HEADLINE

Latest Post
Loading...

30 April 2025

Sirkus Taman Safari

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- 

Dibawah gelapnya langit malam

Diatas panggung yang megah

Dengan sorot lampu yang bersinar

Pertunjukan yang indah dimulai

Sorak sorai penonton yang bertepuk tangan

Menyaksikan sebuah penampilan sirkus

Sirkus ini bukan sekadar hiburan,

Tapi panggung cerita penuh keajaiban.

Namun di balik tepuk tangan yang ramai,

Ada suara sunyi dari balik jeruji damai.

Apakah mereka bahagia di tengah sorak?

Ataukah hanya diam dalam topeng gemerlap?

Sirkus Taman Safari, kini kau terkenal,

Namun bisakah viralmu tetap bermoral?

Tertawa boleh, kagum pun pantas,

Asal tetap ingat hati yang bebas.


Karya: Syamsiah (Rilis)

29 April 2025

Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Mahasiswa: Tantangan yang Perlu Dihadapi Bersama

Foto: Pixabay
www.lpmalkalam.com- Di tengah tekanan akademik yang semakin meningkat, banyak mahasiswa yang menghadapi masalah kesehatan mental yang serius. Tuntutan untuk berprestasi, memenuhi harapan keluarga, serta menjalani kehidupan sosial yang dinamis, sering kali menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. Meskipun masalah ini semakin dibicarakan, kenyataannya banyak mahasiswa yang masih enggan mengungkapkan perasaan mereka dan lebih memilih untuk menahan masalah tersebut, karena takut dihakimi atau dianggap lemah. Akibatnya, masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa kerap kali terabaikan dan tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.

Stres akademik adalah salah satu pemicu utama dari masalah kesehatan mental yang dialami mahasiswa. Beban tugas yang terus menumpuk, ujian yang datang silih berganti, dan ekspektasi tinggi yang datang dari keluarga sering kali membuat mahasiswa merasa tertekan. Selain itu, banyak di antara mereka yang belum memiliki keterampilan untuk mengatur waktu dan mengelola tekanan, yang menjadikan mereka lebih rentan terhadap stres. Tak jarang, tekanan akademik ini berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti kecemasan dan depresi. Ketidakpastian mengenai masa depan, rasa tidak cukup baik, dan perasaan terjebak dalam rutinitas yang membebani dapat memperburuk kondisi tersebut.

Selain stres akademik, mahasiswa juga menghadapi tantangan sosial yang besar. Menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus yang baru, jauh dari keluarga, serta beradaptasi dengan teman-teman dan lingkungan sosial yang berbeda bisa memicu perasaan kesepian dan isolasi emosional. Di tengah keramaian kampus, beberapa mahasiswa merasa terpinggirkan dan sulit membangun hubungan sosial yang mendalam. Perasaan kesepian ini menjadi salah satu faktor pemicu masalah kesehatan mental, yang sering kali tidak terungkap karena mahasiswa cenderung menyembunyikan perasaan mereka.

Bahkan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, stigma terhadap masalah ini masih sangat kuat. Banyak mahasiswa yang enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau tidak mampu menghadapi masalah mereka sendiri. Layanan konseling yang tersedia di banyak kampus pun sering kali tidak dimanfaatkan secara maksimal, meskipun sudah ada upaya dari pihak universitas untuk menyediakan fasilitas tersebut. Stigma ini menciptakan tembok tebal antara mahasiswa dan bantuan yang mereka butuhkan.

Namun, solusi untuk krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa tidaklah mustahil. Kampus harus menjadi tempat yang mendukung dan aman bagi mahasiswa untuk membicarakan masalah kesehatan mental mereka. Pertama, kampus perlu lebih aktif dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Mengadakan seminar, workshop, atau kegiatan lain yang mengedukasi mahasiswa tentang cara mengelola stres dan kecemasan bisa membantu mengurangi stigma serta memberikan informasi yang berguna untuk mereka yang merasa tertekan. Selain itu, layanan konseling yang ada perlu diperkuat agar lebih mudah diakses dan digunakan tanpa rasa takut dinilai negatif.

Lebih jauh lagi, kampus perlu menciptakan budaya yang mendukung, di mana mahasiswa merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah kesehatan mental mereka. Mahasiswa harus merasa bahwa mereka tidak akan dihukum atau dipandang rendah hanya karena mengakui adanya masalah psikologis. Dalam hal ini, penting untuk membangun hubungan yang lebih manusiawi dan empatik di dalam lingkungan kampus. Program-program yang melibatkan teman-teman sebaya, di mana mereka bisa saling mendukung dan memberikan perhatian terhadap kondisi kesehatan mental satu sama lain, juga bisa sangat efektif.

Selain itu, integrasi pendidikan tentang kesehatan mental dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi langkah preventif yang sangat penting. Mengajarkan mahasiswa tentang pentingnya keseimbangan antara kehidupan akademik dan pribadi, serta cara-cara untuk mengelola stres secara sehat, dapat mengurangi dampak negatif dari tekanan yang mereka hadapi.

Krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa adalah masalah yang perlu ditangani bersama. Semua pihak dosen, teman-teman, dan pihak kampus-harus saling bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih peduli dan mendukung kesehatan mental. Hanya dengan menciptakan ruang yang aman dan terbuka, mahasiswa dapat merasa didengar dan mendapat dukungan yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan kesehatan mental mereka. Dengan begitu, mereka dapat lebih fokus pada perkembangan pribadi dan akademik mereka, serta menghadapi masa depan dengan lebih percaya diri dan sehat secara mental.


Sumber: Rilis

Editor: Redaksi

Berantas Secara Sistematis Kasus Pelecehan Seksual

Foto: Pixabay

www.lpmalkalam.com- Pelecehan seksual ialah tindakan yang tidak diinginkan oleh seseorang yang mengarah kepada seksual baik itu secara verbal, fisik, dan non-verbal. Segala bentuk tindakan yang mengganggu orang lain dan membuatnya tidak nyaman (dalam ranah seksual) maka itu sudah disebut sebagai pelecehan. Hal ini menjadi ancaman besar bagi negara dalam memberikan kenyamanan dan keamanan bagi masyarakatnya. Pelecehan tidak hanya terjadi pada perempuan tapi juga dapat terjadi pada laki-laki. Saat ini, masyarakat banyak yang tidak menghiraukan, mengolok-olok, bahkan menertawakan laki-laki yang melaporkan tindakan yang tidak mengenakan tersebut.

Meskipun begitu, korban pelecehan seksual banyak terjadi pada perempuan. Hal dibuktikan pada data UN Women yaitu, 1 dari 3 wanita dan Komnas Perempuan melaporkan 70% perempuan pernah merasakan pelecehan seksual ketika berada dilingkungan sekitar. Tidak hanya diluar, pelecehan bahkan kekerasan seksual dapat terjadi didalam rumah oleh anggota keluarga. Salah satu faktor terjadinya pelecehan seksual dalam keluarga disebabkan budaya patriarki. Patriarki adalah sebutan sosial masyarakat yang merujuk pada laki-laki yang lebih dominan dalam mengambil sebuah keputusan dan mengambil alih peran kekuasaan. Pada umumnya laki-laki memang memiliki kewibawaan dalam memimpin, namun terkadang keegoisan dalam memimpin membuatnya ingin mengambil sebuah keputusan tanpa pertimbangan orang lain bahkan memandang rendah pendapat orang lain terutama perempuan.

Sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pelecehan kerap terjadi pada perempuan. Karena laki-laki menganggap wanita adalah makhluk yang lemah dan dapat diperintah sehingga mudah bagi laki-laki dalam menuntut, membujuk dengan rayuan, hingga memaksa korban untuk melakukan aksinya tersebut. Jika dulu aksi seperti ini hanya dilakukan oleh orang dewasa, saat ini berbanding terbalik. Dalam sebuah kasus menyatakan bahwa ada seorang anak SMP yang mencabuli anak SD. Hal ini menunjukan pentingnya edukasi kepada anak-anak akan hal tersebut. Orang tua dan guru bahkan pemerintah harusnya memberikan sebuah upaya dalam memberitahukan organ tubuh apa saja yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Dibawah bimbingan orang tua dan guru seharusnya anak juga diberi pemahaman bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan juga mempunyai batas dalam bergaul.

Di Indonesia justru korban pelecehan seksual dianggap sebagai pelaku utama dalam hal ini. Kejadian ini biasanya disebut dengan victim blaming, yaitu sikap yang menyalahkan, menyudutkan, serta menganggap korban yang harus bertanggung jawab dalam hal ini. Salah satu contohnya ialah, perempuan yang disalahkan karena memakai baju yang terbuka. Padahal data menunjukan pada tahun 2018, yang mengenakan lengan Panjang (15,82%) baju longgar (13,80%), hijab pendek dan sedang (13,20%), hijab Panjang (3,68%), bahkan berhijab dan bercadar (0,17%) menurut survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA). Melalui data ini jelas bahwa korban tetaplah korban dan bukan tersangka atas kasus ini. Tapi tidak dapat dipungkiri di Indonesia yang menjadikan faktor pelecehan, ada dalam satu paket menyudutkan korbannya. Padahal korban saat itu perlu untuk dilindungi, ditemani, dan didengarkan karena trauma yang dialaminya, bukan malah disudutkan. Perlindungan pada korban juga sudah ada dalam UU No.13 tahun 2006 mengenai perlindungan saksi dan korban. Tapi anehnya mengapa korban terkadang mendapatkan perlakuan tidak mengenakan bahkan diberi labeling orang tidak benar. Bukankah korban tetaplah korban seperti pada kalimat di atas.

Dari faktor-faktor pemicu pelecehan seksual yang dipaparkan di atas maka solusi yang ditawarkan ialah mengenai kesadaran masyarakat umum dan wewenang pemerintah dalam menangani permasalahan tersebut. Perlunya efek jera bagi pelaku pelecehan seksual yang menimbulkan akibat enggan berbuat hal demian pada waktu yang akan datang. Hal ini juga mampu mendorong orang lain untuk tidak melakukannya karena takut terhadap konsekuensi yang didapatkannya. Masyarakat juga harusnya terus melindungi korban bukan justru memaksa korban untuk mengungkit dan menambah trauma yang dialami. Pelecehan seksual bukan terjadi karena pakaian yang digunakan korban. Oleh karenanya perlu diberantas secara sistematis.


Sumber: Ririndayanti Harahap

Editor: Redaksi

Maraknya Aksi Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Mahasiswa adalah kelompok usia muda yang berada di persimpangan kehidupan,mereka tengah membangun jati diri, mengejar pendidikan tinggi, dan menyiapkan masa depan di tengah dunia yang semakin kompetitif dan penuh ketidakpastian. Namun di balik semangat dan ambisi itu, terdapat tekanan besar yang sering kali luput dari perhatian. Beban akademik yang berat, persaingan ketat, tuntutan ekonomi, ekspektasi keluarga, dan tantangan personal lainnya menjadi kombinasi tekanan yang, jika tidak dikelola dengan baik, dapat berujung fatal.

Tekanan akademik menjadi salah satu penyebab dominan. Sistem pendidikan tinggi sering kali terlalu menekankan pada capaian akademik, IPK tinggi, dan kelulusan cepat, tanpa memberikan perhatian cukup terhadap kesejahteraan psikologis mahasiswa. Tugas yang menumpuk, deadline yang ketat, serta ketakutan akan kegagalan menciptakan lingkungan yang tidak ramah terhadap kesehatan mental. Mahasiswa yang mengalami kesulitan sering kali merasa malu untuk mengakui ketidakmampuannya, takut akan stigma negatif, dan akhirnya memilih memendam sendiri hingga stres menumpuk menjadi depresi berat.Tidak hanya itu, masalah finansial juga menjadi tekanan berat yang kerap diabaikan. Biaya pendidikan yang tinggi, biaya hidup sehari-hari, dan beban hutang kuliah membuat banyak mahasiswa harus bekerja sambilan, yang justru menguras tenaga dan pikiran mereka. Ketidakstabilan ekonomi ini menambah beban mental, apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu yang menaruh harapan besar di pundak mereka.

Aspek sosial juga tak bisa dilepaskan. Era media sosial menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis. Melihat teman-teman sebaya yang tampak "sukses" di dunia maya sering kali membuat mahasiswa merasa kurang dan gagal. Kurangnya koneksi sosial yang otentik, kesepian, serta minimnya ruang aman untuk berbagi membuat banyak mahasiswa merasa terasing di tengah keramaian.Bunuh diri bukan terjadi karena satu faktor tunggal; ia adalah hasil dari akumulasi tekanan yang bertubi-tubi tanpa adanya saluran sehat untuk melepaskan dan mengelola stres. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan pun harus bersifat holistik: dari pencegahan, edukasi, hingga intervensi nyata.

Mahasiswa adalah harapan masa depan bangsa. Setiap nyawa yang hilang adalah kehilangan besar bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi negara. Sudah saatnya kita semua berhenti menutup mata dan telinga. Kita harus menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi kesehatan mental, tempat di mana mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menjadi "sukses", tetapi juga didukung untuk menjadi sehat, utuh, dan bahagia.

Karena sejatinya, masa depan yang cerah tidak dibangun di atas deretan angka IPK semata, tetapi di atas jiwa-jiwa yang kuat, sehat, dan penuh semangat hidup.


Sumber: Rilis


Trend Velocity: Ketika Mahasiswa Tak Lagi Punya Waktu untuk Merenung

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Di era percepatan informasi dan perubahan sosial yang sangat cepat, banyak dari kalangan mahasiswa kini dihadapkan pada fenomena yang disebut trend velocity—dimana kecepatan pergantian tren dan arus informasi yang menuntut adaptasi konstan.

Kondisi ini bukan hanya mengubah gaya hidup dan cara berpikir mahasiswa, tetapi juga berdampak serius terhadap hilangnya salah satu unsur fundamental dalam pembentukan identitas diri: waktu untuk merenung.

Di dalam dinamika perkuliahan modern, mahasiswa didorong untuk menjadi individu yang serba bisa baik didalam berprestasi akademik, aktif berorganisasi, terampil dalam dunia digital, dan eksis di media sosial. Tekanan sosial ini menuntut hasil dan usaha yang  berkelanjutan dimana mahasiswa memberikan respons cepat terhadap perubahan. Akibatnya, aktivitas merenung yang dahulu menjadi ruang bagi mahasiswa untuk berpikir kritis, mengevaluasi diri, dan merancang masa depan, kini tergeser oleh tuntutan untuk terus bergerak dan mengikuti perkembangan zaman.

Kehadiran media sosial memperparah situasi ini. Siklus tren yang berputar dalam hitungan jam menciptakan ilusi bahwa nilai seseorang diukur dari seberapa cepat ia merespons perkembangan baru, bukan dari seberapa dalam ia memaknai hidupnya. Mahasiswa cenderung lebih fokus padai ruang publik ketimbang memahami diri di ruang privat. Dalam konteks ini, trend velocity secara tidak langsung membentuk generasi yang sibuk beradaptasi, namun miskin perenungan.

Padahal, berdasarkan teori perkembangan identitas (Marcia, 1966), fase eksplorasi diri dan pengambilan keputusan yang sadar merupakan tahapan krusial dalam membangun identitas dewasa yang stabil. Hilangnya waktu untuk merenung berpotensi menimbulkan krisis identitas, keputusan impulsif, burnout, bahkan alienasi eksistensial. Hal ini diperkuat oleh temuan berbagai studi kesehatan mental yang menunjukkan meningkatnya angka stres, depresi, dan kecemasan di kalangan mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir.

