HEADLINE

Latest Post
Loading...

22 March 2025

RUU TNI DISAHKAN: DEMOKRASI ATAU MONOLOG KEKUASAAN?

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh DPR RI menjadi babak baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Namun, bukan babak yang membanggakan. Proses legislasi yang seharusnya menjadi ruang dialog justru berubah menjadi monolog kekuasaan. Suara rakyat yang lantang menolak, unjuk rasa yang digelar di berbagai daerah, serta petisi online yang ditandatangani puluhan ribu warga ternyata tidak cukup untuk menggoyahkan keputusan para wakil rakyat.

Pengesahan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah demokrasi kita masih hidup? Jika kedaulatan berada di tangan rakyat, mengapa kebijakan strategis justru diambil tanpa persetujuan mereka?

Militer di Jabatan Sipil, Pelanggaran Supremasi Sipil?

Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah diperbolehkannya prajurit aktif menduduki jabatan sipil di 14 kementerian/lembaga negara. Ini bukan sekadar perubahan teknis administratif, tetapi ancaman bagi prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi utama negara demokrasi. Jika militer semakin banyak berperan dalam urusan sipil, di mana batas antara militerisme dan demokrasi? 

Pentingnya Partisipasi Publik dalam Kebijakan Negara 

Demokrasi tidak boleh hanya menjadi slogan. Keputusan yang menyangkut kepentingan publik harus melibatkan publik. Namun, dengan disahkannya RUU ini, publik dipaksa menerima keputusan yang tidak merepresentasikan aspirasi mereka.

Tapi perjuangan tidak boleh berhenti di sini. Ada beberapa langkah yang masih bisa diambil: 

1. Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK): Masyarakat sipil dapat mengajukan judicial review untuk menguji kesesuaian UU ini dengan konstitusi. 

2. Edukasi Publik: Semakin banyak masyarakat sadar akan dampaknya, semakin kuat gerakan untuk melindungi demokrasi.

3. Pengawasan Implementasi: Meskipun sudah disahkan, penerapannya harus tetap diawasi agar tidak disalahgunakan. 

4. Kolaborasi dengan Organisasi Sipil: Menggalang kekuatan bersama untuk mengawal jalannya pemerintahan yang tetap berpihak pada rakyat.


Diam atau Bersikap?

Saat ini, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan diam dan menerima kenyataan bahwa suara kita hanya sekadar latar belakang dalam ruang keputusan negara? Atau, kita memilih untuk terus bersuara, memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan tidak berubah menjadi sekadar formalitas?

Demokrasi sejati tidak hanya tentang pemilu lima tahunan, tetapi tentang bagaimana suara rakyat terus diperhitungkan dalam setiap kebijakan negara. Mari kita pastikan bahwa suara kita bukan hanya gema di dinding kekuasaan, tetapi kekuatan yang menggerakkan perubahan.


Oleh: Ismi Saydina Lubis

Editor: Redaksi

14 March 2025

IPK 4.0, Karier 0.0: Kenapa Dunia Kerja Tak Peduli Nilai?

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com-  Lulus dengan predikat cumlaude dan IPK nyaris sempurna ternyata bukan jaminan kesuksesan di dunia kerja. Fenomena ini semakin nyata ketika banyak lulusan berprestasi justru mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan atau menghadapi stagnasi karier.

Dalam wawancara eksklusif dengan beberapa HRD dari perusahaan ternama, mereka mengungkapkan bahwa IPK tinggi bukan faktor utama dalam rekrutmen. Menurut mereka, keterampilan praktis, pengalaman kerja, dan soft skills jauh lebih berperan dalam menentukan kesuksesan seorang kandidat. Banyak lulusan dengan IPK tinggi terlalu fokus mengejar nilai sehingga melupakan aspek lain yang tak kalah penting. Mereka cenderung kurang pengalaman di dunia kerja, minim keterampilan komunikasi, serta tidak memiliki jaringan profesional yang kuat. Akibatnya, mereka kalah saing dengan kandidat lain yang lebih siap secara praktis.

“Sekarang dunia kerja tidak hanya menilai dari angka di transkrip. Jika seseorang punya banyak pengalaman magang, aktif di organisasi, atau pernah mengerjakan proyek nyata, dia punya peluang lebih besar dibanding yang hanya unggul di akademik,” tambah Andi, salah satu HRD di perusahaan multinasional.

Tren terbaru menunjukkan bahwa beberapa perusahaan besar mulai menghapus syarat IPK minimal dalam lowongan kerja mereka. Sebaliknya, mereka lebih menekankan pada portofolio, pengalaman kerja, serta hasil tes keterampilan yang lebih mencerminkan kemampuan nyata calon karyawan.

Sebagai contoh, Google dan beberapa perusahaan teknologi lainnya telah lama tidak lagi mempersyaratkan IPK dalam proses seleksi. Mereka lebih fokus pada kemampuan problem-solving dan pengalaman teknis pelamar. Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Harvard Business Review (2023), perusahaan kini lebih mengutamakan kompetensi nyata dibandingkan latar belakang akademik semata. Studi tersebut menemukan bahwa 67% perekrut lebih memilih kandidat dengan pengalaman kerja yang relevan daripada mereka yang hanya memiliki prestasi akademik tinggi.

Sementara itu, sebuah laporan dari World Economic Forum (2024) menyoroti bahwa keterampilan yang paling dicari saat ini meliputi problem-solving, komunikasi, dan kemampuan beradaptasi. Laporan tersebut juga mencatat bahwa gelar akademik dengan IPK tinggi hanya menjadi salah satu faktor kecil dalam proses seleksi kerja.

Di media sosial, fenomena ini juga ramai diperbincangkan. Akun LinkedIn @FutureOfWork menulis, “Pendidikan tinggi itu penting, tapi tanpa pengalaman dan keterampilan yang sesuai, gelar saja tidak akan membawa Anda jauh di dunia kerja.”

Meskipun memiliki IPK tinggi tetap menjadi nilai tambah, dunia kerja saat ini lebih menuntut keterampilan praktis, pengalaman, serta kemampuan beradaptasi. Lulusan disarankan untuk menyeimbangkan akademik dengan aktivitas lain seperti magang, organisasi, dan pengembangan soft skills agar lebih siap menghadapi persaingan di dunia profesional. Jika hanya mengandalkan IPK tinggi tanpa keterampilan yang relevan, bukan tidak mungkin lulusan terbaik sekalipun akan menghadapi realitas pahit: IPK 4.0, tapi karier 0.0.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

"No Viral, No Justice": Ketika Keadilan di Indonesia Bergantung pada Media Sosial

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- www.lpmalkalam.com- Fenomena "No Viral, No Justice" semakin marak di Indonesia, di mana masyarakat merasa bahwa keadilan hanya bisa didapat jika sebuah kasus mendapatkan perhatian luas di media sosial. Banyak kasus yang baru ditindaklanjuti setelah viral, memunculkan pertanyaan tentang efektivitas sistem hukum dan birokrasi di Tanah Air.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa tekanan publik melalui media sosial menjadi faktor utama dalam percepatan penanganan sebuah perkara. Salah satunya adalah kasus pelecehan terhadap seorang siswi di Malang yang awalnya diabaikan pihak sekolah dan kepolisian. Namun, setelah video korban menangis sambil menceritakan kejadian tersebut viral di TikTok, pihak berwenang segera mengambil tindakan dan pelaku akhirnya ditangkap.

