![]() |
| Foto: Pexels.com |
“Aku masih suka tempat ini,” katanya pelan, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Aku tersenyum tipis. “Tempat ini memang gak pernah berubah. Mungkin cuma kita yang berubah,” pelanku di kalimat akhir yang kuucapkan.
Dia terkekeh singkat, tapi sorot matanya sendu. “Kamu pernah kepikiran gak, gimana kalau waktu itu kita gak memutuskan untuk saling melepas?”
Aku menatap dedaunan kering yang jatuh satu-persatu. “Sering," aku menjeda ucapanku. "Tapi mungkin kita nggak akan jadi seperti sekarang. Kadang, cinta itu kayak pasir di laut, semakin kuat kita genggam, semakin berantakan pasirnya. Iya, kan?” Aku menoleh ke arahnya.
Dia mengangguk pelan seolah menyetujui ucapanku. “Jadi, kamu beneran gak nyesel?” Aku tersenyum, meski ada rasa aneh yang sedikit mengganjal di dada. “Gak. Karena sekarang aku masih bisa duduk di sini sama kamu, tanpa harus mencari alasan apa pun.”
Hening menyelimuti kami. Tak ada yang perlu diperjelas, tak perlu juga mengulang masa lalu. Kami tahu, cinta itu masih ada, masih sama besarnya, tapi kini tanpa tuntutan.
Sebelum pergi, dia berbisik, “Kamu tahu, rasaku masih sama.” Aku menatapnya, menahan kata-kata yang sebenarnya ingin terucap. “Aku juga. Tapi... gak selalu artinya harus bersama, kan?” Dia tersenyum, lalu berbalik pergi. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa kehilangan.
Langit sore itu terasa luas, mungkin karena akhirnya kami paham, bahwa cinta tak harus bersama, cukup dikenang dengan tenang.
Penulis: Chalisa Najla Safira (Magang)
Editor: Tiara Khalisna


