Portal Berita Al-Kalam

Alih Status IAIN ke UIN, Username dan Profil Media Sosial UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Belum Berganti? Ini Alasannya

Foto: IST www.lpmalkalam.com -  Humas Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menuai pertanyaan dari mahasiswa terkai...

HEADLINE

Latest Post

11 Juli 2025

Ketika Jumlah Pendaftar Meningkat, tapi Kualitas Fasilitas Jalan di Tempat

Foto: Raja Oktariansyah

www.lpmalkalan.com- Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe belum lama ini mencetak prestasi membanggakan sebagai Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dengan peningkatan jumlah pendaftar terbanyak melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UM-PTKIN) tahun 2025. Sebuah pencapaian yang layak diapresiasi karena mencerminkan kepercayaan publik yang kian tinggi terhadap institusi ini.

Namun, di balik angka yang mengesankan tersebut, muncul ironi yang tidak bisa diabaikan begitu saja: kondisi fasilitas kampus yang masih jauh dari kata layak.

Mahasiswa, sebagai pengguna langsung dari sistem pendidikan ini, masih harus bersabar dengan sanitasi yang tidak memadai, seperti toilet kampus yang sering rusak, air yang kadang tidak mengalir, hingga bau tak sedap yang mengganggu kenyamanan belajar. Di ruang kelas, kipas angin yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar di tengah suhu ruang yang tinggi, justru belum tersedia secara merata. Beberapa kelas bahkan masih harus dijalani dengan lantai ubin yang pecah, membahayakan keselamatan dan kenyamanan mahasiswa.

Tak hanya itu, akses internet kampus yang lamban juga menjadi keluhan utama. Di era digital saat ini, konektivitas internet merupakan bagian tak terpisahkan dari proses belajar dan pengembangan diri. Sayangnya, access point yang digunakan masih tergolong usang, sehingga tidak mampu mengakomodasi kebutuhan digital ribuan mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa kesulitan mengakses sumber belajar daring, mengikuti kelas hybrid, atau sekadar mencari referensi akademik secara lancar.

Pertanyaannya, apakah prestasi dalam jumlah pendaftar layak dirayakan ketika kualitas pelayanan dasar bagi mahasiswa justru diabaikan?

Tentu kita tidak menolak kemajuan. Namun, kemajuan seharusnya bersifat menyeluruh, bukan hanya pada angka-angka pendaftar, melainkan juga pada kualitas hidup dan pengalaman belajar mahasiswa. Sebab pada akhirnya, wajah sejati sebuah kampus tidak ditentukan dari berapa banyak yang diterima, tetapi dari bagaimana mereka diperlakukan setelah diterima.

Jika Universitas Islam Negeri Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe ingin mempertahankan, bahkan meningkatkan kepercayaan publik, maka sudah saatnya perhatian dialihkan dari sekadar mengejar kuantitas menuju pembangunan kualitas. Prestasi tidak cukup berhenti pada seremoni penghargaan, ia harus diterjemahkan dalam bentuk nyata yang dapat dirasakan mahasiswa: toilet yang layak, ruang belajar yang nyaman, koneksi internet yang stabil, serta fasilitas yang aman dan merata.

Mahasiswa tidak butuh angka. Mereka butuh bukti.


Reporter: Raja Oktariansyah

Editor: Putri Ruqaiyah

07 Juli 2025

Pengaruh Pendidikan Anak terhadap Gadget yang Membludak Saat Ini

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com - Di era digital saat ini, gadget seperti smartphone dan tablet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahkan untuk anak-anak. Fenomena ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga menyangkut pendidikan serta nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini.

Gadget bukan sepenuhnya alat yang buruk. Ia bisa menjadi sarana edukatif yang luar biasa jika digunakan dengan benar, misalnya untuk belajar bahasa, membaca buku digital, atau menonton video pembelajaran. Namun, jika dibiarkan tanpa pengawasan, gadget dapat menjadi sumber kecanduan, menurunkan konsentrasi, serta mengganggu perkembangan sosial dan emosional anak.

Banyak orang tua dan pendidik yang belum memiliki pengetahuan atau keterampilan dalam mengatur penggunaan gadget secara sehat. Akibatnya, anak-anak dibiarkan terlalu bebas, atau justru terlalu dilarang tanpa penjelasan yang memadai. Kedua pendekatan ini bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak.

Foto: Pexels.com

Pendidikan yang baik tidak hanya mengajarkan apa yang boleh dan tidak boleh, tetapi juga menjelaskan "mengapa?". Oleh karena itu, anak-anak perlu diajak berdiskusi mengenai dampak bermain gadget terlalu lama, diajarkan cara mengelola waktu, serta diberikan alternatif kegiatan yang menyenangkan dan mendidik di luar layar.

Orang tua adalah "guru pertama" bagi anak. Keteladanan mereka sangat menentukan. Jika orang tua sendiri kecanduan gadget, maka akan sulit mengharapkan anak mampu membatasi diri. Maka dari itu, edukasi kepada orang tua tentang pola pengasuhan digital sangatlah penting.

Dengan demikian, ledakan penggunaan gadget yang membludak saat ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Ia merupakan cermin dari bagaimana pendidikan anak, baik di rumah maupun di sekolah, dijalankan. Dengan pendidikan yang kuat dan bijak, gadget dapat menjadi alat yang mendidik, bukan merusak. Sebaliknya, tanpa bimbingan, anak-anak dapat tersesat dalam dunia digital.


Penulis: Rusmawati

Editor: Putri Ruqaiyah

02 Juli 2025

Refleksi Mahasiswa Perantauan dalam Perayaan 1 Muharam di Lhokseumawe, Aceh

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Sebagai mahasiswa asal Sumatera Utara yang merantau untuk menempuh pendidikan di Lhokseumawe, Aceh, saya tidak hanya datang untuk belajar di ruang kelas, tetapi juga menjadi saksi hidup dari kekayaan budaya serta nilai-nilai religius masyarakat setempat. Salah satu pengalaman yang sangat membekas adalah ketika saya mengikuti perayaan 1 Muharam, tahun baru dalam kalender Hijriah. Apa yang semula saya kira hanya merupakan seremonial keagamaan, ternyata jauh lebih dari itu. Perayaan ini membuka pandangan tentang bagaimana Islam tidak hanya menjadi keyakinan pribadi, tetapi juga menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat di kota ini.

Di Lhokseumawe, 1 Muharam bukan sekadar angka baru dalam penanggalan Islam, melainkan dapat dimaknai sebagai momentum kolektif untuk berhijrah secara spiritual dan sosial. Saya menyaksikan bagaimana masyarakat menyambut hari besar ini dengan kekhidmatan dan kebersamaan yang luar biasa. Pawai akbar yang melibatkan pelajar, santri, tokoh masyarakat, dan umat Muslim dari berbagai kalangan menjadi bukti bahwa semangat hijrah tidak hanya hidup dalam kisah sejarah Rasulullah saw. tetapi juga tercermin nyata dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Sebagai perantau, saya merasa tidak hanya disambut, tetapi juga diajak turut serta dalam kebersamaan itu. Saya tidak hanya menyaksikan keramaian, tetapi merasakan keterikatan yang menghangatkan hati.