Hal serupa terjadi dalam kasus jalan rusak di Lampung, yang selama bertahun-tahun dibiarkan tanpa perbaikan. Setelah seorang pemuda mengunggah video kondisi jalan yang penuh lubang, lengkap dengan kritik tajam terhadap pemerintah daerah, proyek perbaikan jalan segera dikerjakan dalam hitungan minggu. Fenomena ini mencerminkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum dan birokrasi di Indonesia. Banyak orang bertanya-tanya, mengapa suatu masalah harus viral dulu sebelum ditindaklanjuti? Bukankah hukum seharusnya berjalan tanpa perlu tekanan dari media sosial?

Menurut Dr. Arif Susanto, seorang pakar hukum dari Universitas Indonesia, fenomena ini terjadi karena beberapa faktor:

1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem hukum.

2. Minimnya respons cepat dari aparat penegak hukum terhadap laporan masyarakat.

3. Pengaruh media sosial yang semakin besar dalam membentuk opini publik dan tekanan politik.


Di satu sisi, "No Viral, No Justice" menjadi alat bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan yang mungkin sulit diperoleh melalui jalur resmi. Namun, ada juga dampak negatif yang perlu diperhatikan:

1. Trial by social media, di mana seseorang bisa dihakimi secara tidak adil hanya karena sebuah video atau unggahan viral.

2. Manipulasi opini publik, di mana pihak tertentu bisa memanfaatkan viralitas untuk menggiring narasi tertentu.

3. Overload informasi bagi penegak hukum, yang bisa menyebabkan mereka lebih fokus pada kasus viral dibanding kasus lain yang juga penting.

Agar keadilan tidak hanya bergantung pada media sosial, reformasi hukum dan birokrasi menjadi kunci utama. Pemerintah dan penegak hukum harus meningkatkan transparansi, mempercepat respons terhadap laporan masyarakat, serta memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang adil tanpa harus mencari perhatian media sosial terlebih dahulu.

Masyarakat pun perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial, memastikan bahwa informasi yang disebarkan benar dan tidak sekadar mencari sensasi. Fenomena "No Viral, No Justice" adalah cerminan dari permasalahan yang lebih besar dalam sistem hukum Indonesia.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

03 March 2025

Terungkap! Skandal BBM Oplosan, Apa Dampaknya bagi Kendaraan Anda?

 

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Belakangan ini, masyarakat dikejutkan dengan dugaan kasus pengoplosan BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax kini tengah menjadi sorotan publik. Dilansir dari Tempo.co, Kejaksaan Agung mengungkap dugaan pengoplosan BBM oleh PT Pertamina Patra Niaga, di mana Pertalite (RON 90) dicampur dengan Pertamax (RON 92) dan dijual dengan harga lebih tinggi. Meskipun pihak Pertamina membantah tuduhan ini, kasus tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan konsumen.

Tak hanya itu, berbagai video di media sosial TikTok turut memperlihatkan keluhan para pengguna kendaraan yang merasa tertipu dengan kualitas BBM yang mereka beli di Pertamina. Kasus ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan di benak kita sebagai konsumen. Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi? Siapa yang bertanggung jawab? Dan yang paling penting, apa dampaknya bagi kendaraan yang kita gunakan sehari-hari?

Keuntungan Sesaat, Kerugian Jangka Panjang

Selisih harga yang cukup signifikan antara Pertalite dan Pertamax seolah menjadi celah bagi pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan dengan cara yang tidak jujur. Dengan mencampurkan kedua jenis BBM ini, mereka menjualnya seolah-olah tetap memiliki kualitas tinggi. Padahal, yang menjadi korban adalah kita, para pengguna kendaraan yang mengandalkan BBM berkualitas untuk menjaga performa mesin.

Bayangkan jika kita sudah membayar harga mahal untuk Pertamax, tetapi ternyata yang kita dapatkan adalah BBM oplosan dengan kualitas di bawah standar. Mesin kendaraan yang seharusnya bekerja optimal malah bisa rusak lebih cepat. Injektor kotor, pembakaran tidak sempurna, bahkan dalam jangka panjang bisa merusak komponen mesin. Bukankah ini justru membuat kita mengeluarkan biaya lebih besar untuk perbaikan?

Kepercayaan Publik yang Mulai Pudar

Skandal seperti ini tentu saja mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap distribusi BBM di Indonesia. Jika di SPBU resmi saja ada potensi pengoplosan, bagaimana kita bisa yakin bahwa BBM yang kita beli benar-benar sesuai standar? Apakah ada jaminan bahwa kasus ini tidak akan terulang?

Sebagai konsumen, wajar jika kita mulai mempertanyakan transparansi dan sistem pengawasan terhadap BBM yang beredar di pasaran. Kita ingin kepastian bahwa apa yang kita beli memang sesuai dengan harga dan kualitas yang dijanjikan.

Saatnya Tindakan Nyata!

Kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Pemerintah dan Pertamina harus mengambil langkah tegas untuk menindak para pelaku dan memastikan pengawasan yang lebih ketat. Tidak cukup hanya dengan investigasi, tetapi juga harus ada perbaikan sistem agar kejadian serupa tidak terus berulang.

Selain itu, kita sebagai masyarakat juga harus lebih kritis dan waspada. Jika merasakan ada yang berbeda pada BBM yang kita gunakan, jangan ragu untuk melaporkannya. Ini bukan hanya tentang uang yang kita keluarkan, tetapi juga tentang keamanan dan keadilan bagi seluruh pengguna BBM di Indonesia.

Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kejujuran dalam distribusi energi adalah hal yang mutlak. Jangan sampai demi keuntungan sesaat, masyarakat yang menjadi korban dalam jangka panjang.


Oleh: Meutia Rahma

Editor: Redaksi

01 March 2025

Sempat Viral!!! Omzet Ratusan Juta dari Usaha Cicak Kering?

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Menjadi pengusaha sukses dan kaya raya adalah impian kebanyakan orang. Usaha yang dikelola pun memiliki ragam bentuknya. Tentunya semua usaha tersebut memiliki manfaat sehingga banyak peminatnya.

Namun, bagaimana rasanya ketika mendengar seseorang bisa menghasilkan omzet ratusan juta dengan hal yang kita anggap sepele? Benarkah usaha tersebut hanya karena cicak? Berikut penjelasannya.

Sempat viral di tahun 2022, warga Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon meraup pundi-pundi rupiah dari hasil mengekspor cicak kering ke China. Ya cicak, hewan yang sering kita jumpai di Indonesia. Seringkali kita merasa jengkel akan keberadaannya karena meninggalkan kotoran dimana-mana. Namun, masih jengkelkah seseorang ketika mendengar ada yang menjadi jutawan karena cicak?

Dilansir dari laman news.detik.com, usaha cicak kering tersebut milik Sugandi, yang dijual seharga Rp 380 ribu per Kilogram untuk cicak kering dalam keadaan utuh, sedangkan untuk cicak yang kehilangan ekornya dijual dengan harga Rp. 280 ribu perkilogram. Usaha itu sudah dirintis selama lebih kurang 15 tahun dengan mempekerjakan ibu-ibu di lingkungan sekitar.

Cicak-cicak tersebut diperoleh dari sejumlah daerah seperti Cirebon, Indramayu, hingga Karawang yang dibeli seharga Rp.52 ribu per kilogram. Cicak yang dibeli dari pengepul tersebut disebut cicak basah, yang masih harus dicuci agar tidak ada kotoran. Kemudian cicak tersebut dijemur setengah kering, lalu dimasukkan oven.

Dalam sehari, Sugandi mampu memproduksi cicak kering hingga 40 kilogram. Adapun, dalam sebulan, Sugandi bisa menghasilkan hingga 1 ton cicak kering. Pengiriman baru dilakukan setelah persediaan cicak kering telah mencapai satu kontainer.