Menyadari urgensi persoalan ini, diperlukan upaya kolektif untuk merehabilitasi pentingnya refleksi dalam kehidupan akademik. Institusi pendidikan tinggi dapat berkontribusi melalui integrasi aktivitas reflektif dalam kurikulum, seperti jurnal, program mentorship berbasis diskusi mendalam, hingga pelatihan-pelatihan. Selain itu, perlu perubahan budaya dalam lingkungan mahasiswa: dari yang awalnya mahasiswa terlalu memuji dan  mengikuti semua trend yang ada di media sosial kinimenuju penghargaan atas proses berpikir yang mendalam dan terarah.

Akhirnya, dalam dunia yang terus mempercepat langkahnya, keberanian untuk berhenti, merenung, dan bertanya "Mengapa," menjadi bentuk perlawanan yang paling mendasar. Mahasiswa perlu menyadari bahwa refleksi bukanlah kemewahan atau kelemahan, melainkan kebutuhan esensial untuk hidup yang otentik dan bermakna, sangat penting bagi mahasiswa untuk tau kemana tujuan hidupnya kedepan karena hidup akan terus berputar sesuai dengan porosnya dan kamu tidak boleh hanya diam ditempat tanpa tau arah dan tujuan hidupmu.


Oleh: Qonita Sholihat

Editor: Redaksi

26 April 2025

Merokok = Gaul? Salah Kaprah yang Membunuh Generasi Muda

Sumber: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat. Menurut data yang tersedia, pada tahun 2025, 38,7% dari populasi diperkirakan akan diidentifikasi sebagai perokok Indonesia. Akibatnya, 38,7% individu berusia 15 tahun ke atas diklasifikasikan sebagai perokok. Selain itu, perlu dicatat bahwa sekitar 73,2% laki-laki Indonesia terlibat dalam merokok aktif. Oleh karena itu, Indonesia diakui sebagai negara yang menghadapi beban rokok yang signifikan, mengingat proporsi perokok perempuan mencapai 3,4%. Dengan statistik yang luar biasa ini, Indonesia memegang posisi tertinggi keempat di dunia, hanya tertinggal di belakang Nauru, Myanmar, dan Papua Nugini.

Pemanfaatan produk tembakau yang berlebihan di Indonesia menimbulkan dampak serius di seluruh dimensi kesehatan, ekonomi, dan sosial. Berkenaan dengan kesehatan, konsumsi rokok merupakan kontributor utama kematian dini, penyakit paru, kondisi kardiovaskular, dan berbagai bentuk kanker. Dari perspektif ekonomi, negara ini menghadapi beban keuangan yang signifikan yang disebabkan oleh pengeluaran yang terkait dengan pengobatan penyakit yang terjadi karena merokok dan mencapai triliunan rupiah. Sementara rumah tangga miskin semakin menemukan diri mereka terjebak dalam siklus kemiskinan karena pengeluaran untuk rokok melampaui pengeluaran untuk kebutuhan pokok. Pada tingkat sosial, normalisasi merokok, terutama di kalangan remaja, telah mengakibatkan munculnya generasi yang produktivitasnya menurun karena penyakit yang berhubungan dengan kesehatan.

Meningkatnya prevalensi perokok di Indonesia dibentuk oleh interaksi harga, pemasaran, pengaruh budaya, dan langkah-langkah peraturan. Keterjangkauan produk tembakau, yang berasal dari pajak cukai tembakau yang minimal, memfasilitasi akses bagi semua demografi, termasuk anak di bawah umur dan individu yang kurang beruntung secara ekonomi. Promosi tembakau yang kuat melalui media tradisional dan digital menimbulkan persepsi bahwa merokok merupakan pilihan gaya hidup yang biasa dan menarik, terutama di kalangan kaum muda. Faktor budaya juga menguatkan kebiasaan ini, di mana merokok sering dianggap sebagai bagian dari interaksi sosial di warung, tempat kerja, bahkan keluarga.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 113 hingga 116, berfungsi sebagai bukti tegas dedikasi pemerintah untuk mengatasi konsekuensi konsumsi rokok. Inisiatif strategis ini telah diperkuat lebih lanjut melalui Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, yang diidentifikasi sebagai Nomor 88/Menkes/PB/I/2011 dan Nomor 7 tahun 2011, yang secara eksplisit menggambarkan parameter Area Non-Smoking (KTR), yang mencakup lembaga pendidikan, area rekreasi anak-anak, serta fasilitas umum lainnya yang sering dikunjungi oleh individu, terutama anak di bawah umur.

Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengatur konsumsi rokok untuk menjaga kesehatan masyarakat, meringankan beban ekonomi, dan melindungi generasi muda. Pemerintah harus meningkatkan kerangka peraturan dengan memaksakan kenaikan pajak cukai rokok, melembagakan larangan komprehensif pada semua bentuk iklan rokok dan sponsor, dan memperluas ruang lingkup Kawasan Non-Rokok (KTR) dengan penegakan hukum yang rajin. Sektor kesehatan dan pendidikan harus secara proaktif terlibat dalam pendidikan publik, terutama yang menargetkan anak-anak dan remaja, mengenai bahaya yang terkait dengan penggunaan rokok melalui kampanye inovatif dan inisiatif pencegahan.

Sangat penting bahwa individu mengenali efek merugikan rokok, baik untuk diri mereka sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya, dan menganjurkan lingkungan bebas asap rokok. Bagi individu yang merokok, berhenti merokok dapat menghadirkan tantangan; Namun, dengan bantuan layanan konseling dan tekad yang tak tergoyahkan, perjalanan menuju perubahan dapat dimulai hari ini. Bersama, kita bisa menciptakan Indonesia yang lebih sehat dan produktif tanpa jeratan asap rokok!



Sumber: Rilis 

Editor: Redaksi

21 April 2025

Hari Kartini dan Api Perjuangan yang Tak Boleh Padam

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com- Tanggal 21 April dikenal sebagai Hari Kartini sebuah momen penting dalam sejarah Indonesia yang menandai lahirnya semangat perjuangan perempuan melalui sosok Raden Ajeng Kartini. Hari ini bukan hanya tentang mengenang, tapi juga tentang melanjutkan gagasan besar Kartini: kesetaraan, pendidikan, dan kebebasan berpikir bagi perempuan.

Kartini hidup di masa ketika perempuan dipinggirkan dari ruang publik dan dibatasi dalam banyak aspek kehidupan. Namun melalui surat-suratnya yang kini dikenal dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, ia mengungkapkan keresahannya sekaligus harapannya akan masa depan perempuan Indonesia. Pemikirannya melampaui zamannya, dan tetap relevan hingga hari ini.

Akun @magdaleneid pernah menuliskan, "Peringatan Hari Kartini semestinya tidak berhenti pada kebaya dan sanggul, tapi menjadi pengingat tentang perjuangan panjang menuju kesetaraan.” Kalimat ini menekankan bahwa penghormatan kepada Kartini seharusnya tidak sekadar simbolis, melainkan nyata dalam sikap dan tindakan kita sehari-hari.

Menurut jurnal Gender, Keadilan, dan Perempuan di Indonesia Kontemporer (Universitas Gadjah Mada, 2022), tantangan perempuan saat ini tidak hanya bersifat struktural seperti akses ke pendidikan dan kepemimpinan tetapi juga kultural, termasuk stereotip dan tekanan sosial yang membatasi potensi mereka.

Pada tanggal 21 April ini, mari kita semuabaik perempuan maupun laki-laki mengenang perjuangan Kartini sambil menyalakan kembali api perubahan. Karena sejatinya, setiap langkah kecil untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan adalah bentuk nyata dari perjuangan Kartini yang hidup dalam diri kita hari ini.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi


24 Maret 2025

Harga cabe melonjak tinggi, tanggapan presiden : jangan makan pedas dulu.

