Portal Berita Al-Kalam

Klasik Goes to SMA Negeri 1 Syamtalira Bayu Raih Antusias Siswa Pelajari Cara Penulisan Berita

Foto: Nurul Fadilah   www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) L...

HEADLINE

Latest Post

29 Oktober 2025

Bazar F-AERO: Wadah bagi Para Pedagang dan Mahasiswa untuk Meningkatkan Skill Berwirausaha

Foto: Rizky Ramadhani (Magang)

www.lpmalkalam.com- Organisasi Mahasiswa (Ormawa) Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe menyelenggarakan bazar F-AERO di halaman Gedung FUAD. Ini selaras dengan tujuan Ormawa yaitu dapat memberikan kontribusi positif untuk masyarakat dengan cara menyelenggarakan bazar yang bisa memberikan manfaat untuk pedagang dan mahasiswa. 

Seluruh pedagang dan mahasiswa lainnya ikut memeriahkan acara ini dan bahkan beberapa mahasiswa berpartisipasi untuk turun langsung berjualan. Barang yang dijual pun beraneka ragam, sesuai dengan kebutuhan anak muda zaman sekarang. 

Acara ini menjadi wadah bagi para pedagang dan mahasiswa dalam memajukan Unit Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta menjadi tempat untuk melatih kreativitas mahasiswa dalam berwirausaha. Hal tersebut merupakan wujud dari tujuan organisasi mahasiswa yang dapat memberikan kontribusi. Dari hal tersebut terciptalah dampak positif yang akan berdampak untuk masyarakat. 

Melalui acara ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan keterampilan berwirausaha sekaligus mempererat silahturahmi antar pedagang dengan mahasiswa. "Semoga semakin maju dan semakin sukses lagi acara ini untuk ke depannya serta semoga hasil jualan kami bisa laku keras," ujar salah satu mahasiswa yang turut bergabung dalam kegiatan ini.


Penulis: Rizky Ramadhani (Magang)

Editor: Zuhra

 

Santri Masa Kini: Cerdas, Unggul, dan Tangguh dalam Akhlak

Foto: Intan Sarifah (Magang)

www.lpmalkalam.com- Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional sebuah momen yang lahir dari sejarah panjang perjuangan para ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan. Namun, makna Hari Santri tidak berhenti pada seremonial dan nostalgia masa lalu. Di era modern seperti sekarang, menjadi santri berarti memikul tanggung jawab baru: menjaga warisan keilmuan Islam sekaligus menjawab tantangan global yang semakin kompleks.

Semangat itu tampak nyata dalam kegiatan Musabaqah Jami’ah yang digelar oleh Ma’had Al-Jami’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe. Lomba yang meliputi Musabaqah Baca Kitab Kuning, Debat Bahasa Arab, dan Debat Bahasa Inggris ini bukan sekadar ajang kompetisi, tetapi cerminan bahwa santri masa kini tidak hanya berkutat pada kitab kuning, melainkan juga mampu menguasai bahasa dan berpikir kritis.

Tema yang diusung, “Santri Cerdas Literasi Turats, Unggul Berdebat, dan Tangguh dalam Akhlak,” mengandung pesan yang sangat relevan. Santri dituntut untuk tidak kehilangan akar tradisi keilmuan Islam (turats), tetapi juga harus berani menatap dunia luar dengan kemampuan intelektual dan keterampilan global.

Kecerdasan literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca teks klasik, tetapi juga memahami konteks zaman. Penguasaan bahasa Arab dan Inggris menjadi bukti bahwa santri siap berdialog dengan dunia, menyampaikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin di tengah arus globalisasi yang sering kali menantang moralitas dan akhlak.

Namun, di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, santri harus tetap tangguh menjaga akhlak. Ilmu tanpa akhlak hanya akan melahirkan generasi pintar yang kehilangan arah. Di sinilah letak keistimewaan seorang santri: ilmu dan adab berjalan seiring, bukan saling meniadakan.

Perayaan Hari Santri seharusnya menjadi refleksi, bukan hanya peringatan. Sudah sejauh mana santri berperan di masyarakat? Apakah santri hanya menjadi simbol kesalehan, atau benar-benar menjadi agen perubahan sosial?

Jika santri mampu menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara ilmu dan akhlak, maka tidak diragukan lagi — merekalah generasi yang akan membawa cahaya Islam ke tengah kegelapan zaman.

