Portal Berita Al-Kalam

LPM Al-Kalam Kembali Selenggarakan Kegiatan PJTD 2025: Asah Kemampuan Siswa dalam Jurnalistik

Foto: Fika Munayya www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam kembali menyelenggarakan kegiatan tahunan, yaitu Pelatihan Jur...

HEADLINE

Latest Post

28 Oktober 2025

Aachen City

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Pagi itu, matahari bersinar cerah di Kota Aachen. Jalanan mulai ramai, suara burung berkicau, dan aroma kopi terhembus dari kedai di pojokan jalan. Suasananya hangat memenuhi kota tersebut. 

Fatiha, perempuan berhijab syar'i, sedang berjalan menuju kampus, FH Aachen University of Applied Sciences, kampus yang berfokus di bidang teknologi dan sains. Hari itu, ia sangat bersemangat dikarenakan adanya beberapa agenda yang akan dikerjakannya. 

Sebelum berangkat, Fatiha menyempatkan diri membaca basmallah, ia berharap harinya berjalan lancar. Dengan wajah ceria, ia berjalan sambil bersenandung kecil sampai akhirnya sampai di gedung perkuliahan yang menjulang tinggi. 

Sekarang Fatiha sudah semester lima. Tugasnya sangat banyak dan harus segera diselesaikan. Begitu masuk kelas, dia langsung membuka buku dan mencatat hal-hal penting yang dijelaskan oleh dosennya.

Selama tinggal dan berkuliah di Eropa, Fatiha memiliki banyak teman dari berbagai negara dan agama. Walaupun begitu, dia tetap berusaha menjalani hidup sesuai ajaran Islam seperti salat, berpakaian sopan, dan tetap menjaga sikap. Dari pengalaman itu, dia belajar banyak hal baru dan menjadi lebih terbuka perihal cara berpikir. Bahkan, sekarang dia bisa menyukai hal-hal yang dulu tidak ia minati.

Dua jam kemudian, kelasnya selesai. Fatiha lanjut mengikuti kelas tambahan dan mengerjakan tugas yang menumpuk. Setelah itu baru deh dia mutusin buat pulang.

Di dalam perjalanan pulang, ia melihat seorang nenek yang kelihatan kesusahan membawa barang-barangnya. Fatiha langsung menghampiri dan menawarkan bantuan.

“Nenek, mau saya bantu?” ucapnya. 

Awalnya nenek itu menolak seraya tersenyum, namun Fatiha tetep ngotot untuk membantunya dengan nada sopan. Akhirnya nenek tersebut mengalah dan mengizinkan Fatiha untuk membantunya. Sepanjang jalan mereka mengobrol santai, sesekali tertawa kecil. Tidak terasa, mereka sudah tiba di rumah sang nenek.

Sebagai tanda terima kasih, nenek tersebut memberikan Fatiha makanan kecil. Awalnya Fatiha menolak, namun karena memang lapar, akhirnya dia terima juga. Setelah pamit, Fatiha merasa sangat bahagia karena sudah bisa membantu orang lain. Dalam hati, dia berdoa semoga Allah juga membantu dirinya jikalau suatu saat dia dalam kesusahan.

Saat melanjutkan perjalanan pulang, matanya tertuju ke sebuah toko roti di sudut jalan. Di papan namanya tertulis “Boulangerie Maison,” yang artinya “Rumah Roti” dalam bahasa Prancis.

Fatiha langsung tersenyum, sudah sangat lama ia tidak mampir ke sana. Begitu masuk, aroma roti dari langsung membuat perutnya keroncongan.

“Wah, wanginya bikin makin laper aja,” gumamnya.

Dia duduk di kursi panjang di pojok ruangan, lalu menikmati roti dan coffee caramel favoritnya sambil menggoyang-goyangkan kaki saking senangnya. Setelah kenyang dan capek mulai terasa, dia pun pulang ke apartemen.

Malamnya, Fatiha menjalani rutinitas seperti biasa sebelum tidur. Nggak lama kemudian, dia pun terlelap, sementara Kota Aachen kembali diselimuti malam dan menunggu pagi berikutnya.


Penulis: Luthfiatil Syaqirah (Magang)

Editor: Zuhra

 

Bagaikan Burung Pipit di Atas Ranting Kering

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Senja merayap, mewarnai langit Lhokseumawe dengan gradasi jingga dan ungu. Di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur, berdiri sebatang pohon tua di sebuah taman kecil. Ranting-rantingnya kering. Namun, di sanalah seekor burung kecil bertengger dengan tenang.