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Tingginya harga cabai yang melambung belakangan ini memang menjadi perhatian besar bagi banyak masyarakat. Dapat ditargetkan harga cabai saat ini bisa mencapai 88.450 per kg menurut data 2 dari yang lalu, hal tersebut terjadi karena  menjelangnya hari raya idul Fitri yang mengakibatkan melonjaknya harga pangan. Tidak hanya cabai, bahan pangan lainnya seperti beras, daging, juga mengalami kenaikan harga yang melonjak.

Cabai, sebagai bahan dapur yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, mendadak menjadi komoditas yang mahal dan sulit dijangkau oleh sebagian orang. Presiden yang menyarankan untuk "jangan makan pedas dulu" tentu menjadi perbincangan hangat.

Meskipun pernyataan tersebut bisa saja dimaksudkan untuk menyampaikan keprihatinan dan menyerukan agar masyarakat bisa lebih bijak dalam menghadapi lonjakan harga, namun bisa juga dianggap sebagai respons yang kurang sensitif terhadap kondisi banyak orang. Makanan pedas bagi sebagian orang bukan hanya soal selera, tetapi sudah menjadi bagian dari budaya dan tradisi makan. Saran semacam ini bisa terasa seperti mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar rakyat kecil juga merasakan dampak signifikan dari tingginya harga cabai ini, yang pada gilirannya bisa memperburuk daya beli mereka.

Lebih baik jika pemerintah dapat memberikan solusi yang lebih konkret, seperti pengawasan terhadap distribusi cabai, memperbaiki rantai pasokannya, atau bahkan membantu petani cabai agar produksinya bisa lebih stabil. Alih-alih hanya mengurangi konsumsi, pendekatan yang lebih holistik dan menyentuh akar masalah mungkin akan lebih efektif dan dihargai oleh masyarakat.

Dan sebaiknya pemerintah dapat membantu masyarakat dalam kesulitan pangan disaat menjelang idul Fitri agar kesulitan pangan di Indonesia saat ini bisa teratasi dengan baik.


Oleh: Nurul Fadila

Editor: Redaksi

22 Maret 2025

RUU TNI DISAHKAN: DEMOKRASI ATAU MONOLOG KEKUASAAN?

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh DPR RI menjadi babak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Namun, bukan babak yang membanggakan. Proses legislasi yang seharusnya menjadi ruang dialog justru berubah menjadi monolog kekuasaan. Suara rakyat yang lantang menolak, unjuk rasa yang digelar di berbagai daerah, serta petisi online yang ditandatangani puluhan ribu warga ternyata tidak cukup untuk menggoyahkan keputusan para wakil rakyat.

Pengesahan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah demokrasi kita masih hidup? Jika kedaulatan berada di tangan rakyat, mengapa kebijakan strategis justru diambil tanpa persetujuan mereka?

Militer di Jabatan Sipil, Pelanggaran Supremasi Sipil?

Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah diperbolehkannya prajurit aktif menduduki jabatan sipil di 14 kementerian/lembaga negara. Ini bukan sekadar perubahan teknis administratif, tetapi ancaman bagi prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi utama negara demokrasi. Jika militer semakin banyak berperan dalam urusan sipil, di mana batas antara militerisme dan demokrasi? 

Pentingnya Partisipasi Publik dalam Kebijakan Negara 

Demokrasi tidak boleh hanya menjadi slogan. Keputusan yang menyangkut kepentingan publik harus melibatkan publik. Namun, dengan disahkannya RUU ini, publik dipaksa menerima keputusan yang tidak merepresentasikan aspirasi mereka.

Tapi perjuangan tidak boleh berhenti di sini. Ada beberapa langkah yang masih bisa diambil: 

1. Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK): Masyarakat sipil dapat mengajukan judicial review untuk menguji kesesuaian UU ini dengan konstitusi. 

2. Edukasi Publik: Semakin banyak masyarakat sadar akan dampaknya, semakin kuat gerakan untuk melindungi demokrasi.

3. Pengawasan Implementasi: Meskipun sudah disahkan, penerapannya harus tetap diawasi agar tidak disalahgunakan. 

4. Kolaborasi dengan Organisasi Sipil: Menggalang kekuatan bersama untuk mengawal jalannya pemerintahan yang tetap berpihak pada rakyat.


Diam atau Bersikap?

Saat ini, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan diam dan menerima kenyataan bahwa suara kita hanya sekadar latar belakang dalam ruang keputusan negara? Atau, kita memilih untuk terus bersuara, memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan tidak berubah menjadi sekadar formalitas?

Demokrasi sejati tidak hanya tentang pemilu lima tahunan, tetapi tentang bagaimana suara rakyat terus diperhitungkan dalam setiap kebijakan negara. Mari kita pastikan bahwa suara kita bukan hanya gema di dinding kekuasaan, tetapi kekuatan yang menggerakkan perubahan.


Oleh: Ismi Saydina Lubis

Editor: Redaksi

14 Maret 2025

IPK 4.0, Karier 0.0: Kenapa Dunia Kerja Tak Peduli Nilai?

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com-  Lulus dengan predikat cumlaude dan IPK nyaris sempurna ternyata bukan jaminan kesuksesan di dunia kerja. Fenomena ini semakin nyata ketika banyak lulusan berprestasi justru mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan atau menghadapi stagnasi karier.

Dalam wawancara eksklusif dengan beberapa HRD dari perusahaan ternama, mereka mengungkapkan bahwa IPK tinggi bukan faktor utama dalam rekrutmen. Menurut mereka, keterampilan praktis, pengalaman kerja, dan soft skills jauh lebih berperan dalam menentukan kesuksesan seorang kandidat. Banyak lulusan dengan IPK tinggi terlalu fokus mengejar nilai sehingga melupakan aspek lain yang tak kalah penting. Mereka cenderung kurang pengalaman di dunia kerja, minim keterampilan komunikasi, serta tidak memiliki jaringan profesional yang kuat. Akibatnya, mereka kalah saing dengan kandidat lain yang lebih siap secara praktis.

“Sekarang dunia kerja tidak hanya menilai dari angka di transkrip. Jika seseorang punya banyak pengalaman magang, aktif di organisasi, atau pernah mengerjakan proyek nyata, dia punya peluang lebih besar dibanding yang hanya unggul di akademik,” tambah Andi, salah satu HRD di perusahaan multinasional.

Tren terbaru menunjukkan bahwa beberapa perusahaan besar mulai menghapus syarat IPK minimal dalam lowongan kerja mereka. Sebaliknya, mereka lebih menekankan pada portofolio, pengalaman kerja, serta hasil tes keterampilan yang lebih mencerminkan kemampuan nyata calon karyawan.

Sebagai contoh, Google dan beberapa perusahaan teknologi lainnya telah lama tidak lagi mempersyaratkan IPK dalam proses seleksi. Mereka lebih fokus pada kemampuan problem-solving dan pengalaman teknis pelamar. Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Harvard Business Review (2023), perusahaan kini lebih mengutamakan kompetensi nyata dibandingkan latar belakang akademik semata. Studi tersebut menemukan bahwa 67% perekrut lebih memilih kandidat dengan pengalaman kerja yang relevan daripada mereka yang hanya memiliki prestasi akademik tinggi.

Sementara itu, sebuah laporan dari World Economic Forum (2024) menyoroti bahwa keterampilan yang paling dicari saat ini meliputi problem-solving, komunikasi, dan kemampuan beradaptasi. Laporan tersebut juga mencatat bahwa gelar akademik dengan IPK tinggi hanya menjadi salah satu faktor kecil dalam proses seleksi kerja.

