![]() |
| Foto: Chalisa Najla Safira (Magang) |
"Aduh." Seorang lelaki terkejut dan menoleh cepat.
Anasera membeku, wajahnya langsung panik. “Eh, maaf! Aku kira nggak ada orang.”
Lelaki itu tidak marah. Hanya menunduk sebentar melihat batu kecil itu, lalu menatap Anasera dengan senyum yang membuat Anasera merasa dunianya hanya terfokus pada wajah tampan di depannya.
Senyum singkat, namun hangat. Hanya itu. Setelah itu, ia pergi begitu saja, menghilang di balik pepohonan.
Mereka tidak saling kenal. Tidak sempat bertanya nama.
Tapi, tatapan itu menetap jauh lebih lama daripada yang Anasera duga.
---
Hari ini, Anasera kembali setelah setahun berlalu. Ke tempat yang sama dengan suasana yang sama pula. Selesai hujan dan disertai awan menggumpal seperti gunung putih. Angin membawa bau basah yang familiar, seolah dunia diam-diam mengulang hari itu untuknya.
Ia berdiri di tempat yang sama, memegang batu kecil yang bentuknya mirip dengan batu lemparannya dulu.
Konyol, pikirnya.
Tapi, ada bagian dari dirinya yang berharap. Jika ia kembali, mungkin pria itu juga.
Ia menatap danau lama. Tidak ada siapa-siapa.
Hanya suara air, angin, dan detak hati yang pelan-pelan merasa kecewa.
Anasera hendak meletakkan batu itu lalu pulang. Namun, sebuah suara menghentikan langkahnya
“Hari ini mau lempar batu lagi? Semoga kali ini bukan ke aku.”
Anasera menoleh. Dan di sana—dia. Lelaki itu.
Dengan senyum yang sama seperti hari pertama, tapi kali ini lebih jelas, lebih dekat, dan lebih nyata.
Anasera refleks menutup wajahnya, malu. “Kamu masih inget itu?”
“Gimana mau lupa, kalau pertemuan pertama kita ninggalin kenangan di kepala?”
Nada suaranya bercanda, tanpa marah sedikit pun.
Mereka sama-sama tertawa canggung, tapi nyaman. Lelaki itu pun berjalan mendekat. Tidak terlalu dekat, hanya cukup untuk membuat Anasera tahu ia senang bertemu lagi.
“Aku balik ke sini dua-tiga kali. Takutnya kamu lempar batu lagi tanpa sengaja,” katanya.
“Berarti kamu… nyari aku?” Anasera bertanya pelan.
Lelaki itu menggaruk tengkuknya, senyumnya melebar.
“Mungkin. Atau mungkin aku cuma suka tempat ini kalau ada kamu.”
"Aku awan," ucapnya.
Danau terasa lebih tenang. Langit tampak lebih terang. Dan hati Anasera rasanya menemukan kembali sesuatu yang sempat ia pikir cuma kebetulan.
Tak ada lagi tatap singkat yang segera hilang. Kali ini, keduanya tinggal lebih lama, seolah sepakat memberi kesempatan pada pertemuan yang dulu terlalu cepat lewat.
Semuanya dimulai dari satu batu yang salah arah dan ternyata membawa arah yang tepat.
Penulis: Chalisa Najla Safira (Magang)