Pada malam harinya, suasana religius semakin terasa. Masjid-masjid dipenuhi jamaah yang mengikuti zikir akbar dan doa bersama. Saya berkesempatan mengikuti salah satu kegiatan tersebut di lingkungan kampus. Tausiah dari para ulama tidak hanya membahas sejarah hijrah, tetapi juga menyentuh sisi personal, bagaimana kita sebagai individu perlu terus memperbaiki diri, meninggalkan keburukan, dan menjemput kebaikan. Dalam suasana tersebut, saya merasa benar-benar diajak untuk merenung bukan hanya sebagai mahasiswa, tetapi sebagai manusia yang terus berproses dalam perjalanan spiritualnya.

Yang tak kalah menyentuh adalah kegiatan santunan anak yatim yang menjadi bagian penting dalam perayaan ini. Di Lhokseumawe, kepedulian terhadap anak yatim bukan hanya wacana, tetapi benar-benar diwujudkan dalam bentuk perhatian dan kasih sayang. Saya menyaksikan sendiri bagaimana mereka tidak hanya diberikan bantuan materi, tetapi juga disapa hangat, ditemani, dan dirangkul sebagai bagian utuh dari masyarakat. Dari situ saya belajar bahwa keberagamaan bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga tentang kepedulian sosial.

Terlihat juga bagaimana institusi pendidikan di Aceh berperan aktif dalam menyemarakkan Muharam. Lomba-lomba Islami di sekolah dan pesantren seperti tilawah, azan, kaligrafi, dan ceramah agama menjadi sarana untuk menumbuhkan semangat kompetisi yang sehat sekaligus menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini. Di kalangan mahasiswa, diskusi keagamaan dan kajian makna hijrah dalam konteks kekinian menjadi ruang intelektual yang sangat bermanfaat. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai keislaman di Aceh tidak hanya diwariskan, tetapi juga dibumikan secara konkret.

Sebagai mahasiswa dari luar daerah, saya merasa sangat beruntung bisa menyaksikan langsung sebuah perayaan yang tidak hanya kaya akan tradisi, tetapi juga sarat dengan nilai. Saya belajar bahwa hijrah bukan hanya soal berpindah tempat, melainkan juga berpindah sikap, cara pandang, dan pola hidup ke arah yang lebih baik. Perayaan 1 Muharam di Lhokseumawe menjadi contoh nyata bagaimana semangat itu dapat tumbuh dalam kehidupan masyarakat secara alami dan berkelanjutan.

Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa tradisi perayaan 1 Muharam di Lhokseumawe adalah kekayaan yang tidak hanya layak dipertahankan, tetapi juga perlu dikembangkan dan dikenalkan lebih luas. Di tengah arus globalisasi yang sering kali mengikis nilai-nilai lokal dan spiritual, perayaan seperti ini menjadi ruang dakwah kultural yang efektif. Ia tidak hanya mempererat ukhuwah, tetapi juga menjadi penanda bahwa identitas keislaman masih kuat berakar dalam masyarakat. Sebagai mahasiswa perantauan, saya tidak hanya membawa ilmu dari kampus, tetapi juga pengalaman batin yang akan saya kenang dan jadikan bekal dalam perjalanan hidup saya ke depan.


Penulis: Arahmadan Jaminur Berutu

Editor: Putri Ruqaiyah

 

30 Juni 2025

1 Muharram sebagai Hari dengan Tekad Perubahan

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com - 1 Muharram bukan hanya sekadar memperingati tahun baru Islam atau pergantian tahun dalam kalender Hijriah. Tetapi, di hari tersebut juga mengingatkan umat islam akan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah. Dari peristiwa tersebut dapat kita ambil pembelajaran bahwasanya 1 Muharram bukan hanya sekadar pergantian tahun, akan tetapi di hari tersebut kita dapat mengevaluasi diri untuk lebih baik lagi dan menjadi pribadi yang berani untuk perubahan ke hal-hal yang lebih positif.

1 Muharram juga dapat dijadikan juga sebagai hari kebangkitan diri sendiri dari sifat yang takut akan mengambil keputusan dan takut akan mempertahankan kejujuran, karena di hari ini Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk lebih jujur, ikhlas dalam segala hal, dan lebih tegas dalam meninggalkan hal yang tidak baik. Di tengah lingkungan sosial, hijrah dapat dimaknai secara luas, diantaranya adalah keluar dari zona nyaman menuju ruang perbaikan, dan siap untuk menghadapi tantangan moral, perpecahan sosial, dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan. Maka, semangat 1 Muharram bisa dijadikan sebagai titik bagi umat Islam untuk berhijrah dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik, serta menjadi contoh yang baik di tengah-tengah masyarakat seperti yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw. kepada kita umatnya.

Dengan semangat tahun baru Islam 1447 H, alangkah baiknya kita perkuat iman serta tanamkan dalam diri untuk bertekad memperbaiki diri dan menjadi masyarakat yang lebih berani mengambil keputusan dan berani dalam mempertahankan kejujuran.

“Selamat tahun baru Islam, hijrah bukan hanya sejarah, tapi arah hidup kita untuk membelai hari berikutnya."


Penulis: Abdul Azis Perangin-angin

Editor: Zuhra

29 Juni 2025

Ikut Campur Tanpa Undangan: Hasrat Kekuasaan Amerika Tak Pernah Padam

 

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Dunia ini sudah terlalu penuh dengan konflik dan penderitaan. Di balik banyaknya krisis internasional yang mencuat ke permukaan, satu nama hampir selalu ada di sana, Amerika Serikat. Entah itu soal perang, kudeta, sanksi, atau intervensi militer negara adidaya ini tampaknya selalu merasa perlu untuk ikut campur, bahkan ketika konflik itu tidak menyentuh batas-batas negaranya.

Lihat saja Iran. Setelah kepergian mendadak Presiden Ebrahim Raisi, rakyat Iran kembali hidup dalam ketidakpastian. Di tengah kesedihan dan kekacauan, Amerika bukannya menaruh simpati, malah sibuk bersiap mengambil posisi seolah-olah tragedi orang lain adalah peluang untuk menunjukkan kuasa.

Amerika memang selalu datang dengan wajah “penolong”, membawa demokrasi, menegakkan hak asasi manusia, menyuarakan keadilan. Tapi, mengapa hasilnya justru luka yang lebih dalam, rumah-rumah yang rata dengan tanah, dan anak-anak yang kehilangan masa depan?

Pertanyaan itu menggema di hati banyak orang. Salah satu pengguna X menuliskan, “Jika AS datang untuk membawa kedamaian, mengapa yang tersisa hanya konflik dan kehancuran?” Sebuah kalimat sederhana, tapi sarat akan luka. Karena, bukan hanya Iran yang mengalaminya, Irak, Suriah, Afghanistan semuanya telah menjadi saksi bisu bagaimana "bantuan" bisa berubah menjadi belenggu.