Hari Santri bukan sekadar tentang masa lalu, tetapi tentang masa depan. Tentang santri yang berani berpikir, berdiri, dan berbuat bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk umat dan bangsanya.


Penulis: Intan Sarifah (Magang)
Editor: Putri Ruqaiyah

24 Oktober 2025

BKI Saweu: Melindungi Generasi Muda dari Bullying dan Kekerasan dengan Edukasi Konseling

Foto: IST

www.lpmalkalam.com- Program BKI Saweu yang diinisiasikan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Bimbingan Konseling Islam (BKI) mencerminkan sebuah inisiatif yang luar biasa dan sangat relevan dengan tantangan psikososial yang sering dihadapi generasi muda saat ini. Dengan memilih untuk keluar dari lingkungan kampus dan langsung mengunjungi berbagai jenjang institusi mulai dari PAUD, SD, SMP, hingga panti asuhan. Program ini menunjukkan komitmen nyata untuk mengaplikasikan ilmu konseling sebagai alat pencegahan di lingkungan masyarakat. 

Fokus pada materi yang dipilih berupa bullying, keamanan seksual, dan etika menghargai guru, bukan hanya sekadar tema yang populer tetapi respons terhadap realitas sosial yang mendesak. Program BKI Saweu memahami urgensi ini dan mengemas ilmu konseling yang sering terasa berat dan akademis menjadi edukasi yang aplikatif, mudah dipahami, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka.

1. Lebih dari Sekadar Program Pengabdian Masyarakat

BKI Saweu menciptakan ekosistem perlindungan anak yang inklusif. Program ini tidak hanya mengedukasi, tetapi juga membuka ruang dialog di mana anak-anak merasa aman untuk bertanya, berbagi, dan belajar mengenali risiko tanpa stigma. Dalam jangka panjang, dampaknya bisa jauh melampaui sesi edukasi: anak-anak yang terliterasi dengan baik tentang batasan diri dan hak-hak mereka akan tumbuh menjadi individu yang lebih tangguh, kritis, dan mampu melindungi diri sendiri maupun orang lain.

2. Model Program Kemahasiswaan yang Inspiratif

BKI Saweu layak menjadi model bagi program kemahasiswaan lainnya, ia membuktikan bahwa pendidikan tinggi bukan menara gading, melainkan sumber daya yang harus mengalir ke masyarakat. Ketika ilmu konseling dibawa keluar dari ruang kelas dan diterjemahkan menjadi aksi nyata, di situlah perubahan sosial yang bermakna dimulai. 


Penulis: Cut Saputri (Magang)

Editor: Zuhra

23 Oktober 2025

Peugah Haba Energi Aceh dan Harapan Baru

Foto: Intan Sarifah (Magang)

www.lpmalkalam.com- Seminar Nasional “Peugah Haba Energi” yang berlangsung di Aula FEBI Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe menggambarkan upaya nyata untuk membuka ruang dialog kritis mengenai masa depan energi Aceh. Mahasiswa dari berbagai latar belakang hadir, duduk serius menghadap panggung, menanti wacana besar tentang migas dan ekonomi daerah yang dibedah oleh para ahli. Pemandangan ini menunjukkan bahwa isu energi tidak lagi sekadar milik para teknokrat dan pemerintah, tetapi telah memasuki diskursus intelektual mahasiswa sebagai calon penggerak masa depan Aceh.

Tema yang diangkat, yaitu “Potensi dan Strategi Pengelolaan Migas Aceh dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Regional dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat” menegaskan bahwa energi bukan hanya soal produksi minyak dan gas, tetapi juga bagaimana pengelolaannya dapat memberi dampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat. Kehadiran Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh sebagai inisiator menunjukkan bahwa mahasiswa ingin mengambil bagian dalam membangun paradigma energi yang berkeadilan, transparan, dan berkelanjutan.

Dari suasana acara terlihat bahwa ruang ini bukan hanya tempat bertanya, tetapi juga tempat lahirnya kesadaran kolektif: Aceh memiliki potensi besar, namun tanpa pengelolaan yang tepat, kekayaan migas hanya akan menjadi angka dalam laporan tanpa menyentuh kehidupan masyarakat. Diskusi semacam ini menjadi penting karena membuka cakrawala mahasiswa tentang hubungan strategis antara energi dan ekonomi regional. Mahasiswa yang hadir bukan hanya sebagai pendengar, tetapi juga sebagai agen perubahan yang akan mengawal agar pengelolaan energi Aceh tidak jatuh pada eksploitasi tanpa keberpihakan.

