Portal Berita Al-Kalam

Klasik Goes to SMA Negeri 1 Syamtalira Bayu Raih Antusias Siswa Pelajari Cara Penulisan Berita

Foto: Nurul Fadilah   www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) L...

HEADLINE

Latest Post

31 Oktober 2025

Keadaan di Kota Lhokseumawe

Foto: Muhammad Iftal (Magang)

www.lpmalkalam.com- Pagi menyapa Kota Lhokseumawe dengan semilir angin dari Laut Ujong Blang. Di tepi pantai, para nelayan mulai menyiapkan perahu. Burung camar berputar di udara, seolah ikut menyemangati mereka. Suara azan Subuh dari masjid-masjid kecil menggema di udara, mengiringi awal hari yang baru di kota kecil di pesisir utara Aceh ini.

Di tengah kota, jalan-jalan mulai ramai. Pedagang kaki lima membuka lapak di pinggir Jalan Merdeka, menjual sarapan khas Aceh: nasi gurih, lontong, dan kopi hitam yang harum. Di warung kopi, para lelaki berkumpul, membahas berita dan berbagi cerita. Bagi warga Lhokseumawe, kopi bukan sekadar minuman, melainkan simbol kebersamaan dan tempat bertukar pikiran.

Namun, di balik keseharian yang tampak damai itu, banyak hal telah berubah. Dahulu, kota ini dikenal dengan julukan Kota Petro Dollar karena kejayaan industri gas alam di Arun. Perekonomian berputar cepat, dan banyak orang datang mencari rezeki. Kini, pipa-pipa besar yang dulu berdiri megah mulai berkarat. Aktivitas industri berkurang, dan sebagian masyarakat kehilangan pekerjaan.

Rahmat, seorang pemuda lulusan universitas, merasakan langsung perubahan itu. Setelah lulus, ia kesulitan mencari pekerjaan tetap. Setiap hari ia mengantar ibunya berjualan di Pasar Inpres, sambil berharap ada lowongan di kantor pemerintahan atau perusahaan kecil yang masih bertahan.

“Sabar saja, Mat,” kata ibunya lembut. “Kota ini masih punya harapan, asal kita tak menyerah.”

Sore hari, Rahmat sering berjalan di sekitar Masjid Islamic Center— bangunan megah yang menjadi kebanggaan warga Lhokseumawe. Di sana, ia melihat anak-anak mengaji, para pedagang menjajakan jajanan, dan wisatawan mengambil foto di halaman masjid. Kehidupan tetap berjalan, meski perlahan.

Di tepi jalan, ia melihat remaja-remaja nongkrong sambil memainkan gitar. Mereka bernyanyi tentang tanah kelahiran, tentang laut yang tenang dan angin yang membawa harapan. Lagu sederhana itu membuat Rahmat tersenyum. Ia sadar, meski kota ini tak lagi sepadat dulu, semangat warganya masih sama. Hangat dan pantang menyerah.

Malam datang perlahan. Lampu-lampu jalan menyala, memantulkan cahaya di genangan air setelah hujan sore tadi. Suara kendaraan mulai berkurang, digantikan oleh deru ombak yang terdengar dari kejauhan. Di rumahnya, Rahmat duduk di teras, memandangi langit Lhokseumawe yang cerah.

“Kota ini sudah berubah,” pikirnya, “Tapi perubahan bukan berarti kehilangan.”

Ia menatap jauh ke arah laut. Di sana, masa lalu dan masa depan seakan bertemu. Lhokseumawe mungkin tak lagi semegah dulu, tetapi kota ini tetap hidup dalam kerja keras, kesabaran, dan harapan orang-orangnya.

Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan suara malam yang tenang. Di bawah langit biru yang perlahan gelap, Lhokseumawe tetap berdiri sederhana, kuat, dan penuh kehidupan.