Burung itu bernama Burung Pipit. Ia sangat menyukai waktu senja, saat langit berubah warna dan kota mulai menyala dengan lampu-lampu. Ia merasa damai ketika bertengger di ranting keringnya, memandang dunia dengan mata bulatnya yang jernih.

Ranting kering itu adalah tempat favorit Burung Pipit. Di sanalah ia beristirahat setelah seharian mencari makan, berlindung dari panasnya matahari, dan menikmati indahnya senja. Ranting itu memang tidak seindah dahan-dahan hijau yang penuh daun, tetapi bagi si Burung Pipit, ranting itu adalah tempat yang istimewa.

Suatu sore, saat senja sedang beranjak turun, datanglah seorang anak kecil. Anak itu menatap Burung Pipit dengan kagum.

“Burung kecil yang cantik,” bisiknya.

Burung Pipit merasa senang dipuji. Ia pun berkicau dengan riang, seolah menyapa anak itu.

Anak itu tersenyum. Ia mengambil sepotong roti dari sakunya dan memberikannya kepada Burung Pipit. Burung Pipit menerima roti itu dengan senang hati. Ia memakannya dengan lahap sambil terus berkicau. Si Pipit merasa bahagia, ia telah menemukan teman baru.

Sejak hari itu, setiap sore anak kecil itu selalu datang ke taman untuk menemui Burung Pipit. Mereka bermain bersama, berbagi cerita, dan menikmati indahnya senja. Burung Pipit dan anak kecil itu menjadi sahabat baik. Mereka saling menyayangi dan saling menghibur.


Penulis: Muhammad Iftal (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah

Senja di Balik Jendela

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Di sebuah kamar di rumah sakit dengan jendela besar yang menghadap ke arah matahari terbenam. Anasera Putri Zaleora, seorang gadis yang sedang berjuang melawan penyakit kronis yakni gagal ginjal. Sera terbaring lemah di ranjang rumah sakit sembari menatap senja melalui jendela ruang rawatnya. Ia merasa hidupnya semakin hari semakin suram.

"Sampai kapan aku mau gini terus? Apa masih ada harapan untuk aku sembuh dari penyakit ini?" ucap Sera dengan suara lirih sembari menarik nafas panjang layaknya orang yang kelelahan. 

Ia selalu mengulang kalimat itu setiap harinya. Gadis itu merasa hidupnya sudah sangat berantakan, dimulai dari kedua orang tuanya yang bercerai dan tidak lagi mempedulikannya, hingga kini penyakit yang dialaminya. Ia merasa bahwa semesta tidak menginginkan nya untuk bahagia. 

Sera larut dalam lamunannya sehingga ia dikejutkan dengan suara decitan pintu yang terbuka perlahan. Sebuah tubuh tegap menghampirinya. Karel Liano Aditama, sahabat yang selalu ada dalam setiap perjuangan yang dilalui Sera. Karel memasuki ruangan dengan senyum yang merekah dengan membawa sebuket bunga matahari, bunga kesukaan Sera. 

"Hai, Ser! Lihat aku bawa apa buat kamu." Karel memberikan bunga itu kepada Sera. 

Sera tersenyum tipis "Rel... makasih, ya. Kamu selalu ada buat aku."

"Harus, dong, Ser. Kita kan sahabat." ucap Karel dengan senyuman. 

"Ser, kok mukanya murung gitu? Ada yang sakit?"

Sera menatap ke luar jendela. "Senja lagi indah, yaa. Tapi aku nggak tau kapan aku bisa nikmatin senja tanpa mikirin apapun," ucapan Sera terdengar getir meski ia mencoba nya untuk tetap tersenyum. 

Karel mendekat dan duduk di kursi samping ranjang Sera. "Hei, jangan ngomong gitu. Kamu pasti bisa lewatin ini semua. Kamu pasti sembuh," ucap Karel sembari menggenggam tangan Sera. 

"Oh, iya. Dokter ada bilang apa hari ini?" tanya Karel. 

Sera menghela nafas pelan. "Sama aja. Harus sabar, harus kuat... Tapi aku udah capek Rel, capek banget."

Gadis itu sudah begitu muak dengan tempat yang didudukinya saat ini. Melihat mesin cuci darah, bau obat yang menyengat seolah sudah menjadi sahabat nya sehari-hari. 

Karel menatap mata gadis itu, terlihat begitu lelah dan putus asa. 

"Oh, iya, Ser. Gimana kalau kita ke taman aja?" Pria itu terus mencoba untuk membuat sahabatnya tersenyum. Setidaknya untuk melupakan sejenak rasa sakit yang dialami gadis itu. 

