![]() |
Foto: Pixabay.com |
Foto: Muhammad Alif Maulana www.lpmalkalam.com- Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menggelar kegiatan zi...
![]() |
Foto: Pixabay.com |
![]() |
Foto: Pixabay.com |
www.lpmalkalam.com- Penggusuran kawasan adat dan pesisir di Raja Ampat atas nama pembangunan merupakan tamparan keras bagi akal sehat dan nurani. Di negara yang kerap membanggakan kekayaan alamnya ke seluruh dunia, justru masyarakat asli yang menjaga tanah itu turun-temurun malah dipaksa pergi, seolah-olah mereka tidak punya hak atas ruang hidup sendiri. Ironisnya, semua ini dibungkus rapi dengan label kemajuan dan kesejahteraan.
Raja Ampat bukan hanya tempat wisata yang indah di mata dunia. Ia adalah tanah kelahiran, tempat berteduh, dan ruang hidup masyarakat adat yang menjaganya dengan nilai-nilai luhur. Tapi hari ini, mereka yang menjaga alam justru dituding sebagai penghambat, sementara pihak luar yang membawa proyek beton dan infrastruktur dianggap pahlawan pembangunan.
Situasi ini menyisakan pertanyaan besar. Siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari pembangunan tersebut? Apakah warga lokal yang terusir dan kehilangan ruang hidup atau para pemodal besar yang membangun resor mewah di atas tanah yang bukan milik mereka, lalu menjual keindahan alam untuk keuntungan pribadi?
Lebih menyakitkan lagi, negara yang seharusnya melindungi hak rakyat justru terlihat lebih sibuk melayani kepentingan investor. Hukum adat diabaikan, suara masyarakat dibungkam, dan warisan budaya dianggap tidak lebih penting dari selembar izin proyek.
Jika pembangunan hanya berarti menggusur, menghancurkan ruang hidup, dan meminggirkan masyarakat adat, maka kita tidak sedang maju melainkan mundur secara perlahan namun pasti. Pembangunan tersebut bukanlah masa depan yang cerah, tapi kenangan pahit yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.
Jika Raja Ampat hilang, bukan hanya destinasi wisata yang musnah melainkan jati diri bangsa, harga diri masyarakat adat, dan keseimbangan alam yang tak bisa digantikan uang sebesar apa pun.
Penulis: Putri Ruqaiyah
Editor: Tiara Khalisna
![]() |
Foto: Pexels.com |
www.lpmalkalam.com- Dulu, kita tumbuh dengan kalimat-kalimat sederhana seperti "permisi", "maaf", "terima kasih", dan "tolong". Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan bagian dari budaya kesopanan yang diajarkan sejak dini. Namun hari ini, kita mulai bertanya-tanya, ke mana perginya kesopanan itu?
Di ruas jalan kota besar, orang merasa paling benar sendiri seperti klakson ditekan tanpa henti dan pejalan kaki diabaikan. Di media sosial, komentar pedas seolah-olah lebih dihargai daripada pendapat yang santun. Di ruang publik, remaja menyela percakapan orang tua, dan orang dewasa berbicara tanpa rasa hormat. Seakan-akan kesopanan adalah barang kuno yang tak lagi relevan di era modern.
Padahal, kesopanan bukan sekadar etika atau sikap sopan, ia adalah cermin dari karakter dan kematangan seseorang dalam berpikir. Sopan santun mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi, menghormati sesama, menghargai perbedaan, dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika kesopanan hilang, yang tersisa hanyalah arogansi, kebisingan, dan konflik.
Ironisnya, kemajuan teknologi justru mempercepat hilangnya sopan santun. Dunia digital menciptakan ruang tanpa wajah, di mana orang merasa bebas berkata apa saja tanpa memikirkan konsekuensinya. Akun anonim digunakan untuk menyerang, bukan berdiskusi. Kritik berubah menjadi hujatan. Diskusi berubah menjadi debat tanpa ujung.
Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Hilangnya kesopanan adalah hasil dari banyak hal mulai dari kurangnya keteladanan, lemahnya pendidikan karakter, dan budaya populer yang sering mengagungkan kontroversi daripada nilai-nilai moral.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Jawabannya sederhana, yaitu mulai dari diri sendiri. Jadilah pribadi yang tetap menjaga tutur kata, meskipun berbeda pendapat. Ajarkan pada anak-anak kita bahwa bersopan santun bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Bangun ruang-ruang dialog yang sehat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Jangan pernah lelah menjadi orang yang santun, walaupun dunia terasa semakin kasar.
