![]() |
Foto: Pexels.com |
Kami lahir di antara cahaya layar,
tumbuh bersama dering notifikasi,
dan belajar mengenal dunia melalui jempol dan jaringan tanpa batas.
Kami menatap dunia dari kaca kecil di genggaman,
seakan seluruh hidup bisa diringkas dalam satu unggahan yang sempurna.
Kami, remaja yang katanya mudah bimbang,
mudah jatuh cinta,
mudah marah, dan mudah menyerah.
Tapi di balik itu semua,
ada hati yang rapuh, tapi berani.
Ada jiwa yang terluka, tapi masih ingin mencoba.
Kami berbicara lewat chat,
tertawa di ruang virtual,
dan menangis tanpa suara,
karena takut dianggap terlalu lemah
di dunia yang sibuk menilai daripada memahami.
Kami ingin dikenal,
tapi juga takut terlalu terlihat.
Kami ingin mencintai,
tapi takut disakiti.
Kami ingin jadi hebat,
tapi kadang hanya ingin istirahat.
Di kelas kami tersenyum,
meski kepala penuh dengan tanya:
tentang masa depan, tentang pilihan,
tentang siapa kami sebenarnya.
Kami belajar menghitung, menulis, dan menghafal,
tapi tak ada pelajaran
tentang bagaimana menghadapi kecewa,
atau cara menerima diri sendiri.
Kami menulis di catatan rahasia,
tentang mimpi yang mungkin tak akan kami ceritakan,
tentang seseorang yang hanya bisa kami kagumi diam-diam,
tentang rasa takut gagal yang menekan dada setiap malam menjelang.
Kami mendengar dunia berkata,
“Remaja itu malas, remaja itu tak tahu arah,”
padahal mereka lupa,
kami sedang berjuang memahami arah itu sendiri.
Kami tak ingin jadi sempurna,
kami hanya ingin dimengerti.
Kami mencintai tanpa janji,
berharap tanpa kepastian,
dan kehilangan dengan diam,
karena begitulah cinta di zaman ini—
cepat datang, cepat pergi,
meninggalkan jejak di pesan terakhir
yang tak sempat dikirim.
Namun di balik tawa yang dibuat-buat,
masih ada doa yang diam-diam kami kirimkan
kepada Tuhan yang mungkin sudah lelah
mendengar permintaan yang sama setiap malam.
Kami memohon bukan untuk kaya,
bukan untuk viral,
tapi hanya untuk tenang.
Tenang dalam hati yang sering ribut sendiri.
Kami belajar dari patah hati,
dari kegagalan,
dari pertemanan yang perlahan menjauh,
dan dari waktu yang berjalan terlalu cepat,
sementara kami masih mencoba memahami maknanya.
Kami tidak ingin hanya jadi bayangan,
atau sekadar nama di daftar hadir kehidupan.
Kami ingin berarti,
walau hanya untuk satu orang,
atau bahkan hanya untuk diri kami sendiri.
Karena meski kami sering bingung,
sering takut,
dan sering merasa sendirian,
kami tetap berjalan.
Dengan langkah yang mungkin kecil,
tapi nyata.
Kami, remaja zaman ini,
tumbuh di tengah badai informasi,
terkadang kehilangan arah,
namun tak pernah benar-benar berhenti mencari cahaya.
Dan suatu hari nanti,
ketika dunia menertawakan masa muda kami,
kami akan tersenyum,
karena kami tahu, kami pernah hidup dengan sepenuh hati—
di masa paling rumit,
tapi paling indah.