Portal Berita Al-Kalam

Klasik Goes to SMA Negeri 1 Syamtalira Bayu Raih Antusias Siswa Pelajari Cara Penulisan Berita

Foto: Nurul Fadilah   www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) L...

HEADLINE

Latest Post

25 November 2025

Pelukan dari Dalam Diri

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com

Ada hari-hari ketika aku menatap kaca,

bukan untuk melihat paras,

melainkan mencari alasan

mengapa aku layak tinggal di dunia ini.

Aku berdiri lama, diam,

seakan menunggu seseorang dari balik cermin

untuk berkata, “Hei, kamu cukup.”


Aku pernah membiarkan luka orang lain

menginjak harga diriku.

Aku menjadi terlalu baik

sampai lupa menanyakan pada diri sendiri,

“Apakah aku baik juga pada diriku?”


Aku pernah mencari cinta

di genggaman tangan yang tak ingin menggenggamku erat.

Aku berharap pelukan asing

dapat menyembuhkan patah hatiku sendiri,

tanpa kusadari bahwa pelukan paling tulus

mungkin justru berasal dari dada ini,

dari napasku yang masih setia pergi dan kembali.


Aku pernah letih mengejar standar yang tak kumengerti.

Selalu ingin dianggap hebat,

padahal aku hanya ingin diterima apa adanya.

Aku berdarah-darah membuktikan sesuatu

yang bahkan tak pernah kumau sejak awal.

Dan saat kelelahan itu menelan hatiku,

aku baru sadar:

aku tak sedang berlari demi mimpi,

aku sedang kabur dari diriku sendiri.


Namun di tengah gelap yang sunyi,

aku mulai berani bertanya:

“Apakah semua ini sepadan

jika akhirnya aku kehilangan diriku?”


Dari pertanyaan itu,

lahir keberanian untuk berhenti sementara.

Bukan karena menyerah,

tetapi karena aku ingin mengerti rasa sakitku sendiri.

Aku mulai berbicara pelan pada hati

yang selama ini kupaksa diam.

Dan untuk pertama kalinya,

aku menangis bukan karena lemah,

tetapi karena mulai berani jujur.


Perlahan, aku belajar menerima setiap retakanku.

Aku belajar bahwa tidak apa-apa

jika jalanku lebih lambat,

selama aku tetap melangkah.

Aku belajar bahwa tenang

lebih berarti daripada terlihat sempurna.

Aku belajar bahwa membahagiakan diri

bukan dosa, melainkan kewajiban.


Aku belajar menepuk pundakku sendiri

dan berkata, “Terima kasih, kamu sudah bertahan sejauh ini.”

Aku mulai mencintai kelelahan yang kupunya,

karena itu bukti bahwa aku berjuang.

Aku mulai memeluk setiap kecewa,

karena di baliknya tumbuh keikhlasan.


Kini, aku sedang membangun rumah

dari doa, penerimaan, dan harapan.

Bukan rumah mewah yang butuh pengakuan,

tetapi rumah yang hangat untuk jiwaku pulang kapan saja.


Di rumah itu, aku tidak harus kuat setiap waktu.

Aku bisa menangis tanpa takut dihakimi.

Aku bisa tertawa meski tak sempurna.

Aku bisa menjadi versi diriku

tanpa perlu menyamar menjadi orang lain.


Hari ini, aku belum selesai.

Aku masih rapuh, masih belajar,

masih menyusun serpih-serpih percaya pada diri.

Namun kini aku tahu,

meski terlambat pun tak masalah,

karena aku akhirnya pulang.


Pulang ke dalam diri

tempat cinta yang asli tumbuh,

dan tempat aku akhirnya mengerti

bahwa aku layak dicintai,

bahkan oleh diriku sendiri.


Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah

Catatan Kaki Perjuangan

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com

Di lembar-lembar makalah yang mulai lusuh, 

Kutemukan jejak tinta yang menggigil lelah. 

Ada coretan, ada silang merah, dan tak jarang, sisa air mata yang diam-diam luruh. 