Penulis: Muhammad Iftal (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah
 

28 Oktober 2025

Aachen City

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Pagi itu, matahari bersinar cerah di Kota Aachen. Jalanan mulai ramai, suara burung berkicau, dan aroma kopi terhembus dari kedai di pojokan jalan. Suasananya hangat memenuhi kota tersebut. 

Fatiha, perempuan berhijab syar'i, sedang berjalan menuju kampus, FH Aachen University of Applied Sciences, kampus yang berfokus di bidang teknologi dan sains. Hari itu, ia sangat bersemangat dikarenakan adanya beberapa agenda yang akan dikerjakannya. 

Sebelum berangkat, Fatiha menyempatkan diri membaca basmallah, ia berharap harinya berjalan lancar. Dengan wajah ceria, ia berjalan sambil bersenandung kecil sampai akhirnya sampai di gedung perkuliahan yang menjulang tinggi. 

Sekarang Fatiha sudah semester lima. Tugasnya sangat banyak dan harus segera diselesaikan. Begitu masuk kelas, dia langsung membuka buku dan mencatat hal-hal penting yang dijelaskan oleh dosennya.

Selama tinggal dan berkuliah di Eropa, Fatiha memiliki banyak teman dari berbagai negara dan agama. Walaupun begitu, dia tetap berusaha menjalani hidup sesuai ajaran Islam seperti salat, berpakaian sopan, dan tetap menjaga sikap. Dari pengalaman itu, dia belajar banyak hal baru dan menjadi lebih terbuka perihal cara berpikir. Bahkan, sekarang dia bisa menyukai hal-hal yang dulu tidak ia minati.

Dua jam kemudian, kelasnya selesai. Fatiha lanjut mengikuti kelas tambahan dan mengerjakan tugas yang menumpuk. Setelah itu baru deh dia mutusin buat pulang.

Di dalam perjalanan pulang, ia melihat seorang nenek yang kelihatan kesusahan membawa barang-barangnya. Fatiha langsung menghampiri dan menawarkan bantuan.

“Nenek, mau saya bantu?” ucapnya. 

Awalnya nenek itu menolak seraya tersenyum, namun Fatiha tetep ngotot untuk membantunya dengan nada sopan. Akhirnya nenek tersebut mengalah dan mengizinkan Fatiha untuk membantunya. Sepanjang jalan mereka mengobrol santai, sesekali tertawa kecil. Tidak terasa, mereka sudah tiba di rumah sang nenek.

Sebagai tanda terima kasih, nenek tersebut memberikan Fatiha makanan kecil. Awalnya Fatiha menolak, namun karena memang lapar, akhirnya dia terima juga. Setelah pamit, Fatiha merasa sangat bahagia karena sudah bisa membantu orang lain. Dalam hati, dia berdoa semoga Allah juga membantu dirinya jikalau suatu saat dia dalam kesusahan.

Saat melanjutkan perjalanan pulang, matanya tertuju ke sebuah toko roti di sudut jalan. Di papan namanya tertulis “Boulangerie Maison,” yang artinya “Rumah Roti” dalam bahasa Prancis.

Fatiha langsung tersenyum, sudah sangat lama ia tidak mampir ke sana. Begitu masuk, aroma roti dari langsung membuat perutnya keroncongan.

“Wah, wanginya bikin makin laper aja,” gumamnya.

Dia duduk di kursi panjang di pojok ruangan, lalu menikmati roti dan coffee caramel favoritnya sambil menggoyang-goyangkan kaki saking senangnya. Setelah kenyang dan capek mulai terasa, dia pun pulang ke apartemen.

Malamnya, Fatiha menjalani rutinitas seperti biasa sebelum tidur. Nggak lama kemudian, dia pun terlelap, sementara Kota Aachen kembali diselimuti malam dan menunggu pagi berikutnya.