Melalui acara ini, terbentuklah jembatan antara ilmu, kesadaran sosial, dan aksi. Jika kesadaran ini terus dijaga, maka generasi muda Aceh tidak hanya menjadi saksi atas eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga menjadi bagian dari pengelolaannya yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.

Kini, tugas utama mahasiswa adalah menjaga agar semangat ini tidak berhenti di ruang seminar, melainkan terus hidup dalam langkah-langkah nyata menuju kemandirian energi Aceh yang berkelanjutan.


Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

14 Oktober 2025

Buku Cetak vs Digital: Pilihan Membaca Mahasiswa di Era Modern

Foto: Pexels

www.lpmalkalam.com- Perkembangan teknologi di era digital saat ini membawa perubahan besar terhadap budaya membaca, khususnya di kalangan mahasiswa. Bacaan tidak lagi hanya hadir dalam bentuk buku cetak, tetapi juga tersedia secara digital melalui berbagai aplikasi. Cerita-cerita populer yang dapat diakses secara gratis menjadi pilihan praktis sekaligus hiburan di waktu luang.

Bagi sebagian mahasiswa, membaca lewat aplikasi digital lebih disukai karena praktis dan tidak membutuhkan biaya tambahan. Inayah Assyifa, mahasiswa semester 1, mengaku lebih nyaman membaca secara digital.

“Lewat aplikasi digital karena tidak harus membayar, kalau buku kan harus beli dulu dan bisa saja rusak. Selain itu, lebih mempermudah saat ingin membaca karena nggak perlu repot bawa buku lagi,” ujarnya.

Meski demikian, Inayah juga menyadari risiko dari kebiasaan membaca digital. “HP itu ada radiasinya, bisa bikin mata cepat rusak kalau terlalu lama dipakai,” tambahnya.

Di sisi lain, ada juga mahasiswa yang tetap setia dengan buku cetak. Yuli Sabila Geubrina, mahasiswa semester 3, mengaku lebih nyaman membaca dari buku cetak.

“Aku lebih suka baca buku cetak karena lebih nyaman. Dari kecil udah terbiasa baca buku, apalagi dulu buku pelajaran pasti bentuknya cetak. Sejak SMP juga sering baca cerita atau novel. Menurutku, kalau baca buku cetak lebih mudah konsentrasi, dan gampang kalau mau tandai bagian yang sudah dibaca,” jelasnya.

Menurut Yuli, tren membaca digital wajar saja karena lebih praktis dan mudah diakses. Namun, ia menegaskan bahwa buku cetak tetap memiliki keistimewaan tersendiri.

“Menurutku wajar aja kalau digital lebih praktis. Tapi tetap ada sisi positif dari buku cetak, karena pengalaman membacanya beda dan lebih berkesan,” ujarnya.

Fenomena perbedaan preferensi ini menunjukkan adanya kelebihan dan kekurangan pada masing-masing media. Membaca digital menawarkan kemudahan, akses cepat, dan biaya lebih murah, namun berisiko membuat mata cepat lelah serta mengurangi fokus. Sementara itu, membaca buku cetak memberikan kenyamanan, konsentrasi lebih baik, serta pengalaman yang lebih berkesan, meski cenderung lebih mahal dan kurang praktis dibawa ke mana-mana.

Dengan semakin berkembangnya era digital, pergeseran budaya membaca ini menegaskan bahwa literasi mahasiswa kian beragam. Pilihan antara buku cetak maupun digital kembali pada kenyamanan masing-masing individu. Yang terpenting, semangat literasi tetap terjaga agar budaya membaca terus tumbuh seiring dengan kemampuan generasi muda beradaptasi terhadap perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai dari pengalaman membaca itu sendiri.


Penulis: Amanda Zuhra

Editor: Putri Ruqaiyah
 

23 September 2025

Aceh Multikultural: Mengungkap Warisan Toleransi di Balik Lensa Sejarah

Foto: Raisa Salsabiila

www.lpmalkalam.com- Toleransi selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan, baik di ruang akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari. Di atas kertas, gagasan ini memang terdengar indah dan mudah dijelaskan. Namun, saat masuk ke ranah praktik, sering kali muncul berbagai hambatan. Tidak jarang masyarakat masih terjebak dalam sikap eksklusif, bahkan ada yang cenderung menolak perbedaan. 

