Portal Berita Al-Kalam

Milad 56 dan Perpres 56: Simbol Kebangkitan UIN Sultanah Nahrasiyah Menuju Kampus Global

  Foto: Qonita Sholihat www.lpmalkalam.com-  Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menggelar Sidang Senat Terbuka s...

HEADLINE

Latest Post

30 Juni 2025

1 Muharram sebagai Hari dengan Tekad Perubahan

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com - 1 Muharram bukan hanya sekadar memperingati tahun baru Islam atau pergantian tahun dalam kalender Hijriah. Tetapi, di hari tersebut juga mengingatkan umat islam akan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah. Dari peristiwa tersebut dapat kita ambil pembelajaran bahwasanya 1 Muharram bukan hanya sekadar pergantian tahun, akan tetapi di hari tersebut kita dapat mengevaluasi diri untuk lebih baik lagi dan menjadi pribadi yang berani untuk perubahan ke hal-hal yang lebih positif.

1 Muharram juga dapat dijadikan juga sebagai hari kebangkitan diri sendiri dari sifat yang takut akan mengambil keputusan dan takut akan mempertahankan kejujuran, karena di hari ini Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk lebih jujur, ikhlas dalam segala hal, dan lebih tegas dalam meninggalkan hal yang tidak baik. Di tengah lingkungan sosial, hijrah dapat dimaknai secara luas, diantaranya adalah keluar dari zona nyaman menuju ruang perbaikan, dan siap untuk menghadapi tantangan moral, perpecahan sosial, dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Maka, semangat 1 Muharram bisa dijadikan sebagai titik bagi umat Islam untuk berhijrah dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik, serta menjadi contoh yang baik di tengah-tengah masyarakat seperti yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw. kepada kita umatnya.

Dengan semangat tahun baru Islam 1447 H, alangkah baiknya kita perkuat iman serta tanamkan dalam diri untuk bertekad memperbaiki diri dan menjadi masyarakat yang lebih berani mengambil keputusan dan berani dalam mempertahankan kejujuran.

“Selamat tahun baru Islam, hijrah bukan hanya sejarah, tapi arah hidup kita untuk membelai hari berikutnya."


Penulis: Abdul Azis Perangin-angin

Editor: Zuhra

29 Juni 2025

Ikut Campur Tanpa Undangan: Hasrat Kekuasaan Amerika Tak Pernah Padam

 

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Dunia ini sudah terlalu penuh dengan konflik dan penderitaan. Di balik banyaknya krisis internasional yang mencuat ke permukaan, satu nama hampir selalu ada di sana, Amerika Serikat. Entah itu soal perang, kudeta, sanksi, atau intervensi militer negara adidaya ini tampaknya selalu merasa perlu untuk ikut campur, bahkan ketika konflik itu tidak menyentuh batas-batas negaranya.

Lihat saja Iran. Setelah kepergian mendadak Presiden Ebrahim Raisi, rakyat Iran kembali hidup dalam ketidakpastian. Di tengah kesedihan dan kekacauan, Amerika bukannya menaruh simpati, malah sibuk bersiap mengambil posisi seolah-olah tragedi orang lain adalah peluang untuk menunjukkan kuasa.

Amerika memang selalu datang dengan wajah “penolong”, membawa demokrasi, menegakkan hak asasi manusia, menyuarakan keadilan. Tapi, mengapa hasilnya justru luka yang lebih dalam, rumah-rumah yang rata dengan tanah, dan anak-anak yang kehilangan masa depan?

Pertanyaan itu menggema di hati banyak orang. Salah satu pengguna X menuliskan, “Jika AS datang untuk membawa kedamaian, mengapa yang tersisa hanya konflik dan kehancuran?” Sebuah kalimat sederhana, tapi sarat akan luka. Karena, bukan hanya Iran yang mengalaminya, Irak, Suriah, Afghanistan semuanya telah menjadi saksi bisu bagaimana "bantuan" bisa berubah menjadi belenggu.

Yang membuat miris, Amerika cepat sekali menunjuk jari dan menuduh negara-negara lain melanggar hak asasi manusia, tapi justru menutup mata saat kekejaman terjadi di negara sahabatnya sendiri. Di sinilah dunia mulai lelah. Standar ganda ini terlalu terang untuk diabaikan.