Penulis: Luthfiatil Syaqirah (Magang)

Editor: Zuhra

 

Bagaikan Burung Pipit di Atas Ranting Kering

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Senja merayap, mewarnai langit Lhokseumawe dengan gradasi jingga dan ungu. Di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur, berdiri sebatang pohon tua di sebuah taman kecil. Ranting-rantingnya kering. Namun, di sanalah seekor burung kecil bertengger dengan tenang.

Burung itu bernama Burung Pipit. Ia sangat menyukai waktu senja, saat langit berubah warna dan kota mulai menyala dengan lampu-lampu. Ia merasa damai ketika bertengger di ranting keringnya, memandang dunia dengan mata bulatnya yang jernih.

Ranting kering itu adalah tempat favorit Burung Pipit. Di sanalah ia beristirahat setelah seharian mencari makan, berlindung dari panasnya matahari, dan menikmati indahnya senja. Ranting itu memang tidak seindah dahan-dahan hijau yang penuh daun, tetapi bagi si Burung Pipit, ranting itu adalah tempat yang istimewa.

Suatu sore, saat senja sedang beranjak turun, datanglah seorang anak kecil. Anak itu menatap Burung Pipit dengan kagum.

“Burung kecil yang cantik,” bisiknya.

Burung Pipit merasa senang dipuji. Ia pun berkicau dengan riang, seolah menyapa anak itu.

Anak itu tersenyum. Ia mengambil sepotong roti dari sakunya dan memberikannya kepada Burung Pipit. Burung Pipit menerima roti itu dengan senang hati. Ia memakannya dengan lahap sambil terus berkicau. Si Pipit merasa bahagia, ia telah menemukan teman baru.

Sejak hari itu, setiap sore anak kecil itu selalu datang ke taman untuk menemui Burung Pipit. Mereka bermain bersama, berbagi cerita, dan menikmati indahnya senja. Burung Pipit dan anak kecil itu menjadi sahabat baik. Mereka saling menyayangi dan saling menghibur.


Penulis: Muhammad Iftal (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah

Senja di Balik Jendela

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Di sebuah kamar di rumah sakit dengan jendela besar yang menghadap ke arah matahari terbenam. Anasera Putri Zaleora, seorang gadis yang sedang berjuang melawan penyakit kronis yakni gagal ginjal. Sera terbaring lemah di ranjang rumah sakit sembari menatap senja melalui jendela ruang rawatnya. Ia merasa hidupnya semakin hari semakin suram.

"Sampai kapan aku mau gini terus? Apa masih ada harapan untuk aku sembuh dari penyakit ini?" ucap Sera dengan suara lirih sembari menarik nafas panjang layaknya orang yang kelelahan. 

Ia selalu mengulang kalimat itu setiap harinya. Gadis itu merasa hidupnya sudah sangat berantakan, dimulai dari kedua orang tuanya yang bercerai dan tidak lagi mempedulikannya, hingga kini penyakit yang dialaminya. Ia merasa bahwa semesta tidak menginginkan nya untuk bahagia. 

Sera larut dalam lamunannya sehingga ia dikejutkan dengan suara decitan pintu yang terbuka perlahan. Sebuah tubuh tegap menghampirinya. Karel Liano Aditama, sahabat yang selalu ada dalam setiap perjuangan yang dilalui Sera. Karel memasuki ruangan dengan senyum yang merekah dengan membawa sebuket bunga matahari, bunga kesukaan Sera. 

"Hai, Ser! Lihat aku bawa apa buat kamu." Karel memberikan bunga itu kepada Sera. 

Sera tersenyum tipis "Rel... makasih, ya. Kamu selalu ada buat aku."

"Harus, dong, Ser. Kita kan sahabat." ucap Karel dengan senyuman. 

"Ser, kok mukanya murung gitu? Ada yang sakit?"

Sera menatap ke luar jendela. "Senja lagi indah, yaa. Tapi aku nggak tau kapan aku bisa nikmatin senja tanpa mikirin apapun," ucapan Sera terdengar getir meski ia mencoba nya untuk tetap tersenyum. 

