 |
Sumber: Unsplash.com |
www.lpmalkalam.com- Matahari baru saja terbit ketika Rizza dan Adit bersiap meninggalkan kostan mereka. Mereka tinggal di tempat kostan yang berbeda, Rizza tinggal di sebuah kost-an gang kecil yang tak jauh dari kampus, sementara Adit tinggal di kost-kostan berbentuk ruko di seberang jalan kampus, mereka tetap selalu berangkat bersama.
Saat Rizza hendak berangkat kuliah dan sedang menyeberang jalan, matanya tertuju pada Adit yang masih berada di kosan, yang sedang mencoba menyalakan motornya, namun tak kunjung menyala.
“Oii, Dit!, kenapa? mogok, ya?,” teriak Rizza dari seberang jalan, yang tak jauh dari kost Adit.
Rizza lalu menghampirinya dan Adit menjawab, “Ngambekan lagi nih motorku.”
“Yasudah, bareng aku aja,” ujar Rizza.
Akhirnya, mereka pun berangkat bersama menuju kampus.
Sesampainya di kampus, mereka melihat Dika dan Ilham yang juga baru tiba di area parkir. Mereka saling menyapa hangat dan melakukan tos sebagai bentuk salam persahabatan, lalu bersama-sama berjalan masuk ke ruang kelas untuk mengikuti perkuliahan.
Setelah perkuliahan usai, Rizza dan Adit menuju ruang jurusan untuk mengembalikan infokus.
“Buruan, Dit! Dika sama Ilham udah pada nungguin di kantin Bude!,” seru Rizza sambil memegang pulpen entah dari mana ia dapatkan.
Adit meraih jaketnya. “Iya, iya! Sabar dulu napa,” ujarnya sambil mengikat tali sepatu. Rizza, yang mulai tak sabar, meraih tas di punggung Adit lalu menariknya paksa.
“Lama banget, nih anak. Kalau nggak diseret, nggak jalan-jalan,” gumam Rizza.
“OI OI SABARR!! YA ALLAH…” Teriak Adit disepanjang koridor kampus.
Sementara itu, Dika dan Ilham sudah menunggu di kantin Bude. Mereka memang berbeda latar belakang. Keduanya tinggal di rumah masing-masing yang cukup jauh dari kampus. Tapi perbedaan itu tak pernah menciptakan jarak di antara mereka. Sejak awal semester, keempatnya langsung klop gara-gara 1 kelompok, maka berawal dari situ mereka kuliah bareng, main futsal, nongkrong, sampai saling curhat soal cinta dan hidup.
Kantin Bude sudah menjadi markas tetap mereka. Tempat semua cerita bermula, dari tugas kelompok, drama percintaan, hingga impian masa depan. Kadang mereka sampai terlambat masuk kuliah karena terlalu asyik mengobrol di kantin Bude.
Ketika Rizza dan Adit sampai di kantin, Ilham berkata sambil bercanda, “Waktu habis, pulang Juna!.”
“Lama banget, bro! Udah laper nih,” goda Dika saat melihat dua anak kos itu datang.
“Lho? Tadi dirumah ga makan?,” balas Adit sambil duduk.
“Keburu telat bro, ytta lah ya.” Ucap Dika.
Ilham tertawa. “Tapi anak kost biasanya yang paling tahan banting. Hebat kalian berdua, it’s the best! otok otok otok.”
“Oh iya dong, anak jantannya emak nih!,” jawab Rizza sambil memamerkan ototnya.
Obrolan pun mengalir seperti biasa, diiringi tawa dan candaan. Namun hari itu, suasananya terasa sedikit berbeda. Ada kegelisahan yang menggantung di antara mereka.
“Nanti kalau kita lulus... masih bisa begini nggak, ya?”, tanya Rizza tiba-tiba.
Hening sejenak, pertanyaan itu menyentuh hati setiap orang di meja itu.
“Kita bakal sibuk. Mungkin kerja di kota yang berbeda. Tapi...” Ilham menjawab, “Kalau kita benar-benar sahabat, kita pasti nyempetin ketemu. Teman sejati nggak akan luntur cuma karena jarak.”
Dika mengangguk. “Kita ini bukan cuma teman kampus. Kita ini Great Mates teman main, teman hidup.”
Rizza tersenyum. Ia menatap ketiga sahabatnya dengan penuh rasa syukur. Mereka memang bukan saudara sedarah, tapi ikatan di antara mereka mungkin jauh lebih kuat.
Di kantin kecil itu, di antara deru motor dan aroma nasi goreng, empat sahabat mengikat janji tak tertulis, apa pun yang terjadi, mereka akan tetap bersama.
Sumber: Rilis
Editor: Redaksi