"Boleh deh! Aku juga bosen." 

Karel membawa gadis itu ke taman kecil di dekat rumah sakit. Sera merasa sangat senang karena dapat menghirup udara segar di luar kamar rumah sakit. 

Karel menjauh beberapa langkah dengan menggenggam kamera ditangannya. 

"Ser, senyum lihat sini."

Karel menunjukkan hasil fotonya kepada Sera. "Lihat deh! Cantik." 

"Lihat itu juga Ser, bunganya banyak yang lagi mekar, dan bunga yang itu mirip kamu, cerah dan indah," ucap Karel sembari menunjuk ke arah bunga yang ia maksud. 

Sera tertawa kecil "Bisa aja kamu. Tapi makasih, ya, Rel. Setidaknya aku masih punya sedikit harapan karena kamu."

"Nah, gitu, dong! Jangan lupa, kamu itu ibarat matahari, kalau kamu redup, orang di sekitar kamu juga ikut gelap. Jadi, nggak boleh putus asa, harus selalu semangat. Ingat, aku selalu ada buat kamu," ucap Karel dengan senyum tulus sembari mengusap pucuk kepala Sera. 

"Sekali lagi makasih, ya, Rel. Aku beruntung punya kamu." Sera menatap Karel dengan mata berkaca-kaca dan menyandarkan kepalanya di bahu Karel. 

"Kita sama-sama beruntung. Sekarang, coba lihat senjanya. Siapa tau, besok kita bisa lihat senja bareng di pantai." ucap Karel dengan menggenggam erat tangan Sera.

Setiap ucapan yang Karel lontarkan seolah menjadi harapan baru yang membuat Sera menyadari bahwa hidupnya masih indah dan berharga. 

Sera dan Karel terus menikmati senja bersama di taman rumah sakit. Mereka saling menggenggam untuk menguatkan dan memberikan harapan satu sama lain.


Penulis: Julia Sabela (Magang)

Editor: Zuhra

 

27 Oktober 2025

Roti dan Hujan

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Pagi itu, hujan turun cukup deras. Kahfa, seorang anak laki-laki, duduk di teras rumah sambil memandangi tetesan air yang jatuh dari atap. Ia melihat sekeliling—sawah yang masih hijau dan sawah lain yang sedang disiapkan untuk panen.

Meski masih pagi, suara-suara kehidupan di desa mulai terdengar: gemercik air, ayam berkokok, Pak Tani yang berjalan menuju sawah, serta burung-burung yang berkicauan riang.

Kahfa tiba-tiba teringat roti yang kemarin diberikan ibunya. Ia segera mengambil roti itu dari kamar, lalu kembali duduk di teras untuk menikmatinya. Hari ini, ia hanya ingin menikmati roti itu sambil melihat hujan.

Di tengah kenikmatan sederhana itu, datanglah seorang petani yang tampak sangat lesu, langkahnya gontai, dan wajahnya muram.

Kahfa bertanya pelan, “Paman, apakah Paman sudah makan?”

Petani itu hanya menggeleng dengan wajah sedih. Seketika Kahfa teringat pesan ibunya, “Jika bertemu orang yang membutuhkan, jangan pernah ragu untuk berbagi.”

Tanpa pikir panjang, Kahfa mengambil potongan roti terakhir dari bungkusnya dan memberikannya kepada petani itu.

Petani itu menerima dengan senyum dan mengucapkan terima kasih. Tak lama kemudian, hujan berhenti. Sinar matahari perlahan menembus awan, menampilkan pelangi di langit.

Kahfa tersenyum. Ia menyadari bahwa dalam kesederhanaan hidup pun, selalu ada kebahagiaan yang bisa ditemukan. Bahagia bisa datang dari roti yang manis, hujan yang menyejukkan, atau dari berbagi dengan sesama.

Kahfa akhirnya memutuskan untuk tetap di rumah saja. Ia melanjutkan harinya dengan menikmati suasana setelah hujan. Ia tidak perlu pergi ke mana pun untuk mencari kebahagiaan karena kebahagiaan itu sudah ada di depan matanya, dalam kesederhanaan hidupnya sendiri.

 

Penulis: Lutfhiatil Syaqirah (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah 

24 Oktober 2025

Masih Sama, tapi Tak Bersama

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Sore itu kami duduk dibangku taman, ditemani cahaya mentari sore yang menghamburkan hamburan rayleigh. Angin membelai pelan, membawa hangatnya udara sore ini. Sudah lama kami tak saling berbicara, tapi setiap kali bertemu, seolah waktu berhenti sesaat.

