Portal Berita Al-Kalam

LPM Al-Kalam Gelar Kegiatan KLASIK di MAN Kota Lhokseumawe: Menumbuhkan Semangat Jurnalisme Sejak Dini

Foto: Jati Mainah www.lpmalkalam.com – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menyelenggarakan kegiatan K...

HEADLINE

Latest Post

15 Agustus 2025

Stereotip dan Prasangka Negatif: Tantangan dalam Keberagaman Manusia

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com-  Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai macam suku, bangsa, warna kulit, dan bahasa. Tidak ada manusia yang memiliki kesamaan identik, karena pada dasarnya setiap individu memiliki ciri khas tersendiri, baik secara fisik maupun kepribadian. Penjelasan tentang perbedaan antarsesama manusia ini sudah tertera di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13. Tujuan dari penciptaan manusia yang berbeda-beda ini adalah agar manusia dapat saling mengenal, saling memahami, dan saling menghargai.

Namun, alih-alih mengingat tujuan diciptakannya manusia dengan perbedaan untuk saling mengenal dan menghargai, kondisi di masyarakat saat ini justru sebaliknya. Di zaman sekarang, justru timbul yang namanya stereotip terhadap suatu kelompok. Menurut Samovar & Porter, stereotip adalah persepsi atau kepercayaan yang dianut mengenai kelompok atau individu berdasarkan pendapat dan sikap yang lebih dulu terbentuk. Stereotip ini identik dengan perbedaan ras, etnis, suku, maupun kelompok kepercayaan/agama.

Stereotip juga sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang bernuansa negatif. Salah satu contohnya adalah stereotip terhadap orang India. Di Indonesia, orang India sering disebut dengan “Vrindavan” dan kerap kali dikaitkan dengan kemiskinan serta lingkungan yang kotor dan kacau. Stereotip tersebut menyebar dan dipercaya di kalangan masyarakat tanpa adanya verifikasi atau pengamatan yang lebih lanjut. Padahal, Vrindavan sendiri adalah sebuah kota di India yang dianggap sebagai salah satu tempat suci dalam agama Hindu karena berkaitan erat dengan kehidupan Dewa Krishna. Sebutan “Vrindavan” untuk orang India di Indonesia muncul karena pengaruh seri animasi mitologi Hindu berjudul Little Krishna yang dulu kerap tayang di televisi Indonesia.

Selain orang India, agama Islam juga kerap dikaitkan dengan stereotip negatif, terutama di luar negeri. Faktanya, Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia dengan jumlah penganut sekitar 1,8 miliar orang, tidak terlepas dari pandangan negatif. Bahkan, muncul istilah Islamophobia sebagai bukti adanya prasangka buruk terhadap agama Islam dan umat muslim.

Dari contoh-contoh tersebut, dapat kita ketahui bahwa prasangka negatif hampir selalu muncul terhadap suatu kelompok masyarakat, bahkan untuk kelompok mayoritas sekalipun. Oleh karena itu, kita tidak boleh terbawa arus dan menerima begitu saja semua prasangka negatif tersebut tanpa informasi yang benar dan terpercaya. Kita harus bisa membedakan antara kewaspadaan dan prasangka buruk.

Untuk menghindari prasangka buruk, kita dapat menelusuri kembali asal-usul munculnya stereotip negatif yang ada. Periksa apakah stereotip tersebut berasal dari fakta dan pengalaman, atau hanya sekadar cerita dan kabar burung. Carilah informasi yang benar, beragam, dan pahami latar belakang serta sejarah suatu kelompok. Kita juga harus memandang setiap orang sebagai individu yang unik, bukan sekadar perwakilan dari kelompoknya. Dengan cara ini, kita dapat menyaring stereotip negatif yang muncul, sehingga tidak selalu memandang suatu kelompok secara negatif.


Penulis: Najwa Aulia Putri

Editor: Putri Ruqaiyah

06 Agustus 2025

Kelalaian Salat di Kalangan Mahasiswa Gen Z, Tanda Krisis Spiritual?

 
Foto: Muhammad Izzat Saputra

www.lpmalkalam.com - Salat merupakan kewajiban utama bagi setiap Muslim. Namun, di tengah kesibukan perkuliahan dan arus digital yang terus mengalir, banyak mahasiswa generasi Z yang mulai melalaikan kewajiban ini. Gaya hidup instan, tekanan akademik, dan distraksi dari media sosial menjadi beberapa penyebab yang sering diabaikan.