Dari Sugandi kita dapat belajar bahwa Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam, namun masih banyak yang tidak dikelola dengan baik atau tidak diketahui manfaatnya. Bahkan, hal yang kita anggap remeh, ternyata cukup berguna di negara lain, seperti China.


Oleh: Tiara Khalisna

Editor: Redaksi

"Menghina Tanpa Ilmu: Saat Literasi Menjadi Barang Mewah"

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Kutipan "Negara ini perlu literasi, bahkan untuk menghina pun kalian tidak terdidik" mengandung kritik tajam terhadap rendahnya tingkat literasi dan cara berkomunikasi di masyarakat.

Pesan ini tidak hanya menyoroti kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup literasi kritis, yaitu kemampuan untuk berpikir logis, menganalisis informasi, dan menyampaikan pendapat dengan cara yang cerdas dan terukur.

Pernyataan ini bisa dilihat sebagai sindiran terhadap fenomena di mana banyak orang melontarkan kritik atau penghinaan tanpa landasan pengetahuan yang kuat. Di era digital seperti sekarang, mudah sekali menemukan komentar-komentar kasar di media sosial yang tidak dilandasi argumen rasional, melainkan sekadar emosi atau ikut-ikutan arus. Hal ini menunjukkan kurangnya kemampuan dalam memilah informasi dan kurangnya etika dalam berkomunikasi.

Pernyataan ini juga bisa dimaknai sebagai sindiran terhadap perilaku sebagian masyarakat atau elit yang mungkin lebih sering melontarkan opini tanpa dasar yang kuat. Literasi, dalam hal ini, tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan memahami konteks, menganalisis informasi, dan mengartikulasikan pendapat secara logis dan bermartabat.

Apabila dikaitkan dengan kondisi Indonesia, di mana arus informasi sangat deras terutama di media sosial, literasi menjadi tameng untuk menyaring informasi yang valid dan menghindari disinformasi. Tanpa literasi yang memadai, masyarakat rentan terjebak dalam polarisasi, propaganda, dan ujaran kebencian yang tidak produktif.

Lebih jauh lagi, Rocky Gerung tampaknya ingin mengajak masyarakat untuk meningkatkan kualitas literasi agar setiap pendapat yang disampaikan bukan hanya bersifat ofensif tetapi juga konstruktif. Dalam politik, pendidikan, maupun kehidupan sehari-hari, literasi yang baik memungkinkan seseorang untuk berdebat secara sehat, mengkritik dengan cerdas, dan berdiskusi tanpa harus menjatuhkan martabat orang lain.

Pada akhirnya, kutipan ini menjadi tamparan keras bagi siapa saja yang masih terjebak dalam pola komunikasi negatif. Literasi bukan hanya soal kemampuan teknis membaca dan menulis, tetapi juga soal membangun kualitas berpikir dan berkomunikasi yang lebih bermartabat.


Oleh: Nurul Fadilah

Editor: Redaksi

28 February 2025

Persiapan Ramadhan di Berbagai Tradisi: Keberagaman dalam Menyambut Bulan Suci

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Ramadhan adalah bulan yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Sebagai bulan penuh berkah dan ampunan, berbagai persiapan dilakukan untuk menyambutnya, mulai dari aspek spiritual hingga sosial. Di Indonesia, keberagaman budaya melahirkan berbagai tradisi unik yang dilakukan menjelang Ramadhan. Tradisi-tradisi ini tidak hanya memperkaya budaya, tetapi juga memperkuat nilai kebersamaan dan spiritualitas.

Meugang di Aceh: Menyambut Ramadhan dengan Berbagi Daging

Di Aceh, masyarakat memiliki tradisi Meugang, yaitu menyembelih hewan ternak seperti sapi atau kambing beberapa hari sebelum Ramadan. Daging yang telah dimasak kemudian dinikmati bersama keluarga dan dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Meugang melambangkan kebersamaan dan kepedulian sosial, menjadikannya momen untuk berbagi rezeki sebelum menjalankan ibadah puasa.

Nyadran di Jawa: Ziarah dan Doa untuk Leluhur

Di Jawa, tradisi Nyadran menjadi bagian dari persiapan menyambut Ramadan. Kegiatan ini melibatkan ziarah ke makam leluhur, membersihkan makam, serta menggelar doa bersama. Nyadran bukan hanya bentuk penghormatan kepada leluhur, tetapi juga sebagai ajang silaturahmi antar keluarga besar. Tradisi ini mengajarkan pentingnya refleksi diri dan kesiapan spiritual sebelum menjalani ibadah Ramadan.

Punggahan di Sumatra Utara: Makan Bersama Sebelum Berpuasa

Masyarakat Sumatra Utara memiliki tradisi Punggahan, yaitu makan bersama keluarga atau komunitas sebelum memasuki Ramadhan. Punggahan menjadi momen untuk mempererat tali persaudaraan, meminta maaf, serta mempersiapkan diri secara spiritual. Acara ini biasanya diiringi dengan doa bersama dan pengajian sebagai bentuk persiapan menghadapi bulan penuh ibadah.

Mandi Balimau di Sumatra Barat: Penyucian Diri Sebelum Ramadan

Di Sumatra Barat, tradisi Mandi Balimau dilakukan sebagai simbol penyucian diri sebelum memasuki Ramadhan. Tradisi ini dilakukan dengan mandi di sungai atau sumber air yang dianggap suci, menggunakan air yang dicampur dengan jeruk nipis atau limau. Mandi Balimau mengandung makna spiritual bahwa manusia harus membersihkan diri, baik secara fisik maupun batin, sebelum memasuki bulan suci Ramadan.

Dugderan di Semarang: Perayaan Menyambut Ramadan di Semarang 

Tradisi Dugderan menandai dimulainya Ramadan dengan cara yang meriah. Tradisi ini melibatkan arak-arakan, pertunjukan seni, serta tabuhan bedug yang mengiringi pengumuman awal puasa. Dugderan bukan hanya sekadar festival, tetapi juga simbol kegembiraan masyarakat dalam menyambut bulan suci.

Berbagai Makna yang Sama di Balik Keberagaman Tradisi menyambut Bulan Suci Ramadhan. Meskipun setiap daerah memiliki cara berbeda dalam menyambut Ramadan, semuanya memiliki makna yang sama: persiapan spiritual, mempererat silaturahmi, dan meningkatkan kepedulian sosial. Tradisi-tradisi ini mengajarkan pentingnya berbagi, refleksi diri, dan kesiapan dalam menjalani ibadah dengan hati yang bersih.

Menurut Ahmad dari warga Sumatera Utara “sebelum Ramadhan dimulai, semua tradisi disini melakukan membawa makanan (punggahan) ke masjid beserta berdoa bersama,  berziarah, mandi pangir bertujuan menyucikan diri sebelum memasuki bulan suci ramadhan.”
Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini mengalami adaptasi, tetapi esensinya tetap dijaga. Ramadhan bukan sekadar ibadah puasa, tetapi juga momen untuk memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan ketakwaan. Keberagaman cara menyambut Ramadhan di Indonesia menunjukkan betapa kaya budaya dan tradisi yang dimiliki bangsa ini, sekaligus mengajarkan bahwa kebersamaan dan kepedulian adalah inti dari setiap persiapan menyambut bulan suci.

Oleh: Aprilia Fira Purnama
Editor: Redaksi

Kebersamaan Murid Kelas 5 SDLB Kota Binjai: Punggahan di Kelas Sambut Ramadhan

Foto: Aprilia Fira Purnama
www.lpmalkalam.com- Ramadhan adalah bulan suci yang dinanti-nantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Bagi murid kelas 5 Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Kota Binjai, menyambut bulan Ramadan bukan hanya sekadar menantikan ibadah puasa, tetapi juga merayakan kebersamaan melalui tradisi Punggahan. Kegiatan ini memiliki makna mendalam untuk lingkungan yang penuh dukungan dan kehangatan.

