![]() |
Oleh Muhammad Yani |
Seorang mahasiswa berhasil memperoleh gelar sarjananya dibawah empat tahun dengan dengan predikat Cumlaude, dengan gagahnya pada hari wisuda dibacakan sebagai salah satu lulusan terbaik kampus dihadapan seluruh peserta wisuda. Para undangan pun tanpa dikomandoi langsung memberikan a plaus tanda mengiyakan benar sebagai lulusan terbaik.
Setelah memperoleh Ijazah
siapa yang berani menjamin bahwa mahasiswa diatas tersebut langsung disambut
oleh pasar
kerja? Akankah masyarakat langsung menerima dan menaruh hormat
kepadanya karena nilai akademik tadi?
Apakah dalam berinteraksi sesama
manusia lebih mengutamakan teori dan rumus?
Pertanyaan diatas setidaknya memberi
gambaran kepada seluruh mahasiswa bahwa menjalani kehidupan sesungguhnya tak
semudah menyelesaikan soal matematika dan tidak seromantis syair-syair puisi
dalam mata kuliah sastra. Oleh karenanya
penempatan diri yang dimulai dari niat awal untuk apa kuliah dan proses
interaksi yang kita lalui selama dibangku kuliah akan mempengaruhi bagaimana
posisi kita pada kehidupan selanjutnya.
Mahasiswa peraih predikat Cumlaude
yang mungkin untuk meraihnya dia melahap ratusan buku, mencari jawaban untuk
ribuan soal, menghabiskan setiap waktu luangnya di pustaka, dan menggunakan
seluruh rongga-rongga otaknya untuk menghafal semua rumus-rumus yang ada
didalam buku setiap harinya. Bahkan sangking
fokusnya dia untuk belajar terkadang dia lupa menanyakan bagaimana kabar kawan
yang duduk disampingnya didalam bangku kuliah. Dosen terus- menerus memuji dan
mensupport dia untuk lebih giat lagi dalam belajar dan bahkan menjatuhkan
mahasiswa lainnya yang terkesan sibuk dengan kegiatan organisasi yang menurut sang dosen adalah kegiatan buang-buang
waktu.
Mahasiswa peraih predikat Cumlaude
tidak terjamin di pasar kerja, mahasiswa yang biasa-biasa saja bagaimana
nasibnya? Bukankah orang tua kita mengirim kita ke bangku kuliah untuk
memberikan pelita kehidupan yang lebih baik bagi mereka? Apakah kita akan
menjadi penambah kuota “pengangguran terdidik”?
Bagi lulusan FKIP yang telah 16-19
tahun menempuh pendidikan hanya untuk menjadi pengajar bakti tanpa gaji ditolak
oleh sekolah-sekolah.
Sebenarnya apa yang dipersiapkan oleh Perguruan Tinggi selama ini terhadap peserta didiknya?
Sebenarnya apa yang dipersiapkan oleh Perguruan Tinggi selama ini terhadap peserta didiknya?
Bukankah visi-misi perguruan tinggi
melahirkan generasi terdidik yang mampu bersaing di pasar kerja?
Mahasiswa tidak tau dan diusahakan
tidak perlu tau oleh para dosen terhadap organisasi, bahkan sangat banyak dosen
yang mengibaratkan kepada setiap mahasiswa bahwa menjadi aktivis kampus itu
adalah kesalahan, suram masa depan, atau mungkin beberapa tahun lagi akan ada
statement menjadi aktivis kampus adalah memilih jalan sesat yang tidak diterima
tobat.
Sungguh sangat disayangkan karena
menjadi seorang aktivis sangat banyak manfaat dan pengalaman bahkan menambah
relasi baik antar kampus maupun antar wilayah bahkan antar negara. Ketika
berorganisasi kita belajar kepemimpinan, mengemban tanggung jawab,
berkomunikasi, berinteraksi, dan peka terhadap keadaan di sekeliling kita.
Islam memerintahkan ummatnya untuk
peka terhadap keadaan di sekeliling kita, menolong yang lemah, membantu yang
tertindas dan melawan kebathilan.
‘’Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya’’ [al-Mâidah/5:2]
Belakangan
ini yang terjadi adalah sebuah kesalahan menjadi benar apabila dikerjakan oleh
banyak orang, contoh yang paling dekat adalah dosen seringkali mengkhianati
jadwal masuk bahkan tidak masuk, hal itu menjadi benar karena di seluruh
indonesia dosen melakukan hal yang sama. Bagaimana
melahirkan lulusan profesional kalau pendidiknya tidak profesional?
Mungkin
ada satu atau dua orang mahasiswa yang mencoba untuk mempertanyakan ketika ada
hal yang menyimpang, maka dengan segala upaya kaum-kaum salah akan mencibir
mahasiswa tersebut, bahkan nantinya ada anomali “Sok suci”, politik kepentingan
merasuk ke semua lini dimana pada saat-saat tertentu sesama dosen,karyawan,
bahkan pimpinan akan saling menceritakan keburukan sesamanya kepada khalayak
mahasiswa.
Akhirnya
saya ingin mengatakan bahwa Pertama Berorganisasi itu adalah sebuah perbuatan
mulia, tujuan organisasi semuanya baik, terkadang oknum yang salah menggunakan
wewenang. Kedua Dengan berorganisasi akan memudahkan mahasiswa dalam
mencari lapangan kerja, bahkan membuka lapangan kerja. Ketiga Masih
banyak disekeliling kita yang mendidik belum layak dikatakan seorang pendidik,
karena pendidik itu frofesional tercermin melalui ucapannya, akhlaknya, dan
disiplinnya. Kuliah adalah untuk mencari ilmu, dibuktikan dengan ijazah, dan di
aplikasikan ketika bekerja. Kalau salah jangan dibenarkan, kalau hak
dituntut, dan kewajiban ditunaikan
Semoga
bermanfaat bagi kita semua, apabila ada kesalahan mohon dimaafkan.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Penulis merupakan President Mahasiswa STAIN Malikussaleh Periode 2015- 2016