![]() |
Foto: istockphoto.com |
Pendahuluan
Ketika
Felix Siauw, seorang keturunan Tionghoa yang sebelumnya jauh dari praktik
keagamaan, secara mendadak menjadi dai populer dengan jutaan pengikut, dia
masuk kategori mana dalam teori Clifford Geertz? Santri? Tidak, karena
backgroundnya bukan pesantren. Abangan? Juga Tidak, karena dia justru sangat
ortodoks. Priyayi? Apalagi Tidak, karena dia bukan bangsawan Jawa. Inilah salah
satu bukti konkret bahwa teori trikotomi Clifford Geertz yang membagi Islam
Jawa jadi santri-abangan-priyayi, meskipun revolusioner pada masanya, sekarang
gagal menjelaskan kompleksitas dan dinamika Islam Indonesia kontemporer.
Warisan
Teori yang Mengakar
Clifford
Geertz, antropolog asal Amerika, dulu pernah datang ke Mojokuto (sekarang Pare,
Jawa Timur) di awal tahun 1950-an untuk penelitian. Hasilnya memang bagus dan
banyak membantu orang memahami Islam di Indonesia. Dia terinspirasi oleh Max
Weber mengkritik pembagian kelas borjuis-buruh buatan Marx. Geertz kemudian
menciptakan pembagian tersendiri yang lebih kompleks. tiga kategori Muslim
Jawa. Pertama, santri : ini yang
taat sama aturan agama, rajin sholat,
puasa, dan ikutin syariat Islam. Kedua, abangan : mereka yang Islam tapi masih
campur sama kepercayaan lokal, seperti selamatan, kenduri, dan ritual Jawa
lainnya. Ketiga, priyayi : golongan bangsawan atau elite yang lebih fokus ke
aspek mistik dan filosofis Islam, biasanya lebih ke sufisme. Teori ini tidak
hanya jadi rujukan utama studi Islam Indonesia, tapi juga mempengaruhi analisis
politik praktis. Pada era Orde Baru, pembagian partai politik seakan mengikuti
logika Geertz: PPP identik dengan santri, PDI dengan abangan, dan Golkar dengan
priyayi. Warna-warna politik pun mengikuti: hijau untuk santri, merah untuk
abangan, kuning untuk priyayi.
Namun,
popularitas teori ini justru menjadi bumerang. Seperti pisau analisis yang terlalu
sering digunakan, teori Geertz kehilangan ketajamannya ketika berhadapan dengan
realitas islam indonesia yang terus berevolusi.
Retakan Fundamental
Kritik
terhadap teori Geertz sebenarnya sudah muncul sejak awal. Harsya W. Bachtiar (1973)
menunjukkan inkonsistensi fundamental: santri dan abangan itu kategori yang
berdasarkan orientasi religius, sedangkan priyayi adalah kategori sosial. Ini
seperti membandingkan apel dengan jeruk secara konseptual tidak koheren dan
tumpang tindih.
Selain
itu, teori ini punya tiga masalah besar. Pertama, Geertz hanya teliti satu
daerah di Mojokuto tahun 1950-an, terus digeneralisir ke seluruh Jawa bahkan
Indonesia. Kedua, Hal ini seperti memotret kondisi masyarakat di satu waktu
tertentu aja, padahal masyarakat senatiasa mengalami perubahan. Ketiga, sebagai
orang luar, dia mungkin tidak memahami hal-hal kecil yang penting buat
komunitas muslim indonesia.
Yang
paling problematis adalah bias orientalis yang melekat. Pandangan Geertz
tentang "Islam sinkretis" di indonesia mengandaikan islam
"murni" ada di tempat lain (Arab), sementara islam indonesia dianggap
"tercampur" dan "tidak otentik". ini mengabaikan fakta
bahwa islam selalu bersifat kontekstual dan adaptif di manapun dia berkembang.
Realitas yang Menantang Teori
Perkembangan islam indonesia dalam tujuh dekade terakhir telah menghancurkan batas-batas kategori Geertz. Lihat transformasi yang terjadi, santri yang berubah total, perhatikan pesantren seperti Gontor atau Darul 'Ulum sekarang. Beda sekali dengan dahulu yang hanya ngaji saja. Sekarang alumninya bisa coding, membuat startup, bahkan ada yang jadi YouTuber. Santri di era kontemporer aktif di media sosial dan fasih bahasa inggris, namun tetap teguh dalam praktik keagamaan. contoh Gus Dur meskipun dia santri tulen, namun pemikirannya sangat terbuka. beda jauh sama gambaran santri kaku yang digambarkan Geertz. Abangan yang Hijrah, ini yang menarik. Dua dekade terakhir banyak sekali orang yang dulunya jauh dari agama, tiba-tiba jadi sangat religius. Teuku Wisnu yang sebelumnya menjalani kehidupan eintertaiment dengan gaya hidup bebas, kini menjadi panutan keluarga islami. Dewi Sandra mengalami transformasi dari artis dengan citra glamor menjadi sosok yang konsisten mengenakan hijab. Ustadz Hanan Attaki dulunya anak band, sekarang ceramahnya ditonton jutaan orang. Mereka semua bukti kalau kategori "abangan" itu bisa berubah drastis. Geertz pasti tidak menyangka adanya transformasi segini massif. Ini menunjukkan bahwa kategori "abangan" tidak permanen dan deterministik.
