Portal Berita Al-Kalam

Alih Status IAIN ke UIN, Username dan Profil Media Sosial UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Belum Berganti? Ini Alasannya

Foto: IST www.lpmalkalam.com -  Humas Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menuai pertanyaan dari mahasiswa terkai...

HEADLINE

Latest Post

17 Juli 2025

Mengapa Teori 'Santri-Abangan-Priyayi' Geertz Tidak Lagi relevan di Era Digital

Foto: istockphoto.com
www.lpmalkalam.com- 

Pendahuluan

Ketika Felix Siauw, seorang keturunan Tionghoa yang sebelumnya jauh dari praktik keagamaan, secara mendadak menjadi dai populer dengan jutaan pengikut, dia masuk kategori mana dalam teori Clifford Geertz? Santri? Tidak, karena backgroundnya bukan pesantren. Abangan? Juga Tidak, karena dia justru sangat ortodoks. Priyayi? Apalagi Tidak, karena dia bukan bangsawan Jawa. Inilah salah satu bukti konkret bahwa teori trikotomi Clifford Geertz yang membagi Islam Jawa jadi santri-abangan-priyayi, meskipun revolusioner pada masanya, sekarang gagal menjelaskan kompleksitas dan dinamika Islam Indonesia kontemporer.

Warisan Teori yang Mengakar

Clifford Geertz, antropolog asal Amerika, dulu pernah datang ke Mojokuto (sekarang Pare, Jawa Timur) di awal tahun 1950-an untuk penelitian. Hasilnya memang bagus dan banyak membantu orang memahami Islam di Indonesia. Dia terinspirasi oleh Max Weber mengkritik pembagian kelas borjuis-buruh buatan Marx. Geertz kemudian menciptakan pembagian tersendiri yang lebih kompleks. tiga kategori Muslim Jawa. Pertama, santri :  ini yang taat  sama aturan agama, rajin sholat, puasa, dan ikutin syariat Islam. Kedua, abangan : mereka yang Islam tapi masih campur sama kepercayaan lokal, seperti selamatan, kenduri, dan ritual Jawa lainnya. Ketiga, priyayi : golongan bangsawan atau elite yang lebih fokus ke aspek mistik dan filosofis Islam, biasanya lebih ke sufisme. Teori ini tidak hanya jadi rujukan utama studi Islam Indonesia, tapi juga mempengaruhi analisis politik praktis. Pada era Orde Baru, pembagian partai politik seakan mengikuti logika Geertz: PPP identik dengan santri, PDI dengan abangan, dan Golkar dengan priyayi. Warna-warna politik pun mengikuti: hijau untuk santri, merah untuk abangan, kuning untuk priyayi.

Namun, popularitas teori ini justru menjadi bumerang. Seperti pisau analisis yang terlalu sering digunakan, teori Geertz kehilangan ketajamannya ketika berhadapan dengan realitas islam indonesia yang terus berevolusi.

Retakan Fundamental

Kritik terhadap teori Geertz sebenarnya sudah muncul sejak awal. Harsya W. Bachtiar (1973) menunjukkan inkonsistensi fundamental: santri dan abangan itu kategori yang berdasarkan orientasi religius, sedangkan priyayi adalah kategori sosial. Ini seperti membandingkan apel dengan jeruk secara konseptual tidak koheren dan tumpang tindih.

Selain itu, teori ini punya tiga masalah besar. Pertama, Geertz hanya teliti satu daerah di Mojokuto tahun 1950-an, terus digeneralisir ke seluruh Jawa bahkan Indonesia. Kedua, Hal ini seperti memotret kondisi masyarakat di satu waktu tertentu aja, padahal masyarakat senatiasa mengalami perubahan. Ketiga, sebagai orang luar, dia mungkin tidak memahami hal-hal kecil yang penting buat komunitas muslim indonesia.

Yang paling problematis adalah bias orientalis yang melekat. Pandangan Geertz tentang "Islam sinkretis" di indonesia mengandaikan islam "murni" ada di tempat lain (Arab), sementara islam indonesia dianggap "tercampur" dan "tidak otentik". ini mengabaikan fakta bahwa islam selalu bersifat kontekstual dan adaptif di manapun dia berkembang.

Realitas yang Menantang Teori

Perkembangan islam indonesia dalam tujuh dekade terakhir telah menghancurkan batas-batas kategori Geertz. Lihat transformasi yang terjadi, santri yang berubah total, perhatikan pesantren seperti Gontor atau Darul 'Ulum sekarang. Beda sekali dengan dahulu yang hanya ngaji saja. Sekarang alumninya bisa coding, membuat startup, bahkan ada yang jadi YouTuber. Santri di era kontemporer aktif di media sosial dan fasih bahasa inggris, namun tetap teguh dalam praktik keagamaan. contoh Gus Dur meskipun dia santri tulen, namun pemikirannya sangat terbuka. beda jauh sama gambaran santri kaku yang digambarkan Geertz. Abangan yang Hijrah, ini yang menarik. Dua dekade terakhir banyak sekali orang yang dulunya jauh dari agama, tiba-tiba jadi sangat religius. Teuku Wisnu yang sebelumnya menjalani kehidupan eintertaiment dengan gaya hidup bebas, kini menjadi panutan keluarga islami. Dewi Sandra mengalami transformasi dari artis dengan citra glamor menjadi sosok yang konsisten mengenakan hijab. Ustadz Hanan Attaki dulunya anak band, sekarang ceramahnya ditonton jutaan orang. Mereka semua bukti kalau kategori "abangan" itu bisa berubah drastis. Geertz pasti tidak menyangka adanya transformasi segini massif. Ini menunjukkan bahwa kategori "abangan" tidak permanen dan deterministik.

