![]() |
Foto: Instagram/@kemhanri |
www.lpmalkalam.com – Penambahan batalyon di Aceh menjadi sorotan publik setelah Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, meresmikan sejumlah satuan baru di wilayah Kodam Iskandar Muda. Peresmian tersebut berlangsung dalam upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Lapangan Udara Suparlan, Pusdiklatpassus Batujajar, Kabupaten Bandung Barat pada Minggu (10/8/2025).
Berdasarkan pemberitaan berbagai media lokal maupun nasional, mayoritas laporan menyebutkan bahwa presiden meresmikan lima Batalyon Teritorial Pembangunan (Yonif TP) yang berlokasi di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tengah, Gayo Lues, Nagan Raya, dan Pidie. Namun, terdapat sumber lain yang menyebut jumlah batalyon baru mencapai enam unit. Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi terkait perbedaan data tersebut.
Menurut laporan Analisa Aceh, Presiden Prabowo tidak hanya meresmikan lima Yonif TP di Aceh, tetapi juga satu Brigade Infanteri. Agenda ini merupakan bagian dari program pembentukan total 100 Yonif TP dan 20 Komando Brigade Infanteri baru di seluruh Indonesia. Artinya, peresmian ini tidak semata-mata sebatas unit tempur tingkat batalyon, melainkan juga mencakup penguatan struktur komando di tingkat yang lebih tinggi.
Sementara itu, melalui unggahan di akun Instagram resmi Kementerian Kajian dan Advokasi Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe (@kajianadvokasi_demauinsuna) pada Selasa (12/8/2025), DEMA UIN SUNA menyatakan penolakan tegas terhadap rencana pembangunan empat batalyon di Aceh. Empat lokasi yang disebut adalah Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil.
DEMA-U menilai penambahan batalyon tersebut melanggar Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam Pasal 4.4 MoU tersebut disebutkan bahwa jumlah personel militer organik di Aceh dibatasi maksimal 14.700 orang, tanpa penambahan batalyon baru kecuali untuk rotasi dan penggantian personel.
DEMA-U menyampaikan empat alasan utama penolakan:
1. Penambahan batalyon dinilai melanggar MoU Helsinki dan merusak komitmen damai di hadapan dunia internasional.
2. Langkah tersebut bertentangan dengan semangat demiliterisasi pascakonflik dan menghidupkan kembali bayang-bayang status Daerah Operasi Militer (DOM).
3. Penambahan pasukan dalam jumlah besar dianggap mengancam kepercayaan yang dibangun selama 20 tahun perdamaian.
4. Alasan ketahanan pangan dinilai tidak sebanding dengan risiko sosial, politik, dan trauma masa lalu masyarakat Aceh.
Selain itu, DEMA-U menyoroti potensi keterlibatan TNI dalam sektor sipil seperti pertanian dan ketahanan pangan yang dinilai tidak tepat serta berpotensi melanggengkan militerisasi sipil.
Di samping itu, perlu dicatat bahwa dalam isi tuntutannya, DEMA-U baru menyoroti rencana pembangunan empat batalyon, sedangkan pada kenyataannya Presiden Prabowo telah meresmikan lima batalyon di Aceh dalam agenda tersebut. Perbedaan ini menjadi salah satu titik ketidaksesuaian informasi di ruang publik. Namun, tanda-tanda kebangkitan semangat dan kepedulian DEMA-U mulai tampak, berawal dari satu unggahan tersebut.
![]() |
Foto: Instagram/@kajianadvokasi_demauinsuna |
Dengan landasan tersebut, DEMA-U menyatakan empat tuntutan, diantaranya penolakan penuh terhadap pembangunan batalyon baru dan penegasan agar pemerintah mematuhi MoU Helsinki. “Kami menolak segala bentuk kebijakan yang mengarah pada remiliterisasi Aceh, termasuk rencana pembangunan empat batalyon TNI. Menjaga perdamaian berarti menjaga masa depan Aceh yang adil, aman, dan bermartabat,” tulis DEMA-U dalam penutup pernyataannya.
Penulis: Muhammad Syahru dan Alya Nadila
Editor: Zuhra