“Aku masih suka tempat ini,” katanya pelan, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Aku tersenyum tipis. “Tempat ini memang gak pernah berubah. Mungkin cuma kita yang berubah,” pelanku di kalimat akhir yang kuucapkan.

Dia terkekeh singkat, tapi sorot matanya sendu. “Kamu pernah kepikiran gak, gimana kalau waktu itu kita gak memutuskan untuk saling melepas?”

Aku menatap dedaunan kering yang jatuh satu-persatu. “Sering," aku menjeda ucapanku. "Tapi mungkin kita nggak akan jadi seperti sekarang. Kadang, cinta itu kayak pasir di laut, semakin kuat kita genggam, semakin berantakan pasirnya. Iya, kan?” Aku menoleh ke arahnya.

Dia mengangguk pelan seolah menyetujui ucapanku. “Jadi, kamu beneran gak nyesel?” Aku tersenyum, meski ada rasa aneh yang sedikit mengganjal di dada. “Gak. Karena sekarang aku masih bisa duduk di sini sama kamu, tanpa harus mencari alasan apa pun.”

Hening menyelimuti kami. Tak ada yang perlu diperjelas, tak perlu juga mengulang masa lalu. Kami tahu, cinta itu masih ada, masih sama besarnya, tapi kini tanpa tuntutan.

Sebelum pergi, dia berbisik, “Kamu tahu, rasaku masih sama.” Aku menatapnya, menahan kata-kata yang sebenarnya ingin terucap. “Aku juga. Tapi... gak selalu artinya harus bersama, kan?” Dia tersenyum, lalu berbalik pergi. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa kehilangan.

Langit sore itu terasa luas, mungkin karena akhirnya kami paham, bahwa cinta tak harus bersama, cukup dikenang dengan tenang.


Penulis: Chalisa Najla Safira (Magang)

Editor: Tiara Khalisna

 

Kejadian Buruk Menghantarkanku pada Takdir yang Indah

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Suatu hari di waktu pagi, aku duduk di depan meja belajar sambil merenung. Tertegun melihat diriku yang sudah sampai di masa ini. Masa di mana posisiku sebagai mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang mana jurusan tersebut sangat berhubungan dengan jurusan yang kuambil dulu saat SMA, yaitu IPS. Semua ini terjadi melalui kejadian yang tanpa direncanakan. Aku pun bingung dan bertanya-tanya, “Apakah ini sebuah kebetulan?”

Waktu itu tak pernah terpikir di benakku untuk mengambil Jurusan Soshum. Yang penting bagiku adalah sekolah, belajar yang rajin, dan bisa ikut kegiatan positif. Saat masa pendaftaran peserta didik baru tiba, aku mulai mencari informasi dan mataku tertuju pada sebuah brosur bertuliskan “Kelas Intensif (Unggul).” Setelah kubaca, akhirnya aku tertarik karena di dalamnya ada kegiatan tambahan seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, tahfiz, dan juga teknik informatika. Ayahku pun mendaftarkanku agar bisa menjadi siswa intensif. Aku sangat senang. Namun, ironisnya aku terlalu menyepelekan yang namanya jurusan. Padahal, jurusan itu sangat menentukan kita mau jadi apa ke depan.

Akhirnya aku menjadi siswa intensif yang mau tidak mau jurusannya ditentukan oleh pihak sekolah, yaitu MIA (IPA). Selama aku mengikuti pembelajaran di kelas tersebut, aku masih baik-baik saja. Namun, setelah pulang dari sekolah, tubuhku sangat lelah dan kehilangan energi karena padatnya kegiatan. Aku memutuskan untuk istirahat sebentar, tetapi setelah bangun tubuhku tetap terasa lemas. Walaupun begitu, aku tetap menjalankan tanggung jawabku sebagai siswa untuk hadir ke sekolah.

Sehari – dua hari kemudian aku tetap merasakan hal yang sama. Rasa lelah, jantungku berdebar kencang, dan rasa sakit seperti nyeri menggerogoti tubuhku hingga akhirnya aku hanya bisa terbaring lemah di atas kasur, bagaikan ikan yang terkapar di pinggir laut.

Melihat keadaanku, orang tuaku tak tega. Ibuku menghampiriku dan berkata, “Nak, ibu melihatmu sepertinya tak sanggup lagi ikut kelas intensif seperti itu, lebih baik kamu keluar saja. Bukannya ibu melarang, tapi ibu tak tega melihatmu seperti ini setiap hari.”