Di sana juga tertempel sisa-sisa semangat, 

Tak terlihat, tapi melekat. 

Hanya mataku yang mampu membaca luka-luka itu, 

Sebab mata lain terlalu sibuk menilai angka,


Kucari inspirasi dalam debu buku-buku tua, 

Kubuka lembar-lembar baru yang masih wangi tinta. 

Kubaca bait demi bait, 

Mengejar pemikiran di antara catatan kaki.

Wahai referensi...

Bisakah sekali saja kau lahir dari hatiku,

Bukan dari halaman yang dipaksakan?

Agar nanti kukatakan pada dosen, 

"Bu, biarkan ini jadi ilham, Jangan lagi pulpenmu menyilang harapanku."


Tapi apalah daya...

Setelah semua ilham kutawarkan, 

Dunia ini masih menuntut dengan mata dingin. 

Kini aku, Mahasiswa, 

Sedang bertarung melawan malas, pesimis 

Dan takdir yang menulis, 

Aku sebagai pengangguran Setelah keluar dari gedung penuh janji ini.

Tak kubiarkan kata-kata itu tumbuh jadi akar di benakku. Demi bara semangat yang kutemukan dari doa Ayah dan Mamak di kampung nun jauh di mata, 

Mereka hanya punya sepetak ladang, tapi cukup luas untuk menanam harapan menyekolahkanku hingga ke bangku kuliah ini.

Di antara inspirasi yang tercerai Semangat yang nyaris habis Kutitipkan harap, 

Semoga Allah berkenan Memberkahi tiap jengkal perjuangan ini.

 

Penulis: Zahratul (Magang)

Editor: Tiara Khalisna 

15 November 2025

Sang Trikoma untuk Dunia

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com

Di antara rerumputan liar, kamu tumbuh

Berdiri tegak, tapi tak angkuh

Mereka bilang, kamu hanya semak yang bertumbuh

Namun, bagiku kau pahlawan bagi tubuh 


Daun berbulu dan batang berjenis perdu

Membuatmu terlihat tidak seberharga itu

Dengan rasa penasaran, aku mendatangimu

Lalu ku amati dengan sendu


Ternyata, sempurna itu ada di dalam mu

Kubawa kamu ke gudangku

Biji kuning dari polong yang berbulu

Bersama ragi putih, partner-mu

Berhasil ku olah kau menjadi tempe dan tahu

  

Menjadi sumber protein bagi mereka yang membuangmu

Lalu, sisa cairan yang kau hasilkan dari tahu 

tentu masih berharga bagiku

Karena akan ku jadikan kau sebagai susu 


Kini, kamu menjadi kebutuhan bagi manusia 

Setiap hari, mereka mencarimu di pasar raya 

Tidak lagi harus di injak-injak hingga luka

Karena aku telah menemukan titik dirimu yang berharga


Tumbuhlah, 

Terus tumbuh dengan indah 

Karena engkau punya nutrisi yang melimpah 

Keledaiku, engkau adalah anugerah 

Karena hidupmu, juga hidup untuk mereka


Penulis: Annisa Maulianda (Magang)

Editor: Tiara Khalisna 
 

31 Oktober 2025

Kenangan Waktu Masa SMA

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com

Di gerbang sekolah, langkah dimulai,

Masa SMA penuh warna dan mimpi.

Seragam putih abu-abu saksi setia,

Kenangan terukir, takkan terlupa.

 

Kelas berisik, canda tawa menggema,

Belajar bersama, suka duka dirasa.

Guru-guru sabar membimbing kami,

Membuka cakrawala ilmu, tanpa henti.

 

Kantong bolong, jajan bareng di kantin,

Mie ayam dan es teh jadi andalan.

Saat ulangan, saling contek diam-diam,

Kenakalan remaja, penuh keceriaan.

 

Cinta monyet bersemi di koridor,

Surat cinta diselipkan di loker.

Malam minggu, nongkrong di kafe,

Mencari jati diri, penuh semangat.

 

Pramuka, PMR, OSIS, dan ekskul lainnya,

Mengasah bakat, mengembangkan diri.