Karel mendekat dan duduk di kursi samping ranjang Sera. "Hei, jangan ngomong gitu. Kamu pasti bisa lewatin ini semua. Kamu pasti sembuh," ucap Karel sembari menggenggam tangan Sera. 

"Oh, iya. Dokter ada bilang apa hari ini?" tanya Karel. 

Sera menghela nafas pelan. "Sama aja. Harus sabar, harus kuat... Tapi aku udah capek Rel, capek banget."

Gadis itu sudah begitu muak dengan tempat yang didudukinya saat ini. Melihat mesin cuci darah, bau obat yang menyengat seolah sudah menjadi sahabat nya sehari-hari. 

Karel menatap mata gadis itu, terlihat begitu lelah dan putus asa. 

"Oh, iya, Ser. Gimana kalau kita ke taman aja?" Pria itu terus mencoba untuk membuat sahabatnya tersenyum. Setidaknya untuk melupakan sejenak rasa sakit yang dialami gadis itu. 

"Boleh deh! Aku juga bosen." 

Karel membawa gadis itu ke taman kecil di dekat rumah sakit. Sera merasa sangat senang karena dapat menghirup udara segar di luar kamar rumah sakit. 

Karel menjauh beberapa langkah dengan menggenggam kamera ditangannya. 

"Ser, senyum lihat sini."

Karel menunjukkan hasil fotonya kepada Sera. "Lihat deh! Cantik." 

"Lihat itu juga Ser, bunganya banyak yang lagi mekar, dan bunga yang itu mirip kamu, cerah dan indah," ucap Karel sembari menunjuk ke arah bunga yang ia maksud. 

Sera tertawa kecil "Bisa aja kamu. Tapi makasih, ya, Rel. Setidaknya aku masih punya sedikit harapan karena kamu."

"Nah, gitu, dong! Jangan lupa, kamu itu ibarat matahari, kalau kamu redup, orang di sekitar kamu juga ikut gelap. Jadi, nggak boleh putus asa, harus selalu semangat. Ingat, aku selalu ada buat kamu," ucap Karel dengan senyum tulus sembari mengusap pucuk kepala Sera. 

"Sekali lagi makasih, ya, Rel. Aku beruntung punya kamu." Sera menatap Karel dengan mata berkaca-kaca dan menyandarkan kepalanya di bahu Karel. 

"Kita sama-sama beruntung. Sekarang, coba lihat senjanya. Siapa tau, besok kita bisa lihat senja bareng di pantai." ucap Karel dengan menggenggam erat tangan Sera.

Setiap ucapan yang Karel lontarkan seolah menjadi harapan baru yang membuat Sera menyadari bahwa hidupnya masih indah dan berharga. 

Sera dan Karel terus menikmati senja bersama di taman rumah sakit. Mereka saling menggenggam untuk menguatkan dan memberikan harapan satu sama lain.


Penulis: Julia Sabela (Magang)

Editor: Zuhra

 

27 Oktober 2025

Roti dan Hujan

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Pagi itu, hujan turun cukup deras. Kahfa, seorang anak laki-laki, duduk di teras rumah sambil memandangi tetesan air yang jatuh dari atap. Ia melihat sekeliling—sawah yang masih hijau dan sawah lain yang sedang disiapkan untuk panen.

Meski masih pagi, suara-suara kehidupan di desa mulai terdengar: gemercik air, ayam berkokok, Pak Tani yang berjalan menuju sawah, serta burung-burung yang berkicauan riang.

Kahfa tiba-tiba teringat roti yang kemarin diberikan ibunya. Ia segera mengambil roti itu dari kamar, lalu kembali duduk di teras untuk menikmatinya. Hari ini, ia hanya ingin menikmati roti itu sambil melihat hujan.

Di tengah kenikmatan sederhana itu, datanglah seorang petani yang tampak sangat lesu, langkahnya gontai, dan wajahnya muram.