Lalu ayahku menimpali, “Iya, Nak, betul itu. Ambil saja kelas reguler agar kamu tidak terlalu banyak kegiatan, sehingga bisa cepat pulang.”

Mendengar perkataan mereka, akhirnya aku menuruti. Keesokan harinya aku akan dipindahkan ke kelas reguler. Tapi sebelum itu, guruku sempat bertanya,

“Mengapa kamu mau pindah kelas?”

Aku menjawab pelan, “Tidak sanggup lagi, Pak, saya kecapekan.”

Setelah melalui proses, akhirnya aku resmi menjadi siswa reguler. Uniknya, kelas itu belum memiliki penentuan jurusan, sehingga kami harus melalui masa matrikulasi terlebih dahulu — semacam pembekalan mengenai bidang studi pilihan. Saat menjalani masa itu, aku mulai mencari tahu siapa diriku, apa yang kusukai, dan apa yang sesuai denganku.

Aku mencoba tes minat dan bakat di aplikasi ponselku, dan hasilnya menunjukkan bahwa aku lebih condong ke soshum (IPS). Lalu aku bertanya lagi pada diriku sendiri, sebenarnya apa tujuan hidupku. Dan ternyata, aku menemukan jawabannya: aku ingin menjadi orang yang bermanfaat!

Untuk bisa menuju ke sana tentu harus ada ilmunya, apalagi hal itu berkaitan dengan bertemu banyak orang. Akhirnya aku membulatkan tekad untuk masuk jurusan IPS, dan melalui prosesnya hingga akhirnya aku resmi menjadi siswa IPS.

Mengingat masa itu, aku sangat bersyukur. Jika Tuhan tidak membuatku sakit saat itu, mungkin sekarang aku akan kesulitan bertahan di jurusanku, karena tidak ada dasar dari sebelumnya serta tidak berhubungan dengan jurusan yang pertama kali kuambil di SMA.

Yang paling kusukai sekarang adalah aku berada di titik di mana aku bisa berpeluang untuk berkarya dan bermanfaat. Aku percaya bahwa rencana-Nya tidak pernah salah, hanya saja kita belum mengerti maksud Tuhan atas jalan hidup yang sudah ditetapkan-Nya. Dia lebih tahu mana yang kita butuhkan, bukan mana yang kita inginkan.


Penulis: Rizky Ramadhani (Magang)

Editor: Zuhra

21 Oktober 2025

Langkah yang Terhenti

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Aku pernah mengira semua pertemuan punya alasan.

Tapi ternyata, tidak semua perasaan punya tujuan.

Ada cinta yang hadir hanya untuk mengajarkan arti kehilangan, bahkan sebelum memiliki.

Dan mungkin, itulah kami.

Aku mengenalnya di sebuah sekolah dasar mungkin itu sudah terlalu lama untuk dibahas. Dulu, aku hanya menganggapnya teman biasa, teman masa kecil yang asyik, yang memiliki aliran frekuensi yang sama denganku.

Saat kelas 5 SD, dia melanjutkan sekolah di daerah yang berbeda karena mengikuti pekerjaan ayahnya. Di situlah kami tidak pernah bertemu lagi, hingga masa remaja menghampiri sosok bocah kecil ini.

Di masa SMP, dia kembali lagi ke daerah asalnya. Namun, kami hanya bertemu satu atau dua kali saja, dalam pertemuan yang sangat singkat, seperti reuni kecil. Aku sangat bahagia bisa bertemu dengannya lagi setelah lama tidak berkomunikasi.

Masa remaja pun berlanjut. Kami kembali disatukan dalam satu sekolah. Saat itu, perasaanku kembali terasa hangat dan senang karena bisa melihat senyumnya lagi serta lentik matanya yang entah mengapa membuatku damai dengan semua keadaan yang menghampiriku.

Namun, keinginan untuk mendekatinya tidak langsung bisa kulakukan begitu saja di masa itu.

Suatu ketika, kami mulai memasuki masa yang paling ditakuti remaja saat itu masa memilih masa depan yang sudah di depan mata. Aku pun merasa bimbang dengan semua hal tersebut. Dengan ikhtiar yang luar biasa, kami akhirnya diterima di kampus impian masing-masing.

Kebetulan, kami berada di fakultas yang sama. Di sanalah mulai terjalin ikatan pembicaraan yang lebih mendalam mulai dari menanyakan tugas hingga menanyakan kabar satu sama lain.

