HEADLINE

Latest Post
Loading...

30 April 2017

Namaku Malik As- Salih


Sambil menunggu namaku dipanggil. Kulirik sekelilingku dengan rasa gugup. Teman - temanku juga seperti itu. Ini merupakan saat-saat dimana semua akan terlihat tegang. Tiap mereka pasti berfikir bagaimana cara ku bangun dan berjalan nanti, apa akan terlihat grogi. Aku duduk dibaris kedua dari depan. Baris duduk dari depan kebelakang menandakan peringkat dari tinggi ke rendah.
Seseorang dibelakang menepuk pundakku. “apa yang membuatmu gugup” ?. tanya Iman teman karibku yang duduk tepat dibelakangku di baris ketiga.
“Tidak apa-apa aku hanya merasa sedikit berdebar debar karna namaku akan segera dipanggil”. Jawabku.
Iman menyengir karna tak tau harus menjawab apa. “setidaknya kau berada satu baris didepanku” ucap iman kemudian.
“Malik As Shaleh”. Tiba-tiba namaku terdengar berkan isyarat dipanggil untuk maju.
“tuh.. kau dengar  ? namamu dipanggil”. Iman ikut memberitahuku.
Dengan dada yang masih berdebar aku bangun dari kursiku. Belumpun selangkah, kakiku tersandung kursi buatku hampir jatuh. Teman-temanku melihat dan ingin tertawa namun menahan tawa. Setidaknya keadaan menyelamatku. Mereka tak berani tertawa terlalu besar. Segera kurubah suasana dengan terus melangkah seakan tak terjadi apa-apa agar tak menjadi kacau.
Kutegakkan badan, Sedikit kubusung dadaku hingga terlihat tegap dan gagah. 20 langkah kedepan merupakan panggung impian para santri yang mondok disini. “Lihatlah Ibu..., Ayah...kuselesaikan pendidikan ini”. Teriakku dalam hati.
Seperti yang disebut tadi, namaku Malik As- Saleh. Diambil dari nama  Raja Samudera Pasai yang sangat terkenal. Orang tuaku menyiratkan doa dalam nama agar hidupku menjadi sosok yang dihargai di kalangan masyarakat dan teman-temanku. Umurku 18 tahun. Ini merupakan hari wisudaku di pondok. Tak lama lagi label santri akan segera terlepas dari statusku. Berbeda dengan sekolah menengah lain yang hanya menggelar acara perpisahan, kami menggelar wisuda sebagai acara kelulusan setelah lama berjuang menuntut ilmu sebagai santri selama 6 tahun membuat hari ini menjadi hari terbaik dibanding hari lainnya.
Sejam kemudian wisuda diakhiri dengan do’a. Teman-temanku sibuk berfoto bersama keluarga, bersama guru dan undangan. Sedangkan aku hanya mengambil beberapa foto keluarga.
Kulihat ayahku, matanya sayu kelelahan. Bukan karna hari ini, tapi kesibukan hari-harinya yang tetap memaksanya memeluh keringat untuk anaknya. Aku tau ia sedang bahagia melihat anak pertamanya berhasil bertahan dan lulus.
“ayah.... aku akan pulang bersama teman-temanku nanti. Ayah pulang sajalah dulu dengan ibu.”
Wajahnya keheranan dengan mata kearahku, dahinya bekerut, bibirnya pun memberi ekspressi pasrah pada keputusanku. Sedikit terlihat kecewa.
“ya sudahlah, tapi jangan berlama-lama, segeralah pulang sebelum magrib.”
Tak berapa lama kemudian keluargaku pamit pulang. Mereka sungguh tidak merasa malu karna nilaiku yang biasa-biasa saja. Kekhawatiranku hanya kalau mereka sedih dan kecewa karna urutan kursi dan peringkat panggilan wisudaku.
Langit yang cerah dipenuhi awan putih. Semua yang terlihat hanyalah tawa dan kegembriaan. Ditengah kerumunan aku berdiri. Tersenyum melihat teman-temanku sedang berganti gaya didepan sebuah alat masa kini. Sebuah benda kecil yang mampu merekam segalanya. Suasana yang membuatku ikut tersenyum. Kesedihanpun akan bersembunyi hari ini. Berusaha menghindari untuk tidak mengkhianati kebahagiaan. Tampak didepanku teman-temanku melambaikan tangan padaku. Tak lagi menunggu, lansung kulangkah menghampiri mereka.