Dikutip dari laman resmi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI), yakni bimasislam.kemenag.go.id, salat memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan menjaga stabilitas emosi seseorang. Namun, sayangnya banyak generasi muda saat ini yang cenderung menomorduakan kewajiban tersebut karena terpengaruh oleh budaya instan dan kurangnya kesadaran spiritual.

Dalam keseharian, tidak sedikit mahasiswa yang lebih memilih menyelesaikan tugas atau berselancar di media sosial ketimbang menyegerakan sholat. Bahkan, sebagian menunda hingga waktu salat habis.

“Kadang niatnya mau salat setelah nugas, tapi malah ketiduran atau kelupaan,” ungkap seorang mahasiswa yang enggan disebutkan namanya.

Kelalaian seperti ini jika dibiarkan berlarut-larut bisa menjadi kebiasaan yang membahayakan. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga berdampak pada mental dan keseimbangan hidup mahasiswa. Salat seharusnya menjadi jeda untuk menenangkan hati, bukan beban yang justru ditinggalkan.

Beberapa kampus sudah mulai menyadari fenomena ini dengan mendorong mahasiswa lebih disiplin dalam menjalankan ibadah. Misalnya dengan menyediakan ruang ibadah yang nyaman, jadwal istirahat yang ramah waktu salat, serta kegiatan pembinaan rohani yang lebih menarik bagi anak muda.

Di era serba cepat ini, menjaga salat justru menjadi ujian nyata bagi generasi muda. Apakah mereka tetap mampu menempatkan kewajiban spiritual di atas godaan dunia yang tak ada habisnya? Pertanyaan ini menjadi refleksi bersama, terutama bagi mahasiswa yang sedang meniti masa depan.


Penulis: Muhammad Izzat Saputra

Editor: Tiara Khalisna

04 Agustus 2025

Dampak Kebijakan PPATK pada Rekening Masyarakat: Tabungan Anak dan Dana Mendesak Terpengaruh

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com - Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam membekukan rekening sebagai upaya pencegahan pencucian uang telah memberikan efek besar pada masyarakat. Beberapa orang mengadukan bahwa rekening pribadi mereka, termasuk simpanan untuk biaya sekolah anak dan dana keperluan mendadak, tiba-tiba tidak dapat digunakan. Meskipun maksud dari kebijakan ini adalah untuk menjaga keamanan sistem keuangan, dampaknya telah menimbulkan kegelisahan di antara para pemilik rekening yang merasa terperangkap dalam mekanisme yang tidak transparan.

PPATK menjelaskan bahwa pembekuan rekening dilakukan untuk mengawasi transaksi yang dianggap mencurigakan dan menghindari kemungkinan tindakan kriminal di bidang keuangan. Akan tetapi, banyak orang berpendapat bahwa sistem yang berlaku saat ini belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Dana darurat yang seharusnya tersedia kapan saja saat diperlukan, kini berpotensi tertunda, sementara tabungan pendidikan anak yang telah dipersiapkan dengan matang juga tidak bisa diakses.

Tanggapan negatif terhadap kebijakan ini semakin meningkat, dengan banyak pihak yang mendesak adanya pembenahan pada sistem pemeriksaan dan proses pembukaan rekening. Para pakar keuangan dan pembela hak masyarakat menyoroti pentingnya mencapai keseimbangan antara mencegah tindakan kriminal di sektor keuangan dan melindungi hak-hak konsumen. Mereka meminta PPATK untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan responsif agar rekening yang memiliki kepentingan vital tidak diblokir tanpa alasan yang jelas.

Seiring dengan bertambahnya keluhan di berbagai platform media sosial, terlihat bahwa kebijakan ini masih menuai berbagai reaksi dari masyarakat, baik yang positif maupun negatif. Beberapa orang kini merasa khawatir dan berencana untuk memindahkan dana mereka ke rekening dengan keuntungan yang lebih baik atau menarik dana secara berkala untuk menghindari risiko pemblokiran secara tiba-tiba. Meskipun tujuan dari kebijakan ini baik, perlu dilakukan evaluasi agar tidak berdampak buruk bagi mereka yang menabung dengan bertanggung jawab dan memerlukan akses ke dana mereka.