Karena di tengah dunia yang keras, mereka yang tetap lembut akan menjadi penyejuk. Meski kini langka, kesopanan akan selalu bernilai tinggi di mata siapa pun yang masih waras.
Penulis: Lisa Ayu Lestari
Editor: Putri Ruqaiyah
![]() |
Foto: Pexels.com |
www.lpmalkalam.com- Lembaga pendidikan sering kali dianggap sebagai tempat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, integritas, dan kebebasan akademik. Namun, realitas di lapangan tak selalu seideal itu. Di balik semangat mendidik, masih ada praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai luhur pendidikan, salah satunya adalah pungutan liar (pungli) terselubung.
Sebagian mahasiswa pernah menghadapi situasi di mana mereka harus membeli buku yang ditulis oleh dosen sendiri, bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai kewajiban agar dapat mengikuti ujian. Fenomena ini bukan sekadar kabar burung. Seperti yang dilaporkan oleh media kampus Washilah di Makassar, seorang dosen diduga mewajibkan mahasiswanya membeli buku senilai Rp60.000, dengan ancaman bahwa nilai mereka tidak akan dikeluarkan jika tidak menuruti perintah tersebut (Washilah.com, 2023).
Kondisi serupa juga ditemukan di wilayah lain. Mahasiswa yang enggan membeli buku kerap kali menerima tekanan halus, seperti pernyataan bahwa nilai bisa terganggu jika mereka tidak membeli temuan dari Ekspresionline menyoroti bagaimana dosen kerap menyampaikan himbauan tidak langsung yang menyudutkan mahasiswa untuk membeli buku tersebut sebagai syarat kelulusan (Ekspresionline.com, 2023).
Tak hanya soal buku, pungli juga muncul dalam bentuk iuran kegiatan akademik yang tidak jelas dasar hukumnya. Mahasiswa kadang diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mengikuti acara seminar atau kunjungan akademik yang diselenggarakan dosen, tanpa kejelasan anggaran atau laporan pertanggungjawaban.
Masalah ini bukan hal sepele. Dalam Laporan Tahunan 2022, Ombudsman RI menyatakan bahwa sektor pendidikan masih menjadi salah satu yang paling banyak menerima laporan pelanggaran pelayanan publik, termasuk pungli berkedok akademik. Mereka menegaskan bahwa setiap pungutan yang tidak berdasar hukum, seperti pemaksaan membeli buku atau sumbangan tanpa legalitas, merupakan bentuk penyimpangan administratif dan etika publik (Ombudsman RI, 2022).
Bahkan media nasional seperti Media Indonesia juga menyoroti kasus serupa, menyatakan bahwa praktik menjual buku sebagai syarat lulus ujian adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang harus dihentikan karena bertentangan dengan prinsip pendidikan yang adil dan transparan (Media Indonesia, 2019).
Pendidikan semestinya membebaskan, bukan menekan. Ketika tekanan finansial justru datang dari pihak yang seharusnya menjadi pendamping pembelajaran, maka proses pendidikan kehilangan makna moralnya. Mahasiswa menjadi korban sistem yang diam-diam membebani mereka, bukan hanya secara akademik, tetapi juga secara ekonomi dan psikologis.
Maka, penting bagi semua pihak, baik kampus, pengawas, maupun mahasiswa untuk tidak tinggal diam. Kesadaran dan keberanian untuk bersuara menjadi kunci. Karena jika praktik-praktik ini terus dibiarkan, maka lembaga pendidikan hanya akan menjadi tempat reproduksi kekuasaan yang sewenang-wenang, bukan tempat menumbuhkan pemikiran kritis dan nilai-nilai keadilan.
Penulis: Putri Ruqaiyah
Editor: Zuhra
![]() |
Foto: Pexels.com |
www.lpmalkalam.com- Seiring berkembangnya zaman yang semakin maju, media sosial menjadi sarana yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Perkembangan teknologi membawa perubahan yang sangat pesat bagi masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran, baik dari segi budaya, etika, maupun norma. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dengan berbagai suku, ras, dan agama, yang turut mengalami perubahan sosial.