Lomba-lomba, semangat kompetisi,

Meraih prestasi, bangga di hati.

 

Perpisahan sekolah, air mata berlinang,

Janji setia, takkan saling melupakan.

Kenangan SMA, terukir selamanya,

Dalam hati dan jiwa, abadi sentiasa.

 

Kini waktu telah berlalu,

Namun kenangan SMA tetap membara.

Sahabat sejati, guru tercinta,

Kenangan indah, takkan pernah sirna.


Penulis: Muhammad Iftal (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah 
 

Langit Nahrasiyah

Foto: Daffa Alkausar (Magang)

www.lpmalkalam.com

Di tanah Serambi Mekkah yang bersujud pada pagi,

berdiri megah kampus peradaban,

UIN Sultanah Nahrasiyah,

mutiara ilmu yang tak ternilai,

tempat di mana iman bertemu dengan kecerdasan,

dan akhlak berpadu dengan kemajuan zaman.


Langit Darussalam menjadi saksi,

tiap langkah mahasiswa membawa doa dan cita.

Mereka meniti jalan ilmu seperti para ulama masa lalu,

dengan hati yang tunduk dan pikiran yang merdeka.


Di ruang-ruang kuliah, kata dan makna beradu,

antara logika dan wahyu,

antara sains dan tafsir kehidupan—

semuanya berpadu dalam simfoni pengetahuan.


Di sini bukan hanya gelar yang dicari,

tetapi nilai yang diwariskan.

Bukan hanya cerdas berpikir,

melainkan juga lembut dalam sikap dan perilaku.


UIN Sultanah Nahrasiyah,

engkau bukan sekadar kampus,

engkau taman peradaban,

tempat akar iman menegakkan batang ilmu,

dan ranting amal berbuah keberkahan.


Di bawah rindangnya pepohonan kampus,

terdengar suara semangat mahasiswa memulai perkuliahan

 

Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah 

29 Oktober 2025

Hitam Putih

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com

Seiring berjalannya waktu

Kumerindukan akan sesuatu

Sesuatu yang telah usai

Yang kini tak dapat digapai


Padahal diriku mau mengulang akan hal itu

Walau sudah tak terpatri lagi untukku

Kini, hanya bisa tersemat di relung ingatan

Yang akan dikenang sepanjang zaman


Masa hidup yang penuh nan warna

Terlukiskan dengan selaksa

Harapan, keyakinan, kesenangan berbalut jadi satu

Namun, suatu waktu akhirnya menjadi semu


Terasa bagaikan hitam putih

Karena kenyataan yang pedih

Gelap lagi sendu

Bagai hidup yang pilu


Penulis: Rizky Ramadhani (Magang)
Editor: Zuhra
 

26 Oktober 2025

Masa Depan Bangsa

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com

Di pundak muda tersimpan cahaya,

menyala di antara debu dan doa.

Langkah kecilmu hari ini—

adalah jalan panjang menuju mimpi negeri


Bangsa ini bukan sekadar tanah dan bendera,

ia adalah harapan yang dijahit dari luka,

tetes keringat para pejuang,

dan doa ibu di setiap malam panjang


Masa depan tidak datang tiba-tiba,

ia tumbuh dari keberanian menatap langit,

dari tangan yang tak berhenti menulis,

dan hati yang tak jemu mencinta tanah air ini


Jangan biarkan waktu mencuri idealismemu,

jangan biarkan lelah memadamkan nyala api jiwamu.

Karena di setiap semangat yang kau jaga,

ada masa depan bangsa yang menunggu untuk bersinar


Maka berdirilah, wahai generasi muda,

bangun peradaban dengan pena dan karya,

jadilah cahaya di tengah gelapnya dunia—

sebab masa depan bangsa… adalah engkau yang percaya ‎


Penulis: Razwa Syuib (Magang)

Editor: Zuhra

Hujan di Pagi Hari

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com-

Selimut kutarik perlahan,

dingin menusuk kulitku.

Hujan tadi malam tak kunjung berhenti,

membuatku malas memulai hari.


