Foto: Rauzatul Jannah/ lpmalkalam |
Usianya
sudah ratusan tahun, tapi ia masih berdiri kokoh di tengah kota. Dibangun
dengan arsitek orang kebangsaan Belanda bernuansa Melayu, Arab, Persia, dan
Eropa, juga disebut dengan Istana Putri Hijau.
Selanjutnya
ia dibangun pada tanggal 28 Agustus 1888 oleh Sultan Mahmud Al-Rasyid. Istana
ini berluas 2.772 m2 persegi
panjang kali lebar dengan dua lantai. Halamannya 4,5 hektar. Bangunan ini
semi-permanen dengan bagian depan Istana batu dan bagian belakang Istana kayu.
Adapun
istana ini terdiri dari tiga bagian induk, yaitu: induk bagian tengah, bagian
sayap kiri dan bagian sayap kanan. Memiliki kurang lebih 30 ruang dan kamar.
Namanya adalah Istana Maimun. Kenapa diberi nama ini? Dikarenakan ini diberi langsung
oleh Sultan Dehi ke-9 yang diambil dari kosakata bahasa Arab “Maimunah” yang
bearti Perkasa. Di istana Maimun juga masih ditempati lebih dari 50 orang yang
masih punya keturunan dari Sultan itu sendiri.
Istana Maimun mempunyai struktur bangunan campuran antara
Eropa, Melayu dan Timur Tengah bila dilihat dari warnanya mayoritas berwarna
kuning yang merupakan ciri khas orang melayu. Pengaruh Eropa dapat dilihat dari
lampu-lampu kristal yang terdapat di dalam Istana dan juga pada perabotan
kursi, meja dan lemari serta dari struktur pintu dan jendelanya yang
tinggi-tinggi, sedangkan pengaruh timur tengahnya terdapat pada bagian atapnya
yang melengkung setinggi 5 – 8 meter dan menyerupai perahu terbalik (lengkung
Persia).
Di samping istana Maimun, ada sederetan penjual kaki lima
yang tempatnya akan segera di gusur. Menurut
Rahayu (21) Rabu (31/10/2018) yang merupakan keluarga istana sendiri “bukan di
gusur mbak!, tapi dipindahkan ke tempat yang lebih layak” tuturnya saat saya
menanyakan izin berdagang.
Bangunan istana ini menghadap ke utara dan pada sisi depan
terdapat bangunan Masjid Al-Mashun atau yang lebih dikenal dengan sebutan Masjid
Raya Medan.
Mesjid Raya Medan yang berdiri angkuh tak jauh dari Istana
Maimun adalah bangunan yang juga menjadi jejak kejayaan Deli. Mesjid ini masih berfungsi
seperti semula, yaitu melayani umat muslim di Medan yang ingin beribadah.
Kubahnya yang pipih dan
berhiaskan bulan sabit di bagian puncak, menandakan gaya Moor yang dianutnya.
Seperti mesjid lainnya, sebuah menara yang menjulang tinggi terlihat menambah
kemegahan dan religiusnya mesjid ini. Aplikasi lukisan cat minyak berupa
bunga-bunga dan tumbuhan yang berkelok-kelok di dinding, plafon dan tiang-tiang
kokoh di bagian dalam mesjid ini, semakin menunjukkan tingginya nilai seni
mesjid ini.
Jarak di antara istana Maimun dan Masjid Raya Medan hanya
berkisar 200 meter. Kedekatan itu menandakan Masjid Raya al-Mashun masih
sekompleks dengan kawasan istana Kesultanan Deli.
Masjid Raya al-Mashun didominasi warna putih, di samping
hijau pada sekitar bagian pintu-pintu dan hitam pada kubahnya. Pengunjung yang
hendak memasuki ruang shalat mesti melalui tangga hubung lantaran tempat
tersebut letaknya lebih tinggi daripada beranda. Ruangan itu berbentuk segi
delapan tidak sama sisi.
Masjid Raya al-Mashun tercatat mengalami perbaikan beberapa
kali sejak dibangun pada permulaan abad ke-20. Di tahun 1927, restorasi atas
Masjid Raya al-Mashun dilakukan dengan wujud kerja sama antara pihak kesultanan
Deli dan perusahaan Deli Maatscapij. Selanjutnya, restorasi dilaksanakan pada
zaman Republik Indonesia, yakni tahun 1966, atas dukungan pemerintah kota
Medan.
Disinggung soal kebenaran adanya pintu terowongan yang
menghubungkan antara istana maimun dan mesjid raya, Karim (60) selaku pengurus mengaku
tak mengetahuinya “Bangunan berarsitektur Jerman biasanya memiliki ruangan
bawah tanah atau malah pintu terowongan” pungkasnya.
Editor : Redaksi