![]() |
Foto: Pexels.com |
Di Lhokseumawe, 1 Muharam bukan sekadar angka baru dalam penanggalan Islam, melainkan dapat dimaknai sebagai momentum kolektif untuk berhijrah secara spiritual dan sosial. Saya menyaksikan bagaimana masyarakat menyambut hari besar ini dengan kekhidmatan dan kebersamaan yang luar biasa. Pawai akbar yang melibatkan pelajar, santri, tokoh masyarakat, dan umat Muslim dari berbagai kalangan menjadi bukti bahwa semangat hijrah tidak hanya hidup dalam kisah sejarah Rasulullah saw. tetapi juga tercermin nyata dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Sebagai perantau, saya merasa tidak hanya disambut, tetapi juga diajak turut serta dalam kebersamaan itu. Saya tidak hanya menyaksikan keramaian, tetapi merasakan keterikatan yang menghangatkan hati.
Pada malam harinya, suasana religius semakin terasa. Masjid-masjid dipenuhi jamaah yang mengikuti zikir akbar dan doa bersama. Saya berkesempatan mengikuti salah satu kegiatan tersebut di lingkungan kampus. Tausiah dari para ulama tidak hanya membahas sejarah hijrah, tetapi juga menyentuh sisi personal, bagaimana kita sebagai individu perlu terus memperbaiki diri, meninggalkan keburukan, dan menjemput kebaikan. Dalam suasana tersebut, saya merasa benar-benar diajak untuk merenung bukan hanya sebagai mahasiswa, tetapi sebagai manusia yang terus berproses dalam perjalanan spiritualnya.
Yang tak kalah menyentuh adalah kegiatan santunan anak yatim yang menjadi bagian penting dalam perayaan ini. Di Lhokseumawe, kepedulian terhadap anak yatim bukan hanya wacana, tetapi benar-benar diwujudkan dalam bentuk perhatian dan kasih sayang. Saya menyaksikan sendiri bagaimana mereka tidak hanya diberikan bantuan materi, tetapi juga disapa hangat, ditemani, dan dirangkul sebagai bagian utuh dari masyarakat. Dari situ saya belajar bahwa keberagamaan bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga tentang kepedulian sosial.
Terlihat juga bagaimana institusi pendidikan di Aceh berperan aktif dalam menyemarakkan Muharam. Lomba-lomba Islami di sekolah dan pesantren seperti tilawah, azan, kaligrafi, dan ceramah agama menjadi sarana untuk menumbuhkan semangat kompetisi yang sehat sekaligus menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini. Di kalangan mahasiswa, diskusi keagamaan dan kajian makna hijrah dalam konteks kekinian menjadi ruang intelektual yang sangat bermanfaat. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai keislaman di Aceh tidak hanya diwariskan, tetapi juga dibumikan secara konkret.
Sebagai mahasiswa dari luar daerah, saya merasa sangat beruntung bisa menyaksikan langsung sebuah perayaan yang tidak hanya kaya akan tradisi, tetapi juga sarat dengan nilai. Saya belajar bahwa hijrah bukan hanya soal berpindah tempat, melainkan juga berpindah sikap, cara pandang, dan pola hidup ke arah yang lebih baik. Perayaan 1 Muharam di Lhokseumawe menjadi contoh nyata bagaimana semangat itu dapat tumbuh dalam kehidupan masyarakat secara alami dan berkelanjutan.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa tradisi perayaan 1 Muharam di Lhokseumawe adalah kekayaan yang tidak hanya layak dipertahankan, tetapi juga perlu dikembangkan dan dikenalkan lebih luas. Di tengah arus globalisasi yang sering kali mengikis nilai-nilai lokal dan spiritual, perayaan seperti ini menjadi ruang dakwah kultural yang efektif. Ia tidak hanya mempererat ukhuwah, tetapi juga menjadi penanda bahwa identitas keislaman masih kuat berakar dalam masyarakat. Sebagai mahasiswa perantauan, saya tidak hanya membawa ilmu dari kampus, tetapi juga pengalaman batin yang akan saya kenang dan jadikan bekal dalam perjalanan hidup saya ke depan.
Penulis: Arahmadan Jaminur Berutu
Editor: Putri Ruqaiyah