![]() |
Sumber: Pexels.com |
Kekerasan seksual terhadap laki-laki sering kali tidak mendapatkan perhatian yang layak. Banyak orang masih beranggapan bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban. Anggapan ini menghasilkan minimnya dukungan bagi mereka yang mengalami trauma. Ketika seorang laki-laki melaporkan kekerasan seksual, ia sering dihadapkan pada skeptisisme dan stigma yang membuatnya merasa tidak layak disebut sebagai korban. Situasi ini menciptakan suasana di mana banyak laki-laki terpaksa menyimpan pengalaman traumatis dalam diam karena takut akan penilaian masyarakat. Akibatnya, kasus kekerasan seksual yang menimpa laki-laki sering kali tidak teridentifikasi dan mereka tidak menerima dukungan yang diperlukan untuk pemulihan.
Di sisi lain, korban perempuan sering kali menghadapi kritik dan penyalahkan. Masyarakat cenderung mempertanyakan perilaku dan pilihan hidup perempuan, seolah-olah mereka bertanggung jawab atas kekerasan yang dialami. Banyak perempuan dikritik karena pakaian yang mereka kenakan saat menjadi korban. Padahal, pelaku kekerasan seksual tidak memandang pakaian korban.
Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, termasuk anak-anak, orang tua, dan bahkan mereka yang mengenakan pakaian yang sangat tertutup. Pertanyaan seperti “Apa yang dia pakai?” atau “Mengapa dia berada di tempat itu?” bukan hanya merendahkan tetapi juga menunjukkan ketidakpahaman yang mendalam tentang kekerasan seksual. Ketika perempuan menjadi korban, alih-alih mendapatkan empati dan dukungan, mereka sering kali berjuang melawan stigma yang menganggap bahwa mereka berkontribusi terhadap tindakan kekerasan tersebut seolah olah mereka layak untuk menjadi korban
Peran gender juga sangat menentukan dalam pembentukan persepsi tentang kekerasan seksual. Ada anggapan bahwa laki-laki, sebagai makhluk yang lebih kuat secara fisik dan emosional, tidak seharusnya menjadi korban. Ini adalah stereotip berbahaya yang mengabaikan kenyataan bahwa siapa pun bisa menjadi korban, tanpa memandang gender. Sebaliknya, perempuan sering kali diposisikan sebagai korban yang lemah dan perlu dilindungi. Namun, ketika mereka menjadi korban, mereka justru disalahkan atas situasi yang dialami. Norma-norma gender yang ada tidak hanya menghambat pemulihan korban tetapi juga memberikan celah bagi pelaku untuk menghindari tanggung jawab.
Perbedaan perlakuan terhadap korban laki-laki dan perempuan mencerminkan norma-norma gender yang telah lama tertanam dalam masyarakat. Norma-norma ini menciptakan ruang bagi pelaku untuk menghindari tanggung jawab dan mengalihkan perhatian dari perilaku mereka. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meningkatkan kesadaran akan standar ganda ini dan mendorong perlakuan yang adil serta setara bagi semua korban, tanpa memandang gender.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita perlu menyadari bahwa kekerasan seksual adalah isu universal yang dapat menimpa siapa saja. Penanganan kasus kekerasan seksual harus dilakukan dengan adil terlepas dari apapun gender dari Korban tersebut Dukungan bagi korban, baik laki-laki maupun perempuan, harus menjadi prioritas utama. Kita perlu menciptakan lingkungan yang bebas dari stigma serta diskriminasi.
Mari kita tingkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual dan dorong dialog yang konstruktif. Kita harus bekerja sama untuk menghapus stigma yang menghalangi korban untuk berbicara dan mendapatkan bantuan. Hanya dengan mengatasi standar ganda ini, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil bagi semua.
Oleh: Sejahtra (Magang)
Editor: Redaksi