Penulis: Aprilia Fira Purnama

Editor: Tiara Khalisna

03 Agustus 2025

Bunga Telang: si Biru Cantik yang Kaya Manfaat

Foto: Halifah Tarisa Hani

www.lpmalkalam.com- Di balik kelopak birunya yang mencolok, bunga telang menyimpan segudang manfaat. Tidak hanya digunakan sebagai tanaman hias, bunga ini juga semakin populer di dunia kuliner dan kesehatan, terutama di Indonesia. Bunga telang banyak tumbuh liar, namun belakangan mulai dibudidayakan karena potensi alamnya yang luar biasa.

Bunga telang merupakan tanaman merambat yang berasal dari wilayah Asia tropis, termasuk Indonesia. Bunganya berbentuk seperti kupu-kupu, berwarna biru tua sedikit ungu, dengan gradasi putih di bagian tengah. Bentuknya yang unik menjadikannya mudah dikenali. Nama latinnya adalah Clitoria ternatea. Tanaman ini tumbuh subur di iklim hangat, sehingga cocok ditanam di pekarangan rumah atau dijadikan tanaman pagar.

Bukan hanya sekadar cantik, bunga ini juga kaya manfaat. Menurut Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, Ph.D., ahli gizi dari IPB, “Bunga telang mengandung senyawa antosianin yang tinggi, yang berfungsi sebagai antioksidan kuat untuk melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas.” Kandungan flavonoid dan antosianin dalam bunga telang bermanfaat untuk menjaga kesehatan mata, mengurangi peradangan, dan merangsang regenerasi sel kulit.

Tanaman ini sangat mudah ditanam di pekarangan rumah. Cukup menanam bijinya di tanah yang terkena sinar matahari langsung, lalu sediakan rambatan seperti tali atau pagar. Siram dua kali sehari, dan dalam beberapa minggu tanaman akan berbunga indah.

Bunga telang adalah contoh nyata bagaimana alam menyediakan keindahan sekaligus manfaat bagi manusia. Dari tampilan estetik hingga khasiat kesehatan, bunga telang cocok digunakan dalam gaya hidup sehat dan alami. Seperti kata Dr. Siti Muslimah, herbalis dan praktisi tanaman obat, “Kembali ke alam bukan sekadar tren, tetapi pilihan sadar untuk hidup lebih sehat dan harmonis.”


Penulis: Halifah Tarisah Hani

Editor: Putri Ruqaiyah
 

02 Agustus 2025

Harga Mahal, Kualitas Diragukan: Saatnya Konsumen Bijak Memilih UMKM daripada Tren Influencer

Foto: Qurrata A'yuni

www.lpmalkalam.com- Belakangan ini, sedang ramai dibicarakan publik tentang jualan influencer yang  overprize berkedok bahan premium, pasalnya harga produk yang dijual ini tidak sesuai dengan kualitas yang diberikan, terutama ketika dibandingkan dengan jajanan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang lebih terjangkau dan terjamin kualitasnya. Namun, yang menjadi daya tarik dari influencer sendiri adalah cara yang mereka punya untuk menarik minat pembeli dengan gaya promosi yang menarik. 

Salah satu faktor utama mengapa orang memilih untuk membeli produk dari influencer yaitu karena FOMO (fear of missing out) atau merasa "takut" tertinggal karena tidak mengikuti sesuatu. Hal ini membuat banyak orang merasa tertarik untuk mencoba, meskipun harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jajanan UMKM. Rasa ingin tahu dan keinginan untuk menjadi bagian dari tren ini sering kali mendorong pembeli untuk mengeluarkan uang lebih.

Ketika dagangan influencer sedang menjadi topik hangat, jualan UMKM menjadi kurang dilirik. Padahal jika diperhatikan, selain harganya yang terjangkau dagangan UMKM ini sendiri memiliki ciri khas dalam rasa dan keunikan tersendiri dalam memberikan pengalaman kuliner yang lebih kaya. Selain itu, membeli dari UMKM juga berarti mendukung usaha kecil dan lokal, yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ini adalah nilai tambah yang sering kali diabaikan oleh pembeli yang terjebak dalam tren influencer.