Di media sosial, fenomena ini juga ramai diperbincangkan. Akun LinkedIn @FutureOfWork menulis, “Pendidikan tinggi itu penting, tapi tanpa pengalaman dan keterampilan yang sesuai, gelar saja tidak akan membawa Anda jauh di dunia kerja.”

Meskipun memiliki IPK tinggi tetap menjadi nilai tambah, dunia kerja saat ini lebih menuntut keterampilan praktis, pengalaman, serta kemampuan beradaptasi. Lulusan disarankan untuk menyeimbangkan akademik dengan aktivitas lain seperti magang, organisasi, dan pengembangan soft skills agar lebih siap menghadapi persaingan di dunia profesional. Jika hanya mengandalkan IPK tinggi tanpa keterampilan yang relevan, bukan tidak mungkin lulusan terbaik sekalipun akan menghadapi realitas pahit: IPK 4.0, tapi karier 0.0.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

"No Viral, No Justice": Ketika Keadilan di Indonesia Bergantung pada Media Sosial

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- www.lpmalkalam.com- Fenomena "No Viral, No Justice" semakin marak di Indonesia, di mana masyarakat merasa bahwa keadilan hanya bisa didapat jika sebuah kasus mendapatkan perhatian luas di media sosial. Banyak kasus yang baru ditindaklanjuti setelah viral, memunculkan pertanyaan tentang efektivitas sistem hukum dan birokrasi di Tanah Air.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa tekanan publik melalui media sosial menjadi faktor utama dalam percepatan penanganan sebuah perkara. Salah satunya adalah kasus pelecehan terhadap seorang siswi di Malang yang awalnya diabaikan pihak sekolah dan kepolisian. Namun, setelah video korban menangis sambil menceritakan kejadian tersebut viral di TikTok, pihak berwenang segera mengambil tindakan dan pelaku akhirnya ditangkap.

Hal serupa terjadi dalam kasus jalan rusak di Lampung, yang selama bertahun-tahun dibiarkan tanpa perbaikan. Setelah seorang pemuda mengunggah video kondisi jalan yang penuh lubang, lengkap dengan kritik tajam terhadap pemerintah daerah, proyek perbaikan jalan segera dikerjakan dalam hitungan minggu. Fenomena ini mencerminkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum dan birokrasi di Indonesia. Banyak orang bertanya-tanya, mengapa suatu masalah harus viral dulu sebelum ditindaklanjuti? Bukankah hukum seharusnya berjalan tanpa perlu tekanan dari media sosial?

Menurut Dr. Arif Susanto, seorang pakar hukum dari Universitas Indonesia, fenomena ini terjadi karena beberapa faktor:

1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem hukum.

2. Minimnya respons cepat dari aparat penegak hukum terhadap laporan masyarakat.

3. Pengaruh media sosial yang semakin besar dalam membentuk opini publik dan tekanan politik.


Di satu sisi, "No Viral, No Justice" menjadi alat bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan yang mungkin sulit diperoleh melalui jalur resmi. Namun, ada juga dampak negatif yang perlu diperhatikan:

1. Trial by social media, di mana seseorang bisa dihakimi secara tidak adil hanya karena sebuah video atau unggahan viral.

2. Manipulasi opini publik, di mana pihak tertentu bisa memanfaatkan viralitas untuk menggiring narasi tertentu.

3. Overload informasi bagi penegak hukum, yang bisa menyebabkan mereka lebih fokus pada kasus viral dibanding kasus lain yang juga penting.

Agar keadilan tidak hanya bergantung pada media sosial, reformasi hukum dan birokrasi menjadi kunci utama. Pemerintah dan penegak hukum harus meningkatkan transparansi, mempercepat respons terhadap laporan masyarakat, serta memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang adil tanpa harus mencari perhatian media sosial terlebih dahulu.

Masyarakat pun perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial, memastikan bahwa informasi yang disebarkan benar dan tidak sekadar mencari sensasi. Fenomena "No Viral, No Justice" adalah cerminan dari permasalahan yang lebih besar dalam sistem hukum Indonesia.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

03 Maret 2025

Terungkap! Skandal BBM Oplosan, Apa Dampaknya bagi Kendaraan Anda?

 

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Belakangan ini, masyarakat dikejutkan dengan dugaan kasus pengoplosan BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax kini tengah menjadi sorotan publik. Dilansir dari Tempo.co, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan pengoplosan BBM oleh PT Pertamina Patra Niaga, di mana Pertalite (RON 90) dicampur dengan Pertamax (RON 92) dan dijual dengan harga lebih tinggi. Meskipun pihak Pertamina membantah tuduhan ini, kasus tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan konsumen.

Tak hanya itu, berbagai video di media sosial TikTok turut memperlihatkan keluhan para pengguna kendaraan yang merasa tertipu dengan kualitas BBM yang mereka beli di Pertamina. Kasus ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan di benak kita sebagai konsumen. Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi? Siapa yang bertanggung jawab? Dan yang paling penting, apa dampaknya bagi kendaraan yang kita gunakan sehari-hari?

Keuntungan Sesaat, Kerugian Jangka Panjang

Selisih harga yang cukup signifikan antara Pertalite dan Pertamax seolah menjadi celah bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan dengan cara yang tidak jujur. Dengan mencampurkan kedua jenis BBM ini, mereka menjualnya seolah-olah tetap memiliki kualitas tinggi. Padahal, yang menjadi korban adalah kita, para pengguna kendaraan yang mengandalkan BBM berkualitas untuk menjaga performa mesin.

Bayangkan jika kita sudah membayar harga mahal untuk Pertamax, tetapi ternyata yang kita dapatkan adalah BBM oplosan dengan kualitas di bawah standar. Mesin kendaraan yang seharusnya bekerja optimal malah bisa rusak lebih cepat. Injektor kotor, pembakaran tidak sempurna, bahkan dalam jangka panjang bisa merusak komponen mesin. Bukankah ini justru membuat kita mengeluarkan biaya lebih besar untuk perbaikan?

Kepercayaan Publik yang Mulai Pudar

Skandal seperti ini tentu saja mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap distribusi BBM di Indonesia. Jika di SPBU resmi saja ada potensi pengoplosan, bagaimana kita bisa yakin bahwa BBM yang kita beli benar-benar sesuai standar? Apakah ada jaminan bahwa kasus ini tidak akan terulang?

Sebagai konsumen, wajar jika kita mulai mempertanyakan transparansi dan sistem pengawasan terhadap BBM yang beredar di pasaran. Kita ingin kepastian bahwa apa yang kita beli memang sesuai dengan harga dan kualitas yang dijanjikan.

Saatnya Tindakan Nyata!

Kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Pemerintah dan Pertamina harus mengambil langkah tegas untuk menindak para pelaku dan memastikan pengawasan yang lebih ketat. Tidak cukup hanya dengan investigasi, tetapi juga harus ada perbaikan sistem agar kejadian serupa tidak terus berulang.

Selain itu, kita sebagai masyarakat juga harus lebih kritis dan waspada. Jika merasakan ada yang berbeda pada BBM yang kita gunakan, jangan ragu untuk melaporkannya. Ini bukan hanya tentang uang yang kita keluarkan, tetapi juga tentang keamanan dan keadilan bagi seluruh pengguna BBM di Indonesia.

Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kejujuran dalam distribusi energi adalah hal yang mutlak. Jangan sampai demi keuntungan sesaat, masyarakat yang menjadi korban dalam jangka panjang.


Oleh: Meutia Rahma

Editor: Redaksi

01 Maret 2025

Sempat Viral!!! Omzet Ratusan Juta dari Usaha Cicak Kering?

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Menjadi pengusaha sukses dan kaya raya adalah impian kebanyakan orang. Usaha yang dikelola pun memiliki ragam bentuknya. Tentunya semua usaha tersebut memiliki manfaat sehingga banyak peminatnya.

