Sambil
menunggu namaku dipanggil. Kulirik sekelilingku dengan rasa gugup. Teman -
temanku juga seperti itu. Ini merupakan saat-saat dimana semua akan terlihat
tegang. Tiap mereka pasti berfikir bagaimana cara ku bangun dan berjalan nanti,
apa akan terlihat grogi. Aku duduk dibaris kedua dari depan. Baris duduk dari
depan kebelakang menandakan peringkat dari tinggi ke rendah.
Seseorang
dibelakang menepuk pundakku. “apa yang membuatmu gugup” ?. tanya Iman teman
karibku yang duduk tepat dibelakangku di baris ketiga.
“Tidak
apa-apa aku hanya merasa sedikit berdebar debar karna namaku akan segera
dipanggil”. Jawabku.
Iman
menyengir karna tak tau harus menjawab apa. “setidaknya kau berada satu baris
didepanku” ucap iman kemudian.
“Malik
As Shaleh”. Tiba-tiba namaku terdengar berkan isyarat dipanggil untuk maju.
“tuh..
kau dengar ? namamu dipanggil”. Iman
ikut memberitahuku.
Dengan
dada yang masih berdebar aku bangun dari kursiku. Belumpun selangkah, kakiku
tersandung kursi buatku hampir jatuh. Teman-temanku melihat dan ingin tertawa namun
menahan tawa. Setidaknya keadaan menyelamatku. Mereka tak berani tertawa
terlalu besar. Segera kurubah suasana dengan terus melangkah seakan tak terjadi
apa-apa agar tak menjadi kacau.
Kutegakkan
badan, Sedikit kubusung dadaku hingga terlihat tegap dan gagah. 20 langkah
kedepan merupakan panggung impian para santri yang mondok disini. “Lihatlah Ibu...,
Ayah...kuselesaikan pendidikan ini”. Teriakku dalam hati.
Seperti
yang disebut tadi, namaku Malik As- Saleh. Diambil dari nama Raja Samudera Pasai yang sangat terkenal.
Orang tuaku menyiratkan doa dalam nama agar hidupku menjadi sosok yang dihargai
di kalangan masyarakat dan teman-temanku. Umurku 18 tahun. Ini merupakan hari
wisudaku di pondok. Tak lama lagi label santri akan segera terlepas dari
statusku. Berbeda dengan sekolah menengah lain yang hanya menggelar acara
perpisahan, kami menggelar wisuda sebagai acara kelulusan setelah lama berjuang
menuntut ilmu sebagai santri selama 6 tahun membuat hari ini menjadi hari
terbaik dibanding hari lainnya.
Sejam
kemudian wisuda diakhiri dengan do’a. Teman-temanku sibuk berfoto bersama keluarga,
bersama guru dan undangan. Sedangkan aku hanya mengambil beberapa foto
keluarga.
Kulihat
ayahku, matanya sayu kelelahan. Bukan karna hari ini, tapi kesibukan hari-harinya
yang tetap memaksanya memeluh keringat untuk anaknya. Aku tau ia sedang bahagia
melihat anak pertamanya berhasil bertahan dan lulus.
“ayah....
aku akan pulang bersama teman-temanku nanti. Ayah pulang sajalah dulu dengan
ibu.”
Wajahnya
keheranan dengan mata kearahku, dahinya bekerut, bibirnya pun memberi ekspressi
pasrah pada keputusanku. Sedikit terlihat kecewa.
“ya
sudahlah, tapi jangan berlama-lama, segeralah pulang sebelum magrib.”
Tak berapa lama
kemudian keluargaku pamit pulang. Mereka sungguh tidak merasa malu karna
nilaiku yang biasa-biasa saja. Kekhawatiranku hanya kalau mereka sedih dan
kecewa karna urutan kursi dan peringkat panggilan wisudaku.
Langit
yang cerah dipenuhi awan putih. Semua yang terlihat hanyalah tawa dan
kegembriaan. Ditengah kerumunan aku berdiri. Tersenyum melihat teman-temanku
sedang berganti gaya didepan sebuah alat masa kini. Sebuah benda kecil yang
mampu merekam segalanya. Suasana yang membuatku ikut tersenyum. Kesedihanpun
akan bersembunyi hari ini. Berusaha menghindari untuk tidak mengkhianati
kebahagiaan. Tampak didepanku teman-temanku melambaikan tangan padaku. Tak lagi
menunggu, lansung kulangkah menghampiri mereka.