Punggahan adalah tradisi khas masyarakat Sumatra Utara yang dilakukan menjelang Ramadan sebagai bentuk rasa syukur dan kebersamaan. Di SDLB Kota Binjai, kegiatan ini diselenggarakan di dalam kelas untuk menciptakan suasana yang lebih akrab dan nyaman bagi para murid. Meskipun sederhana, momen ini memiliki nilai yang sangat besar bagi perkembangan sosial dan emosional mereka.

Para murid dan Orang Tua serta Wali Kelas dengan antusias mengikuti berbagai rangkaian kegiatan, mulai dari doa bersama, mendengarkan cerita islami, hingga menikmati hidangan khas yang disiapkan oleh orang tua. Makan bersama di dalam kelas bukan hanya sekadar menikmati makanan, tetapi juga menjadi ajang mempererat hubungan silahturahmi dan kebersamaan.

Salah satu orang tua siswa "Kegiatan ini bukan hanya tentang makan bersama, tetapi juga tentang mengajarkan makna Ramadhan kepada anak-anak, terutama pentingnya berbagi dan mempersiapkan hati untuk ibadah.”
Tradisi Punggahan yang dilakukan di SDLB Kota Binjai mengajarkan banyak nilai positif yakni, Mempererat Kebersamaan, Mempersiapkan Diri Secara spiritual agar menjadi bekal bagi mereka untuk memahami makna Ramadhan secara lebih mendalam Meskipun dilakukan di kelas, tradisi ini tetap memperkenalkan kearifan lokal yang perlu dijaga dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Kegiatan seperti Punggahan di SDLB Kota Binjai menunjukkan bahwa Ramadhan adalah momen untuk merangkul semua kalangan, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan adanya pendekatan yang lebih terbuka, mereka dapat merasakan kegembiraan yang sama seperti anak-anak lainnya dalam menyambut bulan suci. Inisiatif orang tua untuk mengadakan kegiatan ini patut diapresiasi, karena memberikan pengalaman berharga yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan semangat mereka dalam menjalani ibadah Ramadhan.

Tradisi seperti Punggahan bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga sebuah bentuk kepedulian sosial yang mengajarkan kita semua tentang arti kebersamaan dan berbagi. Dengan semangat kebersamaan dan rasa syukur, semoga Ramadhan tahun ini menjadi lebih bermakna bagi semua, terutama bagi murid kelas 5 SDLB Kota Binjai yang telah merayakan Punggahan dengan penuh kebahagiaan dan keberkahan.

Oleh: Aprilia Fira Purnama

Editor: Redaksi

 

Pacaran Demi Gengsi, Putus Lalu Depresi? Budaya Toxic yang Dibiarkan

www.lpmalkalam.com- Di era media sosial, hubungan asmara tak lagi sekadar urusan pribadi, tetapi juga bagian dari citra sosial. Banyak orang merasa memiliki pacar adalah standar keberhasilan dalam kehidupan, seakan tanpa pasangan mereka dianggap kurang menarik atau "tidak laku." Namun, ketika hubungan berakhir, tak sedikit yang mengalami kesedihan berlarut-larut, bahkan depresi.

Fenomena ini semakin marak terjadi di kalangan anak muda. Mereka menjalani hubungan bukan karena kesiapan emosional, tetapi demi gengsi atau tekanan sosial. Akibatnya, ketika hubungan berakhir, mereka tidak siap menghadapinya, hingga mengalami tekanan psikologis yang serius. Seorang mahasiswi berusia 20 tahun, Rina (bukan nama sebenarnya), mengaku pernah merasa tertekan untuk memiliki pacar karena lingkungannya menganggap hal itu sebagai keharusan.

"Teman-teman sering bertanya kenapa saya masih jomblo. Lama-lama saya merasa aneh sendiri dan akhirnya pacaran hanya karena takut dikira tidak normal," ujarnya. Namun, ketika hubungannya berakhir, ia justru mengalami stres berat. "Saya merasa gagal dan kehilangan jati diri. Saya sampai sulit fokus belajar karena terlalu sedih," tambahnya.

Tekanan semacam ini juga diperparah oleh media sosial yang dipenuhi dengan unggahan pasangan yang terlihat bahagia. Banyak orang merasa harus memiliki hubungan serupa agar dianggap berhasil dalam hidup, padahal kenyataannya tidak semua hubungan seindah yang ditampilkan di dunia maya.

Menurut Dr. Andini Prasetya, seorang psikolog klinis, tekanan sosial untuk memiliki pasangan dapat berdampak serius pada kesehatan mental.

"Banyak anak muda yang menggantungkan kebahagiaan mereka pada hubungan asmara. Ketika hubungan itu berakhir, mereka merasa kehilangan segalanya, yang kemudian bisa memicu stres, kecemasan, bahkan depresi," jelasnya.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa putus cinta dapat memicu respons serupa dengan kehilangan orang terdekat. Namun, bagi mereka yang pacaran hanya demi status sosial, dampaknya bisa lebih berat karena mereka kehilangan bukan hanya pasangan, tetapi juga citra sosial yang sudah mereka bangun.

Budaya pacaran demi gengsi ini perlu dikritisi agar tidak terus berlanjut. Pakar hubungan menekankan bahwa pacaran seharusnya didasarkan pada kesiapan emosional, bukan karena tekanan sosial atau sekadar mengikuti tren. "Yang perlu ditanamkan adalah bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari memiliki pasangan. Fokus pada pengembangan diri jauh lebih penting daripada sekadar mengejar validasi sosial," tambah Dr. Andini. 

Jika fenomena ini terus dibiarkan, generasi muda bisa semakin terjebak dalam siklus hubungan yang tidak sehat, di mana pacaran dijalani demi memenuhi ekspektasi orang lain, bukan karena kesiapan dan perasaan yang tulus.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

Melatih Anak Berpuasa: Pendidikan Karakter atau Kekejaman?


www.lpmalkalam.com- Setiap Ramadan, banyak orang tua mulai melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Bagi sebagian besar masyarakat, ini dianggap sebagai bagian dari pendidikan karakter dan pembiasaan ibadah. Namun, di era modern, muncul suara-suara yang mengkritik praktik ini, bahkan ada yang menganggapnya sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.

Dalam tradisi Islam, mengajarkan anak berpuasa bukan sekadar ibadah, tetapi juga latihan disiplin, kesabaran, dan empati terhadap orang yang kurang beruntung. Banyak orang tua memulainya secara bertahap, misalnya dengan puasa setengah hari atau hanya beberapa jam. Tujuannya bukan untuk menyiksa, melainkan untuk mengenalkan konsep pengendalian diri sejak dini.

Bahkan, dalam ilmu psikologi, membentuk kebiasaan positif sejak kecil sangat penting. Anak yang diajarkan puasa dengan pendekatan yang tepat dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih sabar, disiplin, dan memiliki empati tinggi.

Dr. Rina Sari, seorang psikolog anak, menjelaskan bahwa melatih anak berpuasa bisa berdampak positif jika dilakukan dengan cara yang bijak. “Anak-anak perlu diberi pemahaman bahwa puasa bukan soal menahan lapar semata, tetapi juga belajar mengelola emosi dan memahami arti kesabaran,” ujarnya.

Di era modern yang semakin peduli terhadap hak-hak anak, sebagian orang menilai bahwa melatih anak berpuasa bisa berdampak negatif, terutama jika dilakukan dengan cara yang memaksa. Ada kekhawatiran bahwa anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan tidak cukup kuat untuk menahan lapar seharian, yang bisa berujung pada dehidrasi atau malnutrisi.

