bukan hanya sejarah, tapi arah hidup kita untuk membelai hari berikutnya."


Penulis: Abdul Azis Perangin-angin

Editor: Zuhra

29 Juni 2025

Ikut Campur Tanpa Undangan: Hasrat Kekuasaan Amerika Tak Pernah Padam

 

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Dunia ini sudah terlalu penuh dengan konflik dan penderitaan. Di balik banyaknya krisis internasional yang mencuat ke permukaan, satu nama hampir selalu ada di sana, Amerika Serikat. Entah itu soal perang, kudeta, sanksi, atau intervensi militer negara adidaya ini tampaknya selalu merasa perlu untuk ikut campur, bahkan ketika konflik itu tidak menyentuh batas-batas negaranya.

Lihat saja Iran. Setelah kepergian mendadak Presiden Ebrahim Raisi, rakyat Iran kembali hidup dalam ketidakpastian. Di tengah kesedihan dan kekacauan, Amerika bukannya menaruh simpati, malah sibuk bersiap mengambil posisi seolah-olah tragedi orang lain adalah peluang untuk menunjukkan kuasa.

Amerika memang selalu datang dengan wajah “penolong”, membawa demokrasi, menegakkan hak asasi manusia, menyuarakan keadilan. Tapi, mengapa hasilnya justru luka yang lebih dalam, rumah-rumah yang rata dengan tanah, dan anak-anak yang kehilangan masa depan?

Pertanyaan itu menggema di hati banyak orang. Salah satu pengguna X menuliskan, “Jika AS datang untuk membawa kedamaian, mengapa yang tersisa hanya konflik dan kehancuran?” Sebuah kalimat sederhana, tapi sarat akan luka. Karena, bukan hanya Iran yang mengalaminya, Irak, Suriah, Afghanistan semuanya telah menjadi saksi bisu bagaimana "bantuan" bisa berubah menjadi belenggu.

Yang membuat miris, Amerika cepat sekali menunjuk jari dan menuduh negara-negara lain melanggar hak asasi manusia, tapi justru menutup mata saat kekejaman terjadi di negara sahabatnya sendiri. Di sinilah dunia mulai lelah. Standar ganda ini terlalu terang untuk diabaikan.

Tentu, setiap negara punya kepentingan. Tapi bila kepentingan itu dibungkus dengan dalih kemanusiaan, lalu berakhir pada penderitaan manusia itu sendiri, bukankah itu sebuah ironi?

Dunia tidak butuh polisi global yang merasa paling benar. Dunia butuh ruang dialog, keadilan yang adil, dan kerjasama yang setara. Bukan dominasi, bukan ancaman, bukan intervensi sepihak.

Sudah waktunya Amerika bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar ingin menciptakan perdamaian, atau hanya ingin memastikan roda kekuasaan tetap berpihak padanya?

Dan bagi kita semua, saatnya juga untuk tidak diam. Karena perdamaian sejati lahir bukan dari tekanan, tapi dari hati yang benar-benar peduli.


Penulis: Putri Ruqaiyah

Editor: Zuhra

18 Juni 2025

LGBT Menyerang, Muda-Mudi Dihadang: Respons Al-Qur'an terhadap Perilaku Fahisyah yang Dapat Merusak Moral Anak Bangsa

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Islam merupakan agama yang sempurna, mengatur kehidupan umatnya dengan aturan-aturan terbaik yang telah ditetapkan oleh Allah. Salah satu perintah-Nya adalah mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. Al-Qur’an menegaskan hal ini melalui kisah umat Nabi Luth a.s. yang termaktub dalam Surah An-Naml ayat 54–58.

Q.S. An-Naml (54–55):
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ (٥٤) أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (٥٥)

Artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu melihat (kejahatannya)? Sungguh, kamu mendatangi laki-laki (untuk memuaskan nafsumu), bukan perempuan. Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).’”

Penjelasan Ayat:
Dalam ayat tersebut, “fahisyah” merupakan kata kunci. Menurut Tafsir Al-Munir, istilah ini merujuk pada perbuatan keji dengan mendatangi sesama jenis untuk memuaskan nafsu, padahal mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan kejahatan. Sementara menurut Tafsir Al-Misbah, “fahisyah” adalah perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat-umat sebelum Nabi Luth a.s. Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa salah satu bentuk kerusakan moral anak bangsa adalah penyimpangan terhadap fitrah seksualitas manusia.

Lantas, timbul pertanyaan: apakah di Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal sebagai Serambi Makkah, daerah yang kental dengan nilai-nilai keislaman juga terdapat individu yang tergabung dalam kelompok LGBT?

Hasil analisis penulis dari Januari hingga April 2025 terhadap kasus LGBT di Kota Lhokseumawe menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Berdasarkan wawancara dengan dua informan (MRR dan AS), yang merupakan mahasiswa di salah satu universitas di Lhokseumawe, MRR menyampaikan, “LGBT di kota ini sebenarnya banyak, hanya saja mereka masih tahu batasan untuk menutupi kelainan mereka.”