Yang membuat miris, Amerika cepat sekali menunjuk jari dan menuduh negara-negara lain melanggar hak asasi manusia, tapi justru menutup mata saat kekejaman terjadi di negara sahabatnya sendiri. Di sinilah dunia mulai lelah. Standar ganda ini terlalu terang untuk diabaikan.

Tentu, setiap negara punya kepentingan. Tapi bila kepentingan itu dibungkus dengan dalih kemanusiaan, lalu berakhir pada penderitaan manusia itu sendiri, bukankah itu sebuah ironi?

Dunia tidak butuh polisi global yang merasa paling benar. Dunia butuh ruang dialog, keadilan yang adil, dan kerjasama yang setara. Bukan dominasi, bukan ancaman, bukan intervensi sepihak.

Sudah waktunya Amerika bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia benar-benar ingin menciptakan perdamaian, atau hanya ingin memastikan roda kekuasaan tetap berpihak padanya?

Dan bagi kita semua, saatnya juga untuk tidak diam. Karena perdamaian sejati lahir bukan dari tekanan, tapi dari hati yang benar-benar peduli.


Penulis: Putri Ruqaiyah

Editor: Zuhra

18 Juni 2025

LGBT Menyerang, Muda-Mudi Dihadang: Respons Al-Qur'an terhadap Perilaku Fahisyah yang Dapat Merusak Moral Anak Bangsa

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Islam merupakan agama yang sempurna, mengatur kehidupan umatnya dengan aturan-aturan terbaik yang telah ditetapkan oleh Allah. Salah satu perintah-Nya adalah mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. Al-Qur’an menegaskan hal ini melalui kisah umat Nabi Luth a.s. yang termaktub dalam Surah An-Naml ayat 54–58.

Q.S. An-Naml (54–55):
ูˆَู„ُูˆุทًุง ุฅِุฐْ ู‚َุงู„َ ู„ِู‚َูˆْู…ِู‡ِ ุฃَุชَุฃْุชُูˆู†َ ุงู„ْูَุงุญِุดَุฉَ ูˆَุฃَู†ุชُู…ْ ุชُุจْุตِุฑُูˆู†َ (ูฅูค) ุฃَุฆِู†َّูƒُู…ْ ู„َุชَุฃْุชُูˆู†َ ุงู„ุฑِّุฌَุงู„َ ุดَู‡ْูˆَุฉً ู…ِّู† ุฏُูˆู†ِ ุงู„ู†ِّุณَุงุกِ ۚ ุจَู„ْ ุฃَู†ุชُู…ْ ู‚َูˆْู…ٌ ุชَุฌْู‡َู„ُูˆู†َ (ูฅูฅ)

Artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu melihat (kejahatannya)? Sungguh, kamu mendatangi laki-laki (untuk memuaskan nafsumu), bukan perempuan. Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).’”

Penjelasan Ayat:
Dalam ayat tersebut, “fahisyah” merupakan kata kunci. Menurut Tafsir Al-Munir, istilah ini merujuk pada perbuatan keji dengan mendatangi sesama jenis untuk memuaskan nafsu, padahal mereka menyadari bahwa hal tersebut merupakan kejahatan. Sementara menurut Tafsir Al-Misbah, “fahisyah” adalah perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat-umat sebelum Nabi Luth a.s. Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa salah satu bentuk kerusakan moral anak bangsa adalah penyimpangan terhadap fitrah seksualitas manusia.

Lantas, timbul pertanyaan: apakah di Nanggroe Aceh Darussalam yang dikenal sebagai Serambi Makkah, daerah yang kental dengan nilai-nilai keislaman juga terdapat individu yang tergabung dalam kelompok LGBT?

Hasil analisis penulis dari Januari hingga April 2025 terhadap kasus LGBT di Kota Lhokseumawe menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Berdasarkan wawancara dengan dua informan (MRR dan AS), yang merupakan mahasiswa di salah satu universitas di Lhokseumawe, MRR menyampaikan, “LGBT di kota ini sebenarnya banyak, hanya saja mereka masih tahu batasan untuk menutupi kelainan mereka.”

Faktor utama yang membuat kelompok ini tidak terang-terangan menyuarakan identitas mereka adalah keberadaan Qanun Jinayat yang diterapkan di Aceh, serta peran aktif instansi pemerintah seperti Wilayatul Hisbah (WH) di Lhokseumawe. Mereka yang terbukti melakukan perilaku amoral akan diproses secara hukum dan direhabilitasi.

Bagaimana status mereka di mata masyarakat? “Status kami di mata masyarakat masih sama seperti orang-orang pada umumnya, yakni masih dianggap normal,” ungkap AS. Ternyata, MRR dan AS pernah menjalin hubungan selama hampir dua tahun. Mereka menyebut bahwa faktor penyebab kecenderungan homoseksual tersebut adalah lingkungan yang tidak mendukung, tekanan sosial berupa kecaman dan bullying semasa sekolah, serta ketiadaan kasih sayang dari orang tua.

Mereka mengakui bahwa apa yang mereka lakukan adalah penyimpangan. Ini sejalan dengan makna “fahisyah” dalam ayat sebelumnya, yaitu sadar akan kesalahan namun tidak saling mengingatkan. “Di kota ini banyak LGBT pendatang dari luar daerah. Dominan dari mereka adalah orang-orang pintar, bahkan tidak sedikit yang memiliki posisi penting di kampus maupun di pemerintahan,” lanjut AS. Ketika ditanya bagaimana mereka saling mengenal, AS menjawab, “Awalnya kami kenalan dari aplikasi khusus gay, lalu lanjut ke media sosial biasa.”

Tugas kita sebagai masyarakat adalah menjaga diri dan lingkungan dari perbuatan menyimpang tersebut. Ingatlah kodrat dan fitrah kita sebagai manusia. Seperti ungkapan warganet Indonesia: “Awalnya bercanda, lama-lama jadi suka.” Kebiasaan buruk akan membawa dampak buruk pula, sebagaimana yang dialami oleh kedua informan yang pernah mengidap penyakit menular seksual (IMS) seperti gonore dan sifilis. Penyakit ini dapat menjadi bentuk peringatan dari Allah agar manusia tidak mendekati perbuatan amoral seperti homoseksualitas.

Karya: Galih Novdiantoro, Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe (Rilis)

Editor: Putri Ruqaiyah

10 Juni 2025

#JusticeForArgo - Ketika Hukum Membungkuk di Hadapan Privilege

 

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Peristiwa tragis yang menimpa Argo Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), tidak bisa dianggap sekadar kecelakaan lalu lintas biasa. Kasus ini mencerminkan bagaimana ketidakadilan masih hidup di tengah masyarakat kita, terutama ketika kekuasaan dan pengaruh ikut bermain dalam proses penegakan hukum. Argo adalah mahasiswa muda yang cerdas, berasal dari keluarga sederhana, dan dikenal memiliki banyak prestasi akademik. Namun, hidupnya berakhir tragis setelah ditabrak mobil BMW yang dikendarai oleh Christiano Tarigan, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis di UGM yang merupakan anak dari petinggi perusahaan besar.