Hujan di pagi hari,

waktu yang tenang,

merenung dan memikirkan

masa depan yang belum datang.


Hujan yang turun membawa harapan,

membawa kehidupan ke dalam hatiku.

Hujan di pagi hari, waktu yang tenang,

membuatku merasa hidup.

 

Penulis: Lutfhiyatil Syaqirah (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah 

Lelah

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com

Jika kamu sudah lelah,

pamitlah!


Inilah aku dengan segala kurangku,

inilah aku yang terus memaksamu untuk tetap tinggal.


Aku…

tidak seegois itu mencintai seseorang.


Jika nanti kamu tidak menemukan sosok

yang sehangat pelukku,

setabah aku yang selalu memahamimu,

kumohon…

jangan ragu untuk pulang.


Penulis: Luthfiatil Syaqirah

Editor: Putri Ruqaiyah 

22 Oktober 2025

Rindu yang Abadi

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com-

Di antara senja yang merangkul bumi,

Kucari jejakmu dalam sunyi.

Bayangmu hadir, namun tak tergapai,

Rindu ini abadi, takkan usai.


Setiap langkah adalah kenangan,

Saat bersamamu, hati penuh impian.

Tawa, canda, semua terpatri,

Dalam ingatan yang tak pernah mati.


Malam sunyi menjadi saksi bisu,

Rindu ini menggebu-gebu.

Bintang-bintang seolah mengerti,

Betapa dalamnya rindu di hati.


Di taman hati, namamu terukir,

Sebagai janji yang takkan pudar.

Meski jarak memisahkan kita,

Cinta ini abadi selamanya.


Ombak rindu terus berdeburan,

Menyapu pantai kenangan.

Setiap desiran adalah bisikan,

Rindu yang tak pernah terucapkan.


Dalam doa kusebut namamu,

Semoga kau merasakan rindu yang sama.

Karena di sini, di hatiku yang terdalam,

Rindu ini abadi, takkan pernah padam.


Mentari pagi datang menyapa,

Namun rindu ini tetap membara.

Karena kaulah melodi dalam jiwa,

Rindu yang abadi selamanya.


Penulis: Muhammad Iftal (Magang)

 

20 Oktober 2025

Si Rupawan

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com

Dunia hanya milik si rupawan,

dihuni oleh orang-orang menawan,

dikuasai para manusia serakahan,

yang tak memiliki kelebihan,

yang tak memiliki kekuasaan,

semakin dikucilkan,

juga ikut diasingkan.


Apalah daya kaum rendahan,

hanya bisa merasakan kesialan

yang kunjung datang

tanpa tahu surutnya kapan.

Diri ini terus berdoa pada Tuhan,

tangan ini terus ditadahkan.

Di balik cahaya remangan,

secepat mata memejam,

terselip harapan.


Semoga dunia lekas diberi kesehatan,

segera dianugerahi kebaikan,

juga dititipkan keadilan,

dijauhkan dari jamahan

tangan orang yang tak diperkenan,

serta genggaman para durjana.


Penulis: Lutfhiyatil Syaqirah (Magang)
 

19 Oktober 2025

Remaja di Zaman Sinyal

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com

Kami lahir di antara cahaya layar,

tumbuh bersama dering notifikasi,

dan belajar mengenal dunia melalui jempol dan jaringan tanpa batas.

Kami menatap dunia dari kaca kecil di genggaman,

seakan seluruh hidup bisa diringkas dalam satu unggahan yang sempurna.


Kami, remaja yang katanya mudah bimbang,

mudah jatuh cinta,

mudah marah, dan mudah menyerah.

Tapi di balik itu semua,

ada hati yang rapuh, tapi berani.

Ada jiwa yang terluka, tapi masih ingin mencoba.


Kami berbicara lewat chat,

tertawa di ruang virtual,

dan menangis tanpa suara,

karena takut dianggap terlalu lemah

di dunia yang sibuk menilai daripada memahami.


Kami ingin dikenal,

tapi juga takut terlalu terlihat.

Kami ingin mencintai,

tapi takut disakiti.

