Portal Berita Al-Kalam

Klasik Goes to SMA Negeri 1 Syamtalira Bayu Raih Antusias Siswa Pelajari Cara Penulisan Berita

Foto: Nurul Fadilah   www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) L...

HEADLINE

Latest Post

01 November 2025

Independent Women: Pembelaan Bagi Jiwa Perempuan di Era Modern

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Safa, dosen muda sekaligus Sekretaris Jurusan (Sekjur) Fisika yang populer di kampus karena prestasinya yang luar biasa. Di tengah kesibukan para ibu muda mengurus anak-anak mereka sekolah di pagi hari, Safa sibuk membalas chat (pesan) mahasiswa yang meminta parafnya di kampus. Setiap wanita paruh baya yang melihat Safa pasti akan berkata, "Andai dia menjadi menantuku."

Dia di puja-puja oleh mahasiswanya dan menjadi inspirasi bagi mereka. Berbeda keadaannya jika Safa berada di luar kampus. Keluarga Safa mengkhawatirkan keadaan Safa yang menginjak usia 29 tahun. Para tetangga sibuk membicarakan Safa yang tak kunjung memiliki tujuan hidup, yaitu "menikah." Padahal, bagi Safa tujuan hidupnya bukan hanya sekedar menikah, tetapi benar-benar menikmati hidupnya menjadi seorang perempuan. Perempuan yang berperan dalam hidup sendiri, tidak hanya bergantung pada pasangannya kelak. Bukan tidak mau, tapi Safa masih menunggu seseorang yang benar-benar bisa menjadi partner hidup yang searah dengannya. "Karena wanita independen harus mendapatkan cinta berkelas," itu kata-kata yang selalu menjadi pegangan Safa.

"Perempuan itu tugasnya hanya di rumah. Nanti juga bakal urus dapur, sumur, dan kasur." Kalimat yang tak jarang di dengar oleh Safa, namun dia hanya fokus pada tujuannya. Karena menurutnya, menjadi wanita harus cerdas dan berkualitas sehingga bisa menjadi orang tua yang mampu memberikan semangat untuk anak-anaknya kelak.

Di era modern ini, tak jarang terdengar tentang wanita yang berjuang. Banyak dari mereka yang memilih menjadi independent women. "Untuk perempuan, jika kalian mengikuti aturan agama, tidak perlu bekerja, kalian akan baik-baik saja," begitu kata seseorang yang belum paham betul tentang beberapa perempuan yang belum mendapatkan keberuntungan seperti yang dia katakan. Bukan menyalahi aturan agama, namun banyak muslimah hebat yang bisa dijadikan panutan. 

Menjadi independent women yang sesuai aturan syariat tak kalah hebat, bukan? Dalam Islam pun banyak wanita yang yang bisa dijadikan contoh, seperti: Ibunda Khadijah bint Khuwailid; Arwa al-Sulayhi, sebagai ratu di Yaman yang memimpin politik; Fatimah al-Fihri, yang mendirikan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko; dan banyak lainnya. Dalam Islam pun tidak menyebutkan bahwa wanita independen termasuk pemberontak, karena sejatinya perempuan berhak mencari keadilan untuk hidupnya.

"Mari menjadi wanita independen, karena perempuan adalah tiang. Tiang tidak harus cantik, tapi harus kuat," tutur Safa sebagai penutup kelasnya pada sore itu.


Penulis: Annisa Maulianda (Magang)

Editor: Tiara Khalisna
 

29 Oktober 2025

Hari Sumpah Pemuda: Menyalakan Kembali Api Sumpah Pemuda di Era Digital

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.comDalam hiruk-pikuk arus modern di masa globalisasi, muncul sebuah pertanyaan yang esensial, apakah generasi masa kini masih memahami makna persatuan layaknya para pemuda 1928 sebelumnya? Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah yang selalu dikenang pada tanggal 28 Oktober, melainkan semangat juang yang berlandaskan identitas bangsa, yakni Tanah Air Satu, Berbangsa Satu, dan Berbahasa Satu (Indonesia).