Namun, bagaimana rasanya ketika mendengar seseorang bisa menghasilkan omzet ratusan juta dengan hal yang kita anggap sepele? Benarkah usaha tersebut hanya karena cicak? Berikut penjelasannya.

Sempat viral di tahun 2022, warga Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon meraup pundi-pundi rupiah dari hasil mengekspor cicak kering ke China. Ya cicak, hewan yang sering kita jumpai di Indonesia. Seringkali kita merasa jengkel akan keberadaannya karena meninggalkan kotoran dimana-mana. Namun, masih jengkelkah seseorang ketika mendengar ada yang menjadi jutawan karena cicak?

Dilansir dari laman news.detik.com, usaha cicak kering tersebut milik Sugandi, yang dijual seharga Rp 380 ribu per Kilogram untuk cicak kering dalam keadaan utuh, sedangkan untuk cicak yang kehilangan ekornya dijual dengan harga Rp. 280 ribu perkilogram. Usaha itu sudah dirintis selama lebih kurang 15 tahun dengan mempekerjakan ibu-ibu di lingkungan sekitar.

Cicak-cicak tersebut diperoleh dari sejumlah daerah seperti Cirebon, Indramayu, hingga Karawang yang dibeli seharga Rp.52 ribu per kilogram. Cicak yang dibeli dari pengepul tersebut disebut cicak basah, yang masih harus dicuci agar tidak ada kotoran. Kemudian cicak tersebut dijemur setengah kering, lalu dimasukkan oven.

Dalam sehari, Sugandi mampu memproduksi cicak kering hingga 40 kilogram. Adapun, dalam sebulan, Sugandi bisa menghasilkan hingga 1 ton cicak kering. Pengiriman baru dilakukan setelah persediaan cicak kering telah mencapai satu kontainer.

Dari Sugandi kita dapat belajar bahwa Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam, namun masih banyak yang tidak dikelola dengan baik atau tidak diketahui manfaatnya. Bahkan, hal yang kita anggap remeh, ternyata cukup berguna di negara lain, seperti China.


Oleh: Tiara Khalisna

Editor: Redaksi

"Menghina Tanpa Ilmu: Saat Literasi Menjadi Barang Mewah"

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Kutipan "Negara ini perlu literasi, bahkan untuk menghina pun kalian tidak terdidik" mengandung kritik tajam terhadap rendahnya tingkat literasi dan cara berkomunikasi di masyarakat.

Pesan ini tidak hanya menyoroti kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup literasi kritis, yaitu kemampuan untuk berpikir logis, menganalisis informasi, dan menyampaikan pendapat dengan cara yang cerdas dan terukur.

Pernyataan ini bisa dilihat sebagai sindiran terhadap fenomena di mana banyak orang melontarkan kritik atau penghinaan tanpa landasan pengetahuan yang kuat. Di era digital seperti sekarang, mudah sekali menemukan komentar-komentar kasar di media sosial yang tidak dilandasi argumen rasional, melainkan sekadar emosi atau ikut-ikutan arus. Hal ini menunjukkan kurangnya kemampuan dalam memilah informasi dan kurangnya etika dalam berkomunikasi.

Pernyataan ini juga bisa dimaknai sebagai sindiran terhadap perilaku sebagian masyarakat atau elit yang mungkin lebih sering melontarkan opini tanpa dasar yang kuat. Literasi, dalam hal ini, tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan memahami konteks, menganalisis informasi, dan mengartikulasikan pendapat secara logis dan bermartabat.

Apabila dikaitkan dengan kondisi Indonesia, di mana arus informasi sangat deras terutama di media sosial, literasi menjadi tameng untuk menyaring informasi yang valid dan menghindari disinformasi. Tanpa literasi yang memadai, masyarakat rentan terjebak dalam polarisasi, propaganda, dan ujaran kebencian yang tidak produktif.

Lebih jauh lagi, Rocky Gerung tampaknya ingin mengajak masyarakat untuk meningkatkan kualitas literasi agar setiap pendapat yang disampaikan bukan hanya bersifat ofensif tetapi juga konstruktif. Dalam politik, pendidikan, maupun kehidupan sehari-hari, literasi yang baik memungkinkan seseorang untuk berdebat secara sehat, mengkritik dengan cerdas, dan berdiskusi tanpa harus menjatuhkan martabat orang lain.

Pada akhirnya, kutipan ini menjadi tamparan keras bagi siapa saja yang masih terjebak dalam pola komunikasi negatif. Literasi bukan hanya soal kemampuan teknis membaca dan menulis, tetapi juga soal membangun kualitas berpikir dan berkomunikasi yang lebih bermartabat.


Oleh: Nurul Fadilah

Editor: Redaksi

28 Februari 2025

Persiapan Ramadhan di Berbagai Tradisi: Keberagaman dalam Menyambut Bulan Suci

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Ramadhan adalah bulan yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Sebagai bulan penuh berkah dan ampunan, berbagai persiapan dilakukan untuk menyambutnya, mulai dari aspek spiritual hingga sosial. Di Indonesia, keberagaman budaya melahirkan berbagai tradisi unik yang dilakukan menjelang Ramadhan. Tradisi-tradisi ini tidak hanya memperkaya budaya, tetapi juga memperkuat nilai kebersamaan dan spiritualitas.

Meugang di Aceh: Menyambut Ramadhan dengan Berbagi Daging

Di Aceh, masyarakat memiliki tradisi Meugang, yaitu menyembelih hewan ternak seperti sapi atau kambing beberapa hari sebelum Ramadan. Daging yang telah dimasak kemudian dinikmati bersama keluarga dan dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Meugang melambangkan kebersamaan dan kepedulian sosial, menjadikannya momen untuk berbagi rezeki sebelum menjalankan ibadah puasa.

Nyadran di Jawa: Ziarah dan Doa untuk Leluhur

Di Jawa, tradisi Nyadran menjadi bagian dari persiapan menyambut Ramadan. Kegiatan ini melibatkan ziarah ke makam leluhur, membersihkan makam, serta menggelar doa bersama. Nyadran bukan hanya bentuk penghormatan kepada leluhur, tetapi juga sebagai ajang silaturahmi antar keluarga besar. Tradisi ini mengajarkan pentingnya refleksi diri dan kesiapan spiritual sebelum menjalani ibadah Ramadan.

Punggahan di Sumatra Utara: Makan Bersama Sebelum Berpuasa

Masyarakat Sumatra Utara memiliki tradisi Punggahan, yaitu makan bersama keluarga atau komunitas sebelum memasuki Ramadhan. Punggahan menjadi momen untuk mempererat tali persaudaraan, meminta maaf, serta mempersiapkan diri secara spiritual. Acara ini biasanya diiringi dengan doa bersama dan pengajian sebagai bentuk persiapan menghadapi bulan penuh ibadah.

Mandi Balimau di Sumatra Barat: Penyucian Diri Sebelum Ramadan

Di Sumatra Barat, tradisi Mandi Balimau dilakukan sebagai simbol penyucian diri sebelum memasuki Ramadhan. Tradisi ini dilakukan dengan mandi di sungai atau sumber air yang dianggap suci, menggunakan air yang dicampur dengan jeruk nipis atau limau. Mandi Balimau mengandung makna spiritual bahwa manusia harus membersihkan diri, baik secara fisik maupun batin, sebelum memasuki bulan suci Ramadan.

Dugderan di Semarang: Perayaan Menyambut Ramadan di Semarang 

Tradisi Dugderan menandai dimulainya Ramadan dengan cara yang meriah. Tradisi ini melibatkan arak-arakan, pertunjukan seni, serta tabuhan bedug yang mengiringi pengumuman awal puasa. Dugderan bukan hanya sekadar festival, tetapi juga simbol kegembiraan masyarakat dalam menyambut bulan suci.