Mari menormalisasikan membeli di pedagang UMKM, bukan hanya untuk mendukung usaha mereka, namun juga menjaga ekonomi kita agar tetap stabil. Jajanan UMKM juga tidak hanya menawarkan harga yang lebih bersahabat, tetapi juga pengalaman yang lebih autentik dan mendukung komunitas lokal. Dengan semakin banyaknya orang yang menyadari hal ini, diharapkan akan ada pergeseran dalam preferensi konsumen menuju pilihan yang lebih bijak dan berkelanjutan.


Penulis: Qurrata A'yuni

Editor: Tiara Khalisna

30 Juli 2025

Resmi Diluncurkan 17 Agustus 2025, Payment ID Jadi Sistem Pembayaran Nasional: Solusi Digital atau Ancaman Privasi?



Foto: CNN Indonesia

www.lpmalkalam.com- Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan Payment ID, sebuah sistem pembayaran nasional yang terintegrasi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada 17 Agustus mendatang. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan transparansi dan keamanan dalam transaksi keuangan digital. Namun, keberadaannya juga menimbulkan kekhawatiran terkait privasi data pengguna. Dengan kemampuan untuk melacak riwayat transaksi, Payment ID diharapkan dapat mencegah praktik penipuan dan meningkatkan efisiensi sistem keuangan. Meski demikian, banyak pihak mempertanyakan sejauh mana data pribadi masyarakat akan terlindungi dalam sistem ini.

Peluncuran Payment ID yang bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia menjadi sorotan utama dalam dunia keuangan digital. Sistem ini, yang dikembangkan oleh Bank Indonesia, bertujuan untuk mengintegrasikan data keuangan masyarakat menggunakan NIK sebagai identitas tunggal. Melalui Payment ID, BI berharap dapat memantau seluruh transaksi keuangan secara real-time, mulai dari pemasukan dan pengeluaran, hingga aktivitas yang berisiko seperti perjudian daring dan pinjaman ilegal.

Akan tetapi, di balik berbagai manfaat yang ditawarkan, muncul kekhawatiran yang serius mengenai perlindungan data pribadi. Masyarakat mulai mempertanyakan bagaimana data mereka akan dikelola dan diamankan. Bank Indonesia menegaskan bahwa akses terhadap data yang terhubung dengan Payment ID hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari pemilik data, serta sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Meski begitu, sebagian masyarakat tetap meragukan keamanan data mereka dalam sistem yang terintegrasi ini.

Dudi Dermawan, Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, menjelaskan bahwa Payment ID akan berfungsi sebagai alat autentikasi dan identifikasi profil pengguna dalam sistem pembayaran. Dengan sistem ini, lembaga keuangan dapat menilai profil calon nasabah secara lebih menyeluruh. Namun, hal ini juga memunculkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Seiring dengan semakin dekatnya waktu peluncuran, diskusi mengenai Payment ID semakin menghangat. Berbagai pihak menyampaikan pandangannya terkait upaya menyeimbangkan inovasi digital dengan perlindungan hak privasi warga negara. Masyarakat diharapkan dapat memahami secara menyeluruh implikasi dari penerapan sistem ini sebelum diimplementasikan secara luas.


Penulis: Aprillia Fira Purnama

Editor: Putri Ruqaiyah

29 Juli 2025

Influencer Digital: Peluang Karir atau Ilusi Gaya Hidup Anak Muda di Era Teknologi?

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Perkembangan teknologi yang semakin pesat dan tidak dapat dipungkiri kemajuannya telah menghasilkan peningkatan dalam agensi pemasaran. Tidak heran, profesi influencer saat ini digandrungi anak muda sebagai sebuah pilihan karir.

Dikutip dari hasil riset Tirto.id dan Jakpat, menurut Tania, narasumber sekaligus pelajar SMA asal Bogor, influencer merupakan peluang karir yang menjanjikan di masa depan. Dengan modal ponsel pintar untuk menyunting konten, ia merasa siapapun kini bisa jadi influencer. Meski demikian, Tania mengaku keinginannya memang masih jauh dari tujuan. Pasalnya, dia menilai, dengan followers di Instagram dan TikTok pribadinya yang masih di bawah angka lima ribu, masih sulit baginya untuk dilirik jenama ternama. 