Waktu terus berjalan. Aku menunggu, entah sampai kapan titik dan sesi yang tepat untuk menyatakan perasaan yang sudah kupendam sejak tiga tahun terakhir ini.

Hari di mana aku ingin jujur ingin mengatakan semuanya tentang perasaan yang kupendam akhirnya tiba tanpa kusadari. Tapi aku sangat mempertimbangkan untuk menyatakannya, karena dialah teman masa kecilku yang masih berteman hingga kini.

Aku takut jika ia tidak bisa menerima perasaan ini, dan segalanya justru berubah.

Hari pun berganti. Dalam hati aku bergumam, “Kalau tidak aku nyatakan perasaan ini, bagaimana aku tahu dia suka atau tidak padaku?”

Sebuah pikiran yang logis, tapi penuh adrenalin.

Malam itu juga aku memberanikan diri merelakan harga diriku untuk mengutarakan perasaan ini kepadanya.

Aku memulai dengan pembuka yang dalam, karena aku yakin perasaanku akan dibalas dengan jawaban seperti yang selama ini kuharapkan.

Namun kenyataannya, perasaanku berbalas dengan alasan yang begitu kuat.

Ujarnya, “Wah, aku nggak bisa melanjutkan cerita ini ke soal perasaan yang lebih dalam. Kamu juga tahu, kan? Kita sudah lama berteman, dan aku sudah menganggap kamu seperti keluarga sendiri—tempat aku cerita tentang suka dan duka. Aku nggak bisa meruntuhkan semua yang sudah aku bangun selama ini. Aku hanya menganggap kamu teman yang baik, yang bisa mengayomi aku menjadi pribadi yang lebih baik juga. Maaf ya, aku nggak bisa membalas perasaan tulus kamu. Mungkin perasaan itu bisa kamu utarakan kepada perempuan yang lebih pantas dan akan bahagia bersamamu.”

Malam terasa runtuh seketika. Tidak sesuai dengan ekspektasi yang sudah kurangkai begitu indah ternyata berbalik dengan kenyataan yang sangat pahit. Tapi aku harus menerima itu.

Mungkin ini bukan akhir dari pelabuhan cintaku yang terbaik.

Di sinilah aku belajar, bahwa mencintai terkadang bukan tentang memiliki, melainkan tentang menjaga agar yang dicintai tetap bahagia, meski bukan bersama kita.

Dan begitulah akhirnya.

Kami menjadi dua orang yang pernah dekat, tapi tak pernah benar-benar bersama.

Aku menyimpan namanya dalam ingatan, bukan karena belum bisa melupakan, tetapi karena aku ingin mengingat bahwa cinta tak selalu harus bersemi untuk berarti.

Kini, setiap kali aku melihatnya dari kejauhan, aku hanya tersenyum.

Ada perih yang tersisa, tapi juga ada damai yang tumbuh perlahan.

Mungkin karena akhirnya aku sadar, beberapa orang memang ditakdirkan hanya untuk singgah bukan untuk menetap.


Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

20 Oktober 2025

Kepergian Orang Baik

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Beberapa tahun lalu, lahirlah seorang laki-laki yang kini sedang terbaring lemah di rumah sakit. Namanya Rahul. Sejak kecil, ia sudah kehilangan ibunya. Ia tinggal bersama ayah dan saudara laki-lakinya yang tidak terpaut jauh usia. Ayah Rahul memiliki saudara laki-laki yang sudah lama menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Hingga akhirnya, Rahul diangkat oleh pamannya dan menjadi anak tunggal dalam keluarga itu.

Rahul tumbuh besar di rumah pamannya dan hidup layaknya anak-anak lain. Ia memiliki segala yang diinginkannya, hidup mewah bersama pamannya yang kini ia panggil “Bapak”. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat berusia sekitar delapan tahun, pamannya bercerai dan menikah lagi dengan perempuan lain. Peristiwa itu membuat Rahul harus memilih: tinggal bersama ibu angkatnya atau pamannya.

Karena masih kecil dan labil, Rahul akhirnya dibawa oleh ibu angkatnya dan hidup bersamanya. Ibu angkatnya bernama Bu Ida. Bersama Bu Ida, Rahul tumbuh menjadi anak yang baik, sederhana, dan penuh kasih sayang.

Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Rahul pun dewasa dan menikah dengan seorang perempuan sederhana yang dikenalnya di tempat kerja. Mereka hidup bahagia, meskipun tidak dikaruniai anak. Rahul sering merasa sepi, tetapi ia tetap bersyukur karena memiliki istri yang setia mendampinginya.

