![]() |
Foto: istockphoto.com |
www.lpmalkalam.com-
Abstrak
Artikel ini membahas implementasi Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, khususnya dalam konteks penertiban elemen visual ruang publik di Takengon, Aceh Tengah. Salah satu contoh konkret penerapan qanun ini adalah razia terhadap manekin yang tidak mengenakan busana syar’i di Pasar Inpres Takengon oleh Satpol PP dan Wilayatul Hisbah. Tindakan ini menjadi bentuk kontrol moral dan simbolik pemerintah daerah terhadap representasi visual yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam. Artikel ini juga menyoroti dinamika sosial yang muncul di tengah masyarakat, antara dorongan untuk menegakkan identitas keislaman dan respons kritis dari sebagian warga yang mempertanyakan batasan ruang privat dan publik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana nilai-nilai agama dipraktikkan secara nyata dalam tata kelola ruang publik serta dampaknya terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Kata Kunci:
Syariat Islam, Qanun No. 11/2002, Aceh Tengah, ruang publik,
manekin, Satpol PP-WH, visual syar’i, Takengon.
PENDAHULUAN
Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberi kewenangan khusus untuk menerapkan Syariat Islam melalui berbagai qanun daerah. Salah satu bentuk konkret dari kewenangan ini adalah Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Qanun ini mengatur bagaimana nilai-nilai Islam diterapkan dalam kehidupan sosial, termasuk di ruang publik. Implementasi qanun ini tidak hanya menyentuh aspek ibadah personal, tetapi juga menyasar ekspresi visual dan simbolik di lingkungan masyarakat, seperti pengawasan terhadap etalase toko, busana, hingga penampilan manekin (boneka pajangan).
Salah satu peristiwa yang
mencerminkan implementasi qanun tersebut terjadi di Kabupaten Aceh Tengah,
khususnya di Pasar Inpres Takengon. Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul
Hisbah (Satpol PP dan WH) melakukan penertiban terhadap sejumlah manekin yang
dianggap tidak berpakaian sesuai busana syar’i. Menurut pihak berwenang, hal
ini merupakan bagian dari upaya menjaga syiar Islam di ruang publik serta
menegakkan norma kesopanan visual yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang
berlaku di Aceh.
Fenomena ini menimbulkan beragam
tanggapan dari masyarakat. Sebagian mendukung tindakan tersebut sebagai bagian
dari identitas Aceh sebagai daerah bersyariat, namun tak sedikit pula yang
mempertanyakan relevansi pengawasan simbol visual non-manusia seperti manekin.
Polemik ini menempatkan ruang publik sebagai arena kontestasi antara penegakan
nilai-nilai keagamaan dan kebebasan ekspresi visual.
Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis implementasi Qanun No. 11 Tahun 2002 dalam konteks
penertiban visual ruang publik di Takengon, serta menelaah dinamika sosial yang
muncul akibat penerapan kebijakan tersebut. Dengan pendekatan kualitatif,
penulisan ini diharapkan mampu memberikan gambaran kritis dan objektif mengenai
bentuk, alasan, serta respons masyarakat terhadap penegakan syariat di level
simbolik-visual.
TINJAUAN
PUSTAKA
1. Konsep Ruang
Publik dalam Perspektif Sosial
Ruang publik adalah arena di mana
masyarakat dari berbagai latar belakang berinteraksi, berekspresi, dan
menunjukkan identitas budaya maupun agama. Dalam pemikiran Jรผrgen Habermas,
ruang publik adalah tempat diskursus bebas berlangsung dan memungkinkan terbentuknya
opini publik.
Di daerah berbasis agama seperti Aceh, ruang publik tidak hanya netral secara
sosial, tapi juga dibentuk oleh norma-norma syariat yang secara langsung
memengaruhi bentuk visual dan perilaku di dalamnya.
