Portal Berita Al-Kalam

Istighotsah dan Zikir Kebangsaan jadi Pertemuan Pertama Mahasiswa Setelah Libur Semester

Foto: Muhammad Izzat Saputra www.lpmalkalam.com-  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe menyelenggara...

HEADLINE

Latest Post

23 September 2025

Aceh Multikultural: Mengungkap Warisan Toleransi di Balik Lensa Sejarah

Foto: Raisa Salsabiila

www.lpmalkalam.com- Toleransi selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan, baik di ruang akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari. Di atas kertas, gagasan ini memang terdengar indah dan mudah dijelaskan. Namun, saat masuk ke ranah praktik, sering kali muncul berbagai hambatan. Tidak jarang masyarakat masih terjebak dalam sikap eksklusif, bahkan ada yang cenderung menolak perbedaan. 

Aceh, sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, kerap dipandang dari luar sebagai wilayah yang keras dan tertutup. Gambaran ini diperkuat dengan jejak sejarah seperti pemberontakan dan konflik bersenjata. Meski begitu, jika kita melihat lebih jauh melalui sisi budaya dan sejarahnya, Aceh justru memiliki warisan toleransi yang panjang dan kaya, yang bisa menjadi sumber inspirasi berharga bagi bangsa Indonesia hari ini.

Letak geografis Aceh yang berada di ujung barat Nusantara menjadikannya pintu gerbang penting jalur perdagangan dunia. Sejak abad ke-9, ketika kerajaan Islam Perlak berdiri, kemudian Samudera Pasai pada abad ke-13, hingga Aceh Darussalam pada abad ke-16, pelabuhan-pelabuhan di kawasan ini ramai dikunjungi pedagang dari Arab, Turki, Persia, India, Tiongkok, dan juga Eropa. Pertemuan lintas bangsa tersebut tidak hanya membawa komoditas dagang, tetapi juga melahirkan akulturasi budaya yang memperkuat sikap terbuka masyarakat. Para penguasa Aceh memahami benar bahwa perdagangan, diplomasi, dan penyebaran agama saling terkait. Karena itu, kitab-kitab agama diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu-Jawi agar dapat dipahami berbagai kalangan, sementara ulama dari mancanegara ikut menetap di Aceh dan memperkaya tradisi intelektual setempat.

Puncak kejayaan Aceh terjadi pada abad ke-17 di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu, Aceh bukan hanya kekuatan maritim yang disegani, tetapi juga pusat diplomasi regional. Banda Aceh berkembang sebagai kota kosmopolitan yang dihuni beragam komunitas. Catatan para pelancong menyebut adanya kampung-kampung etnis seperti Gampong Jawa, Gampong Keudah, dan Surin. Bahkan beberapa sultan berasal dari luar, seperti keturunan Arab maupun Bugis, dan hal itu diterima secara terbuka oleh rakyat Aceh. Kondisi ini menggambarkan keterbukaan Aceh terhadap perbedaan, sesuatu yang jarang ditemui di kerajaan lain pada masa itu.

Dalam aspek keagamaan, jejak toleransi juga jelas terlihat. Walaupun Islam menjadi identitas mayoritas, agama lain tetap diberi ruang. Pada abad ke-19, Belanda membangun rumah ibadah seperti Gereja Katolik Hati Kudus (dikenal dengan sebutan Gereja Ayam) dan gereja Protestan Indische Kerk, yang kemudian berkembang menjadi GPIB Banda Aceh. Hingga kini, bangunan-bangunan itu masih berdiri kokoh. Tidak ada upaya menghapus atau meruntuhkannya, justru dirawat sebagai bagian dari mosaik budaya. Fakta ini menunjukkan bahwa Aceh mampu menjaga simbol-simbol keragaman, meski pernah dilanda konflik.

Toleransi di Aceh bahkan melampaui sekadar hidup berdampingan. Contoh menarik adalah diplomasi “lada sicupak” dengan Turki Utsmani pada abad ke-16. Kerja sama ini tidak hanya memperkuat perekonomian, tetapi juga mempererat hubungan antarbangsa. Tradisi keterbukaan semacam ini membuat Aceh semakin kaya secara budaya sekaligus berperan penting di kancah internasional.

Dari sejarah panjang itu, jelas bahwa toleransi di Aceh bukan sekedar teori, melainkan bagian dari praktik kehidupan sehari-hari. Sering kali Aceh dicap intoleran, padahal sejarahnya membuktikan sebaliknya, masyarakat di sana telah hidup berdampingan dengan bangsa dan agama lain selama berabad-abad. Dari sini kita bisa belajar bahwa toleransi tidak cukup hanya berarti saling membiarkan, melainkan juga pengakuan hak, penghormatan atas perbedaan, dan kerja sama aktif.

Aceh pada hakikatnya menjadi bukti bahwa identitas Islam yang kuat tidak menutup peluang untuk hidup harmonis dengan keberagaman. Dari pelabuhan yang kosmopolitan, keberadaan rumah ibadah lintas agama, hingga hubungan diplomasi internasional, semuanya menunjukkan wajah Aceh yang plural, terbuka, dan penuh kearifan. Semangat toleransi yang diwariskan sejak ratusan tahun silam bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi energi moral yang tetap relevan bagi Indonesia masa kini. Jika diwarisi dan dipraktikkan secara konsisten, nilai-nilai toleransi Aceh dapat menjadi fondasi penting bagi persatuan bangsa dalam menghadapi tantangan global.


Penulis: Raisa Salsabiila

Editor: Tiara Khalisna

banner
Previous Post
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.