Sumpah pemuda merangkai makna ikrar:

1. Persatuan di atas Perbedaan

Sumpah pemuda lahir atas kesadaran bahwasanya bangsa yang besar bisa dibangun di kala adanya persatuan para pemuda dari berbagai suku, agama, dan daerah, serta rela menepikan ego kelompok demi satu tujuan, yakni Indonesia merdeka.

2. Bahasa sebagai Simbol Identitas

Bahasa Indonesia menjadi pemersatu yang menghapus batas-batas daerah. Di tengah agresi bahasa asing sekarang, menjaga bahasa Indonesia tetap hidup adalah sebuah bukti juang generasi muda bangsa.

3. Pemuda sebagai Pelaku Perubahan 

Di masa kini, perjuangan bukan lagi mengangkat senjata, tetapi dengan ide karya dan teknologi untuk membangun bangsa. Kreativitas dan kepedulian sosial adalah sebuah bukti nyata Sumpah Pemuda di masa modern kini.

Sumpah Pemuda mengajarkan kita bahwa masa depan bangsa ada pada tangan generasi muda yang berani bersatu, berpola pikir kritis, dan bertindak positif. Semoga semangat juang 1928 tidak hanya dikenang setiap tahun, tetapi dalam tindakan sehari-hari, baik dunia nyata maupun dunia maya.


Penulis: Rozatun Navais (Magang) 

Editor: Tiara Khalisna

 

Hormat Sumpah Pemuda, Merajut Kembali Semangat

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Tanggal 28 Oktober merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, kita semua memperingati Hari Sumpah Pemuda, sebuah momentum yang tercatat dalam sejarah sebagai lahirnya semangat persatuan di tengah keberagaman suku, bahasa, dan daerah yang berjauhan, untuk menjadi satu kesatuan bernama Indonesia.

Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa yang termaktub dalam buku sejarah, tetapi juga merupakan tonggak lahirnya kesadaran bagi para pemuda negeri ini untuk bersatu. Waktu demi waktu terus berlalu, hingga kini kita perlu menanyakan kepada diri masing-masing: “Apakah semangat itu masih ada dan terus kita tumbuhkan?”

Di era digitalisasi saat ini, kita mampu mengakses informasi secara luas. Namun ironisnya, kemudahan tersebut justru sering menimbulkan masalah baru, seperti perpecahan, penyebaran informasi yang salah, serta menurunnya kemampuan berpikir kritis dan berempati di kalangan masyarakat.

Semangat Sumpah Pemuda pada dasarnya terdiri dari tiga pilar utama, yaitu persatuan, kesadaran identitas, dan tanggung jawab kebangsaan. Tantangan pemuda masa kini bukan lagi tentang mengangkat senjata, melainkan melawan bentuk penjajahan baru: penjajahan mental, seperti sikap acuh tak acuh, mementingkan diri sendiri, dan kehilangan arah di tengah arus globalisasi.

Oleh karena itu, memperingati Hari Sumpah Pemuda seharusnya bukan sekadar seremonial atau kegiatan unggah konten di media sosial. Lebih dari itu, peringatan ini menjadi momen untuk kita menghayati kembali dan memahami makna sejati dari Sumpah Pemuda: semangat persatuan, tanggung jawab, dan cinta terhadap tanah air.


Penulis: Ilham Dwi Temas Miwa

Editor: Putri Ruqaiyah
 

28 Oktober 2025

Mengenal Istilah Strict Parents: Pola Asuh Anak yang Berujung Trauma

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Pola asuh orang tua sangat penting dan berpengaruh terhadap anak. Hal tersebut mempengaruhi bagaimana cara anak berperilaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pola asuh yang diterapkan pun sangat beragam, bahkan ada yang sampai menerapkan pola asuh strict parents. Strict parents adalah pola pengasuhan ketat dari orang tua yang melibatkan berbagai aturan dan pembatasan yang kaku terhadap anak. Kekakuan tersebut dapat berupa perilaku, pilihan, hingga rutinitas. Aturan yang diterapkan oleh orang tua dengan pola asuh demikian biasanya diikuti dengan hukuman tertentu. Tak hanya itu, aturan yang ditetapkan juga tidak bisa ditawar sehingga pergerakan anak semakin dibatasi. Sehingga bukannya mendidik anak dengan tepat melainkan mengekang anak tanpa tujuan yang jelas, terutama jika didasari gaya otoriter tanpa kompromi.