Dalam kesendiriannya, Rahul sempat merasa putus asa. Namun, ia selalu mengingat bahwa di balik setiap ujian, Allah telah menyiapkan hikmah yang indah di masa depan. Tahun demi tahun berlalu, hidup Rahul tetap sederhana. Hingga akhirnya, pada Kamis, 16 Oktober 2025, Rahul menghembuskan napas terakhirnya.

Istrinya, Almira, yang sejak kemarin bolak-balik ke rumah sakit, menangis histeris saat melihat jenazah suaminya terbujur kaku. Semua kenangan mereka terlintas di benaknya — kebersamaan tanpa anak, tapi penuh cinta dan kesetiaan. Seketika, Almira pingsan di lorong rumah sakit dan segera dibantu oleh keluarganya.

Beberapa hari kemudian, tepat pada hari ketujuh setelah kepergian Rahul, datanglah seorang laki-laki ke rumah mereka. Pakaian laki-laki itu lusuh dan acak-acakan, suaranya lirih, hampir tak terdengar. Almira mempersilakan laki-laki itu masuk. Saat duduk di ruang tamu, air mata laki-laki itu mulai menetes. Ia bercerita bahwa ia sangat mengenal almarhum Rahul.

Menurutnya, semasa hidup Rahul adalah orang yang dermawan dan ramah kepada semua orang, bahkan kepada orang gila sekalipun. Rahul sering mentraktir dan menolongnya tanpa pamrih.

Kepergian Rahul membuat banyak orang bersedih. Tidak hanya keluarga, tetapi juga mereka yang pernah merasakan kebaikannya. Almira menangis tersedu saat mendengar kisah itu. Ia memeluk ibunya erat, mengenang setiap kenangan bersama sang suami yang kini hanya bisa ia dengar melalui rekaman audio yang diambil saat di rumah sakit.

Bu Ida, ibu angkat Rahul, juga sangat berduka. Ia menyesal karena terlalu sibuk hingga jarang menghabiskan waktu bersama anak angkatnya. Untuk menebus rasa bersalahnya, Bu Ida akhirnya memberikan hadiah tiket umrah kepada Almira, yang rencananya akan berangkat pada bulan November nanti.

“Terima kasih, ya Allah.

Engkau telah mengambil separuh hidupku,

tetapi Engkau juga memberikan banyak hal yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Terima kasih, ya Allah,” ucap Almira dalam doanya.


Penulis: Lutfhiyatil Syaqirah (Magang)

Bersyukur Kunci dari Semuanya

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com- Di sebuah desa hiduplah sepasang keluarga yang amat bahagia. Mereka hidup sederhana, namun selalu penuh tawa.

“Ibuuu!” tiba-tiba suara terdengar dari kejauhan sehingga membuat seorang ibu yang sedang fokus mencuci menoleh.

“Kenapa, Nak?” tanya ibu anak itu.

“Ibu, lihat nilai aku! Aku mendapatkan peringkat satu, Bu!” ujarnya dengan sangat bersemangat.

“Huk huk huk…” terdengar suara batuk seseorang. Ternyata itu adalah suara ayahnya.

“Kenapa ini teriak-teriak, Aisyah?” tanya ayahnya dengan bingung.

“Aku dapat peringkat satu, Ayah,” ujar Aisyah.

“Alhamdulillah,” ucap ayahnya sambil menepuk pundaknya.

“Ya sudah, kamu masuk, mandi, dan langsung salat,” ujar ibunya.

“Baik, Bu.”

Sesampainya di kamar, Aisyah langsung mandi dan bergegas untuk salat. Seusai salat, ia melantunkan doanya,

“Ya Allah, terima kasih atas segala anugerah yang Engkau berikan. Terima kasih Engkau telah memberikan keluarga yang sempurna kepada hamba ini. Tapi ya Allah, Aisyah bingung… bagaimana Aisyah harus mengatakan sesuatu yang mungkin akan memberatkan orang tua Aisyah.”

Air mata terus mengalir dan membasahi pipinya.

Ternyata setelah pengumuman peringkat, ada juga pengumuman tentang acara perpisahan sekolah. Sejak saat itu, Aisyah termenung hingga lupa bahwa dirinya baru saja meraih peringkat pertama. Namun, ketika tiba di rumah, ia tetap berusaha tegar dan seolah-olah tidak terjadi apa pun.

“Assalamualaikum, Aisyah.”

Ia segera mengusap air matanya. Ternyata itu ibunya yang masuk.