Priyayi
yang Menemukan Kembali Islam:
Banyak
elite birokrasi dan akademisi yang dulunya sekuler sekarang justru jadi aktivis
Islam. Contoh nyata adalah Salim Segaf Al-Jufri yang sebelumnya diplomat,
sekarang jadi tokoh Islam terkemuka. Atau banyak dosen dan akademisi yang buat
komunitas pengajian khusus kalangan elite. Ini membuktikan kalau kategori
priyayi itu sebenarnya cair, bisa berubah-ubah. Yang buat makin rumit, sekarang
muncul berbagai hal baru yang tidak ada tempat di teori Geertz. Perhatikan:
ustaz-ustaz yang viral di Instagram dan TikTok, komunitas hijrah yang
anggotanya dari berbagai profesi dan kelas sosial, sampai aplikasi seperti
Quran Kemenag yang dipakai jutaan orang. Belum lagi gerakan-gerakan yang
nyampur dakwah dengan seni modern. Terus bagaimana teori Geertz bisa jelasin
fenomena semacam One Day One Juz yang booming di kalangan anak muda? Atau
komunitas Shift dan Pemuda Hijrah yang berhasil menarik perhatian jutaan
followers dari latar belakang yang beragam banyak? Akan sulit
mengklasifikasikan mereka ke dalam santri, abangan, atau priyayi.
Politik
yang Tak Terprediksi
Kalau ngomongin politik, teori Geertz juga meleset jauh. Katanya PPP pasti didukung santri, tapi kenyataannya? Pilpres 2014 dan 2019 banyak santri NU yang milih Jokowi, padahal elite NU-nya dukung yang lain. Sebaliknya, yang dukung pasangan islami justru kebanyakan kelas menengah urban yang tidak masuk kategori santri tradisional. Fenomena Aksi Bela Islam 212 menunjukkan mobilisasi lintas kategori yang tidak bisa dijelaskan teori Geertz. Pesertanya berasal dari berbagai latar belakang: santri, urban muslim, bahkan sebagian priyayi. Yang menyatukan mereka bukan kategori sosial-religius ala Geertz, tapi sentimen politik identitas yang dimediasi teknologi digital.
Menuju Pemahaman yang Lebih Dinamis
Daripada
memaksa realitas islam indonesia masuk ke dalam kotak-kotak kategori yang kaku,
kita butuh pendekatan yang lebih dinamis dan kontekstual. islam [ndonesia hari
ini lebih tepat dipahami sebagai spektrum religiusitas yang fluid, bukan
kategori yang rigid. Seseorang bisa saja santri dalam praktik ritual, tapi
priyayi dalam status sosial, dan abangan dalam ekspresi budaya.
Konsep
"Islam Nusantara" yang dikembangkan NU, misalnya, menawarkan
framework yang lebih inklusif: Islam yang berakar pada tradisi lokal namun
tetap ortodoks, yang mampu berdialog dengan modernitas tanpa kehilangan
autentisitas. Ini jauh lebih nuansa dibanding kategorisasi hitam-putih ala
Geertz.
Saatnya Melampaui Geertz
Menggunakan teori
antropolog Amerika dari tujuh dekade lalu untuk memahami Islam Indonesia
kontemporer ibarat menggunakan peta tahun 1950-an untuk navigasi Jakarta masa
kini tidak hanya tidak akurat, tetapi juga menyesatkan.
Akademisi,
jurnalis, sampai politisi yang masih pakai kacamata santri-abangan-priyayi
perlu sadar: mereka lagi pakai alat analisis yang udah buram. Islam Indonesia saat
ini jauh lebih beragam dan dinamis dibandingkan yang dapat dijelaskan oleh
teori antropolog Amerika 70 tahun silam.
Yang penting
sekarang bukan lagi seseorang itu santri, abangan, atau priyayi tapi bagaimana dia hidup sebagai muslim di
Indonesia yang plural dan modern. Dan buat jawab pertanyaan itu, kita butuh
cara pandang yang lebih baru, bukan teori kadaluwarsa.
Referensi :
Suntana, Ija. Politik Hukum Islam. Bandung: [Pustaka Setia Bandung], [2014]. Pengantar Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, M.Hum. Geertz Geertz, C. (1960). The Religion of Java. University of Chicago Press. Bachtiar, H. W. (1973). The Religion of Java: Sebuah Komentar. Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, 5(1), 23-31.
Editor: Indira Ulfa