Aceh, sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, kerap dipandang dari luar sebagai wilayah yang keras dan tertutup. Gambaran ini diperkuat dengan jejak sejarah seperti pemberontakan dan konflik bersenjata. Meski begitu, jika kita melihat lebih jauh melalui sisi budaya dan sejarahnya, Aceh justru memiliki warisan toleransi yang panjang dan kaya, yang bisa menjadi sumber inspirasi berharga bagi bangsa Indonesia hari ini.

Letak geografis Aceh yang berada di ujung barat Nusantara menjadikannya pintu gerbang penting jalur perdagangan dunia. Sejak abad ke-9, ketika kerajaan Islam Perlak berdiri, kemudian Samudera Pasai pada abad ke-13, hingga Aceh Darussalam pada abad ke-16, pelabuhan-pelabuhan di kawasan ini ramai dikunjungi pedagang dari Arab, Turki, Persia, India, Tiongkok, dan juga Eropa. Pertemuan lintas bangsa tersebut tidak hanya membawa komoditas dagang, tetapi juga melahirkan akulturasi budaya yang memperkuat sikap terbuka masyarakat. Para penguasa Aceh memahami benar bahwa perdagangan, diplomasi, dan penyebaran agama saling terkait. Karena itu, kitab-kitab agama diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu-Jawi agar dapat dipahami berbagai kalangan, sementara ulama dari mancanegara ikut menetap di Aceh dan memperkaya tradisi intelektual setempat.

Puncak kejayaan Aceh terjadi pada abad ke-17 di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu, Aceh bukan hanya kekuatan maritim yang disegani, tetapi juga pusat diplomasi regional. Banda Aceh berkembang sebagai kota kosmopolitan yang dihuni beragam komunitas. Catatan para pelancong menyebut adanya kampung-kampung etnis seperti Gampong Jawa, Gampong Keudah, dan Surin. Bahkan beberapa sultan berasal dari luar, seperti keturunan Arab maupun Bugis, dan hal itu diterima secara terbuka oleh rakyat Aceh. Kondisi ini menggambarkan keterbukaan Aceh terhadap perbedaan, sesuatu yang jarang ditemui di kerajaan lain pada masa itu.

Dalam aspek keagamaan, jejak toleransi juga jelas terlihat. Walaupun Islam menjadi identitas mayoritas, agama lain tetap diberi ruang. Pada abad ke-19, Belanda membangun rumah ibadah seperti Gereja Katolik Hati Kudus (dikenal dengan sebutan Gereja Ayam) dan gereja Protestan Indische Kerk, yang kemudian berkembang menjadi GPIB Banda Aceh. Hingga kini, bangunan-bangunan itu masih berdiri kokoh. Tidak ada upaya menghapus atau meruntuhkannya, justru dirawat sebagai bagian dari mosaik budaya. Fakta ini menunjukkan bahwa Aceh mampu menjaga simbol-simbol keragaman, meski pernah dilanda konflik.

Toleransi di Aceh bahkan melampaui sekadar hidup berdampingan. Contoh menarik adalah diplomasi “lada sicupak” dengan Turki Utsmani pada abad ke-16. Kerja sama ini tidak hanya memperkuat perekonomian, tetapi juga mempererat hubungan antarbangsa. Tradisi keterbukaan semacam ini membuat Aceh semakin kaya secara budaya sekaligus berperan penting di kancah internasional.

Dari sejarah panjang itu, jelas bahwa toleransi di Aceh bukan sekedar teori, melainkan bagian dari praktik kehidupan sehari-hari. Sering kali Aceh dicap intoleran, padahal sejarahnya membuktikan sebaliknya, masyarakat di sana telah hidup berdampingan dengan bangsa dan agama lain selama berabad-abad. Dari sini kita bisa belajar bahwa toleransi tidak cukup hanya berarti saling membiarkan, melainkan juga pengakuan hak, penghormatan atas perbedaan, dan kerja sama aktif.

Aceh pada hakikatnya menjadi bukti bahwa identitas Islam yang kuat tidak menutup peluang untuk hidup harmonis dengan keberagaman. Dari pelabuhan yang kosmopolitan, keberadaan rumah ibadah lintas agama, hingga hubungan diplomasi internasional, semuanya menunjukkan wajah Aceh yang plural, terbuka, dan penuh kearifan. Semangat toleransi yang diwariskan sejak ratusan tahun silam bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi energi moral yang tetap relevan bagi Indonesia masa kini. Jika diwarisi dan dipraktikkan secara konsisten, nilai-nilai toleransi Aceh dapat menjadi fondasi penting bagi persatuan bangsa dalam menghadapi tantangan global.