2. Syariat
Islam sebagai Kebijakan Publik di Aceh
Penerapan Syariat Islam di Aceh
merupakan kebijakan daerah yang dilegitimasi oleh perjanjian damai Helsinki
tahun 2005 dan diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Salah satu produk hukum turunannya adalah Qanun No. 11 Tahun
2002 yang menjadi dasar hukum pelaksanaan nilai-nilai keislaman dalam aspek
kehidupan sosial, termasuk pengaturan busana, etika, dan simbol visual.
Ini menjadikan hukum syariat tidak hanya bersifat pribadi, tetapi berdimensi
publik yang bisa memengaruhi pengaturan ruang kota.
3. Simbol dan
Visual dalam Kebijakan Moral
Simbol visual, seperti manekin,
billboard, dan pakaian di ruang publik, menjadi alat representasi budaya dan
moral. Dalam konteks Aceh, simbol-simbol ini tidak boleh bebas nilai, karena
dianggap membawa dampak terhadap tatanan sosial dan syiar Islam. Pemerintah
melalui Satpol PP dan WH bertugas untuk mengawasi dan memastikan bahwa
elemen-elemen visual ini sesuai dengan norma syariat.
Maka dari itu, penertiban manekin yang tidak berbusana syar’i merupakan bentuk
kontrol visual yang memiliki nilai politik moral dan religius.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis studi kasus, yang bertujuan untuk memahami secara mendalam implementasi Qanun No. 11 Tahun 2002 di Takengon, khususnya dalam konteks penertiban visual ruang publik seperti manekin di Pasar Inpres. Pendekatan ini dipilih karena mampu menggambarkan proses sosial yang kompleks dan dinamis, serta memungkinkan peneliti untuk menangkap makna subjektif dari para pelaku kebijakan maupun masyarakat. Lokasi penelitian dipusatkan di Pasar Inpres Takengon, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, karena di lokasi inilah terjadi penertiban langsung oleh Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH). Subjek penelitian terdiri atas aparat Satpol PP-WH, pedagang pasar, warga setempat, dan tokoh agama yang relevan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi langsung terhadap kondisi ruang publik, serta dokumentasi berupa berita, foto kegiatan, dan dokumen resmi qanun. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis tematik, dimulai dari reduksi data, kategorisasi tema, hingga penarikan kesimpulan. Untuk memastikan keabsahan data, dilakukan triangulasi sumber dan teknik, sehingga data yang disajikan memiliki validitas yang kuat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Implementasi Qanun di Takengon
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, Satpol PP dan WH Aceh Tengah secara aktif melakukan sosialisasi dan penegakan Qanun No. 11 Tahun 2002, khususnya dalam hal pengawasan visual ruang publik seperti etalase toko dan penampilan manekin. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk penjagaan terhadap norma syar’i yang telah diatur secara resmi oleh pemerintah daerah. Razia manekin tak berbusana syar’i yang terjadi di Pasar Inpres Takengon menjadi bentuk nyata dari pelaksanaan syariat dalam ruang sosial sehari-hari. Aparat Satpol PP dan WH menyita atau meminta pemilik toko menutupi manekin yang menampilkan bentuk tubuh secara eksplisit. Hal ini merujuk pada prinsip bahwa simbol visual di ruang publik juga harus mendukung syiar Islam.
2. Tanggapan dan Respons Masyarakat
Respons masyarakat terhadap razia manekin beragam. Sebagian warga, khususnya yang konservatif, mendukung langkah tersebut sebagai bentuk menjaga identitas Aceh sebagai daerah bersyariat. Namun sebagian lainnya terutama pedagang dan generasi muda menilai langkah itu terlalu simbolik dan kurang menyentuh persoalan sosial yang lebih substansial, seperti kemiskinan, korupsi, dan pelayanan publik. Dalam wawancara, seorang pedagang menyampaikan bahwa fokus pemerintah terhadap manekin terasa “kurang penting” dibanding isu harga barang dan keamanan pasar. Hal ini memperlihatkan adanya jarak antara semangat kebijakan syariat dan kebutuhan riil masyarakat.