Kami ingin jadi hebat,

tapi kadang hanya ingin istirahat.


Di kelas kami tersenyum,

meski kepala penuh dengan tanya:

tentang masa depan, tentang pilihan,

tentang siapa kami sebenarnya.

Kami belajar menghitung, menulis, dan menghafal,

tapi tak ada pelajaran

tentang bagaimana menghadapi kecewa,

atau cara menerima diri sendiri.


Kami menulis di catatan rahasia,

tentang mimpi yang mungkin tak akan kami ceritakan,

tentang seseorang yang hanya bisa kami kagumi diam-diam,

tentang rasa takut gagal yang menekan dada setiap malam menjelang.


Kami mendengar dunia berkata,

“Remaja itu malas, remaja itu tak tahu arah,”

padahal mereka lupa,

kami sedang berjuang memahami arah itu sendiri.

Kami tak ingin jadi sempurna,

kami hanya ingin dimengerti.


Kami mencintai tanpa janji,

berharap tanpa kepastian,

dan kehilangan dengan diam,

karena begitulah cinta di zaman ini—

cepat datang, cepat pergi,

meninggalkan jejak di pesan terakhir

yang tak sempat dikirim.


Namun di balik tawa yang dibuat-buat,

masih ada doa yang diam-diam kami kirimkan

kepada Tuhan yang mungkin sudah lelah

mendengar permintaan yang sama setiap malam.

Kami memohon bukan untuk kaya,

bukan untuk viral,

tapi hanya untuk tenang.

Tenang dalam hati yang sering ribut sendiri.


Kami belajar dari patah hati,

dari kegagalan,

dari pertemanan yang perlahan menjauh,

dan dari waktu yang berjalan terlalu cepat,

sementara kami masih mencoba memahami maknanya.


Kami tidak ingin hanya jadi bayangan,

atau sekadar nama di daftar hadir kehidupan.

Kami ingin berarti,

walau hanya untuk satu orang,

atau bahkan hanya untuk diri kami sendiri.


Karena meski kami sering bingung,

sering takut,

dan sering merasa sendirian,

kami tetap berjalan.

Dengan langkah yang mungkin kecil,

tapi nyata.


Kami, remaja zaman ini,

tumbuh di tengah badai informasi,

terkadang kehilangan arah,

namun tak pernah benar-benar berhenti mencari cahaya.


Dan suatu hari nanti,

ketika dunia menertawakan masa muda kami,

kami akan tersenyum,

karena kami tahu, kami pernah hidup dengan sepenuh hati—

di masa paling rumit,

tapi paling indah.


Penulis: Daffa Alkausar (Magang)
 

Mata Air Cinta

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com-

Ibu…

Memelukmu adalah kenyamananku,

Melukis senyummu adalah keinginanku,

Mencintaimu tentu wajib bagiku.


Namun terkadang…

Melawanmu adalah hal sepele bagiku,

Bahkan sering kali aku menyakitimu dan

Melupakanmu sebagai pahlawan hidupku.

Tanpa kusadari betapa teririsnya hatimu

Oleh sikap bodoh yang aku berikan.


Haruskah aku menjadi pelindung,

Bukan malah menjadi anak yang tak tahu untung?

Haruskah aku jadi anak penurut,

Bukan menjadi anak yang hanya bisa menuntut?


Ibu…

Maafkan anakmu yang tak pernah tahu diri,

Yang tak pernah merasa cukup. Maafkan, Ibu…

Sekarang aku telah dewasa, Bu.

Kini aku sadar betapa banyak keringat yang kau teteskan untukku.

Namun maaf, Bu, hanya rasa kecewa yang bisa aku lantunkan.


Aku sangat bangga padamu,

Aku sangat beruntung memilikimu.

Kau bagaikan sosok istimewa bagiku.


Ibu…

Aku berjanji tak akan pernah terucap

Kata henti di benakku ini.


Ibuku, mata air cintaku.

 

Penulis: Intan Sarifah (Magang)

18 Oktober 2025

Rumit

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com

Matahari tenggelam, kini malam menghampiri.

Bulan dan bintang menyinari gelapnya malam.