Berbagai Makna yang Sama di Balik Keberagaman Tradisi menyambut Bulan Suci Ramadhan. Meskipun setiap daerah memiliki cara berbeda dalam menyambut Ramadan, semuanya memiliki makna yang sama: persiapan spiritual, mempererat silaturahmi, dan meningkatkan kepedulian sosial. Tradisi-tradisi ini mengajarkan pentingnya berbagi, refleksi diri, dan kesiapan dalam menjalani ibadah dengan hati yang bersih.

Menurut Ahmad dari warga Sumatera Utara “sebelum Ramadhan dimulai, semua tradisi disini melakukan membawa makanan (punggahan) ke masjid beserta berdoa bersama,  berziarah, mandi pangir bertujuan menyucikan diri sebelum memasuki bulan suci ramadhan.”
Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini mengalami adaptasi, tetapi esensinya tetap dijaga. Ramadhan bukan sekadar ibadah puasa, tetapi juga momen untuk memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan ketakwaan. Keberagaman cara menyambut Ramadhan di Indonesia menunjukkan betapa kaya budaya dan tradisi yang dimiliki bangsa ini, sekaligus mengajarkan bahwa kebersamaan dan kepedulian adalah inti dari setiap persiapan menyambut bulan suci.

Oleh: Aprilia Fira Purnama
Editor: Redaksi

Kebersamaan Murid Kelas 5 SDLB Kota Binjai: Punggahan di Kelas Sambut Ramadhan

Foto: Aprilia Fira Purnama
www.lpmalkalam.com- Ramadhan adalah bulan suci yang dinanti-nantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Bagi murid kelas 5 Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Kota Binjai, menyambut bulan Ramadan bukan hanya sekadar menantikan ibadah puasa, tetapi juga merayakan kebersamaan melalui tradisi Punggahan. Kegiatan ini memiliki makna mendalam untuk lingkungan yang penuh dukungan dan kehangatan.

Punggahan adalah tradisi khas masyarakat Sumatra Utara yang dilakukan menjelang Ramadan sebagai bentuk rasa syukur dan kebersamaan. Di SDLB Kota Binjai, kegiatan ini diselenggarakan di dalam kelas untuk menciptakan suasana yang lebih akrab dan nyaman bagi para murid. Meskipun sederhana, momen ini memiliki nilai yang sangat besar bagi perkembangan sosial dan emosional mereka.

Para murid dan Orang Tua serta Wali Kelas dengan antusias mengikuti berbagai rangkaian kegiatan, mulai dari doa bersama, mendengarkan cerita islami, hingga menikmati hidangan khas yang disiapkan oleh orang tua. Makan bersama di dalam kelas bukan hanya sekadar menikmati makanan, tetapi juga menjadi ajang mempererat hubungan silahturahmi dan kebersamaan.

Salah satu orang tua siswa "Kegiatan ini bukan hanya tentang makan bersama, tetapi juga tentang mengajarkan makna Ramadhan kepada anak-anak, terutama pentingnya berbagi dan mempersiapkan hati untuk ibadah.”
Tradisi Punggahan yang dilakukan di SDLB Kota Binjai mengajarkan banyak nilai positif yakni, Mempererat Kebersamaan, Mempersiapkan Diri Secara spiritual agar menjadi bekal bagi mereka untuk memahami makna Ramadhan secara lebih mendalam Meskipun dilakukan di kelas, tradisi ini tetap memperkenalkan kearifan lokal yang perlu dijaga dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Kegiatan seperti Punggahan di SDLB Kota Binjai menunjukkan bahwa Ramadhan adalah momen untuk merangkul semua kalangan, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan adanya pendekatan yang lebih terbuka, mereka dapat merasakan kegembiraan yang sama seperti anak-anak lainnya dalam menyambut bulan suci. Inisiatif orang tua untuk mengadakan kegiatan ini patut diapresiasi, karena memberikan pengalaman berharga yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan semangat mereka dalam menjalani ibadah Ramadhan.

Tradisi seperti Punggahan bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga sebuah bentuk kepedulian sosial yang mengajarkan kita semua tentang arti kebersamaan dan berbagi. Dengan semangat kebersamaan dan rasa syukur, semoga Ramadhan tahun ini menjadi lebih bermakna bagi semua, terutama bagi murid kelas 5 SDLB Kota Binjai yang telah merayakan Punggahan dengan penuh kebahagiaan dan keberkahan.

Oleh: Aprilia Fira Purnama

Editor: Redaksi

 

Pacaran Demi Gengsi, Putus Lalu Depresi? Budaya Toxic yang Dibiarkan

www.lpmalkalam.com- Di era media sosial, hubungan asmara tak lagi sekadar urusan pribadi, tetapi juga bagian dari citra sosial. Banyak orang merasa memiliki pacar adalah standar keberhasilan dalam kehidupan, seakan tanpa pasangan mereka dianggap kurang menarik atau "tidak laku." Namun, ketika hubungan berakhir, tak sedikit yang mengalami kesedihan berlarut-larut, bahkan depresi.

Fenomena ini semakin marak terjadi di kalangan anak muda. Mereka menjalani hubungan bukan karena kesiapan emosional, tetapi demi gengsi atau tekanan sosial. Akibatnya, ketika hubungan berakhir, mereka tidak siap menghadapinya, hingga mengalami tekanan psikologis yang serius. Seorang mahasiswi berusia 20 tahun, Rina (bukan nama sebenarnya), mengaku pernah merasa tertekan untuk memiliki pacar karena lingkungannya menganggap hal itu sebagai keharusan.

"Teman-teman sering bertanya kenapa saya masih jomblo. Lama-lama saya merasa aneh sendiri dan akhirnya pacaran hanya karena takut dikira tidak normal," ujarnya. Namun, ketika hubungannya berakhir, ia justru mengalami stres berat. "Saya merasa gagal dan kehilangan jati diri. Saya sampai sulit fokus belajar karena terlalu sedih," tambahnya.

Tekanan semacam ini juga diperparah oleh media sosial yang dipenuhi dengan unggahan pasangan yang terlihat bahagia. Banyak orang merasa harus memiliki hubungan serupa agar dianggap berhasil dalam hidup, padahal kenyataannya tidak semua hubungan seindah yang ditampilkan di dunia maya.

Menurut Dr. Andini Prasetya, seorang psikolog klinis, tekanan sosial untuk memiliki pasangan dapat berdampak serius pada kesehatan mental.

"Banyak anak muda yang menggantungkan kebahagiaan mereka pada hubungan asmara. Ketika hubungan itu berakhir, mereka merasa kehilangan segalanya, yang kemudian bisa memicu stres, kecemasan, bahkan depresi," jelasnya.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa putus cinta dapat memicu respons serupa dengan kehilangan orang terdekat. Namun, bagi mereka yang pacaran hanya demi status sosial, dampaknya bisa lebih berat karena mereka kehilangan bukan hanya pasangan, tetapi juga citra sosial yang sudah mereka bangun.

Budaya pacaran demi gengsi ini perlu dikritisi agar tidak terus berlanjut. Pakar hubungan menekankan bahwa pacaran seharusnya didasarkan pada kesiapan emosional, bukan karena tekanan sosial atau sekadar mengikuti tren. "Yang perlu ditanamkan adalah bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari memiliki pasangan. Fokus pada pengembangan diri jauh lebih penting daripada sekadar mengejar validasi sosial," tambah Dr. Andini. 

Jika fenomena ini terus dibiarkan, generasi muda bisa semakin terjebak dalam siklus hubungan yang tidak sehat, di mana pacaran dijalani demi memenuhi ekspektasi orang lain, bukan karena kesiapan dan perasaan yang tulus.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

Melatih Anak Berpuasa: Pendidikan Karakter atau Kekejaman?


www.lpmalkalam.com- Setiap Ramadan, banyak orang tua mulai melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Bagi sebagian besar masyarakat, ini dianggap sebagai bagian dari pendidikan karakter dan pembiasaan ibadah. Namun, di era modern, muncul suara-suara yang mengkritik praktik ini, bahkan ada yang menganggapnya sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.