Tentu, setiap negara punya kepentingan. Tapi bila kepentingan itu dibungkus dengan dalih kemanusiaan, lalu berakhir pada penderitaan manusia itu sendiri, bukankah itu sebuah ironi?

Dunia tidak butuh polisi global yang merasa paling benar. Dunia butuh ruang dialog, keadilan yang adil, dan kerjasama yang setara. Bukan dominasi, bukan ancaman, bukan intervensi sepihak.

Sudah waktunya Amerika bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar ingin menciptakan perdamaian, atau hanya ingin memastikan roda kekuasaan tetap berpihak padanya?

Dan bagi kita semua, saatnya juga untuk tidak diam. Karena perdamaian sejati lahir bukan dari tekanan, tapi dari hati yang benar-benar peduli.


Penulis: Putri Ruqaiyah

Editor: Zuhra

18 Juni 2025

LGBT Menyerang, Muda-Mudi Dihadang: Respons Al-Qur'an terhadap Perilaku Fahisyah yang Dapat Merusak Moral Anak Bangsa

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Islam merupakan agama yang sempurna, mengatur kehidupan umatnya dengan aturan-aturan terbaik yang telah ditetapkan oleh Allah. Salah satu perintah-Nya adalah mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. Al-Qur’an menegaskan hal ini melalui kisah umat Nabi Luth a.s. yang termaktub dalam Surah An-Naml ayat 54–58.

Q.S. An-Naml (54–55):
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ (٥٤) أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (٥٥)

Artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu melihat (kejahatannya)? Sungguh, kamu mendatangi laki-laki (untuk memuaskan nafsumu), bukan perempuan. Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).’”

Penjelasan Ayat:
Dalam ayat tersebut, “fahisyah” merupakan kata kunci. Menurut Tafsir Al-Munir, istilah ini merujuk pada perbuatan keji dengan mendatangi sesama jenis untuk memuaskan nafsu, padahal mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan kejahatan. Sementara menurut Tafsir Al-Misbah, “fahisyah” adalah perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat-umat sebelum Nabi Luth a.s. Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa salah satu bentuk kerusakan moral anak bangsa adalah penyimpangan terhadap fitrah seksualitas manusia.

Lantas, timbul pertanyaan: apakah di Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal sebagai Serambi Makkah, daerah yang kental dengan nilai-nilai keislaman juga terdapat individu yang tergabung dalam kelompok LGBT?

Hasil analisis penulis dari Januari hingga April 2025 terhadap kasus LGBT di Kota Lhokseumawe menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Berdasarkan wawancara dengan dua informan (MRR dan AS), yang merupakan mahasiswa di salah satu universitas di Lhokseumawe, MRR menyampaikan, “LGBT di kota ini sebenarnya banyak, hanya saja mereka masih tahu batasan untuk menutupi kelainan mereka.”

Faktor utama yang membuat kelompok ini tidak terang-terangan menyuarakan identitas mereka adalah keberadaan Qanun Jinayat yang diterapkan di Aceh, serta peran aktif instansi pemerintah seperti Wilayatul Hisbah (WH) di Lhokseumawe. Mereka yang terbukti melakukan perilaku amoral akan diproses secara hukum dan direhabilitasi.

Bagaimana status mereka di mata masyarakat? “Status kami di mata masyarakat masih sama seperti orang-orang pada umumnya, yakni masih dianggap normal,” ungkap AS. Ternyata, MRR dan AS pernah menjalin hubungan selama hampir dua tahun. Mereka menyebut bahwa faktor penyebab kecenderungan homoseksual tersebut adalah lingkungan yang tidak mendukung, tekanan sosial berupa kecaman dan bullying semasa sekolah, serta ketiadaan kasih sayang dari orang tua.