Kahfa bertanya pelan, “Paman, apakah Paman sudah makan?”

Petani itu hanya menggeleng dengan wajah sedih. Seketika Kahfa teringat pesan ibunya, “Jika bertemu orang yang membutuhkan, jangan pernah ragu untuk berbagi.”

Tanpa pikir panjang, Kahfa mengambil potongan roti terakhir dari bungkusnya dan memberikannya kepada petani itu.

Petani itu menerima dengan senyum dan mengucapkan terima kasih. Tak lama kemudian, hujan berhenti. Sinar matahari perlahan menembus awan, menampilkan pelangi di langit.

Kahfa tersenyum. Ia menyadari bahwa dalam kesederhanaan hidup pun, selalu ada kebahagiaan yang bisa ditemukan. Bahagia bisa datang dari roti yang manis, hujan yang menyejukkan, atau dari berbagi dengan sesama.

Kahfa akhirnya memutuskan untuk tetap di rumah saja. Ia melanjutkan harinya dengan menikmati suasana setelah hujan. Ia tidak perlu pergi ke mana pun untuk mencari kebahagiaan karena kebahagiaan itu sudah ada di depan matanya, dalam kesederhanaan hidupnya sendiri.

 

Penulis: Lutfhiatil Syaqirah (Magang)

Editor: Putri Ruqaiyah 

24 Oktober 2025

Masih Sama, tapi Tak Bersama

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Sore itu kami duduk dibangku taman, ditemani cahaya mentari sore yang menghamburkan hamburan rayleigh. Angin membelai pelan, membawa hangatnya udara sore ini. Sudah lama kami tak saling berbicara, tapi setiap kali bertemu, seolah waktu berhenti sesaat.

“Aku masih suka tempat ini,” katanya pelan, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Aku tersenyum tipis. “Tempat ini memang gak pernah berubah. Mungkin cuma kita yang berubah,” pelanku di kalimat akhir yang kuucapkan.

Dia terkekeh singkat, tapi sorot matanya sendu. “Kamu pernah kepikiran gak, gimana kalau waktu itu kita gak memutuskan untuk saling melepas?”

Aku menatap dedaunan kering yang jatuh satu-persatu. “Sering," aku menjeda ucapanku. "Tapi mungkin kita nggak akan jadi seperti sekarang. Kadang, cinta itu kayak pasir di laut, semakin kuat kita genggam, semakin berantakan pasirnya. Iya, kan?” Aku menoleh ke arahnya.

Dia mengangguk pelan seolah menyetujui ucapanku. “Jadi, kamu beneran gak nyesel?” Aku tersenyum, meski ada rasa aneh yang sedikit mengganjal di dada. “Gak. Karena sekarang aku masih bisa duduk di sini sama kamu, tanpa harus mencari alasan apa pun.”

Hening menyelimuti kami. Tak ada yang perlu diperjelas, tak perlu juga mengulang masa lalu. Kami tahu, cinta itu masih ada, masih sama besarnya, tapi kini tanpa tuntutan.

Sebelum pergi, dia berbisik, “Kamu tahu, rasaku masih sama.” Aku menatapnya, menahan kata-kata yang sebenarnya ingin terucap. “Aku juga. Tapi... gak selalu artinya harus bersama, kan?” Dia tersenyum, lalu berbalik pergi. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa kehilangan.

Langit sore itu terasa luas, mungkin karena akhirnya kami paham, bahwa cinta tak harus bersama, cukup dikenang dengan tenang.


Penulis: Chalisa Najla Safira (Magang)

Editor: Tiara Khalisna

 

Kejadian Buruk Menghantarkanku pada Takdir yang Indah

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Suatu hari di waktu pagi, aku duduk di depan meja belajar sambil merenung. Tertegun melihat diriku yang sudah sampai di masa ini. Masa di mana posisiku sebagai mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, yang mana jurusan tersebut sangat berhubungan dengan jurusan yang kuambil dulu saat SMA, yaitu IPS. Semua ini terjadi melalui kejadian yang tanpa direncanakan. Aku pun bingung dan bertanya-tanya, “Apakah ini sebuah kebetulan?”