Tak
ada hari esok untuk menyelesaikan hari kebahagiaan ini. Sebuah bingkai gambar
keluarga besar telah lahir. Persahabatan yang menggantungkan cita-cita diatas
langit bersama-sama. Selamat tinggal sahabat, selamat tinggal pondok tercinta,
bukan untuk selamanya, hanya pamitan dan perpisahan ini rasanya buatku ingin
menangis.
*****
Didepanku
air biru terbentang luas dan ombak yang berguling guling. Hamparan pasir yang
menjadi alas. Kukeluarkan sebungkus rokok produksi ternama dalam Negri. Berbeda
dengan Iman ia lebih menyukai rokok impor yang pahit. Kadang aku bertanya
apakah dia tak merasa tenggorokannya kering ?. terus terang pernah beberapa
kali kucoba jenis rokok yang berbeda tapi selalu tak cocok denganku. Salah
satunya adalah rokok yang sedang dihisap
Iman. Aku tak mampu menikmati rokok seperti itu. Tak habis pun sebatang aku
akan membuangnya. Rasa pahit buatku merasa haus karna membuat tenggorakanku kering.
Merokok
setelah bebas. Ya inilah kami. Beberapa orang menganggap kami sedikit dari
berandalan yang suka berulah di pondok. Mungkin berandalan terdengar cukup
buruk. Lebih tepatnya pondok melarang keras perbuatan - perbuatan seperti yang
kami lakukan. Pertama, kami perokok sejati. Tak ada yang bisa melarang kami,
berapa kalipun dihukum kami juga tetap akan merokok. Kedua, jika bagi banyak
orang sangat sulit izin keluar dari pondok, tidak halnya dengan kami yang
memiliki banyak jenis pintu untuk melangkah keluar. Ketiga, jika ke mesjid
merupakan hal yang wajib bagi mereka yang mondok. Kami memiliki jumlah absen
yang diatas standar, dengan kata lain kami memiliki banyak catatan pelanggaran dibagian
ibadah.
“sebaiknya
kalian ikut mandi denganku ?” suara Fitra yang mengajak kami mandi laut
bersamanya. Namun tak lama setelah melihat kami tak merespon, ia ikut duduk
bersama disamping kiriku.
Fitra
memiliki kelakuan yang lebih baik dibanding kami. Dia juga teman karibku sama
halnya seperti Iman. Bedanya ia tidak
memiliki tiga prestasi seperti yang kami miliki merokok, cabut, atau
pelanggaran ibadah. Ia memiliki cita-cita yang lebih mulia yaitu menjadi Ulama.
Itu
memang cita-cita yang mulia namun kepribadiannya yang suka hal hal yang berbau
kedewasaan membuat dirinya ditertawakan dan mengganggap itu mustahil. Kadang
mereka memanggilnya pria cabul. Tapi menurutku ia tak secabul itu. Sikapnya tidak
berbeda seperti sikap kebanyakan pria. Bedanya ia memiliki cita-cita menjadi
Alim namun kebiasaan nya yang menyukai hal-hal kedewasaan secara
terang-teranganlah yang membuatnya digelar seperti itu.
“setelah
ini kita kemana ?” tanyaku pada mereka.
“pulang”.
Jawab Fitra spontan.
“bukan
itu yang kumaksud”
“jadi
?” Iman berbalik tanya.
Ternyata
mereka berdua tak memahami maksudku. Gerutuku dalam hati. “Kalian akan ke
Universitas mana ?” tanyaku lagi memperjelas maksudku.
“Ntahlah
.... “ jawab Iman sambil menghabiskan tarikan rokok pada titik terakhir dan lalu
membuangnya. Terlihat kepungan asap memutup wajahku dan menghampiri Fitra. membuatnya
terkhukkuk batuk .
“Sepertinya
aku akan ke kelas keperawatan. Sebenarnya aku ingin menjadi Dokter, tapi
biayanya bukan main sekelas keluargaku.
“bagaimana
denganmu Fitra ?” Sambil mengalihkan pandanganku padanya. Aku tertawa kecil melihatnya
masi terbatuk-batuk karna asap rokok tadi.
“aku
akan melanjutkan statusku sebagai santri didayah salafi”
“jadi
kau tak kuliah” ? sahutku karna kaget.“sepertinya cita-citamu menjadi orang
Alim tidak main-main ya”.
“aku
hanya ingin menuntut ilmu agama lebih dalam lagi, tapi ibuku melarangku. Orang
tuaku ingin aku melanjutkan ke jenjang Universitas.” Lanjut Fitra merespon
ucapanku.