Namun, anggapan bahwa puasa bisa menghambat perkembangan anak sebenarnya masih perlu dikaji lebih dalam. Jika dilakukan dengan cara yang fleksibel, misalnya memperbolehkan anak berbuka ketika sudah tidak kuat, risiko negatif ini bisa diminimalkan. Lagi pula, sejak dulu, banyak anak telah diajarkan berpuasa dan tetap tumbuh sehat.

Masalahnya, kritik terhadap praktik ini sering kali datang dari sudut pandang yang cenderung overprotektif. Mengajarkan anak menghadapi tantangan kecil dalam hidup, termasuk berpuasa, justru bisa menjadi bekal penting bagi mereka untuk belajar menghadapi kesulitan di masa depan.

Melatih anak berpuasa bukanlah tindakan kekejaman, selama dilakukan dengan pendekatan yang benar dan memperhatikan kesiapan fisik anak. Justru, ini bisa menjadi bagian dari pendidikan karakter yang berharga mengajarkan mereka tentang disiplin, pengendalian diri, dan empati.

Namun, penting bagi orang tua untuk tetap fleksibel. Jika anak belum siap atau mengalami kondisi yang tidak memungkinkan, maka tidak ada salahnya memberi keringanan. Intinya, puasa harus menjadi pengalaman yang positif, bukan paksaan yang membuat anak trauma.

Alih-alih memperdebatkan apakah melatih anak berpuasa itu baik atau buruk, lebih penting bagi kita untuk memahami bahwa setiap anak berbeda. Tugas orang tua bukan memaksa, tetapi membimbing mereka dengan cara yang penuh kasih sayang dan kebijaksanaan.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi 

Elite Berpesta, Rakyat Membayar: Utang Negara atau Perampokan Terselubung?

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Utang negara Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, mencapai ribuan triliun rupiah. Pemerintah beralasan bahwa utang diperlukan untuk membiayai pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi. Namun, di sisi lain, rakyat mulai merasakan dampak dari tingginya utang tersebut, terutama melalui kenaikan pajak, pengurangan subsidi, dan inflasi yang menggerus daya beli masyarakat.

Menurut laporan terbaru dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Publik, per 2024, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia telah mencapai angka yang mengkhawatirkan. Dr. Andi Pratama, ekonom senior, menyoroti bahwa beban utang ini pada akhirnya ditanggung oleh rakyat. “Ketika utang negara bertambah, pemerintah harus mencari sumber pendanaan untuk membayarnya, yang sering kali berujung pada kebijakan fiskal yang memberatkan masyarakat, seperti kenaikan pajak dan pemangkasan subsidi,” ujarnya.

Pemerintah berargumen bahwa utang negara digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pada akhirnya akan menguntungkan rakyat. Namun, banyak pihak menilai bahwa pengelolaan utang belum sepenuhnya transparan dan efektif. Beberapa proyek besar dinilai lebih menguntungkan kelompok tertentu daripada memberikan manfaat langsung kepada masyarakat luas.

Sementara itu, rakyat kecil yang tidak menikmati langsung hasil pembangunan justru ikut menanggung dampaknya. Harga kebutuhan pokok naik, biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal, sementara pendapatan tidak mengalami peningkatan yang sebanding.

Menurut Dr. Andi, solusi utama adalah memastikan bahwa utang digunakan secara produktif dan tidak hanya sekadar menambah beban fiskal negara. “Jika utang hanya digunakan untuk proyek yang tidak berdampak luas bagi masyarakat, maka rakyat akan terus menjadi korban kebijakan ekonomi yang tidak berpihak,” tambahnya.

Para pengamat ekonomi dan masyarakat sipil menuntut adanya transparansi dalam pengelolaan utang negara. Mereka mendesak pemerintah untuk lebih terbuka dalam merinci penggunaan utang dan memastikan bahwa setiap rupiah yang dipinjam benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.

Jika pengelolaan utang tidak segera dibenahi, beban ekonomi yang ditanggung rakyat akan semakin berat.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

Negara Berkuasa, Rakyat Berkorban: Keadilan atau Penindasan?

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Dalam idealisme negara, pemerintah seharusnya hadir untuk melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Namun, realitas yang terjadi justru berbanding terbalik—rakyat terus diminta menopang negara melalui pajak, iuran, dan berbagai pengorbanan sosial lainnya. Sementara itu, hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan semakin sulit diakses, seolah-olah hanya menjadi hak bagi segelintir golongan tertentu.

Sebuah kajian dari Pusat Kajian Kebijakan Publik Indonesia mengungkapkan bahwa dalam lima tahun terakhir, anggaran negara lebih banyak dialokasikan untuk proyek infrastruktur dan pembayaran utang, sementara sektor pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial justru mengalami pemangkasan.

Di sisi lain, pembangunan infrastruktur yang seharusnya membawa manfaat luas sering kali lebih menguntungkan segelintir elite dibanding rakyat kebanyakan. Proyek-proyek besar terus digalakkan dengan dalih pertumbuhan ekonomi, tetapi siapa yang sebenarnya menikmati hasilnya? Rakyat kecil tetap kesulitan mengakses layanan dasar, sementara segelintir pihak menikmati keuntungan besar dari berbagai kebijakan pemerintah.

Bantuan sosial yang terbatas dan sulit diakses semakin memperlebar jurang ketimpangan. Subsidi energi dan kebutuhan pokok terus dikurangi, harga-harga meroket, tetapi pendapatan rakyat stagnan. Sementara itu, korupsi dan kebocoran anggaran masih menjadi momok yang seolah tak tersentuh hukum. Jika negara terus menuntut dari rakyat tanpa memberikan kesejahteraan yang layak, maka konsep "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" hanya akan menjadi slogan kosong yang terpampang di konstitusi tanpa realisasi.

Negara tidak boleh hanya berperan sebagai pemungut pajak yang menuntut kontribusi rakyat tanpa imbal balik yang setimpal. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan fiskal atau elite tertentu. Jika tidak, kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akan semakin menipis, dan ketimpangan sosial akan terus melebar. Pada akhirnya, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah apakah negara benar-benar hadir untuk rakyat, atau justru menjadikan rakyat sebagai beban yang harus terus berkorban?


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

26 February 2025

Kreativitas Masyarakat Desa Mane Kareung : Membantu Mengurangi Limbah Plastik

Foto: Tiara Khalisna

www.lpmalkalam.com- Pengelolaan limbah plastik untuk dijadikan tikar telah banyak dilakukan oleh ibu-ibu warga desa Mane Kareung, kec. Blang Mangat, Kota Lhokseumawe lebih kurang sejak 5 tahun terakhir.

Pengolahan limbah plastik ini bermula dari sebuah rumah. Kemudian, tikar tersebut dilihat oleh kaum ibu-ibu pada sebuah acara di rumah itu. Setelah diamati, ternyata banyak dari mereka yang menyukai karya tersebut sehingga mulai mengumpulkan plastik untuk membuat hal yang sama. Ada yang membuatnya secara berkelompok, dan ada yang membuat secara individu.

Plastik yang digunakan beragam, mulai dari bungkus kopi sachet, bungkus minuman sachet hingga bungkus sabun cuci sachet. Plastik yang dikumpulkan awalnya, akan dicuci bersih, lalu dijemur. Setelah kering, barulah plastik dipotong sesuai ukuran yang diinginkan. Kemudian plastik tersebut dilipat satu persatu, baru kemudian dianyam menjadi sebuah tikar.