Mereka mengakui bahwa apa yang mereka lakukan adalah penyimpangan. Ini sejalan dengan makna “fahisyah” dalam ayat sebelumnya, yaitu sadar akan kesalahan namun tidak saling mengingatkan. “Di kota ini banyak LGBT pendatang dari luar daerah. Dominan dari mereka adalah orang-orang pintar, bahkan tidak sedikit yang memiliki posisi penting di kampus maupun di pemerintahan,” lanjut AS. Ketika ditanya bagaimana mereka saling mengenal, AS menjawab, “Awalnya kami kenalan dari aplikasi khusus gay, lalu lanjut ke media sosial biasa.”

Tugas kita sebagai masyarakat adalah menjaga diri dan lingkungan dari perbuatan menyimpang tersebut. Ingatlah kodrat dan fitrah kita sebagai manusia. Seperti ungkapan warganet Indonesia: “Awalnya bercanda, lama-lama jadi suka.” Kebiasaan buruk akan membawa dampak buruk pula, sebagaimana yang dialami oleh kedua informan yang pernah mengidap penyakit menular seksual (IMS) seperti gonore dan sifilis. Penyakit ini dapat menjadi bentuk peringatan dari Allah agar manusia tidak mendekati perbuatan amoral seperti homoseksualitas.

Karya: Galih Novdiantoro, Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe (Rilis)

Editor: Putri Ruqaiyah

10 Juni 2025

#JusticeForArgo - Ketika Hukum Membungkuk di Hadapan Privilege

 

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Peristiwa tragis yang menimpa Argo Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), tidak bisa dianggap sekadar kecelakaan lalu lintas biasa. Kasus ini mencerminkan bagaimana ketidakadilan masih hidup di tengah masyarakat kita, terutama ketika kekuasaan dan pengaruh ikut bermain dalam proses penegakan hukum. Argo adalah mahasiswa muda yang cerdas, berasal dari keluarga sederhana, dan dikenal memiliki banyak prestasi akademik. Namun, hidupnya berakhir tragis setelah ditabrak mobil BMW yang dikendarai oleh Christiano Tarigan, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis di UGM yang merupakan anak dari petinggi perusahaan besar.

Setelah kejadian itu, publik dikecewakan oleh lambannya penanganan hukum. Meski pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka, ia tidak langsung ditahan. Bahkan, muncul rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa pelat nomor mobil sempat diganti secara diam-diam saat berada di kantor polisi. Tindakan tersebut semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Suara publik pun menggema di media sosial. Tagar #JusticeForArgo menjadi trending dan dipenuhi oleh protes serta seruan keadilan. Salah satu unggahan dari akun @craven** menunjukkan gambar pelaku dengan tulisan “Awas! Pembunuh!” sebagai bentuk kemarahan atas ketidakjelasan proses hukum. Sementara itu, akun @pxx* mengunggah doa penuh haru untuk Argo, yang menunjukkan betapa besarnya empati dan solidaritas dari masyarakat.

Latar belakang Argo yang berasal dari keluarga kurang mampu menambah kepedihan cerita ini. Ayahnya telah meninggal, dan ibunya menghidupi keluarga dengan berjualan kue. Argo adalah harapan keluarga, pemuda yang ingin menjadi pengacara korporat demi mengubah nasib. Kini, harapan itu sirna bukan hanya karena kelalaian, tetapi karena sistem hukum yang lemah di hadapan kekuasaan.

Kita harus bertanya secara jujur, apakah hukum masih mampu berdiri tegak di hadapan orang-orang yang memiliki jabatan dan uang? Sampai kapan hukum hanya berlaku keras untuk mereka yang lemah dan tunduk pada mereka yang kuat? Keadilan seharusnya menjadi hak semua warga negara, bukan hak istimewa yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang.

Jika hukum tidak mampu memberikan keadilan bagi Argo, maka ini bukan sekadar kegagalan prosedur, melainkan kegagalan moral. Sebuah bangsa yang membiarkan hukum tunduk pada kekuasaan adalah bangsa yang sedang kehilangan jiwanya. Kita semua punya tanggung jawab untuk terus menyuarakan keadilan agar tragedi seperti ini tidak terulang lagi.