"Sejujurnya, kalau mau hasilin uang dari influencer ya kerja samanya sama brand yang udah gede-gede, tapi aku masih belum sampai sana deh," ujarnya.

Mayoritas responden mengaku ingin menjadi influencer utamanya karena jam kerja yang fleksibel, di atas alasan finansial. Namun, masih banyak juga responden juga percaya profesi influencer adalah karir yang menjanjikan secara finansial. Hal itu tampaknya tercermin dari pandangan bahwa influencer mampu membuka peluang kerja sama dengan berbagai jenama ternama. Sebanyak 66,48% dari 1.250 responden usia 16–45 tahun mengakui sangat ingin dan tertarik menjadi seorang influencer.

Tak hanya itu, kebanyakan responden survei (69,39%) juga mengaku mengikuti (mem-follow) akun influencer di media sosial. Tipe influencer fashion dan kecantikan (47,26%) serta influencer keuangan (45,63%) menjadi yang paling banyak diikuti responden di media sosial. Mayoritas responden yang mengikuti influencer fashion dan kecantikan adalah perempuan, sebaliknya, influencer keuangan banyak diikuti oleh laki-laki.

Kehadiran influencer turut membentuk perilaku pelaku usaha dalam menyusun strategi pemasaran. influencer juga punya efek dorong bagi perusahaan rintisan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk memperluas jangkauan pasar dengan lebih efektif dan efisien. Karena perkembangan digital yang pesat disertai pola konsumsi pasar yang semakin besar di ranah maya, profesi influencer diprediksi akan terus bertumbuh.


Penulis: Jati Mainah

Editor: Tiara Khalisna
 

28 Juli 2025

Sawit di Indonesia Akan Menjadi Berkah atau Ancaman bagi Lingkungan?

Foto: unsplash.com

www.lpmalkalam.com - Perkembangan sawit di Indonesia menghadirkan dilema tersendiri. Di satu sisi industri ini menjadi salah satu pilar utama perekonomian nasional. Pada tahun 2023, produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan minyak inti sawit (Palm Kernel Oil/PKO) mencapai 54.844 ribu ton. Namun, menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), jumlah tersebut mengalami penurunan sekitar 3.80% pada tahun 2024 yakni, menghasilkan 52.762 ribu ton CPO dan PKO. Meskipun produksi menurun, nilai ekspor minyak sawit di Indonesia pada tahun 2024 mencapai Rp440 triliun atau setara dengan 27.76 miliar US$. Industri ini menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 16 juta tenaga kerja.

Namun di sisi lain, ekspansi sawit menjadi penyebab utama hilangnya hutan primer di Indonesia selama dua dekade terakhir. Proses ini diperparah oleh pengeringan lahan gambut dan kebakaran hutan yang berkaitan dengan pembukaan lahan untuk sawit, sehingga berkontribusi signifikan pada perubahan iklim global, hilangnya keanekaragaman hayati, dan menurunnya kualitas udara lokal. 

Meskipun luas total lahan perkebunan sawit di Indonesia hanya sekitar 16,8 juta hektar, angka kehilangan hutan alam tetap mengkhawatirkan. Menurut Global Forest Watch (GWH), pada 2024 saja, Indonesia kehilangan 259 ribu hektar hutan alam yang diperkirakan menghasilkan emisi karbon hingga 194 megaton karbon dioksida. Hal ini mencerminkan kompleksitas permasalahan deforestasi yang bukan hanya dipicu oleh ekspansi sawit, tapi juga faktor lain seperti kebakaran dan konversi lahan lain yang saling berinteraksi.

Untuk menghindari sawit menjadi ancaman global dan tetap menjadi berkah ekonomi, dibutuhkan komitmen keras dari semua pihak pemerintah, industri petani kecil, dan konsumen global untuk menerapkan prinsip keberlanjutan. Seperti kebijakan moratorium lahan baru, komitmen “Zero Deforestation”, transparansi rantai pasokan, serta dukungan nyata untuk petani kecil sehingga menjadi kunci mengurangi laju deforestasi seraya menjaga produktivitas sawit tetap tinggi.

Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memimpin dunia dalam mengelola produksi sawit secara bertanggung jawab tanpa mengorbankan hutan alam yang masih luas dan kaya akan keanekaragaman hayati. Jika gagal, deforestasi dan emisi karbon akan terus meningkat, memperburuk perubahan iklim dan kerusakan ekosistem. Namun jika berhasil, sawit di Indonesia dapat menjadi contoh bahwa pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan demi masa depan bumi yang lebih hijau.