Motif dan ukuran yang dibuat juga beragam sesuai dengan kreativitas atau kebutuhan masing-masing warga. Dalam sebuah tikar, bisa memuat berbagai macam bungkus plastik sesuai dengan keinginan masing-masing warga. Namun dengan catatan, bungkus plastik yang digunakan memiliki ukuran yang sama.

Berawal dari rasa suka, kini bahkan ada yang menghasilkan cuan dari hasil pembuatan tikar tersebut. Harga yang ditawarkan pun beragam tergantung ukuran yang diinginkan pembeli.

Berdasarkan data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) tahun 2024, Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China. Bisa dikatakan bahwa sampah adalah masalah yang sangat serius di Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang besar sehingga menghasilkan banyak sampah yang tidak dikelola dengan baik.

Jadi, tanpa disadari, tindakan mereka sebenarnya telah membantu pemerintah dalam hal mengelola sampah dengan bijak menjadi sebuah barang berguna untuk digunakan kembali.

Oleh: Tiara Khalisna
Editor: Redaksi

Peraturan vs Perilaku: Mengapa Siswa Tetap Melanggar Meskipun Peraturan Sudah Diringankan?

Foto: Pexel.com
www.lpmalkalam.com- Peraturan dan perilaku adalah dua konsep yang saling terkait dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan tertib. Namun, seringkali kita melihat bahwa pelanggaran tetap terjadi meskipun peraturan telah diringankan. Apa penyebab dibalik seseorang melanggar? Bukankah peraturan dibuat untuk keamanan dan kenyamanan bersama?

Dikutip dari jurnal 'analisis pelanggaran tata tertib siswa: studi kasus pada siswa madrasah' , salah satu penyebab siswa sering melakukan pelanggaran tata tertib sekolah yaitu, ketidakpedulian siswa terhadap peraturan tata tertib di sekolah, kurang perhatian dari lingkup keluarga, dan sanksi yang diberikan kurang tegas.

 Meskipun peraturan telah diringankan, pelanggaran tetap dapat terjadi karena beberapa alasan:

1. Kurangnya kesadaran akan pentingnya peraturan
Beberapa siswa mungkin tidak memahami pentingnya peraturan dan bagaimana peraturan tersebut dapat membantu mereka dalam mencapai tujuan.

2. Kurangnya pengawasan
Jika tidak ada pengawasan yang efektif, maka pelanggaran dapat terjadi dengan lebih mudah.

3. Pengaruh lingkungan
Siswa yang melanggar aturan mungkin dipengaruhi oleh lingkungan yang tidak mendukung, seperti teman-teman yang tidak baik atau lingkungan yang tidak aman.

4. Kurangnya motivasi
Beberapa siswa mungkin tidak memiliki motivasi yang cukup untuk mematuhi peraturan.

5. Kurangnya perhatian di rumah
Siswa yang melanggar aturan mungkin tidak mendapatkan perhatian yang cukup di rumah, sehingga mereka mencari perhatian dengan cara melanggar aturan.

6. Kesulitan dalam belajar
Siswa yang melanggar aturan mungkin memiliki kesulitan dalam belajar atau memahami materi dan merasa tidak terlibat dalam proses belajar sehingga mereka merasa frustrasi dan melanggar aturan.

7. Masalah emosi
Siswa yang melanggar aturan mungkin memiliki masalah emosi, seperti depresi, kecemasan, atau kemarahan, yang menyebabkan mereka melanggar aturan.

     Guru atau orang tua dapat membantu siswa yang melanggar aturan dengan:
• Memberikan perhatian dan dukungan
• Membantu siswa memahami dan mengatasi kesulitan belajar
• Membantu siswa mengelola emosi dan stres
• Membantu siswa menemukan tujuan dan minat yang jelas
• Membantu siswa membangun hubungan yang positif dengan teman-teman dan lingkungan.
• Meningkatkan kesadaran akan pentingnya peraturan dengan edukasi atau kampanye
• Meningkatkan pengawasan
• Membuat peraturan yang lebih efektif
• Meningkatkan motivasi dengan memberikan insentif atau penghargaan kepada orang yang mematuhi peraturan.

Oleh: Tiara Khalisna
Editor: Redaksi

25 February 2025

Tidur Malam : Investasi Jangka Panjang untuk Kesehatan dan Kebahagiaan

Foto: Pixel.com

www.lpmalkalam.com- Tidur malam adalah sebuah hal yang dianggap kecil, padahal memiliki banyak manfaat didalamnya. Bahkan, banyak orang menyepelekan tidur malam dengan bergadang atau diganti dengan tidur siang. Namun, mengapa tidur malam sampai disebut sebagai investasi jangka panjang? Simak penjelasannya!

Banyak orang berpikir bahwa tidur di malam hari sama dengan tidur di siang hari. Padahal tidur di siang hari dan tidur di malam hari memiliki beberapa perbedaan yang signifikan. Berikut beberapa perbedaan utama:


1. Pengaturan siklus sel

Tidur di malam hari membantu mengatur siklus sel, yaitu proses pembelahan, pertumbuhan, dan penggantian sel. Tidur di siang hari tidak memiliki pengaruh yang sama terhadap siklus sel.

2. Pengaturan hormon

Tidur di malam hari membantu mengatur hormon-hormon yang terkait dengan pertumbuhan dan pengembangan sel, seperti hormon pertumbuhan dan hormon insulin. Tidur di siang hari tidak memiliki pengaruh yang sama terhadap hormon-hormon ini.

3. Pengaturan stres oksidatif, inflamasi, dan apoptosis

Tidur di malam hari membantu mengatur stres oksidatif, inflamasi, dan apoptosis yaitu proses yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Tidur di siang hari tidak memiliki pengaruh yang sama terhadap stres oksidatif, inflamasi dan apoptosis.

4. Pengaturan regenerasi sel

Tidur di malam hari membantu mengatur regenerasi sel, yaitu proses penggantian sel yang rusak. Tidur di siang hari tidak memiliki pengaruh yang sama terhadap regenerasi sel.

5. Ritme sirkadian

Tidur di malam hari sesuai dengan ritme sirkadian tubuh, yaitu siklus alami tubuh untuk tidur dan bangun. Tidur di siang hari dapat mengganggu ritme sirkadian ini.

6. Kualitas tidur

Tidur di malam hari cenderung memiliki kualitas tidur yang lebih baik, karena tubuh dapat memasuki fase tidur yang lebih dalam dan lebih lama, yaitu sekitar 7-9 jam. Tidur di siang hari cenderung memiliki kualitas tidur yang lebih rendah, yaitu sekitar 1-3 jam.

7. Pengaruh lingkungan

Tidur di malam hari dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih tenang dan gelap, yang dapat membantu tubuh memasuki fase tidur yang lebih dalam. Tidur di siang hari dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih terang dan berisik.

Selain itu, bergadang juga berisiko meningkatkan penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung.Mengganggu sistem kekebalan tubuh, sehingga lebih rentan terhadap penyakit. Mengurangi konsentrasi dan produktivitas, sehingga meningkatkan risiko kecelakaan saat mengemudi atau lainnya. Juga meningkatkan risiko obesitas, serta mengganggu kesehatan kulit yang membuat kulit terlihat lebih kusam, kering, dan berkerut.

Dengan tidur malam, artinya seseorang telah berinvestasi jangka panjang untuk kesehatan dan kebahagiaan di waktu tua. Karena dengan tidur malam, sel-sel tubuh akan berganti dengan sel-sel yang baru, sedangkan sel-sel rusak akan dihancurkan secara otomatis oleh tubuh, sehingga mengurangi resiko terkena penyakit kronis. Hal tersebut tidak dapat dilakukan pada saat tidur siang.


