![]() |
Kamerawan: Qanita Sholihat |
Penulis: Muhammad Syahru
www.lpmalkalam.com- Skripsi yang sejak lama diposisikan sebagai mahkota dari perjalanan akademik mahasiswa, kini seperti kehilangan taringnya. Banyak kampus terus mempertahankan skripsi sebagai syarat utama kelulusan, namun gagal menjadikannya ruang aktualisasi keilmuan yang utuh. Mahasiswa dipaksa menulis sesuatu yang aman, terlepas dari apakah itu relevan atau memiliki kontribusi nyata terhadap lingkungan sekitar. Akhirnya, skripsi hanya menjadi ritual administratif yang terkumpul rapi di rak perpustakaan, tapi tak pernah menyentuh ruang publik.
Ironisnya, tak sedikit dari skripsi-skripsi itu yang akhirnya hanya menjadi arsip bisu menumpuk, berdebu, dan dibiarkan usang di rak-rak kayu perpustakaan. Bahkan, beberapa skripsi yang tak tersentuh bertahun-tahun mulai lapuk, dimakan waktu, dan menjadi santapan rayap. Ia tak pernah dikutip, tak pernah dibaca ulang, bahkan mungkin tak dikenali lagi oleh penulisnya sendiri. Ilmu yang seharusnya hidup dan berdampak, justru dikubur dalam rak-rak kayu yang rapi dan terlupakan.
Di kampus kami, realitas ini terasa makin nyata. Narasi yang berkembang menyebutkan bahwa mahasiswa kini dapat menempuh jalur kelulusan melalui penulisan artikel ilmiah di jurnal terakreditasi minimal Sinta 3. Bagi sebagian mahasiswa, ini merupakan angin segar alternatif dari skripsi yang kerap dianggap birokratis dan kaku. Namun, hingga hari ini, jalur tersebut belum pernah diformalkan secara resmi melalui surat edaran kampus.
Kebingungan pun muncul, bukan soal memilih antara skripsi atau artikel, melainkan pada perbedaan prosedur di tahap awal. Isu yang tersebar di kalangan mahasiswa menyebutkan bahwa seminar proposal untuk jalur skripsi dan seminar proposal untuk jalur artikel memiliki mekanisme yang berbeda. Akibatnya, beberapa mahasiswa yang awalnya berniat menempuh jalur artikel mengurungkan niatnya karena khawatir akan ketidaksesuaian prosedur saat mendaftar proposal yang telah dibuka oleh pihak akademik. Di sisi lain, belum adanya kejelasan prosedural semakin menambah ketidakpastian. Hingga saat ini, kampus baru mengeluarkan surat edaran resmi terkait pendaftaran dan seminar proposal untuk jalur skripsi. Sementara itu, untuk jalur artikel ilmiah, belum ada payung administratif yang jelas. Ketidakpastian inilah yang membuat mahasiswa bingung dan hanya bisa menunggu kepastian yang tak kunjung datang.
Kondisi ini menggambarkan betapa jauhnya jarak antara kebijakan akademik dan kenyataan yang dihadapi mahasiswa. Skripsi sering kali bukan hasil dari kegelisahan intelektual mahasiswa terhadap persoalan masyarakat, melainkan produk dari tekanan waktu, ketidakjelasan panduan, dan dorongan untuk cepat selesai. Padahal, dalam konteks ideal, skripsi seharusnya menjadi refleksi pemikiran, ruang eksplorasi, bahkan aksi nyata. Ia harus menjadi media bagi mahasiswa untuk menjawab isu sosial, merespons fenomena kampus, atau menawarkan solusi lokal yang relevan. Namun, hal ini sulit terwujud ketika skripsi justru dikekang oleh aturan ketat, pembatasan topik, dan minimnya kepercayaan terhadap kapasitas kritis mahasiswa.
Akibatnya, skripsi kehilangan ruhnya. Ia tak lagi menjadi simbol ilmu yang mendarah daging dalam kehidupan mahasiswa, melainkan hanya beban administratif untuk mendapatkan ijazah. Banyak mahasiswa menulis tanpa benar-benar memahami makna risetnya. Beberapa hanya mengganti tahun dalam skripsi-skripsi lama. Sebagian lainnya bahkan menggunakan jasa penulisan (joki) karena sudah menyerah sebelum mencoba. Ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa, tetapi juga cerminan dari sistem yang tidak memberi ruang aman untuk berpikir merdeka.
Kampus membutuhkan keberanian untuk meninjau ulang sistem tugas akhir ini. Jika memang jalur artikel ilmiah hendak dibuka, maka harus ada regulasi tertulis yang jelas dan transparan. Jika skripsi tetap dijadikan jalan utama, maka ia harus direformasi: dibebaskan dari kungkungan topik-topik steril, diberi ruang untuk isu-isu kritis, dan disambungkan dengan kerja sosial, advokasi, atau bahkan kegiatan komunitas. Ilmu pengetahuan seharusnya menjadi sesuatu yang mengakar, menyentuh, dan mengubah bukan hanya soal berapa banyak kutipan atau seberapa panjang bab metodologi.
Sudah saatnya kita bertanya kembali, untuk siapa skripsi ini dibuat? Untuk birokrasi, atau untuk kebermanfaatan? Jika kampus masih ingin menjadikan skripsi sebagai tonggak akademik, maka ia harus dimaknai ulang. Bukan sekadar syarat, tapi sebagai buah dari proses berpikir yang tumbuh dalam diri mahasiswa, mendarah daging, dan hidup di tengah masyarakat.
Editor: Putri Ruqaiyah