![]() |
foto: istockPhoto.com |
Tak bisa dimungkiri, teknologi telah menyederhanakan berbagai aspek kehidupan. Komunikasi yang dulu lambat kini berlangsung dalam hitungan detik melalui pesan instan atau video call. Pekerjaan yang dulunya menyita waktu dan tenaga kini dapat diselesaikan dengan bantuan perangkat digital. Informasi dari seluruh dunia pun mudah diakses kapan saja dan di mana saja.
Namun, kemudahan ini datang dengan konsekuensi. Di tengah konektivitas digital yang semakin luas, relasi manusia justru terasa semakin renggang. Kita mungkin memiliki ratusan bahkan ribuan teman di media sosial, tetapi merasa kesepian dalam kehidupan nyata. Rasa cemas meningkat, terutama karena tekanan untuk selalu tampil sempurna di dunia maya. Tak jarang, kita terjebak dalam siklus membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih bahagia, padahal itu hanya representasi sepihak dari realitas.
Ironisnya, teknologi yang seharusnya membebaskan justru sering kali membelenggu. Kita menjadi tergantung pada notifikasi, sulit beristirahat tanpa menyentuh ponsel, dan merasa bersalah jika tidak terus produktif. Pilihan yang melimpah di dunia digital bukannya menenangkan, melainkan sering membuat kita bimbang dan merasa tidak pernah cukup.
Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkaitan dengan penurunan tingkat kebahagiaan dan peningkatan risiko depresi, terutama di kalangan remaja dan anak muda. Ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak secara otomatis membawa kesejahteraan emosional.
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa teknologi hanyalah alat. Ia bisa menjadi sumber kebaikan jika digunakan dengan bijak, namun bisa juga menjadi jebakan yang menjauhkan kita dari makna hidup yang sesungguhnya. Maka, di tengah arus kemudahan ini, penting bagi kita untuk kembali bertanya: apakah teknologi membuat hidup kita lebih bermakna? Ataukah justru menjauhkan kita dari hal-hal sederhana yang selama ini menjadi sumber kebahagiaan?
Penulis: Qurrata A'yuni
Editor: putri Ruqaiyah