Media sosial merupakan platform yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, mulai dari mudahnya memperoleh dan menyebarkan informasi dengan sangat cepat, berinteraksi, memiliki banyak teman, hingga berkomunikasi. Dari berbagai kalangan dan usia, hampir seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, memiliki akun platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan WhatsApp. Bahkan, media sosial membuat masyarakat menjadi kecanduan mulai dari bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur dan hampir sepanjang waktu dihabiskan untuk menatap layar handphone guna melihat berbagai platform seperti Instagram dan TikTok.
Lalu, pertanyaannya: Apakah media sosial merupakan teman atau musuh?
Di satu sisi, media sosial memberikan banyak manfaat, seperti yang telah dijelaskan di atas. Media sosial mempermudah kita dalam berinteraksi, berkomunikasi, serta menyebarkan informasi dengan mudah dan cepat hanya dengan satu klik. Bahkan, platform media sosial juga dapat menjadi sumber penghasilan yang mudah bagi banyak orang. Di media sosial kita juga bisa melihat berita-berita yang sedang trending, belajar hal baru, berbagi, serta menyimak isu-isu atau video viral yang menghebohkan masyarakat.
![]() |
Foto: pexels |
www.lpmalkalam.com- Terkadang kita merasa bahwa kita hebat karena melakukan banyak hal dari pagi sampai malam. Tapi, pernahkah kita berpikir, apakah kesibukan kita tersebut merupakan hal yang bermakna? Atau hanya terbuang sia-sia begitu saja?
Banyak orang salah dalam memahami produktif dan sibuk, padahal keduanya sangat berbeda terkait kualitas dan kuantitasnya. Sibuk merupakan kegiatan yang kita jadwalkan dari pagi sampai malam, akan tetapi yang dikerjakan belum tentu hal yang penting. Seperti kita men-scroll media sosial, tetapi sambil mengatakan, “Wah, kerjaanku saat ini banyak banget.”
Sedangkan produktif adalah mengerjakan sesuatu dan dapat menghasilkan kualitas yang baik dan bernilai. Bukan tentang sebanyak apa yang sudah kita lakukan, tetapi seberapa bernilainya apa yang sudah kita lakukan. Orang yang produktif tahu bagaimana cara memprioritaskan sesuatu, mana yang bisa ditunda dan mana yang harus diselesaikan saat itu juga.
Jadi, bagaimana keadaan kita saat ini? Sibuk atau produktif? Jika kita ingin mempunyai hidup yang lebih bermakna, maka coba tanya ke diri sendiri, “Sebenernya aku ini sibuk atau produktif?” Karena lebih baik kita fokus mengerjakan dua hal penting daripada mengerjakan dua puluh hal yang belum tentu jelas arahnya ke mana.
Penulis: Neiva Zaida Hasanah Saragih
Editor: Putri Ruqaiyah
www.lpmalkalam.com- Sebagaimana kita ketahui semuanya bahwa sebagai manusia perlu yang namanya ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkannya kita perlu yang namanya pendidikan, baik itu dari formal seperti sekolah, ataupun non-formal seperti belajar melalui media sosial. Tapi, apakah kita pernah sadar apa sebenarnya tujuan kita mempelajari ilmu pengetahuan? dan di sini, maksud dari ilmu pengetahuan adalah pengetahuan umum, bukan tentang pengetahuan Islam. Kalau pengetahuan Islam sudah pasti tujuan akhirnya adalah surga. Nah, sekarang yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana dengan pengetahuan umum? kalau yang sering kita dengar, tujuan kita belajar ya untuk menambah wawasan, agar tidak dibodohi orang, agar pintar, dan sebagainya. Tapi, coba Anda pikir kembali, apa iya itu tujuan sebenarnya ilmu pengetahuan?
Saya rasa bukan itu tujuan ataupun inti dari ilmu pengetahuan, justru ada inti yang terpenting di balik itu semua. Lantas apa itu? jawabannya adalah uang dan bertahan hidup. Mengapa saya berani mengatakan hal itu? Pertama, saat kita menuju dewasa, apa hal yang sering terlintas dalam hidup kita? Saya yakin banyak dari kita memiliki pemikiran yang sama, yaitu tentang ekonomi ataupun hal-hal yang berkaitan dengan finansial. Dan di sini cara kita untuk mendapatkan uang adalah dengan adanya ilmu pengetahuan. Tanpa adanya ilmu, kita sulit untuk mencari uang, dan di sinilah ilmu pengetahuan kita bermain. Apakah dengan ilmu kita, kita mampu untuk bertahan hidup untuk bersaing dengan para manusia yang lain?
