www.lpmalkalam.com- Di era media sosial, hubungan asmara tak lagi sekadar urusan pribadi, tetapi juga bagian dari citra sosial. Banyak orang merasa memiliki pacar adalah standar keberhasilan dalam kehidupan, seakan tanpa pasangan mereka dianggap kurang menarik atau "tidak laku." Namun, ketika hubungan berakhir, tak sedikit yang mengalami kesedihan berlarut-larut, bahkan depresi.
Fenomena ini semakin marak terjadi di kalangan anak muda. Mereka menjalani hubungan bukan karena kesiapan emosional, tetapi demi gengsi atau tekanan sosial. Akibatnya, ketika hubungan berakhir, mereka tidak siap menghadapinya, hingga mengalami tekanan psikologis yang serius. Seorang mahasiswi berusia 20 tahun, Rina (bukan nama sebenarnya), mengaku pernah merasa tertekan untuk memiliki pacar karena lingkungannya menganggap hal itu sebagai keharusan.
"Teman-teman sering bertanya kenapa saya masih jomblo. Lama-lama saya merasa aneh sendiri dan akhirnya pacaran hanya karena takut dikira tidak normal," ujarnya. Namun, ketika hubungannya berakhir, ia justru mengalami stres berat. "Saya merasa gagal dan kehilangan jati diri. Saya sampai sulit fokus belajar karena terlalu sedih," tambahnya.
Tekanan semacam ini juga diperparah oleh media sosial yang dipenuhi dengan unggahan pasangan yang terlihat bahagia. Banyak orang merasa harus memiliki hubungan serupa agar dianggap berhasil dalam hidup, padahal kenyataannya tidak semua hubungan seindah yang ditampilkan di dunia maya.
Menurut Dr. Andini Prasetya, seorang psikolog klinis, tekanan sosial untuk memiliki pasangan dapat berdampak serius pada kesehatan mental.
"Banyak anak muda yang menggantungkan kebahagiaan mereka pada hubungan asmara. Ketika hubungan itu berakhir, mereka merasa kehilangan segalanya, yang kemudian bisa memicu stres, kecemasan, bahkan depresi," jelasnya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa putus cinta dapat memicu respons serupa dengan kehilangan orang terdekat. Namun, bagi mereka yang pacaran hanya demi status sosial, dampaknya bisa lebih berat karena mereka kehilangan bukan hanya pasangan, tetapi juga citra sosial yang sudah mereka bangun.
Budaya pacaran demi gengsi ini perlu dikritisi agar tidak terus berlanjut. Pakar hubungan menekankan bahwa pacaran seharusnya didasarkan pada kesiapan emosional, bukan karena tekanan sosial atau sekadar mengikuti tren. "Yang perlu ditanamkan adalah bahwa kebahagiaan tidak hanya datang dari memiliki pasangan. Fokus pada pengembangan diri jauh lebih penting daripada sekadar mengejar validasi sosial," tambah Dr. Andini.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, generasi muda bisa semakin terjebak dalam siklus hubungan yang tidak sehat, di mana pacaran dijalani demi memenuhi ekspektasi orang lain, bukan karena kesiapan dan perasaan yang tulus.
Oleh: Putri Ruqaiyah
Editor: Redaksi