![]()  | 
| Foto: Daffa Alkausar (magang) | 
Fenomena ini bukan hal baru di Indonesia. Banyak anak yang lahir dari keluarga kurang mampu merasa memiliki tanggung jawab besar untuk membantu orang tua. Mereka menjajakan dagangan, menjadi buruh cuci, pengamen, atau bahkan pemulung. Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan tidak tahu rasanya mengenakan seragam sekolah.
Dari sisi moral, kita patut mengapresiasi semangat dan keikhlasan anak-anak ini. Mereka menunjukkan kemandirian dan rasa tanggung jawab yang luar biasa. Namun di sisi lain, ini adalah cermin buram ketimpangan sosial dan lemahnya perlindungan anak di negeri ini. Seharusnya anak anak menikmati masa muda dengan belajar, bermain, dan bermimpi, bukan terjaga hingga larut malam demi penghasilan yang bahkan tidak seberapa.
Feri berkata, “Aku mengambil keputusan besar yang jarang diambil anak seusiaku. Aku memilih berhenti sekolah dan meneruskan usaha kecil ayahku, yaitu menjual martabak di Rek Bireuen, demi membantu perekonomian keluarga.”
Feri telah memahami arti kerja keras dan pengorbanan, sesuatu yang seharusnya belum menjadi beban anak seusianya.
Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan justru harus ditinggalkan. Akibatnya, lingkaran kemiskinan pun terus berputar: anak yang bekerja di usia muda berpotensi tumbuh tanpa pendidikan memadai dan akhirnya sulit mendapatkan pekerjaan layak di masa depan.
Pemerintah sejatinya telah memiliki undang-undang yang melarang pekerja di bawah usia 15 tahun, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta peraturan turunan lainnya yang menjamin hak anak untuk tumbuh, belajar, dan bermain. Namun, peraturan tersebut sering kali hanya berhenti di atas kertas. Di lapangan, penegakannya masih lemah dan pengawasan terhadap pekerja anak di sektor informal nyaris tidak ada. Masih banyak perusahaan kecil maupun sektor informal yang mempekerjakan anak karena alasan “membantu keluarga.” Padahal, hal tersebut justru memperpanjang lingkaran kemiskinan dan menghambat perkembangan sumber daya manusia di masa depan.
Sudah seharusnya kita semua, masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan bersatu menjaga hak anak-anak. Membuka peluang beasiswa, menyediakan lapangan kerja bagi orang tua, serta menegakkan hukum bagi para pelanggar. Karena sesungguhnya, setiap anak berhak memiliki masa kecil yang bahagia, bukan masa kecil yang diselimuti tanggung jawab orang dewasa.
Mari berhenti menganggap kerja anak sebagai “bukti kepatuhan” atau “kemandirian.”
Sebaliknya, mari kita jadikan itu sebagai alarm nurani bahwa masih ada mimpi yang tertunda, mimpi anak anak yang merelakan waktu mudanya untuk mencari rezeki.
Penulis: Daffa Alkausar (magang)
Editor: Putri Ruqaiyah