Tak ada hari esok untuk menyelesaikan hari kebahagiaan ini. Sebuah bingkai gambar keluarga besar telah lahir. Persahabatan yang menggantungkan cita-cita diatas langit bersama-sama. Selamat tinggal sahabat, selamat tinggal pondok tercinta, bukan untuk selamanya, hanya pamitan dan perpisahan ini rasanya buatku ingin menangis.
*****
Didepanku air biru terbentang luas dan ombak yang berguling guling. Hamparan pasir yang menjadi alas. Kukeluarkan sebungkus rokok produksi ternama dalam Negri. Berbeda dengan Iman ia lebih menyukai rokok impor yang pahit. Kadang aku bertanya apakah dia tak merasa tenggorokannya kering ?. terus terang pernah beberapa kali kucoba jenis rokok yang berbeda tapi selalu tak cocok denganku. Salah satunya adalah  rokok yang sedang dihisap Iman. Aku tak mampu menikmati rokok seperti itu. Tak habis pun sebatang aku akan membuangnya. Rasa pahit buatku merasa haus karna membuat tenggorakanku kering.  
Merokok setelah bebas. Ya inilah kami. Beberapa orang menganggap kami sedikit dari berandalan yang suka berulah di pondok. Mungkin berandalan terdengar cukup buruk. Lebih tepatnya pondok melarang keras perbuatan - perbuatan seperti yang kami lakukan. Pertama, kami perokok sejati. Tak ada yang bisa melarang kami, berapa kalipun dihukum kami juga tetap akan merokok. Kedua, jika bagi banyak orang sangat sulit izin keluar dari pondok, tidak halnya dengan kami yang memiliki banyak jenis pintu untuk melangkah keluar. Ketiga, jika ke mesjid merupakan hal yang wajib bagi mereka yang mondok. Kami memiliki jumlah absen yang diatas standar, dengan kata lain kami memiliki banyak catatan pelanggaran dibagian ibadah.
“sebaiknya kalian ikut mandi denganku ?” suara Fitra yang mengajak kami mandi laut bersamanya. Namun tak lama setelah melihat kami tak merespon, ia ikut duduk bersama disamping kiriku.
Fitra memiliki kelakuan yang lebih baik dibanding kami. Dia juga teman karibku sama halnya seperti Iman.  Bedanya ia tidak memiliki tiga prestasi seperti yang kami miliki merokok, cabut, atau pelanggaran ibadah. Ia memiliki cita-cita yang lebih mulia yaitu menjadi Ulama.
Itu memang cita-cita yang mulia namun kepribadiannya yang suka hal hal yang berbau kedewasaan membuat dirinya ditertawakan dan mengganggap itu mustahil. Kadang mereka memanggilnya pria cabul. Tapi menurutku ia tak secabul itu. Sikapnya tidak berbeda seperti sikap kebanyakan pria. Bedanya ia memiliki cita-cita menjadi Alim namun kebiasaan nya yang menyukai hal-hal kedewasaan secara terang-teranganlah yang membuatnya digelar seperti itu.
“setelah ini kita kemana ?” tanyaku pada mereka.
“pulang”. Jawab Fitra spontan.
“bukan itu yang kumaksud”
“jadi ?” Iman berbalik tanya.
Ternyata mereka berdua tak memahami maksudku. Gerutuku dalam hati. “Kalian akan ke Universitas mana ?” tanyaku lagi memperjelas maksudku.
“Ntahlah .... “ jawab Iman sambil menghabiskan tarikan rokok pada titik terakhir dan lalu membuangnya. Terlihat kepungan asap memutup wajahku dan menghampiri Fitra. membuatnya terkhukkuk batuk .
“Sepertinya aku akan ke kelas keperawatan. Sebenarnya aku ingin menjadi Dokter, tapi biayanya bukan main sekelas keluargaku.
“bagaimana denganmu Fitra ?” Sambil mengalihkan pandanganku padanya. Aku tertawa kecil melihatnya masi terbatuk-batuk karna asap rokok tadi.
“aku akan melanjutkan statusku sebagai santri didayah salafi”
“jadi kau tak kuliah” ? sahutku karna kaget.“sepertinya cita-citamu menjadi orang Alim tidak main-main ya”.
“aku hanya ingin menuntut ilmu agama lebih dalam lagi, tapi ibuku melarangku. Orang tuaku ingin aku melanjutkan ke jenjang Universitas.” Lanjut Fitra merespon ucapanku.