Setelah kejadian itu, publik dikecewakan oleh lambannya penanganan hukum. Meski pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka, ia tidak langsung ditahan. Bahkan, muncul rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa pelat nomor mobil sempat diganti secara diam-diam saat berada di kantor polisi. Tindakan tersebut semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Suara publik pun menggema di media sosial. Tagar #JusticeForArgo menjadi trending dan dipenuhi oleh protes serta seruan keadilan. Salah satu unggahan dari akun @craven** menunjukkan gambar pelaku dengan tulisan “Awas! Pembunuh!” sebagai bentuk kemarahan atas ketidakjelasan proses hukum. Sementara itu, akun @pxx* mengunggah doa penuh haru untuk Argo, yang menunjukkan betapa besarnya empati dan solidaritas dari masyarakat.

Latar belakang Argo yang berasal dari keluarga kurang mampu menambah kepedihan cerita ini. Ayahnya telah meninggal, dan ibunya menghidupi keluarga dengan berjualan kue. Argo adalah harapan keluarga, pemuda yang ingin menjadi pengacara korporat demi mengubah nasib. Kini, harapan itu sirna bukan hanya karena kelalaian, tetapi karena sistem hukum yang lemah di hadapan kekuasaan.

Kita harus bertanya secara jujur, apakah hukum masih mampu berdiri tegak di hadapan orang-orang yang memiliki jabatan dan uang? Sampai kapan hukum hanya berlaku keras untuk mereka yang lemah dan tunduk pada mereka yang kuat? Keadilan seharusnya menjadi hak semua warga negara, bukan hak istimewa yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang.

Jika hukum tidak mampu memberikan keadilan bagi Argo, maka ini bukan sekadar kegagalan prosedur, melainkan kegagalan moral. Sebuah bangsa yang membiarkan hukum tunduk pada kekuasaan adalah bangsa yang sedang kehilangan jiwanya. Kita semua punya tanggung jawab untuk terus menyuarakan keadilan agar tragedi seperti ini tidak terulang lagi.


Penulis: Putri Ruqaiyah
Editor: Tiara Khalisna

09 Juni 2025

Raja Ampat Digusur: Ketika Surga Dikorbankan Demi Rakusnya Beton dan Investor

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Penggusuran kawasan adat dan pesisir di Raja Ampat atas nama pembangunan merupakan tamparan keras bagi akal sehat dan nurani. Di negara yang kerap membanggakan kekayaan alamnya ke seluruh dunia, justru masyarakat asli yang menjaga tanah itu turun-temurun malah dipaksa pergi, seolah-olah mereka tidak punya hak atas ruang hidup sendiri. Ironisnya, semua ini dibungkus rapi dengan label kemajuan dan kesejahteraan.

Raja Ampat bukan hanya tempat wisata yang indah di mata dunia. Ia adalah tanah kelahiran, tempat berteduh, dan ruang hidup masyarakat adat yang menjaganya dengan nilai-nilai luhur. Tapi hari ini, mereka yang menjaga alam justru dituding sebagai penghambat, sementara pihak luar yang membawa proyek beton dan infrastruktur dianggap pahlawan pembangunan.

Situasi ini menyisakan pertanyaan besar. Siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari pembangunan tersebut? Apakah warga lokal yang terusir dan kehilangan ruang hidup atau para pemodal besar yang membangun resor mewah di atas tanah yang bukan milik mereka, lalu menjual keindahan alam untuk keuntungan pribadi?

Lebih menyakitkan lagi, negara yang seharusnya melindungi hak rakyat justru terlihat lebih sibuk melayani kepentingan investor. Hukum adat diabaikan, suara masyarakat dibungkam, dan warisan budaya dianggap tidak lebih penting dari selembar izin proyek.

Jika pembangunan hanya berarti menggusur, menghancurkan ruang hidup, dan meminggirkan masyarakat adat, maka kita tidak sedang maju melainkan mundur secara perlahan namun pasti. Pembangunan tersebut bukanlah masa depan yang cerah, tapi kenangan pahit yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.

Jika Raja Ampat hilang, bukan hanya destinasi wisata yang musnah melainkan jati diri bangsa, harga diri masyarakat adat, dan keseimbangan alam yang tak bisa digantikan uang sebesar apa pun.


Penulis: Putri Ruqaiyah 

Editor: Tiara Khalisna 

05 Juni 2025

Ketika Kesopanan Menjadi Harta yang Langka

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Dulu, kita tumbuh dengan kalimat-kalimat sederhana seperti "permisi", "maaf", "terima kasih", dan "tolong". Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan bagian dari budaya kesopanan yang diajarkan sejak dini. Namun hari ini, kita mulai bertanya-tanya, ke mana perginya kesopanan itu?

Di ruas jalan kota besar, orang merasa paling benar sendiri seperti klakson ditekan tanpa henti dan pejalan kaki diabaikan. Di media sosial, komentar pedas seolah-olah lebih dihargai daripada pendapat yang santun. Di ruang publik, remaja menyela percakapan orang tua, dan orang dewasa berbicara tanpa rasa hormat. Seakan-akan kesopanan adalah barang kuno yang tak lagi relevan di era modern.

Padahal, kesopanan bukan sekadar etika atau sikap sopan, ia adalah cermin dari karakter dan kematangan seseorang dalam berpikir. Sopan santun mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi, menghormati sesama, menghargai perbedaan, dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika kesopanan hilang, yang tersisa hanyalah arogansi, kebisingan, dan konflik.

Ironisnya, kemajuan teknologi justru mempercepat hilangnya sopan santun. Dunia digital menciptakan ruang tanpa wajah, di mana orang merasa bebas berkata apa saja tanpa memikirkan konsekuensinya. Akun anonim digunakan untuk menyerang, bukan berdiskusi. Kritik berubah menjadi hujatan. Diskusi berubah menjadi debat tanpa ujung.

Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Hilangnya kesopanan adalah hasil dari banyak hal mulai dari kurangnya keteladanan, lemahnya pendidikan karakter, dan budaya populer yang sering mengagungkan kontroversi daripada nilai-nilai moral.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Jawabannya sederhana, yaitu mulai dari diri sendiri. Jadilah pribadi yang tetap menjaga tutur kata, meskipun berbeda pendapat. Ajarkan pada anak-anak kita bahwa bersopan santun bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Bangun ruang-ruang dialog yang sehat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Jangan pernah lelah menjadi orang yang santun, walaupun dunia terasa semakin kasar.

Karena di tengah dunia yang keras, mereka yang tetap lembut akan menjadi penyejuk. Meski kini langka, kesopanan akan selalu bernilai tinggi di mata siapa pun yang masih waras.


Penulis: Lisa Ayu Lestari

Editor: Putri Ruqaiyah

02 Juni 2025

Antara Kewajiban dan Tekanan: Praktik Pungli di Dunia Pendidikan

 

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Lembaga pendidikan sering kali dianggap sebagai tempat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, integritas, dan kebebasan akademik. Namun, realitas di lapangan tak selalu seideal itu. Di balik semangat mendidik, masih ada praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai luhur pendidikan, salah satunya adalah pungutan liar (pungli) terselubung.