Karakteristik dari pola asuh ini diantaranya; Pertama, kontrol yang tinggi dari orang tua terhadap kehidupan anak-anak, termasuk pengawasan terhadap teman-teman dan aktivitas mereka; Kedua, kurangnya fleksibilitas dalam mengubah aturan atau memberikan izin tambahan. Orang tua cenderung memegang teguh aturan yang telah ditetapkan tanpa banyak perubahan; Ketiga, tidak menoleransi kesalahan. Orang tua yang memiliki sikap demikian cenderung memberlakukan hukuman atau konsekuensi yang berat ketika anak melakukan kesalahan; Keempat, Bersikap dingin dan tidak responsif. Orang tua jarang menunjukkan empati terhadap perasaan dan kebutuhan anak. Ketika anak merasa sedih, marah, atau bingung, orang tua dengan pola asuh ini cenderung kurang mampu memahami dan merespons perasaan tersebut; Kelima, menggunakan kata-kata kasar dan mempermalukan anak. Bisa jadi orang tua beranggapan dengan bersikap keras kepada anak dapat membangun disiplin. Hal ini membuat orang tua dengan gaya strict parents melakukan hal tersebut supaya anak tidak mengulangi kesalahan; Keenam, tertutupnya ruang untuk berdiskusi dengan anak. Tipe orang tua ini menganggap kalau anak tidak perlu memberikan pendapat.

Dari pola asuh tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi anak seperti merasakan kepuasan hidup yang rendah. Anak tidak pernah merasa bahagia akibat banyak aturan dan pengawasan dari ayah dan ibunya sehingga anak menjadi mudah stres dan tertekan. Terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan kehidupan masa kanak-kanak yang diasuh oleh strict parents, berdampak pada kualitas kehidupan remajanya di masa depan. Dampak negatif lainnya seperti kesulitan dalam mengambil keputusan, tidak bisa mengekspresikan diri, tingkat intensitas konflik yang lebih tinggi, serta meningkatnya kecemasan dan depresi hingga berujung trauma karena ketakutan yang selalu menghantui dirinya. 

Untuk mencegah hal tersebut, penting untuk setiap orang tua mempelajari cara pola asuh yang tepat bagi anak, karena bagaimanapun anak merupakan titipan sekaligus tanggung jawab bagi orang tua. Mempelajari pola asuh yang tepat sangat penting agar membekali orang tua dengan pengetahuan untuk membantu anak tumbuh dengan optimal secara fisik dan mental, serta membangun keluarga  yang harmonis dan mencegah terjadinya strict parents . Jika strict parents ini terus dibiarkan maka akan menghambat tumbuh kembang anak secara baik dan merusak mentalnya. Mental anak yang rusak sangat berpengaruh dengan pola perilakunya sehari-hari seperti menjadi pribadi yang pendiam atau agresif, kesulitan tidur atau makan, hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Dengan mempelajari pola asuh yang tepat, diharapkan dapat mencegah terjadinya strict parents antara orang tua dan anak.


Penulis: Rizky Ramadhani (Magang) 

Editor: Zuhra

26 Oktober 2025

Belajar dari Laba-laba

Foto: Bellivia Al-Kamariana (Magang) 

www.lpmalkalam.com- Laba-laba adalah hewan yang hidup di tengah jaringnya yang kuat dan rapi. Dalam pandangan saya, laba-laba merupakan simbol ketekunan dan ketelitian. Laba-laba menunjukkan bahwa makhluk sekecil apapun memiliki kemampuan luar biasa untuk membangun sesuatu yang rumit dan indah hanya dengan naluri alami.

Laba-laba tidak pernah terburu-buru dalam membangun jaring tersebut. Ia sabar menenun benang demi benang hingga menjadi jaring sempurna. Dari situ kita bisa belajar bahwa hasil yang baik selalu lahir dari kesabaran dan konsistensi. Selain itu, jaring laba-laba juga bisa diibaratkan seperti  kehidupan rapuh jika tidak dijaga, namun kuat bila disusun dengan tekun dan hati-hati.

