![]() |
| Foto: Pexels.com |
www.lpmalkalam.com- Di tengah kemajuan zaman dan derasnya arus modernisasi, ada satu masalah sosial yang sering luput dari perhatian hilangnya peran ayah dalam pengasuhan anak. Fenomena ini dikenal dengan istilah fatherless, yakni kondisi ketika seorang anak tumbuh tanpa kehadiran figur ayah, baik secara fisik maupun emosional.
Di banyak keluarga, ayah masih dianggap hanya sebagai pencari nafkah. Ia bekerja dari pagi hingga malam, pulang dengan tubuh lelah, dan merasa tugasnya selesai begitu kebutuhan ekonomi keluarga terpenuhi. Padahal, anak tidak hanya membutuhkan makanan dan uang, tetapi juga kasih sayang, bimbingan, dan keteladanan dari sosok ayah.
“Sejak kecil aku jarang bicara dengan Ayah. Beliau selalu sibuk bekerja, bahkan di rumah pun jarang tersenyum. Kadang aku merasa seperti tidak punya ayah, padahal beliau ada,” ujar Siti, seorang remaja berusia 17 tahun yang tumbuh dalam keluarga yang tampak lengkap, tetapi sebenarnya sunyi.
Kisah Siti bukanlah satu-satunya. Banyak anak di luar sana yang mengalami hal serupa hidup bersama ayah, namun tanpa sentuhan dan perhatian seorang ayah. Mereka tumbuh dengan rasa hampa, kesepian, dan kebingungan dalam mencari figur yang bisa mereka jadikan panutan.
Fenomena fatherless bukan hanya terjadi karena perceraian atau kepergian ayah secara fisik, tetapi juga karena kehilangan kedekatan emosional antara ayah dan anak. Dalam banyak kasus, ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan, merasa canggung menunjukkan kasih sayang, atau menyerahkan sepenuhnya peran pengasuhan kepada ibu. Akibatnya, anak kehilangan sosok pelindung yang bisa menjadi tempat bersandar, berdiskusi, atau sekadar berbagi cerita.
Penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh tanpa peran ayah cenderung memiliki risiko lebih tinggi terhadap masalah emosi, perilaku, dan sosial. Mereka bisa merasa tidak percaya diri, sulit membentuk hubungan sehat, bahkan rentan terjerumus dalam perilaku menyimpang. Ayah adalah simbol stabilitas dan ketegasan dalam keluarga ketika sosok itu hilang, keseimbangan emosional anak pun ikut terganggu.
Kehilangan peran ayah juga berdampak besar terhadap pola pendidikan karakter. Ayah seharusnya menjadi teladan dalam hal disiplin, tanggung jawab, dan nilai-nilai moral. Ketika anak tidak mendapatkan hal itu dari rumah, mereka akan mencari figur lain di luar rumah yang belum tentu membawa pengaruh baik.
Dalam budaya Indonesia, konsep fatherless sering kali dianggap tabu. Masyarakat masih beranggapan bahwa selama ayah memberikan nafkah, maka ia sudah menjalankan kewajiban. Padahal, ayah sejati bukan hanya yang hadir di dompet, tetapi juga yang hadir di hati anaknya.
Peran ayah dalam pengasuhan tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Keterlibatan ayah membantu anak memahami batas, mengambil keputusan, dan membangun rasa aman. Bahkan dalam psikologi perkembangan, kehadiran ayah diyakini berpengaruh besar terhadap pembentukan identitas anak, terutama pada masa remaja.
Sudah saatnya kita membuka mata dan menyadari bahwa menjadi ayah bukan hanya soal tanggung jawab ekonomi, tetapi juga tanggung jawab emosional dan spiritual. Seorang ayah harus belajar hadir, mendengarkan, dan membangun komunikasi dengan anaknya. Bukan sekadar datang saat marah atau menegur, melainkan juga saat anak butuh pelukan dan pengertian.
Jika fenomena fatherless terus dibiarkan, maka kita sedang menciptakan generasi yang tumbuh tanpa arah generasi yang mungkin cerdas secara akademik, tetapi rapuh secara emosional.
Siti, dan ribuan anak lain yang mengalami kehilangan peran ayah, adalah cermin dari persoalan yang lebih besar hilangnya kedekatan dalam keluarga modern. Dan mungkin, sudah saatnya setiap ayah berhenti sejenak, meletakkan ponsel dan pekerjaan, lalu menatap mata anaknya dan berkata, “Ayah di sini, Nak.”
Karena sejatinya, kehadiran ayah bukan sekadar soal waktu, tetapi soal hati yang hadir sepenuhnya.
Penulis: Daffa Alkausar (Magang)