Kini hanyalah sunyi yang datang menyelimuti,

dan angin malam yang menemani.


Kuratapi kesedihan tanpa batas limit,

bagaikan kehidupan berhenti berotasi.

Kususun bintang menjadi sebuah persegi,

memecahkan misteri di barisan bintang.


Kehidupanku kini bagai tak simetris,

tak tahu ke mana harus ku berarah.

Aku tersesat di antara ruang yang luas,

dalam waktu dan jarak yang tak terhingga.


Rumitku melepas diri dari bayangan,

membuatku tersadar akan satu hal:

waktu dan jarak tak dapat dipisahkan

di setiap kehidupan di bumi ini.


Penulis: Luthfiatil Syaqirah (Magang)

Tentang Kamu

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com

Kau tinggal di baris paling depan,

pada kata yang kedua, di koma dan titik yang kupilih dengan semata.

Kau singgah untuk berjeda, bersembunyi di balik spasi-spasi yang ada,

menjadi alasan setiap kalimatku berdiri tegak,

meski aku rapuh, meski aku runtuh.


Kau adalah wujud dari kata indah;

butuh fokus, tenang, dan keberanian untuk menulis serta merawat.

Di antara beribu kata yang menarik,

aku akan tetap memilih satu nama — yaitu kamu.


Bahkan saat akhirnya tinta tetap tentangmu yang kuurai,

aku senang menulis tentangmu.

Dan semua itu pasti akan membuatmu sadar,

karena aku meraih perhatian lewat kataku yang manis dan puitis.


Jika suatu saat bait itu akan usang,

kertasnya akan hilang,

tetap namamulah yang kuingatkan,

karena semuanya adalah kamu —

titik, koma, dan aku… selalu untukmu.


Penulis: Intan Sarifah (Magang)

19 Agustus 2025

Bisik Rahasia Semesta

Foto: Pexel.com

www.lpmalkalam.com-

Bisik Rahasia Semesta


Ada sesuatu di matamu

Yang membuat bintang-bintang berbisik,

Seolah langit menyimpan rahasia

Yang hanya aku dan kamu bisa mengerti.


Kita berjalan di jalan yang berbeda,

Namun bayangan kita

Selalu bertemu di tikungan takdir.

Tak ada yang tahu,,, 

Apakah ini kebetulan, atau rencana

Yang ditulis sebelum bumi dilahirkan.


Angin malam sering menyebut namamu

Tanpa suara,

Membawanya ke telingaku

Seperti mantra yang membakar rindu.


Dan di setiap tatapan yang kita tukar,

Aku merasakan jarak runtuh,

Seakan waktu berhenti hanya

Untuk memberi kita satu detik abadi.


Jika ini adalah rahasia semesta,

Biarlah ia tetap misteri,,, 

Selama aku bisa mencintaimu

Dalam setiap bisikannya.

 

Puisi ini ditulis berdasarkan gaya bahasa penulis

Penulis: Riska Ramadhani

15 Agustus 2025

Dewasa Penuh Pretensi

 

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- 

Topeng-topeng terbang rendah di udara,  

menyapa wajah-wajah yang sudah lelah,  

berjalan di lorong-lorong hening kota,  

di mana kata-kata sering jadi pedang.


Aku dewasa, katanya—  

tapi bisakah aku berkata jujur tanpa takut?  

Atau hanya menari di atas panggung pura-pura,  

menyembunyikan tangis di balik tawa palsu?


Dewasa kini membuat ku memahami banyak hal

Seperti bagaimana cara kerja dari tawa seseorang 

Bagaimana cara sepasang netra itu berbicara

Yang mencipta sebuah persepsi tentang bahagia.


Rindu meledak diam-diam,  

seperti api dalam sekam tua,  

tidakkah kau lihat?  

Ini bukan sekadar usia,  

tapi perjuangan menjadi nyata.


Puisi ini ditulis berdasarkan gaya bahasa penulis

Penulis: Najatia

14 Agustus 2025

HUJAN

 

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com-

Rintik-rintik hujan turun pelan-pelan,

membasahi jalan, atap, dan pepohonan.