Tak
ada ekspresi yang pasti diraut wajahku. Sedangkan Iman hanya sibuk menyulut
rokok lain. Yang kusimpulkan setidaknya mereka berdua tau apa yang harus
dilakukan setelah berangkat dari sini.
Seperti
itulah kehidupan seharusnya. Mereka tau apa yang mereka mau dan mereka pilih.
Tak seperti diriku yang masi kebingungan dengan apa yang menjadi keinginanku.
Mereka bilang jika sebelum melanjutkan ke jenjang universitas aturlah
cita-citamu dulu atau lihat dulu apa yang menjadi keinginan dan kemampuanmu.
Apa citataku ? apa keinginanku ? apa kemampuanku ?. tiga pertanyaan yang sering
menghantuiku. Semalam pun aku kesulitan tidur karna memikirkan jawaban tiga
pertanyaan itu.
Cita
cita ? saat aku kecil aku memiliki cita cita yang hebat dan mulia. Aku bercita-cita suatu saat aku ingin menjadi
Power Ranger atau Ultraman dan berbuat kebaikan. Gak mungkin kan ?. ya itu
sangat mustahil karna power ranger harus beranggotakan lima orang sedangkan aku
hanya sendiri. Ultraman ? tak mungkin manusia menjadi raksasa. Pada akhirnya
diumurku yang kesepuluh kuputuskan untuk menjadi ksatria baja hitam. Dan itu
semua benar-benar tidak mungkin serta mustahil.
Bagaimana
dengan keinginan ? keinginanku hanya ingin menjalani hidup bebas dan kaya.
Sehingga aku bisa melakukan apapun yang kumau tanpa harus repot-repot kerja dan
itu benar-benar tidak mungkin karna keluargaku tak memiliki harta yang besar.
Yang
ketiga kemampuanku ? aku masi ingat bagaimana serial Captain Tsubasa
menginspirasiku untuk menjadi pesepak bola yang hebat. Tapi pada kenyataanya
keterampilanku dalam bermain bola
sangatlah buruk. Selama dipondok
keterampilanku yang diakui hanyalah beladiri. Tapi disitupun aku juga bukan
yang terbaik. Aku sering bolos latihan. Dan pelatihku bahkan berbicara padanya
aku tak berani.
“kusarankan
kau masuk ke institut yang sesuai namamu.” Saran Iman membelah keheningan
ditengah lamunanku.
“Institut
Malik As-Shaleh kah ? tapi jurusan apa yang cocok denganku ?” tanyaku.
“kau
ambillah yang sesuai dan cocok denganmu”
lalu ia melanjutkan. “Kenapa orang tuamu memberimu nama Malik As-Shaleh
?”
“kau
tau kerajaan Samudera Pasai ? ialah kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara. Rajanya
dijuluki dengan nama Malik As-Saleh. Orang tuaku berharap aku akan menjadi pemimpin
dikalangan teman-temanku. Setidaknya dihargai dan berkedudukan dalam kehidupan
sosial, pintar, alim dan juga berwibawa.”.
Iman
tersenyum kecil merasa keinginan orang tuaku mirip seperti cita-citanya Fitra.
“itu artinya kau memang sudah ditakdirkan bersama kampus itu. Bayangkan saja
anak yang di inspirasi oleh raja Malik As-Shaleh bernama Malik As-Shaleh dan
belajar dikampus Malik As-Shaleh”.
Aku
hanya melongo dan terdiam. Mataku kebingungan tapi meng-iakan. Walau jalan
terlihat panjang dan jauh. Aku tak boleh berhenti dan pasrah. Mereka
menyadarkanku. Selama aku tak tau kemana akan sampai, maka berjalanlah aku
hingga kutemukan tempat yang kutuju.
****
Senyumku
bisa menggambarkan apa saja. Berdiri didalam kerumunan seperti ini bukan
gayaku. Bersesakan dan tak jarang beberapa orang yang egois memaksakan diri untuk
maju kedepan mungkin. Beberapa orang bahagia dan tak sedikit terlihat kecewa.
Papan besar didepan menjadi pengumuman penting bagi calon mahasiswa baru Malik
As- Saleh. Luluskah atau gugur dan kembali di tahun depan.
Beberapa
bulan yang lalu aku dihadapkan oleh dua pilihan. Didepanku benda yang memiliki
kapasitas melebihi manusia. Jika dahulu manusia harus mengorbankan tangannya
untuk menulis, di abad 20 ada mesin ketik yang mengganti pena. Kini di abad 21
manusia sudah terbiasa menggunakan Komputer untuk menulis segalanya.
