![]() |
Foto: Qurata A'yuni |
www.lpmalkalam.com- Himpunan Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe melalui Presiden Mahasiswanya, Munawir, menyoroti minimnya keterlibatan mahasiswa dalam isu strategis yang menyangkut kepentingan daerah, salah satunya polemik pengelolaan empat pulau yang sebelumnya disengketakan antara Aceh dan Sumatera Utara. Pernyataan ini ia sampaikan dalam wawancara yang berlangsung di Ruang Perpustakaan UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe, Rabu (02/07/2025) pukul 14.00 WIB.
Dalam wawancara tersebut, Munawir menanggapi pernyataan terbaru Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang membuka peluang kerja sama pengelolaan empat pulau dengan Provinsi Sumatera Utara. Menurutnya, pernyataan tersebut menimbulkan ambiguitas dan memancing pro-kontra baru di tengah masyarakat. “Sebelumnya, beliau (Gubernur) sangat tegas menolak kerja sama karena menilai itu milik Aceh. Tapi setelah kepemilikan ditetapkan, muncul pernyataan membuka peluang pengelolaan bersama. Ini tentu membingungkan masyarakat,” ujarnya.
Munawir menjelaskan bahwa pernyataan gubernur perlu ditafsirkan secara utuh dan tidak sepotong-potong, mengingat gaya komunikasi yang dikenal jarang berbicara tetapi sarat makna. Ia menegaskan bahwa peluang kerja sama tidak hanya dalam sektor migas, tetapi juga meliputi sektor pariwisata dan potensi sumber daya lainnya.
Lebih lanjut, Munawir menyoroti pentingnya transparansi, konsistensi kebijakan pemerintah, dan keterlibatan publik, khususnya kalangan mahasiswa. "Kita tahu, Pemerintah Aceh tidak akan mampu mengelola empat pulau itu hanya dengan APBA. Dibutuhkan investor dan sumber daya luar. Tapi arah kerja sama dan identitas wilayah harus jelas dulu,” tambahnya.
Ia juga menyampaikan bahwa organisasi mahasiswa seperti DEMA UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe telah membentuk forum-forum kajian yang serius membahas isu ini, bahkan baru-baru ini menyelenggarakan diskusi khusus tentang pengelolaan empat pulau. “Forum sudah ada, kajian sudah dilakukan, tapi hasil kajian ini tidak tahu harus disampaikan ke mana. Tidak ada ruang atau sistem resmi dari pemerintah untuk menerima rekomendasi mahasiswa,” jelas Munawir.
Sayangnya, menurutnya, mahasiswa hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan strategis baik di tingkat lokal maupun provinsi. Ia juga menyoroti persoalan internal di kalangan mahasiswa sendiri yang belum maksimal dalam membangun budaya literasi dan diskusi. "Sekitar 80 persen mahasiswa kita lebih nyaman scroll TikTok daripada baca buku. Ini jadi PR besar. Kita harus mulai dari diri sendiri, membangun semangat literasi dan rasa ingin tahu. Kalau literasi naik, kesadaran hukum dan sosial akan terbuka,” katanya.
Munawir berharap agar kampus dan lembaga kemahasiswaan bisa menjalankan peran ganda: membina budaya kajian sekaligus mendesak pemerintah membuka ruang partisipatif yang nyata bagi mahasiswa.
Di akhir wawancara, ia menyampaikan pesan tegas kepada pemerintah daerah agar tidak menutup ruang bagi kontribusi mahasiswa dalam isu-isu daerah. "Kami tidak minta posisi atau jabatan, tapi beri kami ruang untuk menyampaikan hasil kajian. Mahasiswa tidak boleh dianggap hanya penonton. Kami punya ide, punya data, dan kami serius ingin berkontribusi,” tutupnya.
Reporter: Raja Oktariansyah
Editor: Putri Ruqaiyah