Dari balik jendela, aku duduk diam,

menyaksikan langit menangis dan ku pandangi dalam sunyi.


Setiap tetesnya seperti cerita,

tentang rindu, kenangan, dan luka.

Namun, Ada yang terasa hangat,

meski udara dingin menyelimuti malam ini.


Aku suka hujan,

Tapi, bukan karena romantisnya,

tapi karena ia tahu caranya datang

tanpa perlu diundang.


Hujan nggak pernah marah,

meski orang sering menyalahkan kehadirannya.

Padahal kadang, ia cuma mau

menenangkan hati yang ribut di dalam dada.


Di bawah payung atau tanpa pelindung,

hujan tetap indah 

ia mengajarkan bahwa tak semua tangisan

harus disembunyikan dari dunia.


Jadi kalau kamu lagi sedih,

biarkan hujan turun bersamamu.

karena dengan hujan

Kita bisa merasakan ketenangan.



Puisi ini ditulis berdasarkan gaya bahasa penulis

Penulis: Asma Yuleha


08 Agustus 2025

Apakah Semua Sia-Sia?

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com- 

Terkadang diri ini lupa,

Bahwa agama bukan hanya tentang sajadah,

Bukan hanya sekadar surah-surah yang terhafal separuh,

Bukan juga tentang sebuah tasbih yang begitu sering terlewat

Dalam sela-sela jari di sepertiga malam.


Lupa aku akan amanah,

Bahwa hidup bukan sekadar ibadah berulang,

Bukan hanya sujud dan rukuk bersilang,

Tapi juga tangan yang menyeka air mata orang.


Saat subuh, ketika angin begitu dingin menusuk tulang,

Pintu rumahku terketuk.

Ternyata, jiranku mengatakan anaknya belum makan sejak kemarin.

Aku hanya tersenyum kaku,

Padahal untuk sehari-hari, di dapurku ada lebih dari cukup.

Tapi hatiku keras, tak juga tergerak.


Apakah doaku semalam sia-sia?

Apakah Tuhan menerima doaku?

Sedang aku lalai pada suara dunia,

Sibuk menghitung pahala,

Tapi lupa ada surga di tangan yang memberi.


Tapi mungkin Tuhan lebih suka aku berdiri,

Membagi nasi, daripada duduk terlalu lama bersendirian,

Tunduk sembari khusyuk dalam butiran tasbih,

Memuja Sang Ilahi Rabbi yang Maha Pemberi Rezeki,

Berharap akan ada pahala besar menghampiri.


Orang-orang di jalan banyak juga yang tertunduk,

Bukan karena berdzikir,

Tapi lapar yang tertahan beberapa hari.

Dan aku kadang terlalu sibuk mencari pahala,

Hingga aku lupa, pahala juga datang dari rasa peduli.


Penulis: Nurul Fadilah
 

05 Agustus 2025

Cita-cita yang Menjejak Arah


Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com-

Wahai engkau yang menatap dari jauh, melampaui batas mimpi dan rasa letih,

di setiap detak jantungmu, semesta pun tahu ada doa yang tak pernah kau lupakan.

Di setiap sujudmu, ada harap yang tak pernah padam,

ada langkah-langkah kecil yang diam-diam menulis sejarahmu sendiri.


Engkau berdiri di tepi jalan panjang,

dengan ransel penuh andai, luka, dan asa.

Kau tahu, angin tak selalu sejuk, matahari tak selalu bersahabat,

tetapi kau harus tetap berjalan,

karena di ujung sana, ada masa depan yang menunggumu

dengan senyum malu-malu di balik tirai waktu.


Jangan takut pada gelap, karena sebuah bintang lahir dari sana.

Jangan khawatir pada pendapatanmu yang kecil,

karena hal yang besar lahir dari hal yang kecil.

Jangan gentar pada kegagalan,

karena di retaknya mimpi, kaulah yang menemukan celah

untuk lahir kembali lebih tabah, lebih paham, lebih kuat.


Penulis: Salsabella Rizki

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.