Sebagian mahasiswa pernah menghadapi situasi di mana mereka harus membeli buku yang ditulis oleh dosen sendiri, bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai kewajiban agar dapat mengikuti ujian. Fenomena ini bukan sekadar kabar burung. Seperti yang dilaporkan oleh media kampus Washilah di Makassar, seorang dosen diduga mewajibkan mahasiswanya membeli buku senilai Rp60.000, dengan ancaman bahwa nilai mereka tidak akan dikeluarkan jika tidak menuruti perintah tersebut (Washilah.com, 2023).

Kondisi serupa juga ditemukan di wilayah lain. Mahasiswa yang enggan membeli buku kerap kali menerima tekanan halus, seperti pernyataan bahwa nilai bisa terganggu jika mereka tidak membeli temuan dari Ekspresionline menyoroti bagaimana dosen kerap menyampaikan himbauan tidak langsung yang menyudutkan mahasiswa untuk membeli buku tersebut sebagai syarat kelulusan (Ekspresionline.com, 2023).

Tak hanya soal buku, pungli juga muncul dalam bentuk iuran kegiatan akademik yang tidak jelas dasar hukumnya. Mahasiswa kadang diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mengikuti acara seminar atau kunjungan akademik yang diselenggarakan dosen, tanpa kejelasan anggaran atau laporan pertanggungjawaban.

Masalah ini bukan hal sepele. Dalam Laporan Tahunan 2022, Ombudsman RI menyatakan bahwa sektor pendidikan masih menjadi salah satu yang paling banyak menerima laporan pelanggaran pelayanan publik, termasuk pungli berkedok akademik. Mereka menegaskan bahwa setiap pungutan yang tidak berdasar hukum, seperti pemaksaan membeli buku atau sumbangan tanpa legalitas, merupakan bentuk penyimpangan administratif dan etika publik (Ombudsman RI, 2022).

Bahkan media nasional seperti Media Indonesia juga menyoroti kasus serupa, menyatakan bahwa praktik menjual buku sebagai syarat lulus ujian adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang harus dihentikan karena bertentangan dengan prinsip pendidikan yang adil dan transparan (Media Indonesia, 2019).

Pendidikan semestinya membebaskan, bukan menekan. Ketika tekanan finansial justru datang dari pihak yang seharusnya menjadi pendamping pembelajaran, maka proses pendidikan kehilangan makna moralnya. Mahasiswa menjadi korban sistem yang diam-diam membebani mereka, bukan hanya secara akademik, tetapi juga secara ekonomi dan psikologis.

Maka, penting bagi semua pihak, baik kampus, pengawas, maupun mahasiswa untuk tidak tinggal diam. Kesadaran dan keberanian untuk bersuara menjadi kunci. Karena jika praktik-praktik ini terus dibiarkan, maka lembaga pendidikan hanya akan menjadi tempat reproduksi kekuasaan yang sewenang-wenang, bukan tempat menumbuhkan pemikiran kritis dan nilai-nilai keadilan.


Penulis: Putri Ruqaiyah

Editor: Zuhra

01 Juni 2025

Media Sosial: Teman atau Musuh?

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Seiring berkembangnya zaman yang semakin maju, media sosial menjadi sarana yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Perkembangan teknologi membawa perubahan yang sangat pesat bagi masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran, baik dari segi budaya, etika, maupun norma. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dengan berbagai suku, ras, dan agama, yang turut mengalami perubahan sosial.

Media sosial merupakan platform yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, mulai dari mudahnya memperoleh dan menyebarkan informasi dengan sangat cepat, berinteraksi, memiliki banyak teman, hingga berkomunikasi. Dari berbagai kalangan dan usia, hampir seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, memiliki akun platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan WhatsApp. Bahkan, media sosial membuat masyarakat menjadi kecanduan mulai dari bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur dan hampir sepanjang waktu dihabiskan untuk menatap layar handphone guna melihat berbagai platform seperti Instagram dan TikTok.

Lalu, pertanyaannya: Apakah media sosial merupakan teman atau musuh?

Di satu sisi, media sosial memberikan banyak manfaat, seperti yang telah dijelaskan di atas. Media sosial mempermudah kita dalam berinteraksi, berkomunikasi, serta menyebarkan informasi dengan mudah dan cepat hanya dengan satu klik. Bahkan, platform media sosial juga dapat menjadi sumber penghasilan yang mudah bagi banyak orang. Di media sosial kita juga bisa melihat berita-berita yang sedang trending, belajar hal baru, berbagi, serta menyimak isu-isu atau video viral yang menghebohkan masyarakat.

Namun, di sisi lain, media sosial juga mempunyai dampak negatif yang sangat nyata. Misalnya, anak-anak menjadi kurang konsentrasi dalam belajar, dan media sosial menjadi tempat maraknya perundungan (bullying). Media sosial juga dapat merusak kesehatan mental, terutama bagi para remaja. Banyak video atau konten yang menampilkan gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini membuat banyak masyarakat membandingkan dirinya dengan orang lain, sehingga menyebabkan kurang percaya diri, stres, hingga depresi.

Jadi, media sosial bukanlah teman atau musuh, melainkan netral, tergantung pada bagaimana cara kita menggunakannya. Jika media sosial digunakan dengan bijak dan baik, maka kita akan mendapatkan banyak manfaat. Sebaliknya, jika tidak digunakan dengan bijak, media sosial bisa membawa kemudaratan, membuat kita lalai, dan menimbulkan dampak negatif.

Intinya, semua tergantung pada diri kita masing-masing, karena kuncinya ada pada kita.


Penulis: Ishfa Naisila
Editor: Putri Ruqaiyah

30 Mei 2025

Produktif dan Sibuk: Dua Hal yang Berbeda

 

Foto: pexels

www.lpmalkalam.com- Terkadang kita merasa bahwa kita hebat karena melakukan banyak hal dari pagi sampai malam. Tapi, pernahkah kita berpikir, apakah kesibukan kita tersebut merupakan hal yang bermakna? Atau hanya terbuang sia-sia begitu saja?

Banyak orang salah dalam memahami produktif dan sibuk, padahal keduanya sangat berbeda terkait kualitas dan kuantitasnya. Sibuk merupakan kegiatan yang kita jadwalkan dari pagi sampai malam, akan tetapi yang dikerjakan belum tentu hal yang penting. Seperti kita men-scroll media sosial, tetapi sambil mengatakan, “Wah, kerjaanku saat ini banyak banget.”

Sedangkan produktif adalah mengerjakan sesuatu dan dapat menghasilkan kualitas yang baik dan bernilai. Bukan tentang sebanyak apa yang sudah kita lakukan, tetapi seberapa bernilainya apa yang sudah kita lakukan. Orang yang produktif tahu bagaimana cara memprioritaskan sesuatu, mana yang bisa ditunda dan mana yang harus diselesaikan saat itu juga.

Jadi, bagaimana keadaan kita saat ini? Sibuk atau produktif? Jika kita ingin mempunyai hidup yang lebih bermakna, maka coba tanya ke diri sendiri, “Sebenernya aku ini sibuk atau produktif?” Karena lebih baik kita fokus mengerjakan dua hal penting daripada mengerjakan dua puluh hal yang belum tentu jelas arahnya ke mana.