Meskipun sering dianggap menakutkan, laba-laba sebenarnya berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan memangsa serangga pengganggu. Jadi, daripada takut, kita seharusnya menghargai keberadaannya sebagai makhluk kecil yang membawa manfaat besar bagi alam. 


Penulis: Bellivia Al-Kamariana 

Editor: Tiara Khalisna

 

24 Oktober 2025

Batik sebagai Jati Diri Bangsa: Lebih dari Sekadar Busana Kain

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Tanggal 2 Oktober merupakan tanggal yang memperingati hari batik nasional. Tanggal ini dipilih untuk memperingati pengakuan UNESCO terhadap batik Indonesia. Bicara tentang UNESCO, pada tanggal 2 Oktober 2009, UNESCO secara resmi telah mengakui batik Indonesia telah menjadi sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan. Oleh karena itu di setiap memperingati hari batik, jutaan masyarakat merayakan hari batik dengan cara menggunakan baju batik, baik pekerja, mahasiswa, pelajar, dan lain-lain. 

Namun, apakah kita mengetahui makna-makna di setiap lukisan batik dan tetesan yang mengukir karya indah tersebut? Batik bukan hanya sekedar kain bermotif yang memenuhi gaya orang kantor, guru, atau gaya untuk ke berbagai acara, namun batik merupakan simbol yang sangat bermakna dan merupakan cerminan bangsa dan identitas yang membedakan kita dari setiap bangsa dan budaya-budaya yang lain. 

1. Batik Sebagai Diplomasi Budaya

Di panggung internasional batik telah menjadi duta budaya yang sangat efektif, ketika pemimpin menggunakan baju batik di saat acara pertemuan-pertemuan penting, batik berbicara tentang budaya Indonesia tanpa perlu kata kata. Namun, kita harus selalu waspada terhadap klaim budaya dari negara negara yang lain, UNESCO merupakan benteng perlindungan untuk kita, tetapi kita tidak boleh menjaminnya sebagai jaminan mutlak, sesama budaya harus tetap aktif  mempromosikan batik dan terus berinovasi agar batik menjadi relevan dan diakui sebagai milik Indonesia. 

2. Batik Adalah Cermin Diri Kita

Batik bukanlah hanya sekadar kain busana biasa yang menghiasi tubuh kita, namun batik adalah cermin diri kita yang mengungkapkan siapa  kita sebagai bangsa yang sabar, penuh makna, dan kaya akan keberagaman, setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas batik tersendiri. sama seperti keberagaman, bahasa, dan kebudayaan yang menjadi kekayaan di negeri ini. 

Batik bukan hanya sekedar tentang estetika, tapi tentang bagaimana sebuah negara memahami dirinya sendiri melalui  setiap goresan, warna, dan lukisan yang tercipta. 


Penulis: Cut Saputri (Magang)

Editor: Zuhra
 

21 Oktober 2025

Sebuah Tempat Baru untuk Menghilangkan Stres dan Menikmati Makanan: Festival Ahad di Lhokseumawe

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com- Festival Ahad di Lhokseumawe kini menjadi salah satu tempat populer bagi warga setempat untuk menghilangkan stres dan menikmati waktu senggang. Setiap minggunya, acara ini selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat yang bersemangat, sehingga mendorong para pedagang untuk semakin antusias berpartisipasi.

Salah satu daya tarik utama Festival Ahad adalah beragam jenis makanan yang ditawarkan, mulai dari camilan hingga hidangan berat. Pengunjung dapat menikmati berbagai pilihan kuliner yang lezat dan segar sambil bersantai di area yang nyaman serta estetik, sehingga sangat cocok untuk diabadikan dan diunggah ke media sosial.

Fasilitas yang disediakan juga tergolong baik, seperti meja bundar dan kursi kecil untuk anak-anak, sehingga pengunjung merasa lebih nyaman dan betah berlama-lama di lokasi festival. Banyak orang datang untuk bersantai dari kesibukan sehari-hari serta menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga dan teman.