Faktor utama yang membuat kelompok ini tidak terang-terangan menyuarakan identitas mereka adalah keberadaan Qanun Jinayat yang diterapkan di Aceh, serta peran aktif instansi pemerintah seperti Wilayatul Hisbah (WH) di Lhokseumawe. Mereka yang terbukti melakukan perilaku amoral akan diproses secara hukum dan direhabilitasi.

Bagaimana status mereka di mata masyarakat? “Status kami di mata masyarakat masih sama seperti orang-orang pada umumnya, yakni masih dianggap normal,” ungkap AS. Ternyata, MRR dan AS pernah menjalin hubungan selama hampir dua tahun. Mereka menyebut bahwa faktor penyebab kecenderungan homoseksual tersebut adalah lingkungan yang tidak mendukung, tekanan sosial berupa kecaman dan bullying semasa sekolah, serta ketiadaan kasih sayang dari orang tua.

Mereka mengakui bahwa apa yang mereka lakukan adalah penyimpangan. Ini sejalan dengan makna “fahisyah” dalam ayat sebelumnya, yaitu sadar akan kesalahan namun tidak saling mengingatkan. “Di kota ini banyak LGBT pendatang dari luar daerah. Dominan dari mereka adalah orang-orang pintar, bahkan tidak sedikit yang memiliki posisi penting di kampus maupun di pemerintahan,” lanjut AS. Ketika ditanya bagaimana mereka saling mengenal, AS menjawab, “Awalnya kami kenalan dari aplikasi khusus gay, lalu lanjut ke media sosial biasa.”

Tugas kita sebagai masyarakat adalah menjaga diri dan lingkungan dari perbuatan menyimpang tersebut. Ingatlah kodrat dan fitrah kita sebagai manusia. Seperti ungkapan warganet Indonesia: “Awalnya bercanda, lama-lama jadi suka.” Kebiasaan buruk akan membawa dampak buruk pula, sebagaimana yang dialami oleh kedua informan yang pernah mengidap penyakit menular seksual (IMS) seperti gonore dan sifilis. Penyakit ini dapat menjadi bentuk peringatan dari Allah agar manusia tidak mendekati perbuatan amoral seperti homoseksualitas.

Karya: Galih Novdiantoro, Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe (Rilis)

Editor: Putri Ruqaiyah

10 Juni 2025

#JusticeForArgo - Ketika Hukum Membungkuk di Hadapan Privilege

 

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Peristiwa tragis yang menimpa Argo Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), tidak bisa dianggap sekadar kecelakaan lalu lintas biasa. Kasus ini mencerminkan bagaimana ketidakadilan masih hidup di tengah masyarakat kita, terutama ketika kekuasaan dan pengaruh ikut bermain dalam proses penegakan hukum. Argo adalah mahasiswa muda yang cerdas, berasal dari keluarga sederhana, dan dikenal memiliki banyak prestasi akademik. Namun, hidupnya berakhir tragis setelah ditabrak mobil BMW yang dikendarai oleh Christiano Tarigan, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis di UGM yang merupakan anak dari petinggi perusahaan besar.

Setelah kejadian itu, publik dikecewakan oleh lambannya penanganan hukum. Meski pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka, ia tidak langsung ditahan. Bahkan, muncul rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa pelat nomor mobil sempat diganti secara diam-diam saat berada di kantor polisi. Tindakan tersebut semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Suara publik pun menggema di media sosial. Tagar #JusticeForArgo menjadi trending dan dipenuhi oleh protes serta seruan keadilan. Salah satu unggahan dari akun @craven** menunjukkan gambar pelaku dengan tulisan “Awas! Pembunuh!” sebagai bentuk kemarahan atas ketidakjelasan proses hukum. Sementara itu, akun @pxx* mengunggah doa penuh haru untuk Argo, yang menunjukkan betapa besarnya empati dan solidaritas dari masyarakat.

Latar belakang Argo yang berasal dari keluarga kurang mampu menambah kepedihan cerita ini. Ayahnya telah meninggal, dan ibunya menghidupi keluarga dengan berjualan kue. Argo adalah harapan keluarga, pemuda yang ingin menjadi pengacara korporat demi mengubah nasib. Kini, harapan itu sirna bukan hanya karena kelalaian, tetapi karena sistem hukum yang lemah di hadapan kekuasaan.

Kita harus bertanya secara jujur, apakah hukum masih mampu berdiri tegak di hadapan orang-orang yang memiliki jabatan dan uang? Sampai kapan hukum hanya berlaku keras untuk mereka yang lemah dan tunduk pada mereka yang kuat? Keadilan seharusnya menjadi hak semua warga negara, bukan hak istimewa yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang.

Jika hukum tidak mampu memberikan keadilan bagi Argo, maka ini bukan sekadar kegagalan prosedur, melainkan kegagalan moral. Sebuah bangsa yang membiarkan hukum tunduk pada kekuasaan adalah bangsa yang sedang kehilangan jiwanya. Kita semua punya tanggung jawab untuk terus menyuarakan keadilan agar tragedi seperti ini tidak terulang lagi.


Penulis: Putri Ruqaiyah
Editor: Tiara Khalisna

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0821-6414-4543 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.