Penulis: Neiva Zaida Hasanah Saragih

Editor: Putri Ruqaiyah


22 Mei 2025

Realita Pendidikan yang Jarang Disadari oleh Para Pelajar

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Sebagaimana kita ketahui semuanya bahwa sebagai manusia perlu yang namanya ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkannya kita perlu yang namanya pendidikan, baik itu dari formal seperti sekolah, ataupun non-formal seperti belajar melalui media sosial. Tapi, apakah kita pernah sadar apa sebenarnya tujuan kita mempelajari ilmu pengetahuan? dan di sini, maksud dari ilmu pengetahuan adalah pengetahuan umum, bukan tentang pengetahuan Islam. Kalau pengetahuan Islam sudah pasti tujuan akhirnya adalah surga. Nah, sekarang yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana dengan pengetahuan umum? kalau yang sering kita dengar, tujuan kita belajar ya untuk menambah wawasan, agar tidak dibodohi orang, agar pintar, dan sebagainya. Tapi, coba Anda pikir kembali, apa iya itu tujuan sebenarnya ilmu pengetahuan?

Saya rasa bukan itu tujuan ataupun inti dari ilmu pengetahuan, justru ada inti yang terpenting di balik itu semua. Lantas apa itu? jawabannya adalah uang dan bertahan hidup. Mengapa saya berani mengatakan hal itu? Pertama, saat kita menuju dewasa, apa hal yang sering terlintas dalam hidup kita? Saya yakin banyak dari kita memiliki pemikiran yang sama, yaitu tentang ekonomi ataupun hal-hal yang berkaitan dengan finansial. Dan di sini cara kita untuk mendapatkan uang adalah dengan adanya ilmu pengetahuan. Tanpa adanya ilmu, kita sulit untuk mencari uang, dan di sinilah ilmu pengetahuan kita bermain. Apakah dengan ilmu kita, kita mampu untuk bertahan hidup untuk bersaing dengan para manusia yang lain?

Di sini saya contohkan Bill Gates, yaitu salah satu pria terkaya di dunia, pemilik Microsoft, ataupun bisa juga seperti Mark Zuckerberg, pendiri Facebook. Mereka berdua merupakan contoh bahwa pentingnya ilmu pengetahuan dan apa tujuan sebenarnya selama ini kita berpendidikan bukan hanya semata-mata untuk wawasan saja. Ilmu sangat berpengaruh terhadap keterampilan bertahan hidup dan juga tentang mencari uang. Ilmu pengetahuan itu banyak, dan semua ilmu pengetahuan bisa dijadikan uang jika kita tahu ke mana ilmu tersebut bisa berguna, seperti Bill Gates, Elon Musk, Mark Zuckerberg, mereka merupakan contoh orang yang sadar bahwa apa tujuan sebenarnya pendidikan.

Penulis: T. Akmal Rizki Phonna

Editor: Putri Ruqaiyah

20 Mei 2025

Komunitas Fantasi Sedarah Ruang Aman atau Bahaya yang Terabaikan?

foto: pexels

 www.lpmalkalam.com- "Fantasi Sedarah" yang baru-baru ini viral telah menimbulkan keprihatinan dan keresahan yang sangat besar di masyarakat Indonesia. Grup ini berisi konten yang mengarah pada fantasi seksual inses, termasuk terhadap anak-anak, yang jelas-jelas melanggar norma kesusilaan dan hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta perlindungan anak.

Fenomena ini mencerminkan betapa ruang aman bagi anak-anak dan keluarga kini semakin terancam, bahkan dari lingkungan yang seharusnya paling terlindungi, yaitu rumah dan keluarga sendiri. Pakar anak menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya mencoreng nilai kemanusiaan, tetapi juga menjadi peringatan keras bahwa perlindungan anak harus diperkuat secara serius, karena pelaku kekerasan seksual sering kali berasal dari orang terdekat.

Respons dari berbagai pihak, termasuk Komisi III DPR dan Kementerian Komunikasi dan Digital, menuntut tindakan tegas dari kepolisian untuk segera menangkap dan menindak para pelaku serta mengusut anggota grup tersebut. Hal ini penting agar tidak terjadi penyebaran pengaruh negatif yang dapat mendorong kekerasan seksual terhadap anak, perempuan, dan anggota keluarga lainnya.

Secara umum, keberadaan grup seperti ini di platform jejaring sosial seperti Facebook menunjukkan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap konten yang beredar di media sosial. Platform harus bertanggung jawab dalam menghapus konten yang melanggar hukum dan norma sosial, serta bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mencegah penyebaran konten berbahaya yang dapat merusak moral dan keamanan masyarakat, khususnya anak-anak.

Penulis Aprillia Fira Purnama

Editor Putri Ruqaiyah

18 Mei 2025

Anak Jalanan: Mereka Bukan Sampah Kota, tapi Harapan yang Terabaikan

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Setiap hari, kita menyaksikan anak-anak kecil mengamen, mengemis, bahkan mengelap kaca mobil di lampu merah. Mereka disebut “anak jalanan”, sebuah istilah yang kerap membuat kita berpaling, bukannya peduli. Padahal, mereka bukan masalah kota, namun korban dari sistem sosial yang gagal memberi keadilan ke kehidupannya. 

Anak-anak ini hidup di jalan bukan karena pilihan, tapi karena keadaan. Banyak dari mereka berasal dari keluarga miskin, rumah tangga yang retak, atau lingkungan tempat tinggal yang keras. Mereka kehilangan hak kehidupan seorang anak, yaitu pendidikan, keamanan, dan juga kasih sayang. Yang lebih menyedihkan, banyak dari mereka dianggap sebagai gangguan atau ancaman, bukan manusia yang butuh uluran tangan.

Pemerintah memang punya program penanganan anak jalanan, tapi kenyataannya, mereka sering “diamankan” alias disembunyikan dari penglihatan mata hanya saat ada tamu penting atau menjelang acara besar. Setelah itu? Mereka kembali ke trotoar, ke bawah jembatan, ke kerasnya dunia jalanan yang tidak mengenal belas kasih terhadap tangan mungilnya itu. 

Sudah saatnya negara dan masyarakat berhenti menutup mata. Pendekatan harus berganti dari sekadar pengusiran ke pemberdayaan yang lebih baik, seperti pendidikan alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan hak pendidikan, pelatihan keterampilan untuk mengasah kemampuan mereka di dunia luar, dan perlindungan hukum yang jelas demi memberikan rasa aman kepada meraka. Anak-anak ini punya potensi jika diberi kesempatan. Mereka bukan generasi gagal, namun hanya belum pernah diberi ruang untuk tumbuh.

Anak jalanan bukan wajah buruk sebuah kota. Mereka adalah cermin kegagalan kita sebagai bangsa dalam merawat masa depan.