Penulis berharap, Festival Ahad tidak hanya menjadi tempat untuk menikmati makanan, tetapi juga menjadi sarana bersosialisasi dan melepas penat. Semoga acara ini terus berkembang dan menjadi salah satu ikon menarik Kota Lhokseumawe bagi pengunjung lokal maupun wisatawan mancanegara.


Penulis: Lutfhiatil Syaqirah (Magang)

20 Oktober 2025

Hilangnya Peran Ayah dalam Pengasuhan: Luka Sunyi di Balik Kata “Fatherless”

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Di tengah kemajuan zaman dan derasnya arus modernisasi, ada satu masalah sosial yang sering luput dari perhatian hilangnya peran ayah dalam pengasuhan anak. Fenomena ini dikenal dengan istilah fatherless, yakni kondisi ketika seorang anak tumbuh tanpa kehadiran figur ayah, baik secara fisik maupun emosional.

Di banyak keluarga, ayah masih dianggap hanya sebagai pencari nafkah. Ia bekerja dari pagi hingga malam, pulang dengan tubuh lelah, dan merasa tugasnya selesai begitu kebutuhan ekonomi keluarga terpenuhi. Padahal, anak tidak hanya membutuhkan makanan dan uang, tetapi juga kasih sayang, bimbingan, dan keteladanan dari sosok ayah.

“Sejak kecil aku jarang bicara dengan Ayah. Beliau selalu sibuk bekerja, bahkan di rumah pun jarang tersenyum. Kadang aku merasa seperti tidak punya ayah, padahal beliau ada,” ujar Siti, seorang remaja berusia 17 tahun yang tumbuh dalam keluarga yang tampak lengkap, tetapi sebenarnya sunyi.

Kisah Siti bukanlah satu-satunya. Banyak anak di luar sana yang mengalami hal serupa hidup bersama ayah, namun tanpa sentuhan dan perhatian seorang ayah. Mereka tumbuh dengan rasa hampa, kesepian, dan kebingungan dalam mencari figur yang bisa mereka jadikan panutan.

Fenomena fatherless bukan hanya terjadi karena perceraian atau kepergian ayah secara fisik, tetapi juga karena kehilangan kedekatan emosional antara ayah dan anak. Dalam banyak kasus, ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan, merasa canggung menunjukkan kasih sayang, atau menyerahkan sepenuhnya peran pengasuhan kepada ibu. Akibatnya, anak kehilangan sosok pelindung yang bisa menjadi tempat bersandar, berdiskusi, atau sekadar berbagi cerita.

Penelitian menunjukkan bahwa anak yang tumbuh tanpa peran ayah cenderung memiliki risiko lebih tinggi terhadap masalah emosi, perilaku, dan sosial. Mereka bisa merasa tidak percaya diri, sulit membentuk hubungan sehat, bahkan rentan terjerumus dalam perilaku menyimpang. Ayah adalah simbol stabilitas dan ketegasan dalam keluarga ketika sosok itu hilang, keseimbangan emosional anak pun ikut terganggu.

Kehilangan peran ayah juga berdampak besar terhadap pola pendidikan karakter. Ayah seharusnya menjadi teladan dalam hal disiplin, tanggung jawab, dan nilai-nilai moral. Ketika anak tidak mendapatkan hal itu dari rumah, mereka akan mencari figur lain di luar rumah yang belum tentu membawa pengaruh baik.

Dalam budaya Indonesia, konsep fatherless sering kali dianggap tabu. Masyarakat masih beranggapan bahwa selama ayah memberikan nafkah, maka ia sudah menjalankan kewajiban. Padahal, ayah sejati bukan hanya yang hadir di dompet, tetapi juga yang hadir di hati anaknya.

Peran ayah dalam pengasuhan tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Keterlibatan ayah membantu anak memahami batas, mengambil keputusan, dan membangun rasa aman. Bahkan dalam psikologi perkembangan, kehadiran ayah diyakini berpengaruh besar terhadap pembentukan identitas anak, terutama pada masa remaja.

Sudah saatnya kita membuka mata dan menyadari bahwa menjadi ayah bukan hanya soal tanggung jawab ekonomi, tetapi juga tanggung jawab emosional dan spiritual. Seorang ayah harus belajar hadir, mendengarkan, dan membangun komunikasi dengan anaknya. Bukan sekadar datang saat marah atau menegur, melainkan juga saat anak butuh pelukan dan pengertian.