Oleh: Tiara Khalisna

Editor: Redaksi 

Ego Pemimpin, Hancurnya Organisasi: Ketika Ambisi Pribadi Menghalangi Kemajuan

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com– Banyak organisasi mengalami stagnasi bukan karena kurangnya sumber daya, tetapi lebih karena manajemen yang buruk dan dominasi ego dalam kepemimpinan. Organisasi yang tidak memiliki sistem kerja yang jelas cenderung hanya menjalankan rutinitas tanpa ada perkembangan nyata. Ketika perencanaan strategi diabaikan dan evaluasi minim dilakukan, organisasi hanya akan sibuk dengan formalitas tanpa menghasilkan dampak yang berarti.

Fenomena ini sejalan dengan penelitian dalam jurnal "Ketika Ego Mendominasi: Bagaimana Pengaruh Kepemimpinan Narsistik Terhadap Dinamika Tim" oleh Marchelina Febe. Ia menyebutkan bahwa "Pemimpin narsistik biasanya menunjukkan ciri-ciri seperti ego yang tinggi, kurangnya empati, perilaku manipulatif, dan obsesi terhadap pencitraan. Mereka sering kali memprioritaskan kepentingan pribadi di atas kepentingan tim." Jika ego mendominasi, organisasi akan sulit berkembang karena keputusan lebih berorientasi pada kepentingan individu, bukan kolektif.

Selain itu, kurangnya transparansi dan komunikasi yang buruk juga menjadi faktor penghambat. Seperti yang dikatakan dalam artikel "Ego adalah Musuh dari Kepemimpinan yang Baik" di Ruang Pikir, "Semakin tinggi posisi pemimpin, semakin berisiko mengalami peningkatan ego. Dan semakin besar ego mereka tumbuh, semakin tinggi risiko mereka berakhir dalam lingkaran isolasi, kehilangan kontak dengan rekan kerjanya, budayanya, hingga klien mereka." Jika hal ini dibiarkan, organisasi hanya akan berputar di tempat tanpa arah yang jelas.

Hal ini juga diperkuat oleh artikel "5 Kesalahan yang Sering Dilakukan Pemimpin Perusahaan" di Kompas.com, yang menyatakan bahwa "Ego si pemilik wirausaha seringkali menghalangi, sehingga sulit bagi pemilik perusahaan dan tim manajemennya menentukan arah untuk pertumbuhan perusahaannya."

Untuk keluar dari stagnasi, organisasi perlu dipimpin oleh individu yang visioner, mampu berkolaborasi, serta mengutamakan kepentingan bersama. Dengan tata kelola yang baik, komunikasi yang terbuka, dan budaya kerja yang profesional, organisasi bisa berkembang dan mencapai tujuannya secara optimal.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

Kurma Manis, Modus Licik: Produk Israel Berkedok Arab Mengincar Konsumen Muslim!

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com– Menjelang Ramadhan, pasar dipenuhi berbagai produk khas, termasuk kurma. Namun, konsumen Muslim perlu lebih waspada, karena banyak kurma asal Israel yang dikemas dengan label berbahasa Arab, seolah-olah berasal dari negara Muslim. Strategi ini bertujuan menyamarkan asal-usul produk agar tetap diminati, di tengah gerakan boikot global terhadap Israel.

Menurut laporan dari detikJatim, beberapa merek kurma Israel yang diboikot antara lain King Solomon, Jordan River, dan Carmel. Produk-produk ini sering kali tidak mencantumkan asal negara yang jelas atau menggunakan kode batang (barcode) 729, yang merupakan kode untuk Israel.

Boikot terhadap produk Israel terus menguat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Namun, produsen Israel tidak kehabisan akal. Mereka mulai mengubah kemasan, menggunakan nama berbahasa Arab, atau bahkan mencantumkan lokasi distribusi di negara-negara Muslim agar konsumen tertipu.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menjelaskan bahwa aksi boikot produk Israel dapat berdampak besar pada ekonomi mereka jika dilakukan secara konsisten. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tanpa panduan yang jelas dari pemerintah, boikot bisa berpotensi merugikan pelaku usaha dalam negeri yang tanpa sadar menjual produk-produk tersebut.

"Israel tahu bahwa konsumen Muslim semakin sadar soal boikot. Itu sebabnya mereka menggunakan cara-cara terselubung agar produk mereka tetap laku," ujarnya.

Agar tidak tertipu, konsumen disarankan untuk selalu memeriksa label produk dengan cermat. Berikut beberapa cara mengenali kurma yang diduga berasal dari Israel:

1. Periksa Barcode – Produk Israel biasanya memiliki barcode dengan angka awal 729. Jika ragu, cari informasi lebih lanjut mengenai merek tersebut.

2. Cek Asal Negara – Jika kemasan tidak mencantumkan asal negara yang jelas atau hanya mencantumkan "imported by" tanpa informasi produsen, patut dicurigai.

3. Harga Tidak Wajar – Kurma Israel sering dijual lebih murah karena mendapat subsidi dari pemerintah mereka. Harga yang jauh di bawah pasaran bisa menjadi tanda bahwa produk tersebut perlu diwaspadai.

4. Merek yang Terkenal Berasal dari Israel – King Solomon, Jordan River, dan Carmel adalah beberapa contoh merek kurma yang sudah diidentifikasi sebagai produk Israel.

Boikot bukan sekadar aksi simbolis, tetapi bentuk perlawanan nyata yang dapat memberikan tekanan ekonomi pada Israel. Sebuah studi oleh RAND Corporation pada 2015 memperkirakan bahwa kampanye BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) yang sukses dapat merugikan ekonomi Israel hingga $47 miliar dalam sepuluh tahun.

Di tengah perjuangan rakyat Palestina yang terus tertindas, memilih produk dengan bijak adalah bentuk solidaritas yang bisa dilakukan siapa saja. Dengan lebih selektif dalam memilih produk, kita dapat memastikan bahwa konsumsi kita tidak secara tidak sadar mendukung penjajahan dan kekerasan terhadap bangsa lain.

Ramadhan adalah bulan solidaritas dan kepedulian. Mari jadikan momentum ini untuk lebih teliti dan bertanggung jawab dalam setiap pembelian kita.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

24 February 2025

Ketika Nilai Raport Tinggi, tapi Kemampuan Asli Biasa Saja:Sistem Pendidikan atau Formalitas Belaka?

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Fenomena di mana nilai raport siswa tinggi tetapi tidak mencerminkan kemampuan aslinya semakin sering terjadi. Banyak siswa yang lulus dengan angka yang memuaskan, tetapi ketika diuji dengan keterampilan nyata, hasilnya jauh dari harapan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah sistem pendidikan saat ini benar-benar mencerminkan kompetensi siswa, atau hanya sekadar formalitas akademik belaka?

Salah satu faktor utama yang menyebabkan ketimpangan ini adalah sistem penilaian yang lebih menitikberatkan pada angka dibandingkan pemahaman konsep. Banyak siswa yang hanya menghafal materi untuk ujian tanpa benar-benar memahaminya. Selain itu, adanya tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi baik dari sekolah maupun orang tua mendorong praktik-praktik seperti mencontek, kerja kelompok yang tidak adil, atau bahkan manipulasi nilai demi citra sekolah yang baik.

Lebih dari itu, kurikulum yang terlalu fokus pada aspek teori dan kurang memberikan ruang bagi keterampilan praktis juga menjadi penyebab utama. Banyak lulusan yang kesulitan menghadapi dunia kerja karena apa yang mereka pelajari di sekolah tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Akibatnya, ada jurang yang besar antara nilai akademik dan kompetensi nyata.

Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis oleh OECD memperlihatkan bagaimana kemampuan siswa Indonesia masih jauh tertinggal. Dalam laporan tersebut, hanya 30 persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan membaca tingkat dua, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 77 persen. Sementara dalam bidang matematika, hanya 28 persen siswa yang mencapai kemahiran tingkat dua, dibandingkan dengan rata-rata OECD sebesar 76 persen (Tempo.co).

Hal ini juga diperkuat oleh laporan Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang menyatakan bahwa skor Indonesia dalam PISA masih di bawah rata-rata, menunjukkan bahwa sistem pendidikan saat ini masih belum mampu meningkatkan kompetensi siswa secara optimal (IGI.or.id).

Sistem pendidikan yang ideal seharusnya tidak hanya mengejar angka, tetapi juga membangun pemahaman, kreativitas, dan keterampilan siswa. Jika tidak ada perubahan dalam pola evaluasi dan metode pembelajaran, maka nilai raport hanya akan menjadi angka tanpa makna, sementara kualitas generasi penerus tetap dipertanyakan.


Oleh: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

23 February 2025

Ketika Mengumpat Jadi Bahasa Gaul: Bercanda atau Budaya yang Kebablasan?

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Dulu, mengumpat dianggap sebagai sesuatu yang kasar dan tidak sopan. Namun, kini kata-kata kasar justru menjadi bagian dari pergaulan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda. Umpatan yang dulunya dianggap tabu kini digunakan secara santai dalam percakapan, bahkan dianggap sebagai ekspresi keakraban atau humor.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, apakah mengumpat dalam pergaulan hanya sekadar bercanda, atau justru mencerminkan budaya komunikasi yang semakin kebablasan?

Bagi sebagian orang, kata-kata kasar hanya dianggap sebagai gaya bicara dan tidak selalu bermaksud menghina. Mereka beralasan bahwa penggunaan umpatan dalam percakapan sehari-hari bisa menciptakan kedekatan dan kesan lebih ekspresif. Namun, di sisi lain, kebiasaan ini bisa mengikis nilai kesopanan dan rasa hormat dalam berkomunikasi. Jika dibiarkan, generasi mendatang mungkin akan semakin sulit membedakan antara bercanda dan sikap tidak menghargai orang lain.

Penelitian dalam jurnal KAGANGA KOMUNIKA menemukan bahwa remaja laki-laki di BTN Karang Dima Indah Sumbawa sering menggunakan bahasa kasar dalam pergaulan mereka. Bentuk bahasa kasar yang digunakan meliputi nama hewan, profesi negatif, sifat buruk, dan bahasa gaul, dengan fungsi seperti ekspresi emosi, penghinaan, dan humor. (mendeley.com)

Penggunaan bahasa kasar yang berlebihan juga bisa memengaruhi cara berpikir dan bersikap. Kata-kata yang sering diucapkan dapat membentuk pola komunikasi seseorang, dan jika umpatan menjadi hal yang lumrah, maka bisa jadi rasa empati dalam interaksi sosial semakin berkurang.

Sementara itu, penelitian dalam jurnal ACTA DIURNA KOMUNIKASI menunjukkan bahwa mahasiswa di Badan Tadzkir Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi sering menggunakan kata-kata kasar dalam bentuk hinaan, umpatan, dan sindiran. Penggunaan bahasa kasar ini dipengaruhi oleh faktor emosi, candaan, spontanitas, kekecewaan, dan pergaulan. (ejournal.unsrat.ac.id)

Mengumpat mungkin sudah menjadi bagian dari budaya gaul, tetapi perlu ada batasan agar tidak berubah menjadi kebiasaan yang merusak. Bercanda boleh, tapi tetap dengan kesadaran bahwa bahasa mencerminkan karakter seseorang. Jika kesopanan dianggap kuno dan umpatan dianggap keren, apakah ini tanda kemunduran dalam budaya komunikasi kita?


Oleh: Putri Ruqaiyah 

Editor: Redaksi

22 February 2025

#IndonesiaGelap #KaburAjaDulu Kekecewaan terhadap Pemerintahan

Foto: X/@berlianidris

www.lpmalkalam.com- Rakyat Indonesia beramai-ramai mengkritisi kebijakan pemerintahan lewat hastag IndonesiaGelap, tagar ini berkaitan dengan isu-isu kebijakan pemerintahan yang dianggap otoriter dan tidak berpihak kepada rakyat. Lewat #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu rakyat Indonesia menyuarakan keresahan akan demokrasi Negara tercinta yang terasa semakin buram, dan mempertanyakan kebebasan berbicara yang dielu-elukan. Dimana letak prinsip dari rakyat untuk rakyat? sedangkan suara rakyat saat ini diacuhkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar” sedangkan kebijakan yang ada saat ini dinilai tidak berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas dan hanya memperkaya kelompok tertentu.

Lewat tagar #IndonesiaGelap yang telah viral sejak 17 Februari 2025 ini menunjukkan kekecewaan dan ketidakpuasan rakyat Indonesia. Tagar #KaburAjaDulu digunakan untuk mengekspresikan keinginan mencari peluang yang lebih baik di luar negeri, tagar ini sudah menjadi trending topic sejak awal Januari 2025.

Kedua tagar tersebut telah mencerminkan keresahan dan aspirasi rakyat Indonesia terhadap situasi Negara saat ini. Menyikapi hal ini dilansir dari Kompas.com pada Jumat, 21 Februari 2025, 2.500 mahasiswa dari berbagai Universitas, buruh, masyarakat sipil, komunitas perempuan, dan berbagai komunitas lainnya menggelar unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta. Terdapat 13 tuntutan yang diajukan kepada Pemerintahan Prabowo, antara lain:

1. Kawal dan evaluasi intruksi presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang berfokus efesiensi belanja dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) serta anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk Tahun Anggaran 2025.

2. Realisasikan tunjangan kinerja (turkin) dosen ASN

3. Wujudkan pendidikan gratis dan batalkan pemangkasan anggaran pendidikan

4. Efisiensi dan rombat cabinet merah putih

5. Evaluasi total program makan bergizi gratis

6. Cabut proyek strategis nasional (PSN) bermasalah

7. Tolak revisi Undang-Undang Minerba

8. Sahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat

9. Reformasi Polri

10. Hapus dwifungsi TNI/Polri

11. Membuat kebijakan berdasarkan riset

12. Keluarkan Perpu perampasan asset

13. Tolak penambahan pasal 228A dalam revisi tatib DPR RI

Dalam demostrasi yang berlangsung sejak siang hingga malam hari, diwarnai dengan beberapa insiden kericuhan. Dalam ilmu sosial dan filsafat dilihat dari prinsip kausalitas setiap perlawan yang dilakukan rakyat saat ini dalam skala kecil sekalipun akan memberikan dampak dimasa yang akan datang. Lewat gerakan IndonesiaGelap mahasiswa berharap dapat mendorong perubahan dan keadilan yang lebih berpihak atas dasar kepentingan rakyat dan masa depan Indonesia Emas. Lewat akun X komunitas perempuan @konde_co mengetweet “semua rakyat bersatu menyuarakan kegelishan atas pemerintahan Indonesia yang semakin suram dan bias kepentingan”.

Ketidakadilan yang dibiarkan tanpa perlawanan merupakan bentuk legitimasi terhadap kebijakan yang menindas, serta melemahkan harapan massal terhadap keadilan.


Oleh: Mutia Wardani

Editor: Redaksi

Pers Mahasiswa AL-Kalam, IAIN Lhokseumawe Phone. 0852 6017 5841 (Pimpinan Umum). Powered by Blogger.