![]() |
| Foto: Intan Sarifah (Magang) |
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan lebih dekat warisan budaya Aceh kepada para peserta magang. Rumah Adat Cut Meutia merupakan bangunan tradisional Aceh yang dibangun untuk mengenang pahlawan nasional Cut Nyak Meutia, tokoh perempuan Aceh yang dikenal berani memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda. Rumah ini berdiri dengan struktur khas rumoh Aceh, ditopang oleh 16 tiang kayu besar dan beratapkan daun rumbia.
Bagian dalam rumah terbagi atas sejumlah ruang, seperti seuramoe keu (serambi depan), anjong (kamar anak perempuan), seuramoe likoet (ruang belakang), ruang keluarga, dan dapur. Beberapa foto sejarah, lukisan, serta benda tradisional Aceh seperti jeungki dan lumbung padi turut dipamerkan di dalamnya.
Selain struktur bangunan, Rumah Adat Cut Meutia juga memiliki kekayaan ragam hias tradisional Aceh yang menghiasi bagian dinding dan atap. Ragam ukiran tersebut meliputi apak catoe (papan catur), dheun (ranting), on kayee (daun), bungong awan-awan, bungong seulupok (bunga teratai), bungong cane’ awan (bunga putih), gigo buya (gigi buaya), bintang, taloe ie (tali lurus), pucok reubong (pucuk rebung), awan si on (daun), on sirih (daun sirih), pohon beringin, bungong sago (bunga sudut), bungong meulu (bunga melati), serta motif burung merpati. Ragam hias tersebut menjadi ciri estetika rumah adat Aceh yang sarat makna budaya.
Idris, penanggung jawab Rumah Adat Cut Meutia, mengatakan bahwa rumah tersebut rutin dikunjungi masyarakat, pelajar, hingga wisatawan yang ingin melihat langsung bentuk rumah adat Aceh dan mempelajari kisah perjuangan Cut Nyak Meutia “Banyak masyarakat dan tamu berkunjung untuk mengenang pahlawan, karena tempat ini menyimpan banyak kenangan masa lalu yang berkaitan dengan perjuangan mereka,” ujarnya.
Rumah Adat Cut Meutia dapat dijangkau dengan jarak sekitar 31 kilometer dari Kota Lhokseumawe, atau sekitar satu jam perjalanan. Akses menuju lokasi cukup baik, melewati area persawahan dan perkampungan yang menjadi ciri khas wilayah tersebut.
Idris juga menyampaikan harapannya. “Semoga dengan banyaknya tamu yang datang, mereka bisa lebih mengenal dan mencintai sejarah,” katanya.
Penulis: Luthfiatil Syaqirah dan Intan Sarifah (Magang)