Penulis: Raisa Salsabiila

Editor: Tiara Khalisna

31 Agustus 2025

Organisasi Itu Seru! Kisah Kebersamaan Pramuka dan LPM Al-Kalam di PBAK 2025

Dok: LPM Al-Kalam

www.lpmalkalam.com- Di setiap pelaksanaan Perkenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK), selalu ada cerita yang tak hanya tentang pengenalan dunia akademik, tetapi juga tentang kebersamaan. Tahun ini, Unit Kegiatan Khusus (UKK) Praja Muda Karana (Pramuka) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam kembali menunjukkan bahwa organisasi bukan hanya ruang belajar, tetapi juga wadah menciptakan keseruan dan solidaritas.

Selama tiga hari rangkaian PBAK berlangsung, kedua organisasi ini berhasil menghadirkan suasana yang menyenangkan di sela-sela kegiatan mahasiswa baru. Stand open recruitment menjadi salah satu momen yang penuh warna. Bukan sekadar ajang memperkenalkan diri, tetapi juga ruang untuk berbagi energi positif kepada mahasiswa baru.

Di akhir kegiatan, puncak kebersamaan semakin terasa ketika Pramuka dan LPM Al-Kalam berkolaborasi berjualan bersama. Suasana yang penuh tawa, kerja sama, dan kreativitas menjadi bukti nyata bahwa organisasi adalah ruang kebersamaan yang tak kalah penting dibandingkan ruang belajar di kelas.

Dok: LPM Al-Kalam
Lebih dari sekadar aktivitas, organisasi mengajarkan kita arti membangun relasi, memperluas persaudaraan, serta menumbuhkan solidaritas dan loyalitas dalam diri. Inilah nilai yang selalu coba ditularkan kepada mahasiswa baru, yaitu organisasi adalah tempat bertumbuh sekaligus rumah untuk berbagi.

Dewan Ketua Racana Pramuka UIN SUNA, baik Ketua Putra, Deni Prayogi, maupun Ketua Putri, Dewi Prilia Wulandari bersama Pemimpin Umum LPM Al-Kalam Muhammad Syahru menegaskan komitmennya untuk mengajak seluruh mahasiswa baru 2025 aktif dalam organisasi apapun bentuknya.

“Organisasi adalah ruang untuk melatih diri, menempa karakter, dan tentu saja tetap tegak lurus dalam belajar serta menjunjung tinggi kebenaran,” tegas mereka.

Melalui kebersamaan seperti ini, PBAK bukan hanya menjadi ajang perkenalan kampus, tetapi juga momentum untuk menumbuhkan semangat berorganisasi, berkolaborasi, dan membangun solidaritas antar mahasiswa.


Penulis: M. Syukri Rizki Hamdalah, Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam (MPI). Rilisan

Editor: Tiara Khalisna
 

14 Agustus 2025

Daun Sirsak, Si Hijau yang Menyimpan Banyak Khasiat

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com-  Satu helai daun sirsak mungkin terlihat biasa saja dan tidak istimewa ketika pertama kali dilihat, namun di balik permukaannya, daun hijau ini mengandung segudang manfaat yang sudah lama di gunakan dalam pengobatan tradisional. Di belahan dunia lain, misalnya di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, daun sirsak diolah menjadi teh, kemudian dikeringkan untuk menjadi suplemen atau biasa diolah menjadi ramuan tradisional.

Secara ilmiah, sirsak mempunyai nama latin Annona muricata. Pohon ini biasanya tumbuh di daerah tropis, seperti Indonesia. Daun ini kaya akan senyawa bioaktif seperti acetogenin, tanin, flavonoid, dan alkaloid yang khususnya alkon aporfin, seperti annonamine yang terbukti secara ilmiah sebagai zat dengan antioksidan, antimikroba, antiradang, dan antikanker potensial. Penggunaan secara tradisional meliputi pengobatan demam, nyeri, gangguan pencernaan, dan infeksi kulit.