Ada
pepatah “dua pilihan akan menentukan nasibmu keatas atau kebawah”. Ya ...setidaknya
aku tidak sedang dihadapkan dua pilihan yang seperti itu. Aku sudah menyeleksi jurusan-jurusan
yang sesuai atau yang tidak sesuai denganku. Dari sekian banyak jurusan,
mula-mula kusisakan empat. Pendidikan Matematika, Pendidikan Agama Islam,
Pendidikan Bahasa Inggris, dan Pendidikan Bahasa Arab.
Pertama
Matematika, aku memang sangat menyukainya saat Sekolah Dasar dulu, tapi berbeda
semenjak mondok dikelas satu. Kami dihadapkan dengan teori yang sangat
berlawanan dengan kapasitas memori kepala kecil kami. Bahkan seringkali
berujung tidur didalam kelas. Lansung saja ku coret dari daftar pilihanku.
Kedua
Pendidikan Agama Islam. Memang sih orang tuaku berharap aku menjadi Teungku yang
Alim. Tapi ini benar-benar Not My Style. Pikirku saat itu, jika aku berniat
jadi Teungku dan belajar agama seharusnya bukan kuliah, tapi aku harus ikuti
jejak Fitra memperoleh pendidikan agama tingkat tinggi di dayah salaf.
Tinggal
dua pilihan. Kali ini bukan penentuan yang mana harus kupilih dan kucoret. Dua
pilihan ini menentukan yang mana yang menjadi pilihan utama bagiku. Akhirnya kuisi
saja Bahasa Arab yang utama dan Bahasa Inggris menjadi pilihan kedua.
Kulanjutkan pengisian form biodata dengan lengkap dan kukirim.
Beberapa
minggu kemudian. Tak ada gembira atau sedih. Yang ada hanya wajah datar mengekspressiku.
Kulihat di pemberitahuan kelulusan “Maaf nama anda tidak terdaftar sebagai
calon mahasiswa yang lulus”.
Tak
heran, sangatku ingat kenapa aku sampai tak lulus. Tes yang ku ikuti beberapa hari
yang lalu ialah tes nasional. Mereka mengukur nilai standar rata-rata semua
jenis pelajaran. Sedangkan aku terjebak pada soal matematika yang menghabiskan
hampir 70 % waktu yang disediakan. Bodoh memang, kelihaianku kurang dalam
membagi waktu menjawab saat itu. Sehingga mengorbankan pelajaran lain yang tak
kujawab secara maksimal.
Iman
memberitahuku bahwa akan ada gelombang kedua penerimaan mahasiswa baru sebulan setelahnya.
Kali ini pendaftarannya tak semudah gelombang pertama. Tak jarang aku bolak
balik ke geudung sana dan sini untuk menyelesaikan pendaftaran. Tapi yang kunikmati
adalah tes tulisnya yang tak sesusah sebelumnya. Jika pertarungan gelombang
awal merupakan setingkat nasional, kini pertarunganku hanya se- Kabupaten dan
Kota saja. Kali ini sebagai pilihan utama ialah pilihan keduaku dulu yaitu
pendidikan bahasa inggris. Alasannya karna Bahasa Arab sebagai Jurusan baru di
tahun ini tak lagi memiliki cukup ruang penerimaan. Sedangkan Pilihan keduaku
adalah Ekonomi Islam.
Seperti
harapan dan doa. Pengumuman yang sedang kulihat kini namaku tercantum dalam
daftar calon mahasiswa yang lulus. Sebuah pintu dewasa tlah terbuka. Langkah
telapak kaki akan semakin panjang. Jauh nan luas. Tak terlihat batasnya. Masa
mencari jati diri tlah berakhir. Memberi kesempatan untuk dunia dewasa.
Takdirku
berada di Malik As- Saleh mengenyam pendidikan bahasa inggris selama beberapa
tahun kedepan. Mereka memanggilku Malik. Julukan Raja Samudera Pasai yang
dikenang sepanjang masa. Sebuah tanggung jawab dan beban besar Tidak hanya
untukku atau keluargaku, tapi juga namaku. Tak ada keluhan jika hanya untuk
bermalasan. Karna aku tetap aku. Jika gagal maka aku gagal. Jika menang maka
aku menang. Mereka bukan aku, tapi aku adalah aku.