Penulis: Putri Ruqaiyah
Editor: Tiara Khalisna

09 Juni 2025

Raja Ampat Digusur: Ketika Surga Dikorbankan Demi Rakusnya Beton dan Investor

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Penggusuran kawasan adat dan pesisir di Raja Ampat atas nama pembangunan merupakan tamparan keras bagi akal sehat dan nurani. Di negara yang kerap membanggakan kekayaan alamnya ke seluruh dunia, justru masyarakat asli yang menjaga tanah itu turun-temurun malah dipaksa pergi, seolah-olah mereka tidak punya hak atas ruang hidup sendiri. Ironisnya, semua ini dibungkus rapi dengan label kemajuan dan kesejahteraan.

Raja Ampat bukan hanya tempat wisata yang indah di mata dunia. Ia adalah tanah kelahiran, tempat berteduh, dan ruang hidup masyarakat adat yang menjaganya dengan nilai-nilai luhur. Tapi hari ini, mereka yang menjaga alam justru dituding sebagai penghambat, sementara pihak luar yang membawa proyek beton dan infrastruktur dianggap pahlawan pembangunan.

Situasi ini menyisakan pertanyaan besar. Siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari pembangunan tersebut? Apakah warga lokal yang terusir dan kehilangan ruang hidup atau para pemodal besar yang membangun resor mewah di atas tanah yang bukan milik mereka, lalu menjual keindahan alam untuk keuntungan pribadi?

Lebih menyakitkan lagi, negara yang seharusnya melindungi hak rakyat justru terlihat lebih sibuk melayani kepentingan investor. Hukum adat diabaikan, suara masyarakat dibungkam, dan warisan budaya dianggap tidak lebih penting dari selembar izin proyek.

Jika pembangunan hanya berarti menggusur, menghancurkan ruang hidup, dan meminggirkan masyarakat adat, maka kita tidak sedang maju melainkan mundur secara perlahan namun pasti. Pembangunan tersebut bukanlah masa depan yang cerah, tapi kenangan pahit yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.

Jika Raja Ampat hilang, bukan hanya destinasi wisata yang musnah melainkan jati diri bangsa, harga diri masyarakat adat, dan keseimbangan alam yang tak bisa digantikan uang sebesar apa pun.


Penulis: Putri Ruqaiyah 

Editor: Tiara Khalisna 

05 Juni 2025

Ketika Kesopanan Menjadi Harta yang Langka

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Dulu, kita tumbuh dengan kalimat-kalimat sederhana seperti "permisi", "maaf", "terima kasih", dan "tolong". Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan bagian dari budaya kesopanan yang diajarkan sejak dini. Namun hari ini, kita mulai bertanya-tanya, ke mana perginya kesopanan itu?

Di ruas jalan kota besar, orang merasa paling benar sendiri seperti klakson ditekan tanpa henti dan pejalan kaki diabaikan. Di media sosial, komentar pedas seolah-olah lebih dihargai daripada pendapat yang santun. Di ruang publik, remaja menyela percakapan orang tua, dan orang dewasa berbicara tanpa rasa hormat. Seakan-akan kesopanan adalah barang kuno yang tak lagi relevan di era modern.

Padahal, kesopanan bukan sekadar etika atau sikap sopan, ia adalah cermin dari karakter dan kematangan seseorang dalam berpikir. Sopan santun mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi, menghormati sesama, menghargai perbedaan, dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika kesopanan hilang, yang tersisa hanyalah arogansi, kebisingan, dan konflik.

Ironisnya, kemajuan teknologi justru mempercepat hilangnya sopan santun. Dunia digital menciptakan ruang tanpa wajah, di mana orang merasa bebas berkata apa saja tanpa memikirkan konsekuensinya. Akun anonim digunakan untuk menyerang, bukan berdiskusi. Kritik berubah menjadi hujatan. Diskusi berubah menjadi debat tanpa ujung.

Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Hilangnya kesopanan adalah hasil dari banyak hal mulai dari kurangnya keteladanan, lemahnya pendidikan karakter, dan budaya populer yang sering mengagungkan kontroversi daripada nilai-nilai moral.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Jawabannya sederhana, yaitu mulai dari diri sendiri. Jadilah pribadi yang tetap menjaga tutur kata, meskipun berbeda pendapat. Ajarkan pada anak-anak kita bahwa bersopan santun bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Bangun ruang-ruang dialog yang sehat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Jangan pernah lelah menjadi orang yang santun, walaupun dunia terasa semakin kasar.