Penulis: Siti Rayhani

Editor: Zuhra

Teknologi Memudahkan, tapi Apakah Membuat Kita Lebih Bahagia?

foto: istockPhoto.com

www.lpmalkalam.com- Dalam dua dekade terakhir, kemajuan teknologi telah merevolusi kehidupan manusia. Dengan satu sentuhan jari, kita bisa terhubung dengan siapa saja di berbagai penjuru dunia. Aktivitas seperti belanja, bekerja, belajar, hingga mengakses layanan kesehatan kini dapat dilakukan dari rumah. Tanpa diragukan, teknologi menghadirkan kemudahan yang luar biasa. Namun, di balik segala kepraktisan itu, muncul pertanyaan penting apakah hidup kita benar-benar menjadi lebih bahagia?

Tak bisa dimungkiri, teknologi telah menyederhanakan berbagai aspek kehidupan. Komunikasi yang dulu lambat kini berlangsung dalam hitungan detik melalui pesan instan atau video call. Pekerjaan yang dulunya menyita waktu dan tenaga kini dapat diselesaikan dengan bantuan perangkat digital. Informasi dari seluruh dunia pun mudah diakses kapan saja dan di mana saja.

Namun, kemudahan ini datang dengan konsekuensi. Di tengah konektivitas digital yang semakin luas, relasi manusia justru terasa semakin renggang. Kita mungkin memiliki ratusan bahkan ribuan teman di media sosial, tetapi merasa kesepian dalam kehidupan nyata. Rasa cemas meningkat, terutama karena tekanan untuk selalu tampil sempurna di dunia maya. Tak jarang, kita terjebak dalam siklus membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih bahagia, padahal itu hanya representasi sepihak dari realitas.

Ironisnya, teknologi yang seharusnya membebaskan justru sering kali membelenggu. Kita menjadi tergantung pada notifikasi, sulit beristirahat tanpa menyentuh ponsel, dan merasa bersalah jika tidak terus produktif. Pilihan yang melimpah di dunia digital bukannya menenangkan, melainkan sering membuat kita bimbang dan merasa tidak pernah cukup.

Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkaitan dengan penurunan tingkat kebahagiaan dan peningkatan risiko depresi, terutama di kalangan remaja dan anak muda. Ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak secara otomatis membawa kesejahteraan emosional.

Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa teknologi hanyalah alat. Ia bisa menjadi sumber kebaikan jika digunakan dengan bijak, namun bisa juga menjadi jebakan yang menjauhkan kita dari makna hidup yang sesungguhnya. Maka, di tengah arus kemudahan ini, penting bagi kita untuk kembali bertanya: apakah teknologi membuat hidup kita lebih bermakna? Ataukah justru menjauhkan kita dari hal-hal sederhana yang selama ini menjadi sumber kebahagiaan?


Penulis: Qurrata A'yuni

Editor: putri Ruqaiyah

13 Mei 2025

Dari Pelindung Menjadi Pemangsa: Wajah Gelap Kekerasan Seksual di Indonesia

foto: pixabay

 www.lpmalkalam- Kasus pelecehan seksual di Indonesia makin hari semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya dilakukan oleh orang asing, namun juga oleh orang-orang yang seharusnya kita percaya dan hormati, seperti guru, pemuka agama, bahkan aparat penegak hukum. Ini bukan lagi sekadar masalah moral, tapi sudah menjadi darurat sosial yang nyata.

Yang lebih menyedihkan, korban pelecehan seksual paling banyak justru berasal dari kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Dilansir dari Kompas.id, sebanyak 74% korban kekerasan seksual sepanjang 2023 hingga awal 2024 adalah anak perempuan. Ini adalah angka yang sangat besar dan seharusnya membuat kita semua sadar bahwa lingkungan sekitar kita tidak seaman yang kita kira, terutama untuk anak-anak.

Sementara itu, dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang dikutip dari Detik.com, tercatat sebanyak 8.674 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi sepanjang tahun 2024. Bahkan, banyak dari kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan pesantren. Bayangkan, tempat yang seharusnya menjadi tempat belajar dan tumbuh, malah menjadi tempat yang merusak masa depan anak-anak.

Ironisnya, tak sedikit pelaku justru berasal dari institusi yang seharusnya memberi perlindungan. Beberapa waktu terakhir, kita mendengar kasus pelecehan yang dilakukan oleh anggota kepolisian, guru, bahkan oknum pejabat. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan bisa disalahgunakan, dan korban sering kali tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.

Padahal, negara sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini seharusnya menjadi alat hukum untuk melindungi korban dan menghukum pelaku secara tegas. Sayangnya, penerapan UU ini masih lemah. Masih banyak aparat hukum yang tidak berpihak kepada korban, proses hukum yang lambat, bahkan ada korban yang justru dipersulit ketika melapor.

Banyak korban akhirnya memilih diam. Mereka takut, malu, atau merasa tidak akan mendapatkan keadilan. Beberapa bahkan mengalami tekanan dari keluarga, sekolah, atau lingkungan tempat tinggal. Hal ini menjadikan pelaku merasa aman dan bisa mengulangi perbuatannya lagi. Kita juga masih menghadapi budaya yang cenderung menyalahkan korban. Cara berpakaian, cara bicara, bahkan jam keluar rumah sering dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan pelaku. Inilah yang membuat korban merasa dua kali disakiti, pertama oleh pelaku dan kedua oleh masyarakat.

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang ini. Pelecehan seksual bukan soal pakaian atau perilaku korban. Ini adalah soal kekuasaan dan penyalahgunaannya. Pelaku memilih untuk melukai karena merasa lebih kuat dan bisa lolos dari hukuman. Kita semua punya tanggung jawab. Bukan hanya pemerintah atau aparat hukum, tapi juga masyarakat. Kita harus mendukung korban, bukan menyudutkan. Kita harus berani bersuara dan mendorong agar keadilan ditegakkan. Karena jika kita terus diam, maka siapa pun bisa menjadi korban berikutnya, bahkan orang terdekat kita. Pelecehan seksual bukan hanya merusak tubuh, namun juga menghancurkan mental dan masa depan seseorang. Mari hentikan lingkaran kekerasan ini bersama-sama. Karena jika pelindung berubah menjadi pelaku, maka siapa lagi yang bisa kita percaya?


Penulis: Meutia Rahma

Editor: Zuhra

12 Mei 2025

Tindak Hakim Sendiri: Cermin Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap Sistem Hukum

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Dewasa ini, eigenrichting atau tindak main hakim sendiri kerap menjadi isu yang marak terjadi di negara kita, Indonesia. Hal ini terjadi ketika masyarakat mengambil alih peran penegak hukum melalui tindakan kekerasan tanpa melalui prosedur hukum yang sesuai, hanya berdasar pada spekulasi atau dugaan bahwa "seseorang bersalah". Perbuatan ini jelas melanggar asas praduga tak bersalah dan semakin menjalar di masyarakat sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja para penegak hukum.

Maraknya berita di media sosial mengenai kasus atau skandal yang melibatkan oknum penegak hukum turut memperburuk citra institusi hukum. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat akibat penyalahgunaan wewenang serta perilaku amoral sebagian oknum penegak hukum.

Kegagalan penegak hukum dalam menjalankan fungsi preventif dan represif terhadap tindak kejahatan juga menjadi faktor besar yang mendorong terjadinya eigenrichting. Dalam praktiknya, ketika suatu kejahatan dianggap ditangani terlalu lambat oleh aparat, masyarakat sering merasa berhak untuk mengambil tindakan sendiri demi keadilan yang cepat dan langsung. Namun, tindakan ini pada dasarnya adalah keliru.

Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal kejahatan. Hak dan perlindungan bagi pelaku maupun korban telah diatur dalam sistem hukum kita demi menjaga tatanan keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh lembaga yang berwenang.

Mengatasi masalah ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi para penegak hukum untuk memulihkan kepercayaan publik dengan menjaga integritas, moral, dan martabat profesinya. Masyarakat pun dituntut untuk memiliki kesadaran hukum dan kedewasaan dalam menyikapi kasus-kasus hukum.

Oleh karena itu, dibutuhkan peran aktif pemerintah dalam menyosialisasikan edukasi hukum yang menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat demi membentuk kehidupan bangsa yang lebih adil dan tertib.

Referensi :

https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/download/2168/1244/4990

https://shariajournal.com/index.php/IJIJEL/article/download/744/384/1344

https://www.penasihathukum.com/sebuah-pelanggaran-hukum-ini-5-contoh-tindakan-main-hakim-sendiri

https://kolom.espos.id/hentikan-main-hakim-sendiri-2038925

https://www.kompasiana.com/muhammaddahron2351/67a6f22ec925c45f2811e032/fenomena-main-hakim-sendiri-apa-yang-salah-dengan-sistem-hukum-kita?page=2&page_images=1

Penulis: Ismi Sayyidina Lubis

Editor: Putri Ruqaiyah

30 April 2025

Sirkus Taman Safari

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- 

Dibawah gelapnya langit malam

Diatas panggung yang megah

Dengan sorot lampu yang bersinar

Pertunjukan yang indah dimulai

Sorak sorai penonton yang bertepuk tangan

Menyaksikan sebuah penampilan sirkus

Sirkus ini bukan sekadar hiburan,

Tapi panggung cerita penuh keajaiban.

Namun di balik tepuk tangan yang ramai,

Ada suara sunyi dari balik jeruji damai.

Apakah mereka bahagia di tengah sorak?

Ataukah hanya diam dalam topeng gemerlap?

Sirkus Taman Safari, kini kau terkenal,

Namun bisakah viralmu tetap bermoral?

Tertawa boleh, kagum pun pantas,

Asal tetap ingat hati yang bebas.


Karya: Syamsiah (Rilis)

29 April 2025

Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Mahasiswa: Tantangan yang Perlu Dihadapi Bersama

Foto: Pixabay
www.lpmalkalam.com- Di tengah tekanan akademik yang semakin meningkat, banyak mahasiswa yang menghadapi masalah kesehatan mental yang serius. Tuntutan untuk berprestasi, memenuhi harapan keluarga, serta menjalani kehidupan sosial yang dinamis, sering kali menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. Meskipun masalah ini semakin dibicarakan, kenyataannya banyak mahasiswa yang masih enggan mengungkapkan perasaan mereka dan lebih memilih untuk menahan masalah tersebut, karena takut dihakimi atau dianggap lemah. Akibatnya, masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa kerap kali terabaikan dan tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.

Stres akademik adalah salah satu pemicu utama dari masalah kesehatan mental yang dialami mahasiswa. Beban tugas yang terus menumpuk, ujian yang datang silih berganti, dan ekspektasi tinggi yang datang dari keluarga sering kali membuat mahasiswa merasa tertekan. Selain itu, banyak di antara mereka yang belum memiliki keterampilan untuk mengatur waktu dan mengelola tekanan, yang menjadikan mereka lebih rentan terhadap stres. Tak jarang, tekanan akademik ini berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti kecemasan dan depresi. Ketidakpastian mengenai masa depan, rasa tidak cukup baik, dan perasaan terjebak dalam rutinitas yang membebani dapat memperburuk kondisi tersebut.

Selain stres akademik, mahasiswa juga menghadapi tantangan sosial yang besar. Menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus yang baru, jauh dari keluarga, serta beradaptasi dengan teman-teman dan lingkungan sosial yang berbeda bisa memicu perasaan kesepian dan isolasi emosional. Di tengah keramaian kampus, beberapa mahasiswa merasa terpinggirkan dan sulit membangun hubungan sosial yang mendalam. Perasaan kesepian ini menjadi salah satu faktor pemicu masalah kesehatan mental, yang sering kali tidak terungkap karena mahasiswa cenderung menyembunyikan perasaan mereka.

Bahkan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, stigma terhadap masalah ini masih sangat kuat. Banyak mahasiswa yang enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau tidak mampu menghadapi masalah mereka sendiri. Layanan konseling yang tersedia di banyak kampus pun sering kali tidak dimanfaatkan secara maksimal, meskipun sudah ada upaya dari pihak universitas untuk menyediakan fasilitas tersebut. Stigma ini menciptakan tembok tebal antara mahasiswa dan bantuan yang mereka butuhkan.

Namun, solusi untuk krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa tidaklah mustahil. Kampus harus menjadi tempat yang mendukung dan aman bagi mahasiswa untuk membicarakan masalah kesehatan mental mereka. Pertama, kampus perlu lebih aktif dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Mengadakan seminar, workshop, atau kegiatan lain yang mengedukasi mahasiswa tentang cara mengelola stres dan kecemasan bisa membantu mengurangi stigma serta memberikan informasi yang berguna untuk mereka yang merasa tertekan. Selain itu, layanan konseling yang ada perlu diperkuat agar lebih mudah diakses dan digunakan tanpa rasa takut dinilai negatif.

Lebih jauh lagi, kampus perlu menciptakan budaya yang mendukung, di mana mahasiswa merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah kesehatan mental mereka. Mahasiswa harus merasa bahwa mereka tidak akan dihukum atau dipandang rendah hanya karena mengakui adanya masalah psikologis. Dalam hal ini, penting untuk membangun hubungan yang lebih manusiawi dan empatik di dalam lingkungan kampus. Program-program yang melibatkan teman-teman sebaya, di mana mereka bisa saling mendukung dan memberikan perhatian terhadap kondisi kesehatan mental satu sama lain, juga bisa sangat efektif.

Selain itu, integrasi pendidikan tentang kesehatan mental dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi langkah preventif yang sangat penting. Mengajarkan mahasiswa tentang pentingnya keseimbangan antara kehidupan akademik dan pribadi, serta cara-cara untuk mengelola stres secara sehat, dapat mengurangi dampak negatif dari tekanan yang mereka hadapi.

Krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa adalah masalah yang perlu ditangani bersama. Semua pihak dosen, teman-teman, dan pihak kampus-harus saling bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih peduli dan mendukung kesehatan mental. Hanya dengan menciptakan ruang yang aman dan terbuka, mahasiswa dapat merasa didengar dan mendapat dukungan yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan kesehatan mental mereka. Dengan begitu, mereka dapat lebih fokus pada perkembangan pribadi dan akademik mereka, serta menghadapi masa depan dengan lebih percaya diri dan sehat secara mental.


Sumber: Rilis

Editor: Redaksi

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0821-6414-4543 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.