3. Visual sebagai Ruang Kontestasi Identitas
Manekin sebagai objek simbolik ternyata menjadi ruang kontestasi antara
negara, agama, dan warga. Di satu sisi, pemerintah ingin menjaga moralitas
visual, namun di sisi lain, masyarakat menuntut ruang publik yang fleksibel dan
tidak terlalu dikontrol secara simbolik. Sebagaimana disebut oleh Hasan (2017),
representasi simbol dalam syariat tidak bisa dilepaskan dari politik moral yang
berakar pada identitas lokal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan temuan di lapangan, dapat disimpulkan
bahwa implementasi Qanun No. 11 Tahun 2002 di Takengon, khususnya terkait
penertiban visual ruang publik seperti manekin yang tidak berpakaian syar’i,
merupakan bentuk konkrit dari penegakan nilai-nilai syariat Islam yang
diformalkan dalam kebijakan daerah. Tindakan tersebut dijalankan oleh Satpol PP
dan Wilayatul Hisbah sebagai representasi pemerintah daerah dalam menjaga syiar
Islam di ruang publik.
Namun, implementasi ini juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Di satu sisi, terdapat dukungan terhadap langkah ini sebagai upaya
menjaga identitas keislaman Aceh. Di sisi lain, muncul kritik bahwa penegakan
syariat yang terlalu simbolik seperti razia manekin tidak menjawab kebutuhan
sosial yang lebih mendesak dan substansial. Selain itu, kontrol terhadap elemen
visual juga memunculkan diskursus baru tentang siapa yang berhak menentukan batasan
moral di ruang publik.
Saran
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, disarankan agar pemerintah
daerah Aceh Tengah, khususnya lembaga pelaksana seperti Satpol PP dan Wilayatul
Hisbah, lebih mengedepankan pendekatan edukatif dan dialogis dalam menerapkan
Qanun No. 11 Tahun 2002. Penegakan syariat seharusnya tidak hanya berfokus pada
simbol-simbol visual semata, melainkan juga mempertimbangkan efektivitasnya
dalam membangun kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Islam secara
menyeluruh. Langkah represif seperti razia manekin perlu dilengkapi dengan
sosialisasi yang intensif dan pelibatan masyarakat agar tercipta pemahaman
bersama, bukan ketegangan sosial. Selain itu, masyarakat juga diharapkan
berperan aktif dalam memberikan kritik dan masukan yang konstruktif terhadap
kebijakan syariat, sehingga pelaksanaannya tidak hanya bernuansa formalitas,
tetapi benar-benar berdampak positif bagi kehidupan sosial. Akademisi dan
peneliti juga diharapkan terus melakukan kajian mendalam terhadap dampak sosial
dari kebijakan syariat, agar kebijakan tersebut tetap adaptif terhadap
perkembangan zaman tanpa kehilangan substansi nilai-nilainya.
Daftar Pustaka
BBC Indonesia. (2022, Januari 25). Kontroversi
penegakan syariat di Aceh: Antara simbol dan substansi. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-60129823
Habermas, J. (1991). The structural
transformation of the public sphere. MIT Press.
Hasan, M. (2017). Moral governance dan
representasi simbolik: Kasus manekin di Aceh. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik,
21(1), 64–78.
Pemerintah Aceh. (2002). Qanun Aceh No. 11
Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam. https://jdih.acehprov.go.id/qanun/11-2002
Prokopim Aceh Tengah. (2024, April 2). Satpol
PP-WH Aceh Tengah tertibkan manekin tak syar’i di Pasar Inpres Takengon.
https://prokopim.acehtengahkab.go.id/satpol-pp-wh-aceh-tengah-tertibkan-manekin-tak-syari-di-pasar-inpres-takengon
Supriatna, A. (2016). Ruang publik dan religiusitas: Studi pada ruang kota syariah di Banda Aceh. Jurnal Sosiologi Reflektif, 10(2), 215–230.
Karya: Akbar Saradiwa, Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe (Rilisan)
Editor: Indira ulfa