Karena di tengah dunia yang keras, mereka yang tetap lembut akan menjadi penyejuk. Meski kini langka, kesopanan akan selalu bernilai tinggi di mata siapa pun yang masih waras.


Penulis: Lisa Ayu Lestari

Editor: Putri Ruqaiyah

02 Juni 2025

Antara Kewajiban dan Tekanan: Praktik Pungli di Dunia Pendidikan

 

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Lembaga pendidikan sering kali dianggap sebagai tempat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, integritas, dan kebebasan akademik. Namun, realitas di lapangan tak selalu seideal itu. Di balik semangat mendidik, masih ada praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai luhur pendidikan, salah satunya adalah pungutan liar (pungli) terselubung.

Sebagian mahasiswa pernah menghadapi situasi di mana mereka harus membeli buku yang ditulis oleh dosen sendiri, bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai kewajiban agar dapat mengikuti ujian. Fenomena ini bukan sekadar kabar burung. Seperti yang dilaporkan oleh media kampus Washilah di Makassar, seorang dosen diduga mewajibkan mahasiswanya membeli buku senilai Rp60.000, dengan ancaman bahwa nilai mereka tidak akan dikeluarkan jika tidak menuruti perintah tersebut (Washilah.com, 2023).

Kondisi serupa juga ditemukan di wilayah lain. Mahasiswa yang enggan membeli buku kerap kali menerima tekanan halus, seperti pernyataan bahwa nilai bisa terganggu jika mereka tidak membeli temuan dari Ekspresionline menyoroti bagaimana dosen kerap menyampaikan himbauan tidak langsung yang menyudutkan mahasiswa untuk membeli buku tersebut sebagai syarat kelulusan (Ekspresionline.com, 2023).

Tak hanya soal buku, pungli juga muncul dalam bentuk iuran kegiatan akademik yang tidak jelas dasar hukumnya. Mahasiswa kadang diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mengikuti acara seminar atau kunjungan akademik yang diselenggarakan dosen, tanpa kejelasan anggaran atau laporan pertanggungjawaban.

Masalah ini bukan hal sepele. Dalam Laporan Tahunan 2022, Ombudsman RI menyatakan bahwa sektor pendidikan masih menjadi salah satu yang paling banyak menerima laporan pelanggaran pelayanan publik, termasuk pungli berkedok akademik. Mereka menegaskan bahwa setiap pungutan yang tidak berdasar hukum, seperti pemaksaan membeli buku atau sumbangan tanpa legalitas, merupakan bentuk penyimpangan administratif dan etika publik (Ombudsman RI, 2022).

Bahkan media nasional seperti Media Indonesia juga menyoroti kasus serupa, menyatakan bahwa praktik menjual buku sebagai syarat lulus ujian adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang harus dihentikan karena bertentangan dengan prinsip pendidikan yang adil dan transparan (Media Indonesia, 2019).

Pendidikan semestinya membebaskan, bukan menekan. Ketika tekanan finansial justru datang dari pihak yang seharusnya menjadi pendamping pembelajaran, maka proses pendidikan kehilangan makna moralnya. Mahasiswa menjadi korban sistem yang diam-diam membebani mereka, bukan hanya secara akademik, tetapi juga secara ekonomi dan psikologis.

Maka, penting bagi semua pihak, baik kampus, pengawas, maupun mahasiswa untuk tidak tinggal diam. Kesadaran dan keberanian untuk bersuara menjadi kunci. Karena jika praktik-praktik ini terus dibiarkan, maka lembaga pendidikan hanya akan menjadi tempat reproduksi kekuasaan yang sewenang-wenang, bukan tempat menumbuhkan pemikiran kritis dan nilai-nilai keadilan.


Penulis: Putri Ruqaiyah

Editor: Zuhra

01 Juni 2025

Media Sosial: Teman atau Musuh?

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Seiring berkembangnya zaman yang semakin maju, media sosial menjadi sarana yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Perkembangan teknologi membawa perubahan yang sangat pesat bagi masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran, baik dari segi budaya, etika, maupun norma. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dengan berbagai suku, ras, dan agama, yang turut mengalami perubahan sosial.