Penulis: Zahira Putri Meola

Editor: Tiara Khalisna

27 Juli 2025

Ketika Kebijakan Dihadapkan ke Meja Hijau: Catatan Kritis atas Putusan Tom Lembong

Foto: Kompas.com
www.lpmalkalam.com - Putusan hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan terhadap Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, telah memicu berbagai reaksi dan pertanyaan di ruang publik. Ia dinyatakan bersalah atas kebijakannya membuka impor gula di tengah lonjakan harga, yang dianggap menyebabkan kerugian negara. Sekilas, ini tampak seperti proses hukum yang wajar. Namun, jika dicermati lebih dalam, kasus ini menyingkap persoalan mendasar tentang batas antara kebijakan publik dan tindakan kriminal.

Sebagai mahasiswa yang sedang belajar memahami dinamika pemerintahan dan tata kelola negara, saya melihat kasus ini bukan hanya soal hukum semata. Ini soal bagaimana negara kita memperlakukan pengambilan keputusan publik, terutama dalam kondisi krisis. Bila seorang pejabat dapat dijerat hukum pidana atas keputusan kebijakan yang diambil dalam batas kewenangannya tanpa keuntungan pribadi, maka muncul bahaya besar: kriminalisasi terhadap proses pengambilan kebijakan.

Kita tahu bahwa setiap kebijakan publik selalu mengandung risiko dan dilema. Dalam kasus ini, keputusan membuka keran impor diambil sebagai respons atas harga gula yang melonjak, yang tentu memberatkan masyarakat luas. Dampaknya memang tidak seratus persen positif; bisa jadi ada pihak yang merasa dirugikan, seperti petani lokal. Namun, apakah keputusan yang tidak sempurna secara ekonomi lantas layak dianggap sebagai tindak pidana?

Yang lebih menggelisahkan, tidak ada bukti adanya niat jahat dari Tom Lembong. Tidak ada indikasi bahwa ia menyalahgunakan kekuasaan, mengambil untung pribadi, atau bertindak di luar wewenangnya. Ia membuat keputusan di tengah kondisi mendesak. Lantas, jika tindakan pejabat yang masih dalam koridor hukum bisa dijerat pidana, bagaimana kita bisa membedakan antara keputusan publik dan perbuatan kriminal?

Kekhawatiran ini makin tajam jika kita memperhatikan situasi politik yang melingkupi kasus tersebut. Tom dikenal sebagai pendukung salah satu tokoh politik oposisi. Putusan dijatuhkan di tengah situasi politik pascapemilu yang penuh ketegangan. Wajar jika publik bertanya: ini murni penegakan hukum atau ada aroma kepentingan politik? Bila batas antara hukum dan kekuasaan makin kabur, maka kepercayaan rakyat terhadap sistem peradilan akan terus melemah.

Sebagai bagian dari generasi muda, saya tidak ingin mudah terjebak dalam teori konspirasi. Namun, saya juga percaya bahwa hukum harus dijalankan dengan akal sehat dan rasa keadilan. Bila para pejabat mulai takut mengambil keputusan karena ancaman kriminalisasi, maka kita akan kehilangan kepemimpinan yang berani yang berani bertindak untuk kepentingan rakyat, meski penuh risiko.

Keadilan dalam hukum tak hanya soal menerapkan aturan, tetapi juga memahami konteks, niat, dan dampak. Kita perlu bisa membedakan mana kesalahan administratif dan mana perbuatan jahat yang memang ditujukan untuk merugikan negara. Jika perbedaan itu hilang, hukum bisa berubah menjadi alat untuk membungkam, bukan untuk melindungi keadilan.

Tulisan ini bukan tentang membela individu tertentu, tetapi tentang mempertanyakan apakah demokrasi kita masih memberi ruang bagi pengambilan kebijakan yang progresif dan berpihak pada rakyat. Di tengah situasi seperti ini, rasa percaya terhadap hukum dan masa depan demokrasi sedang diuji. Dan sebagai generasi penerus, kita tak boleh tinggal diam.


Penulis: Arrahmadan Jaminur Berutu

Editor: Putri Ruqaiyah

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.