![]() |
Sumber: Pexels.com |
www.lpmalkalam.com- Prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat. Menurut data yang tersedia, pada tahun 2025, 38,7% dari populasi diperkirakan akan diidentifikasi sebagai perokok Indonesia. Akibatnya, 38,7% individu berusia 15 tahun ke atas diklasifikasikan sebagai perokok. Selain itu, perlu dicatat bahwa sekitar 73,2% laki-laki Indonesia terlibat dalam merokok aktif. Oleh karena itu, Indonesia diakui sebagai negara yang menghadapi beban rokok yang signifikan, mengingat proporsi perokok perempuan mencapai 3,4%. Dengan statistik yang luar biasa ini, Indonesia memegang posisi tertinggi keempat di dunia, hanya tertinggal di belakang Nauru, Myanmar, dan Papua Nugini.
Pemanfaatan produk tembakau yang berlebihan di Indonesia menimbulkan dampak serius di seluruh dimensi kesehatan, ekonomi, dan sosial. Berkenaan dengan kesehatan, konsumsi rokok merupakan kontributor utama kematian dini, penyakit paru, kondisi kardiovaskular, dan berbagai bentuk kanker. Dari perspektif ekonomi, negara ini menghadapi beban keuangan yang signifikan yang disebabkan oleh pengeluaran yang terkait dengan pengobatan penyakit yang terjadi karena merokok dan mencapai triliunan rupiah. Sementara rumah tangga miskin semakin menemukan diri mereka terjebak dalam siklus kemiskinan karena pengeluaran untuk rokok melampaui pengeluaran untuk kebutuhan pokok. Pada tingkat sosial, normalisasi merokok, terutama di kalangan remaja, telah mengakibatkan munculnya generasi yang produktivitasnya menurun karena penyakit yang berhubungan dengan kesehatan.
Meningkatnya prevalensi perokok di Indonesia dibentuk oleh interaksi harga, pemasaran, pengaruh budaya, dan langkah-langkah peraturan. Keterjangkauan produk tembakau, yang berasal dari pajak cukai tembakau yang minimal, memfasilitasi akses bagi semua demografi, termasuk anak di bawah umur dan individu yang kurang beruntung secara ekonomi. Promosi tembakau yang kuat melalui media tradisional dan digital menimbulkan persepsi bahwa merokok merupakan pilihan gaya hidup yang biasa dan menarik, terutama di kalangan kaum muda. Faktor budaya juga menguatkan kebiasaan ini, di mana merokok sering dianggap sebagai bagian dari interaksi sosial di warung, tempat kerja, bahkan keluarga.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 113 hingga 116, berfungsi sebagai bukti tegas dedikasi pemerintah untuk mengatasi konsekuensi konsumsi rokok. Inisiatif strategis ini telah diperkuat lebih lanjut melalui Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, yang diidentifikasi sebagai Nomor 88/Menkes/PB/I/2011 dan Nomor 7 tahun 2011, yang secara eksplisit menggambarkan parameter Area Non-Smoking (KTR), yang mencakup lembaga pendidikan, area rekreasi anak-anak, serta fasilitas umum lainnya yang sering dikunjungi oleh individu, terutama anak di bawah umur.
Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengatur konsumsi rokok untuk menjaga kesehatan masyarakat, meringankan beban ekonomi, dan melindungi generasi muda. Pemerintah harus meningkatkan kerangka peraturan dengan memaksakan kenaikan pajak cukai rokok, melembagakan larangan komprehensif pada semua bentuk iklan rokok dan sponsor, dan memperluas ruang lingkup Kawasan Non-Rokok (KTR) dengan penegakan hukum yang rajin. Sektor kesehatan dan pendidikan harus secara proaktif terlibat dalam pendidikan publik, terutama yang menargetkan anak-anak dan remaja, mengenai bahaya yang terkait dengan penggunaan rokok melalui kampanye inovatif dan inisiatif pencegahan.
Sangat penting bahwa individu mengenali efek merugikan rokok, baik untuk diri mereka sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya, dan menganjurkan lingkungan bebas asap rokok. Bagi individu yang merokok, berhenti merokok dapat menghadirkan tantangan; Namun, dengan bantuan layanan konseling dan tekad yang tak tergoyahkan, perjalanan menuju perubahan dapat dimulai hari ini. Bersama, kita bisa menciptakan Indonesia yang lebih sehat dan produktif tanpa jeratan asap rokok!
Sumber: Rilis
Editor: Redaksi