Media sosial merupakan platform yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, mulai dari mudahnya memperoleh dan menyebarkan informasi dengan sangat cepat, berinteraksi, memiliki banyak teman, hingga berkomunikasi. Dari berbagai kalangan dan usia, hampir seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, memiliki akun platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan WhatsApp. Bahkan, media sosial membuat masyarakat menjadi kecanduan mulai dari bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur dan hampir sepanjang waktu dihabiskan untuk menatap layar handphone guna melihat berbagai platform seperti Instagram dan TikTok.

Lalu, pertanyaannya: Apakah media sosial merupakan teman atau musuh?

Di satu sisi, media sosial memberikan banyak manfaat, seperti yang telah dijelaskan di atas. Media sosial mempermudah kita dalam berinteraksi, berkomunikasi, serta menyebarkan informasi dengan mudah dan cepat hanya dengan satu klik. Bahkan, platform media sosial juga dapat menjadi sumber penghasilan yang mudah bagi banyak orang. Di media sosial kita juga bisa melihat berita-berita yang sedang trending, belajar hal baru, berbagi, serta menyimak isu-isu atau video viral yang menghebohkan masyarakat.

Namun, di sisi lain, media sosial juga mempunyai dampak negatif yang sangat nyata. Misalnya, anak-anak menjadi kurang konsentrasi dalam belajar, dan media sosial menjadi tempat maraknya perundungan (bullying). Media sosial juga dapat merusak kesehatan mental, terutama bagi para remaja. Banyak video atau konten yang menampilkan gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini membuat banyak masyarakat membandingkan dirinya dengan orang lain, sehingga menyebabkan kurang percaya diri, stres, hingga depresi.

Jadi, media sosial bukanlah teman atau musuh, melainkan netral, tergantung pada bagaimana cara kita menggunakannya. Jika media sosial digunakan dengan bijak dan baik, maka kita akan mendapatkan banyak manfaat. Sebaliknya, jika tidak digunakan dengan bijak, media sosial bisa membawa kemudaratan, membuat kita lalai, dan menimbulkan dampak negatif.

Intinya, semua tergantung pada diri kita masing-masing, karena kuncinya ada pada kita.


Penulis: Ishfa Naisila
Editor: Putri Ruqaiyah

30 Mei 2025

Produktif dan Sibuk: Dua Hal yang Berbeda

 

Foto: pexels

www.lpmalkalam.com- Terkadang kita merasa bahwa kita hebat karena melakukan banyak hal dari pagi sampai malam. Tapi, pernahkah kita berpikir, apakah kesibukan kita tersebut merupakan hal yang bermakna? Atau hanya terbuang sia-sia begitu saja?

Banyak orang salah dalam memahami produktif dan sibuk, padahal keduanya sangat berbeda terkait kualitas dan kuantitasnya. Sibuk merupakan kegiatan yang kita jadwalkan dari pagi sampai malam, akan tetapi yang dikerjakan belum tentu hal yang penting. Seperti kita men-scroll media sosial, tetapi sambil mengatakan, “Wah, kerjaanku saat ini banyak banget.”

Sedangkan produktif adalah mengerjakan sesuatu dan dapat menghasilkan kualitas yang baik dan bernilai. Bukan tentang sebanyak apa yang sudah kita lakukan, tetapi seberapa bernilainya apa yang sudah kita lakukan. Orang yang produktif tahu bagaimana cara memprioritaskan sesuatu, mana yang bisa ditunda dan mana yang harus diselesaikan saat itu juga.

Jadi, bagaimana keadaan kita saat ini? Sibuk atau produktif? Jika kita ingin mempunyai hidup yang lebih bermakna, maka coba tanya ke diri sendiri, “Sebenernya aku ini sibuk atau produktif?” Karena lebih baik kita fokus mengerjakan dua hal penting daripada mengerjakan dua puluh hal yang belum tentu jelas arahnya ke mana.


Penulis: Neiva Zaida Hasanah Saragih

Editor: Putri Ruqaiyah


Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0821-6414-4543 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.