Manfaat daun sirsak sebagai berikut:

1. Meningkatkan Daya Tahan Tubuh

Kandungan vitamin C dan antioksidan membantu melawan radikal bebas serta menjaga sistem imun agar tetap prima.

2. Membantu Menurunkan Tekanan Darah

Kandungan senyawa dalam daun sirsak dipercaya mampu melebarkan pembuluh darah dan melancarkan peredaran darah.

3. Mengurangi Nyeri Dan Peradangan

Rebusan daun sirsak bisa membantu meredakan rasa nyeri sendi dan pegal linu.

4. Mendukung Terapi Kanker

Banyak hasil penelitian membuktikan bahwa ekstrak daun sirsak mempunyai antikanker, walaupun penggunaannya harus bersamaan dengan saran medis. 

5. Menjaga Kesehatan Pencernaan

Rutin mengonsumsi air rebusan daun sirsak secara teratur bisa membantu mengatasi masalah pencernaan seperti sembelit atau perut kembung. 


Cara Membuat Ramuan Daun Sirsak

Bahan:

1. 5-10 lembar daun sirsak segar (pilihlah daun yang sudah tua tapi masih hijau)

2. 3 gelas air (± 750 ml)


Langkah pembuatan:

1. Bersihkan daun sirsak dengan mencucinya agar debu atau kotoran hilang

2. Masukkan daun sirsak ke dalam panci kemudian tambahkan 3 gelas air

3. Rebus dengan air kecil sampai air di panci tersisa kira-kira 1 gelas.

4. Saring air rebusan dan biarkan agak hangat 

5. Minum 1 kali sehari atau sesuai anjuran, biasanya setelah makan. 

Meskipun daun sirsak banyak manfaatnya, penggunaan untuk pengobatan sebaiknya di dampingi konsultasi dengan pihak medis, terutama untuk ibu hamil, menyusui, atau penderita penyakit kronis. “Alam menyediakan banyak obat, tapi kebijaksanaan manusia yang menentukan bagaimana kita memanfaatkannya.”



Penulis: Nadiyatul Rahimah Sinaga

Editor: Tiara Khalisna

07 Agustus 2025

Pante Kirau: Destinasi Wisata Ala-Ala Takengon

Foto: Nurul Fadilah

www.lpmalkalam.com- Destinasi wisata yang saat ini menjadi perbincangan publik, khususnya di kalangan warga Aceh Utara, adalah Pante Kirau. Pante Kirau merupakan sebutan bagi sungai yang terletak di Gampong Blang Pante, Kecamatan Paya Bakong, Kabupaten Aceh Utara.

Sebutan "Pante Kirau" sendiri belum begitu dikenal luas dan hanya populer di kalangan masyarakat tertentu. Nama lainnya yang lebih sering terdengar adalah Pante Bahagia.

Di destinasi wisata ini, pengunjung disuguhkan panorama keindahan sungai yang jernih dan berkelok-kelok, berpadu dengan pemandangan pegunungan di sekelilingnya yang memanjakan mata. Suasananya seolah-olah membawa kita ke Takengon, Aceh Tengah, yang memang terkenal dengan keindahan alamnya.

Dengan tiket masuk seharga Rp5.000, pengunjung sudah bisa merasakan serunya bermain di sungai. Fasilitas tempat istirahat dan parkir juga disediakan secara gratis. Untuk keamanan, pengunjung yang ingin berenang tidak perlu khawatir akan tenggelam karena tersedia jaket pelampung yang disewakan oleh para pedagang di lokasi. Jaket pelampung ini wajib digunakan sebagai langkah antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.

Selain itu, hanya dengan Rp15.000, pengunjung bisa menyewa ban pelampung untuk sensasi berenang yang lebih seru. Tidak hanya itu, destinasi ini juga menawarkan arung jeram dengan tarif yang sangat terjangkau, yakni hanya Rp25.000 per perahu.

Hingga saat ini, destinasi wisata yang dibuka pada awal April dan terus berkembang ini masih tergolong sangat ramai, terutama pada hari-hari libur. Pante Kirau menjadi salah satu ikon wisata baru di Aceh Utara yang ramai dikunjungi wisatawan dari dalam maupun luar daerah.

Ingin merasakan sensasi bermain di sungai seperti di Takengon? Pante Kirau solusinya! Nikmati keindahan panorama sungai layaknya di Takengon tanpa harus menempuh perjalanan jauh.


Penulis: Nurul Fadilah

Editor: Putri Ruqaiyah
 

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.