Dalam tradisi Islam, mengajarkan anak berpuasa bukan sekadar ibadah, tetapi juga latihan disiplin, kesabaran, dan empati terhadap orang yang kurang beruntung. Banyak orang tua memulainya secara bertahap, misalnya dengan puasa setengah hari atau hanya beberapa jam. Tujuannya bukan untuk menyiksa, melainkan untuk mengenalkan konsep pengendalian diri sejak dini.

Bahkan, dalam ilmu psikologi, membentuk kebiasaan positif sejak kecil sangat penting. Anak yang diajarkan puasa dengan pendekatan yang tepat dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih sabar, disiplin, dan memiliki empati tinggi.

Dr. Rina Sari, seorang psikolog anak, menjelaskan bahwa melatih anak berpuasa bisa berdampak positif jika dilakukan dengan cara yang bijak. “Anak-anak perlu diberi pemahaman bahwa puasa bukan soal menahan lapar semata, tetapi juga belajar mengelola emosi dan memahami arti kesabaran,” ujarnya.

Di era modern yang semakin peduli terhadap hak-hak anak, sebagian orang menilai bahwa melatih anak berpuasa bisa berdampak negatif, terutama jika dilakukan dengan cara yang memaksa. Ada kekhawatiran bahwa anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan tidak cukup kuat untuk menahan lapar seharian, yang bisa berujung pada dehidrasi atau malnutrisi.

Namun, anggapan bahwa puasa bisa menghambat perkembangan anak sebenarnya masih perlu dikaji lebih dalam. Jika dilakukan dengan cara yang fleksibel, misalnya memperbolehkan anak berbuka ketika sudah tidak kuat, risiko negatif ini bisa diminimalkan. Lagi pula, sejak dulu, banyak anak telah diajarkan berpuasa dan tetap tumbuh sehat.

Masalahnya, kritik terhadap praktik ini sering kali datang dari sudut pandang yang cenderung overprotektif. Mengajarkan anak menghadapi tantangan kecil dalam hidup, termasuk berpuasa, justru bisa menjadi bekal penting bagi mereka untuk belajar menghadapi kesulitan di masa depan.

Melatih anak berpuasa bukanlah tindakan kekejaman, selama dilakukan dengan pendekatan yang benar dan memperhatikan kesiapan fisik anak. Justru, ini bisa menjadi bagian dari pendidikan karakter yang berharga mengajarkan mereka tentang disiplin, pengendalian diri, dan empati.

Namun, penting bagi orang tua untuk tetap fleksibel. Jika anak belum siap atau mengalami kondisi yang tidak memungkinkan, maka tidak ada salahnya memberi keringanan. Intinya, puasa harus menjadi pengalaman yang positif, bukan paksaan yang membuat anak trauma.

Alih-alih memperdebatkan apakah melatih anak berpuasa itu baik atau buruk, lebih penting bagi kita untuk memahami bahwa setiap anak berbeda. Tugas orang tua bukan memaksa, tetapi membimbing mereka dengan cara yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi 

Elite Berpesta, Rakyat Membayar: Utang Negara atau Perampokan Terselubung?

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Utang negara Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, mencapai ribuan triliun rupiah. Pemerintah beralasan bahwa utang diperlukan untuk membiayai pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi. Namun, di sisi lain, rakyat mulai merasakan dampak dari tingginya utang tersebut, terutama melalui kenaikan pajak, pengurangan subsidi, dan inflasi yang menggerus daya beli masyarakat.

Menurut laporan terbaru dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Publik, per 2024, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia telah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Dr. Andi Pratama, ekonom senior, menyoroti bahwa beban utang ini pada akhirnya ditanggung oleh rakyat. “Ketika utang negara bertambah, pemerintah harus mencari sumber pendanaan untuk membayarnya, yang sering kali berujung pada kebijakan fiskal yang memberatkan masyarakat, seperti kenaikan pajak dan pemangkasan subsidi,” ujarnya.

Pemerintah berargumen bahwa utang negara digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pada akhirnya akan menguntungkan rakyat. Namun, banyak pihak menilai bahwa pengelolaan utang belum sepenuhnya transparan dan efektif. Beberapa proyek besar dinilai lebih menguntungkan kelompok tertentu daripada memberikan manfaat langsung kepada masyarakat luas.

Sementara itu, rakyat kecil yang tidak menikmati langsung hasil pembangunan justru ikut menanggung dampaknya. Harga kebutuhan pokok naik, biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal, sementara pendapatan tidak mengalami peningkatan yang sebanding.

Menurut Dr. Andi, solusi utama adalah memastikan bahwa utang digunakan secara produktif dan tidak hanya sekadar menambah beban fiskal negara. “Jika utang hanya digunakan untuk proyek yang tidak berdampak luas bagi masyarakat, maka rakyat akan terus menjadi korban kebijakan ekonomi yang tidak berpihak,” tambahnya.

Para pengamat ekonomi dan masyarakat sipil menuntut adanya transparansi dalam pengelolaan utang negara. Mereka mendesak pemerintah untuk lebih terbuka dalam merinci penggunaan utang dan memastikan bahwa setiap rupiah yang dipinjam benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.

Jika pengelolaan utang tidak segera dibenahi, beban ekonomi yang ditanggung rakyat akan semakin berat.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

Negara Berkuasa, Rakyat Berkorban: Keadilan atau Penindasan?

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Dalam idealisme negara, pemerintah seharusnya hadir untuk melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Namun, realitas yang terjadi justru berbanding terbalik—rakyat terus diminta menopang negara melalui pajak, iuran, dan berbagai pengorbanan sosial lainnya. Sementara itu, hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan semakin sulit diakses, seolah-olah hanya menjadi hak bagi segelintir golongan tertentu.

Sebuah kajian dari Pusat Kajian Kebijakan Publik Indonesia mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir, anggaran negara lebih banyak dialokasikan untuk proyek infrastruktur dan pembayaran utang, sementara sektor pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial justru mengalami pemangkasan.

Di sisi lain, pembangunan infrastruktur yang seharusnya membawa manfaat luas sering kali lebih menguntungkan segelintir elite dibanding rakyat kebanyakan. Proyek-proyek besar terus digalakkan dengan dalih pertumbuhan ekonomi, tetapi siapa yang sebenarnya menikmati hasilnya? Rakyat kecil tetap kesulitan mengakses layanan dasar, sementara segelintir pihak menikmati keuntungan besar dari berbagai kebijakan pemerintah.

Bantuan sosial yang terbatas dan sulit diakses semakin memperlebar jurang ketimpangan. Subsidi energi dan kebutuhan pokok terus dikurangi, harga-harga meroket, tetapi pendapatan rakyat stagnan. Sementara itu, korupsi dan kebocoran anggaran masih menjadi momok yang seolah tak tersentuh hukum. Jika negara terus menuntut dari rakyat tanpa memberikan kesejahteraan yang layak, maka konsep "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" hanya akan menjadi slogan kosong yang terpampang di konstitusi tanpa realisasi.

Negara tidak boleh hanya berperan sebagai pemungut pajak yang menuntut kontribusi rakyat tanpa imbal balik yang setimpal. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan fiskal atau elite tertentu. Jika tidak, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan semakin menipis, dan ketimpangan sosial akan terus melebar. Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah apakah negara benar-benar hadir untuk rakyat, atau justru menjadikan rakyat sebagai beban yang harus terus berkorban?


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnaslis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0831 6327 5415 (Pimpinan Umum) 0895 1601 7818 (Pimpinan Redaksi) 082268042697 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.