Tak ada ekspresi yang pasti diraut wajahku. Sedangkan Iman hanya sibuk menyulut rokok lain. Yang kusimpulkan setidaknya mereka berdua tau apa yang harus dilakukan setelah berangkat dari sini.
Seperti itulah kehidupan seharusnya. Mereka tau apa yang mereka mau dan mereka pilih. Tak seperti diriku yang masi kebingungan dengan apa yang menjadi keinginanku. Mereka bilang jika sebelum melanjutkan ke jenjang universitas aturlah cita-citamu dulu atau lihat dulu apa yang menjadi keinginan dan kemampuanmu. Apa citataku ? apa keinginanku ? apa kemampuanku ?. tiga pertanyaan yang sering menghantuiku. Semalam pun aku kesulitan tidur karna memikirkan jawaban tiga pertanyaan itu.
Cita cita ? saat aku kecil aku memiliki cita cita yang hebat dan mulia. Aku  bercita-cita suatu saat aku ingin menjadi Power Ranger atau Ultraman dan berbuat kebaikan. Gak mungkin kan ?. ya itu sangat mustahil karna power ranger harus beranggotakan lima orang sedangkan aku hanya sendiri. Ultraman ? tak mungkin manusia menjadi raksasa. Pada akhirnya diumurku yang kesepuluh kuputuskan untuk menjadi ksatria baja hitam. Dan itu semua benar-benar tidak mungkin serta mustahil.
Bagaimana dengan keinginan ? keinginanku hanya ingin menjalani hidup bebas dan kaya. Sehingga aku bisa melakukan apapun yang kumau tanpa harus repot-repot kerja dan itu benar-benar tidak mungkin karna keluargaku tak memiliki harta yang besar.
Yang ketiga kemampuanku ? aku masi ingat bagaimana serial Captain Tsubasa menginspirasiku untuk menjadi pesepak bola yang hebat. Tapi pada kenyataanya keterampilanku dalam bermain  bola sangatlah buruk. Selama dipondok  keterampilanku yang diakui hanyalah beladiri. Tapi disitupun aku juga bukan yang terbaik. Aku sering bolos latihan. Dan pelatihku bahkan berbicara padanya aku tak berani.
“kusarankan kau masuk ke institut yang sesuai namamu.” Saran Iman membelah keheningan ditengah lamunanku.
“Institut Malik As-Shaleh kah ? tapi jurusan apa yang cocok denganku ?” tanyaku.
“kau ambillah yang sesuai dan cocok denganmu”  lalu ia melanjutkan. “Kenapa orang tuamu memberimu nama Malik As-Shaleh ?”
“kau tau kerajaan Samudera Pasai ? ialah kerajaan Islam tertua di Asia Tenggara. Rajanya dijuluki dengan nama Malik As-Saleh. Orang tuaku berharap aku akan menjadi pemimpin dikalangan teman-temanku. Setidaknya dihargai dan berkedudukan dalam kehidupan sosial, pintar, alim dan juga berwibawa.”.
Iman tersenyum kecil merasa keinginan orang tuaku mirip seperti cita-citanya Fitra. “itu artinya kau memang sudah ditakdirkan bersama kampus itu. Bayangkan saja anak yang di inspirasi oleh raja Malik As-Shaleh bernama Malik As-Shaleh dan belajar dikampus Malik As-Shaleh”.
Aku hanya melongo dan terdiam. Mataku kebingungan tapi meng-iakan. Walau jalan terlihat panjang dan jauh. Aku tak boleh berhenti dan pasrah. Mereka menyadarkanku. Selama aku tak tau kemana akan sampai, maka berjalanlah aku hingga kutemukan tempat yang kutuju.
****
Senyumku bisa menggambarkan apa saja. Berdiri didalam kerumunan seperti ini bukan gayaku. Bersesakan dan tak jarang beberapa orang yang egois memaksakan diri untuk maju kedepan mungkin. Beberapa orang bahagia dan tak sedikit terlihat kecewa. Papan besar didepan menjadi pengumuman penting bagi calon mahasiswa baru Malik As- Saleh. Luluskah atau gugur dan kembali di tahun depan.
Beberapa bulan yang lalu aku dihadapkan oleh dua pilihan. Didepanku benda yang memiliki kapasitas melebihi manusia. Jika dahulu manusia harus mengorbankan tangannya untuk menulis, di abad 20 ada mesin ketik yang mengganti pena. Kini di abad 21 manusia sudah terbiasa menggunakan Komputer untuk menulis segalanya.
