![]() |
Oleh : Taufik Syarboini |
Dalam
dunia kampus menurut penulis mahasiswa
terbagi dalam 3 kelompok, yaitu aktivis, akademis, dan romantic. Namun tidak perlu penulis jelaskan apa perbedaan
ketiganya, penulis hanya akan menyoroti salah satu yang dianggap substansial,
adalah mahasiswa aktivis. Menjadi aktivis mahasiswa merupakan suatu hal yang
sangat mendukung intelektualitas seorang mahasiswa. Disitu
akan mendapatkan banyak pengalaman yang mungkin dibangku kuliah tidak pernah
kita cicipi dengan puas. organisasi adalah laboratorium terbuka, kita mau
belajar apa saja ada disana.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Balai Pustaka,2002), pengertian aktivis adalah individu atau
sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda,
mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau
berbagai kegiatan di organisasinya. Dari pengertian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa
aktivis merupakan orang yang bergerak untuk melakukan sebuah perubahan dan
memiliki wadah sebagai alat untuk mencapai tujuan perubahan tersebut.
Bagi sebagian orang ketika mendengar kata aktivis, imajinasi yang muncul dalam
benaknya adalah aktivis merupakan sosok orang yang kritis, idealis, lama lulus
kuliah, urakan, jarang mandi, prestasi akademiknya kurang, jarang kuliah dan
kerjaannya demo dan bicara politik melulu.
Namun, jika kita pikirkan lebih lanjut, muncul
sebuah pertanyaan yakni apakah setiap orang yang memilih jadi aktivis pasti
identik dengan hal-hal di atas ?. Bukankah banyak aktivis yang memiliki banyak
prestasi, mandiri, bertanggumg jawab, menyelesaikan studi tepat waktu dengan
nilai yang memuaskan, berpenampilan rapi dan tetap tidak kehilangan
identitasnya sebagai seorang aktivis. Artinya, beberapa aktivis yang
berpenampilan urakan, jarang kuliah, prestasi akademiknya kurang dan lama lulus
adalah sebuah pilihan pribadi dan bukan sebagai konsekuensi logis menjadi
seorang aktivis. Dalam hal ini perlu kita seksama dengan jeli membedakan
hakikat sebagai seorang aktivis dengan cara seorang individu memilih cara
berperilaku.
Kalau mengenai cara
berperilaku yang tidak baik itu jangankan ketika seseorang terlibat dalam
organisasi mahasiswa dan menjadi aktivis mahasiswa, jika tidak berorganisasipun
bisa jadi dia berperilaku negatif tersebut. Perilaku-perilaku aktivis yang
demikian dalam ini sangat disayangkan, harusnya dengan menjadi aktivis semua
terdongkrak menjadi lebih baik. Ketika para aktivis mahasiswa dikampus yang
memiliki rekam jejak perilaku yang tidak baik menjadi contoh buat
mahasiswa-mahasiswa yang lain maka coba kita bayangkan bagaimana mereka akan
beranggapan negatif tentang aktivis mahasiswa.
Ketika para aktivis
mahasiswa yang prestasinyapun tiada akhlakpun tidak dijaga, maka apa yang mau
dibangga?. Dari karena itu sudah seharusnya aktivis itu memperbaiki diri, membuktikan
kelebihannya sebagai seorang aktivis, menjaga titel aktivisnya itu. Jangan
selalu berbicara idealis tetapi kemudian dibelakangnya menjadi penjilat untuk
kepentingan pribadinya, selalu berbicara keterbukaan anggaran namun ketika ada
kesempatan mengelola anggaran dilahap habis-habisan atas keegoisan pribadi.
Sering berbicara memperjuangkan kebenaran namun menghalalkan segala cara demi suatu
jabatan. Sering pandai mengutarakan kritik namun kurang gairah menawarkan
solusi. Sering berbicara untuk kepentingan umum padahal semuanya atas kepentingan
pribadi. Kalau ini yang terjadi,dimana harkat seorang aktivis mahasiswa?.
Aktifis mahasiswa yang
punya semangat juang tinggi, selalu menomor satukan kepentingan orang banyak
ketimbang kepentingan sendiri. Namun pada dasarnya setiap organisasi khususnya
organisasi mahasiswa merupakan organisasi yang tidak hanya menjadi tempat berkumpul
orang yang punya kesamaan hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second
campus bagi para anggotanya untuk menunjang intelektual dimana nantinya
menjadi lulusan yang memiliki sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam
kemajuan zaman.
Banyak
yang merasa hidupnya berubah setelah banyak bergaul dengan orang-orang yang
produktif dan bergabung dengan organisasi. Di antara mereka menyatakan cara
berpikirnya berubah saat mengikuti beragam aktivitas kemahasiswaan. Hatinya
tergerak untuk berperan dalam gerakan moral. Dan kepekaannya semakin terasah.
Betapa banyak orang yang tidak beruntung bukan karena tidak bisa berorganisasi,
tapi karena mereka tidak mau berorganisasi.
Sebagai seorang mahasiswa, menjadi aktivis
adalah sebuah panggilan moral. Mahasiswa sebenarnya adalah penyambung lidah
rakyat. Konsekuensinya, tugas mahasiswa tidak hanya belajar dan sibuk dengan
tugas-tugas, melainkan juga membumi ke masyarakat. Hal ini sesuai dengan Tri
Dharma Perguruan Tinggi yang menyiratkan aspek pendidikan, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat. Dari konsep ini dapat terlihat jelas bahwa ruang
lingkup mahasiswa adalah studi dan masyarakat.
Kini bukan zamannya lagi mahasiswa hanya
kuliah-pulang-kuliah-pulang (kupu-kupu). Negeri ini tak hanya butuh generasi
yang pintar secara intelektual dan mampu menyanjung atau menghujat saja, tetapi
generasi pembaharu sekaligus penyambung lidah rakyat yang memberikan kontribusi
dan manfaat. Jangan jadikan kepadatan jadwal akademik sebagai pembenaran untuk
menghalangi kita melaksanakan peran sebagai mahasiswa yang memiliki
“gelar” agent of change, agent of social control dan iron
stock.
Kemudian yang terpenting seorang aktivis berarti
menggunakan waktunya untuk belajar juga entah itu di bangku kuliah atau jika
diorganisasi dengan mengamati, membaca dan diskusi dengan orang yang lebih
capabel. Bisa juga saat ia mempelajari sesuatu yang belum pernah ia lakukan
sebelumnya
Kemudian dari itu seorang aktivis juga merupakan seorang yang menjadi pengajar.
Bagi seorang aktivis yang sudah memiliki jabatan tinggi, dia punya kewajiban
mengarahkan junior-juniornya, dituntut mampu memberikan motivasi,dan
mengajarkan semua ilmu yang pernah ia miliki. Lain
dari pada itu suatu hal yang amat tidak kalah pentingnya adalah ia berkembang
menjadi seorang konseptor yang visioner dan sarat pengalaman. Bagaimana
mengonsep suatu acara, membuat konspirasi bahkan sampai bagaimana merekayasa
sosial masyarakat (kampus).
(Penulis merupakan Alumni dan Mahasiswa Program Pasca
Sarjana STAIN Malikussaleh Lhokseumawe) serta Kader Aktif Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Lhokseumawe-Aceh Utara.)