“Waalaikumsalam, Bu. Masuk,” jawab Aisyah sambil melipat mukenanya.

“Kenapa, Bu?” tanya Aisyah dengan kebingungan, karena ibunya jarang sekali masuk ke kamarnya.

“Tidak, Ibu hanya ingin bertanya. Ini kan kalian sudah tamat, apakah di sekolah sudah diinformasikan tentang acara perpisahan, Aisyah?” tanya ibunya dengan lembut.

“Sebenernya…” Aisyah terdiam dan tampak gemetar. “Sebenarnya sudah, Bu. Cuma… untuk acara perpisahannya agak mahal, Bu. Kalau Aisyah nggak ikut juga nggak apa-apa kok. Lagian ribet, Bu, nanti harus pakai baju ini itu,” ujarnya dengan nada meyakinkan ibunya.

“Tidak. Pokoknya kamu tetap harus ikut acara itu. Nanti pasti akan Ibu usahakan. Jangan pikirkan Ibu atau Ayah, Nak. Tugas kami hanya memenuhi kebutuhanmu,” ujar ibunya tegas namun lembut.

Keesokan harinya tiba — hari pengumpulan uang untuk acara perpisahan.

“Bagaimana ini? Aku harus bilang apa?” bisik hati Aisyah.

“Jadi, hari ini kita akan mengumpulkan uang dan menentukan baju yang akan dipakai untuk acara perpisahan,” ujar Bu Guru.

“Baik, Bu,” jawab para siswa serentak.

Guru pun mulai mengutip uang dari setiap siswa. Saat giliran Aisyah, ia terdiam.

“Maaf, Bu… Aisyah belum punya uang,” ujarnya sambil menunduk.

“Oh, tidak apa-apa. Besok juga boleh, Aisyah,” jawab Bu Guru dengan lembut.

“Oh iya, makasih, Bu,” sahutnya pelan.

“Baiklah, anak-anak. Untuk acara perpisahan nanti, kita akan memakai baju putih, ya. Pastikan semua hadir!” ujar Bu Guru.

“Baik, Buk!” jawab semua murid bersamaan.

Aisyah pun pulang sambil termenung. “Di mana aku harus mendapatkan baju putih itu?” gumamnya dalam hati.

Sesampainya di rumah, ia memanggil ibunya.

“Ibu, Ibu!”

“Iya, Nak, Ibu di dapur,” sahut ibunya.

“Ibu, besok saat perpisahan kami harus pakai baju putih, tapi Aisyah nggak punya baju putih, Bu,” ujarnya lesu.

“Tenang saja, Nak. Tidak usah dipikirkan. Ibu pasti akan usahakan. Sekarang kamu mandi dulu, habis itu makan, ya,” ujar ibunya lembut.

Malam pun tiba. Saat Aisyah tertidur lelap, ibunya masih terjaga, memikirkan bagaimana cara mendapatkan baju putih untuk putrinya. Sambil menatap gorden lusuh yang tertiup angin, ia bergumam, “Apa saya jahit gorden ini saja, ya?”

Tanpa pikir panjang, ia melepas gorden itu dan mulai menjahitnya hingga pagi tiba.

Ketika Aisyah bangun, ia terkejut melihat baju putih yang tergantung di hanger.

“Ibu, ini baju siapa?” tanyanya.

“Itu baju kamu, Nak. Tadi malam Ibu menjahitnya dari kain gorden kita. Maaf ya, kalau tidak sebagus yang kamu inginkan,” ucap ibunya penuh rasa khawatir.

“Tidak, Bu! Ini sudah sangat bagus. Aisyah suka sekali. Terima kasih, Bu,” ujarnya sambil memeluk ibunya.

Dengan semangat, Aisyah mengenakan baju itu dan berangkat ke sekolah.

Sesampainya di sana, halaman sekolah sudah dipenuhi siswa-siswi. Ia datang bersama ibunya, karena ayahnya sedang sakit dan tidak bisa ikut. Seusai acara, diadakan sesi foto bersama.

“Wah, semua bajunya bagus-bagus ya hari ini,” batin Aisyah. Namun, ia tidak merasa malu.

“Aku tidak malu memakai baju ini. Ini malah sangat bagus, karena dijahit dengan penuh cinta dan kasih sayang ibuku. Aku sangat bersyukur,” ucapnya dalam hati.

Seusai acara, mereka pun pulang. Ibu Aisyah sangat bangga padanya, karena Aisyah pulang sambil membawa banyak penghargaan.


Penulis: Intan Sarifah (Magang)
 

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.