Jika fenomena fatherless  terus dibiarkan, maka kita sedang menciptakan generasi yang tumbuh tanpa arah generasi yang mungkin cerdas secara akademik, tetapi rapuh secara emosional.

Siti, dan ribuan anak lain yang mengalami kehilangan peran ayah, adalah cermin dari persoalan yang lebih besar hilangnya kedekatan dalam keluarga modern. Dan mungkin, sudah saatnya setiap ayah berhenti sejenak, meletakkan ponsel dan pekerjaan, lalu menatap mata anaknya dan berkata, “Ayah di sini, Nak.”

Karena sejatinya, kehadiran ayah bukan sekadar soal waktu, tetapi soal hati yang hadir sepenuhnya.


Penulis: Daffa Alkausar (Magang)
 

FEBI Fest 2025: Lebih dari Sekadar Pesta Bakat, Ini Tentang Arti Kreativitas Mahasiswa

Foto: Intan Sarifah (Magang)
www.lpmalkalam.com- Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe kembali menghidupkan semangat mahasiswa lewat kegiatan tahunan FEBI Fest 2025. Dengan tema “Bakat Tersalurkan, Karya Tertampilkan, Manusia Berdaya Saing,” acara ini bukan sekadar lomba atau rutinitas seremonial tahunan. Lebih dari itu, FEBI Fest menjadi ruang tumbuh tempat mahasiswa belajar memahami makna sejati dari kreativitas dan pengembangan diri.

Sering kali, kegiatan mahasiswa hanya dipandang sebagai pelengkap perkuliahan. Namun melalui FEBI Fest, mahasiswa FEBI membuktikan bahwa dunia kampus bukan hanya tempat menimba ilmu teori, tapi juga ruang berekspresi dan berkompetisi secara sehat. Melalui ajang ini, potensi yang selama ini tersembunyi akhirnya menemukan panggungnya.

Dalam sambutannya, Ketua DEMA FEBI, Supriansyah, menyebut bahwa tujuan utama FEBI Fest adalah menjadi wadah pengembangan bakat dan kreativitas mahasiswa. Pernyataan ini bukan sekadar formalitas, melainkan cerminan kebutuhan nyata mahasiswa masa kini: ruang untuk menunjukkan kemampuan dan membangun rasa percaya diri.

Kita hidup di era di mana kemampuan akademik saja tidak lagi cukup. Dunia menuntut mahasiswa untuk kreatif, adaptif, dan kompetitif. FEBI Fest menjadi salah satu cara mahasiswa FEBI menjawab tantangan itu dengan menghadirkan karya, ide, dan semangat kolaborasi yang mencerminkan nilai “manusia berdaya saing”.

Lebih dari sekadar perlombaan, kegiatan ini memupuk rasa kebersamaan. Sesi foto, lantunan ayat suci Al-Qur’an, hingga tawa saat persiapan lomba, semuanya menjadi bagian dari perjalanan kolektif mahasiswa FEBI dalam membangun karakter dan solidaritas.

Harapan terbesar dari kegiatan ini adalah agar mahasiswa tidak berhenti hanya pada “menang lomba” atau “meramaikan acara”. FEBI Fest seharusnya menjadi inspirasi untuk terus berkarya di luar acara, menyalurkan bakat yang bermanfaat, dan membawa perubahan positif di lingkungan sekitar.

Pada akhirnya, FEBI Fest 2025 bukan hanya tentang siapa yang paling kreatif atau paling menonjol. Ini tentang bagaimana mahasiswa belajar menjadi manusia yang percaya diri, berani menunjukkan kemampuan, dan mampu bersaing tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan.

Jika setiap kegiatan mahasiswa memiliki makna sedalam ini, maka kampus bukan lagi sekadar tempat menuntut ilmu tetapi juga ruang untuk membentuk insan yang siap memberi makna bagi masyarakat. FEBI Fest telah memulainya. Kini, giliran mahasiswa yang harus melanjutkannya.


Penulis: Intan Sarifah (Magang)
 

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.