Priyayi yang Menemukan Kembali Islam:

Banyak elite birokrasi dan akademisi yang dulunya sekuler sekarang justru jadi aktivis Islam. Contoh nyata adalah Salim Segaf Al-Jufri yang sebelumnya diplomat, sekarang jadi tokoh Islam terkemuka. Atau banyak dosen dan akademisi yang buat komunitas pengajian khusus kalangan elite. Ini membuktikan kalau kategori priyayi itu sebenarnya cair, bisa berubah-ubah. Yang buat makin rumit, sekarang muncul berbagai hal baru yang tidak ada tempat di teori Geertz. Perhatikan: ustaz-ustaz yang viral di Instagram dan TikTok, komunitas hijrah yang anggotanya dari berbagai profesi dan kelas sosial, sampai aplikasi seperti Quran Kemenag yang dipakai jutaan orang. Belum lagi gerakan-gerakan yang nyampur dakwah dengan seni modern. Terus bagaimana teori Geertz bisa jelasin fenomena semacam One Day One Juz yang booming di kalangan anak muda? Atau komunitas Shift dan Pemuda Hijrah yang berhasil menarik perhatian jutaan followers dari latar belakang yang beragam banyak? Akan sulit mengklasifikasikan mereka ke dalam santri, abangan, atau priyayi.

Politik yang Tak Terprediksi

Kalau ngomongin politik, teori Geertz juga meleset jauh. Katanya PPP pasti didukung santri, tapi kenyataannya? Pilpres 2014 dan 2019 banyak santri NU yang milih Jokowi, padahal elite NU-nya dukung yang lain. Sebaliknya, yang dukung pasangan islami justru kebanyakan kelas menengah urban yang tidak masuk kategori santri tradisional. Fenomena Aksi Bela Islam 212 menunjukkan mobilisasi lintas kategori yang tidak bisa dijelaskan teori Geertz. Pesertanya berasal dari berbagai latar belakang: santri, urban muslim, bahkan sebagian priyayi. Yang menyatukan mereka bukan kategori sosial-religius ala Geertz, tapi sentimen politik identitas yang dimediasi teknologi digital.

Menuju Pemahaman yang Lebih Dinamis

Daripada memaksa realitas islam indonesia masuk ke dalam kotak-kotak kategori yang kaku, kita butuh pendekatan yang lebih dinamis dan kontekstual. islam [ndonesia hari ini lebih tepat dipahami sebagai spektrum religiusitas yang fluid, bukan kategori yang rigid. Seseorang bisa saja santri dalam praktik ritual, tapi priyayi dalam status sosial, dan abangan dalam ekspresi budaya.

Konsep "Islam Nusantara" yang dikembangkan NU, misalnya, menawarkan framework yang lebih inklusif: Islam yang berakar pada tradisi lokal namun tetap ortodoks, yang mampu berdialog dengan modernitas tanpa kehilangan autentisitas. Ini jauh lebih nuansa dibanding kategorisasi hitam-putih ala Geertz.

Saatnya Melampaui Geertz

Menggunakan teori antropolog Amerika dari tujuh dekade lalu untuk memahami Islam Indonesia kontemporer ibarat menggunakan peta tahun 1950-an untuk navigasi Jakarta masa kini tidak hanya tidak akurat, tetapi juga menyesatkan.

Akademisi, jurnalis, sampai politisi yang masih pakai kacamata santri-abangan-priyayi perlu sadar: mereka lagi pakai alat analisis yang udah buram. Islam Indonesia saat ini jauh lebih beragam dan dinamis dibandingkan yang dapat dijelaskan oleh teori antropolog Amerika 70 tahun silam.

Yang penting sekarang bukan lagi seseorang itu santri, abangan, atau priyayi  tapi bagaimana dia hidup sebagai muslim di Indonesia yang plural dan modern. Dan buat jawab pertanyaan itu, kita butuh cara pandang yang lebih baru, bukan teori kadaluwarsa.

Referensi :

Suntana, Ija. Politik Hukum Islam. Bandung: [Pustaka Setia Bandung], [2014].                          Pengantar Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, M.Hum. Geertz Geertz, C. (1960).                              The Religion of Java. University of Chicago Press. Bachtiar, H. W. (1973).                                    The Religion of Java: Sebuah Komentar. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, 5(1), 23-31.

 

Karya: Eka Rizka Hidayana Lubis, Mahasiswi Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe (Rilisan)
Editor: Indira Ulfa
banner
Previous Post
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0821-6414-4543 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.