Di sini saya contohkan Bill Gates, yaitu salah satu pria terkaya di dunia, pemilik Microsoft, ataupun bisa juga seperti Mark Zuckerberg, pendiri Facebook. Mereka berdua merupakan contoh bahwa pentingnya ilmu pengetahuan dan apa tujuan sebenarnya selama ini kita berpendidikan bukan hanya semata-mata untuk wawasan saja. Ilmu sangat berpengaruh terhadap keterampilan bertahan hidup dan juga tentang mencari uang. Ilmu pengetahuan itu banyak, dan semua ilmu pengetahuan bisa dijadikan uang jika kita tahu ke mana ilmu tersebut bisa berguna, seperti Bill Gates, Elon Musk, Mark Zuckerberg, mereka merupakan contoh orang yang sadar bahwa apa tujuan sebenarnya pendidikan.
Penulis: T. Akmal Rizki Phonna
Editor: Putri Ruqaiyah
![]() |
foto: pexels |
Fenomena ini mencerminkan betapa ruang aman bagi anak-anak dan keluarga kini semakin terancam, bahkan dari lingkungan yang seharusnya paling terlindungi, yaitu rumah dan keluarga sendiri. Pakar anak menegaskan bahwa kasus ini bukan hanya mencoreng nilai kemanusiaan, tetapi juga menjadi peringatan keras bahwa perlindungan anak harus diperkuat secara serius, karena pelaku kekerasan seksual sering kali berasal dari orang terdekat.
Respons dari berbagai pihak, termasuk Komisi III DPR dan Kementerian Komunikasi dan Digital, menuntut tindakan tegas dari kepolisian untuk segera menangkap dan menindak para pelaku serta mengusut anggota grup tersebut. Hal ini penting agar tidak terjadi penyebaran pengaruh negatif yang dapat mendorong kekerasan seksual terhadap anak, perempuan, dan anggota keluarga lainnya.
Secara umum, keberadaan grup seperti ini di platform jejaring sosial seperti Facebook menunjukkan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap konten yang beredar di media sosial. Platform harus bertanggung jawab dalam menghapus konten yang melanggar hukum dan norma sosial, serta bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mencegah penyebaran konten berbahaya yang dapat merusak moral dan keamanan masyarakat, khususnya anak-anak.
Penulis Aprillia Fira Purnama
Editor Putri Ruqaiyah
![]() |
Foto: Pexels.com |
Anak-anak ini hidup di jalan bukan karena pilihan, tapi karena keadaan. Banyak dari mereka berasal dari keluarga miskin, rumah tangga yang retak, atau lingkungan tempat tinggal yang keras. Mereka kehilangan hak kehidupan seorang anak, yaitu pendidikan, keamanan, dan juga kasih sayang. Yang lebih menyedihkan, banyak dari mereka dianggap sebagai gangguan atau ancaman, bukan manusia yang butuh uluran tangan.
Pemerintah memang punya program penanganan anak jalanan, tapi kenyataannya, mereka sering “diamankan” alias disembunyikan dari penglihatan mata hanya saat ada tamu penting atau menjelang acara besar. Setelah itu? Mereka kembali ke trotoar, ke bawah jembatan, ke kerasnya dunia jalanan yang tidak mengenal belas kasih terhadap tangan mungilnya itu.
Sudah saatnya negara dan masyarakat berhenti menutup mata. Pendekatan harus berganti dari sekadar pengusiran ke pemberdayaan yang lebih baik, seperti pendidikan alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan hak pendidikan, pelatihan keterampilan untuk mengasah kemampuan mereka di dunia luar, dan perlindungan hukum yang jelas demi memberikan rasa aman kepada meraka. Anak-anak ini punya potensi jika diberi kesempatan. Mereka bukan generasi gagal, namun hanya belum pernah diberi ruang untuk tumbuh.
Anak jalanan bukan wajah buruk sebuah kota. Mereka adalah cermin kegagalan kita sebagai bangsa dalam merawat masa depan.
Penulis: Siti Rayhani
Editor: Zuhra