Ada pepatah “dua pilihan akan menentukan nasibmu keatas atau kebawah”. Ya ...setidaknya aku tidak sedang dihadapkan dua pilihan yang seperti itu. Aku sudah menyeleksi jurusan-jurusan yang sesuai atau yang tidak sesuai denganku. Dari sekian banyak jurusan, mula-mula kusisakan empat. Pendidikan Matematika, Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Inggris, dan Pendidikan Bahasa Arab.
Pertama Matematika, aku memang sangat menyukainya saat Sekolah Dasar dulu, tapi berbeda semenjak mondok dikelas satu. Kami dihadapkan dengan teori yang sangat berlawanan dengan kapasitas memori kepala kecil kami. Bahkan seringkali berujung tidur didalam kelas. Lansung saja ku coret dari daftar pilihanku.
Kedua Pendidikan Agama Islam. Memang sih orang tuaku berharap aku menjadi Teungku yang Alim. Tapi ini benar-benar Not My Style. Pikirku saat itu, jika aku berniat jadi Teungku dan belajar agama seharusnya bukan kuliah, tapi aku harus ikuti jejak Fitra memperoleh pendidikan agama tingkat tinggi di dayah salaf.
Tinggal dua pilihan. Kali ini bukan penentuan yang mana harus kupilih dan kucoret. Dua pilihan ini menentukan yang mana yang menjadi pilihan utama bagiku. Akhirnya kuisi saja Bahasa Arab yang utama dan Bahasa Inggris menjadi pilihan kedua. Kulanjutkan pengisian form biodata dengan lengkap dan kukirim.
Beberapa minggu kemudian. Tak ada gembira atau sedih. Yang ada hanya wajah datar mengekspressiku. Kulihat di pemberitahuan kelulusan “Maaf nama anda tidak terdaftar sebagai calon mahasiswa yang lulus”.
Tak heran, sangatku ingat kenapa aku sampai tak lulus. Tes yang ku ikuti beberapa hari yang lalu ialah tes nasional. Mereka mengukur nilai standar rata-rata semua jenis pelajaran. Sedangkan aku terjebak pada soal matematika yang menghabiskan hampir 70 % waktu yang disediakan. Bodoh memang, kelihaianku kurang dalam membagi waktu menjawab saat itu. Sehingga mengorbankan pelajaran lain yang tak kujawab secara maksimal.
Iman memberitahuku bahwa akan ada gelombang kedua penerimaan mahasiswa baru sebulan setelahnya. Kali ini pendaftarannya tak semudah gelombang pertama. Tak jarang aku bolak balik ke geudung sana dan sini untuk menyelesaikan pendaftaran. Tapi yang kunikmati adalah tes tulisnya yang tak sesusah sebelumnya. Jika pertarungan gelombang awal merupakan setingkat nasional, kini pertarunganku hanya se- Kabupaten dan Kota saja. Kali ini sebagai pilihan utama ialah pilihan keduaku dulu yaitu pendidikan bahasa inggris. Alasannya karna Bahasa Arab sebagai Jurusan baru di tahun ini tak lagi memiliki cukup ruang penerimaan. Sedangkan Pilihan keduaku adalah Ekonomi Islam.
Seperti harapan dan doa. Pengumuman yang sedang kulihat kini namaku tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus. Sebuah pintu dewasa tlah terbuka. Langkah telapak kaki akan semakin panjang. Jauh nan luas. Tak terlihat batasnya. Masa mencari jati diri tlah berakhir. Memberi kesempatan untuk dunia dewasa.
Takdirku berada di Malik As- Saleh mengenyam pendidikan bahasa inggris selama beberapa tahun kedepan. Mereka memanggilku Malik. Julukan Raja Samudera Pasai yang dikenang sepanjang masa. Sebuah tanggung jawab dan beban besar Tidak hanya untukku atau keluargaku, tapi juga namaku. Tak ada keluhan jika hanya untuk bermalasan. Karna aku tetap aku. Jika gagal maka aku gagal. Jika menang maka aku menang. Mereka bukan aku, tapi aku adalah aku. 
banner
Previous Post
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Pers Mahasiswa AL-Kalam, IAIN Lhokseumawe Phone. 0852 6017 5841 (Pimpinan Umum). Powered by Blogger.