Waktu itu tak pernah terpikir di benakku untuk mengambil Jurusan Soshum. Yang penting bagiku adalah sekolah, belajar yang rajin, dan bisa ikut kegiatan positif. Saat masa pendaftaran peserta didik baru tiba, aku mulai mencari informasi dan mataku tertuju pada sebuah brosur bertuliskan “Kelas Intensif (Unggul).” Setelah kubaca, akhirnya aku tertarik karena di dalamnya ada kegiatan tambahan seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, tahfiz, dan juga teknik informatika. Ayahku pun mendaftarkanku agar bisa menjadi siswa intensif. Aku sangat senang. Namun, ironisnya aku terlalu menyepelekan yang namanya jurusan. Padahal, jurusan itu sangat menentukan kita mau jadi apa ke depan.

Akhirnya aku menjadi siswa intensif yang mau tidak mau jurusannya ditentukan oleh pihak sekolah, yaitu MIA (IPA). Selama aku mengikuti pembelajaran di kelas tersebut, aku masih baik-baik saja. Namun, setelah pulang dari sekolah, tubuhku sangat lelah dan kehilangan energi karena padatnya kegiatan. Aku memutuskan untuk istirahat sebentar, tetapi setelah bangun tubuhku tetap terasa lemas. Walaupun begitu, aku tetap menjalankan tanggung jawabku sebagai siswa untuk hadir ke sekolah.

Sehari – dua hari kemudian aku tetap merasakan hal yang sama. Rasa lelah, jantungku berdebar kencang, dan rasa sakit seperti nyeri menggerogoti tubuhku hingga akhirnya aku hanya bisa terbaring lemah di atas kasur, bagaikan ikan yang terkapar di pinggir laut.

Melihat keadaanku, orang tuaku tak tega. Ibuku menghampiriku dan berkata, “Nak, ibu melihatmu sepertinya tak sanggup lagi ikut kelas intensif seperti itu, lebih baik kamu keluar saja. Bukannya ibu melarang, tapi ibu tak tega melihatmu seperti ini setiap hari.”

Lalu ayahku menimpali, “Iya, Nak, betul itu. Ambil saja kelas reguler agar kamu tidak terlalu banyak kegiatan, sehingga bisa cepat pulang.”

Mendengar perkataan mereka, akhirnya aku menuruti. Keesokan harinya aku akan dipindahkan ke kelas reguler. Tapi sebelum itu, guruku sempat bertanya,

“Mengapa kamu mau pindah kelas?”

Aku menjawab pelan, “Tidak sanggup lagi, Pak, saya kecapekan.”

Setelah melalui proses, akhirnya aku resmi menjadi siswa reguler. Uniknya, kelas itu belum memiliki penentuan jurusan, sehingga kami harus melalui masa matrikulasi terlebih dahulu — semacam pembekalan mengenai bidang studi pilihan. Saat menjalani masa itu, aku mulai mencari tahu siapa diriku, apa yang kusukai, dan apa yang sesuai denganku.

Aku mencoba tes minat dan bakat di aplikasi ponselku, dan hasilnya menunjukkan bahwa aku lebih condong ke soshum (IPS). Lalu aku bertanya lagi pada diriku sendiri, sebenarnya apa tujuan hidupku. Dan ternyata, aku menemukan jawabannya: aku ingin menjadi orang yang bermanfaat!

Untuk bisa menuju ke sana tentu harus ada ilmunya, apalagi hal itu berkaitan dengan bertemu banyak orang. Akhirnya aku membulatkan tekad untuk masuk jurusan IPS, dan melalui prosesnya hingga akhirnya aku resmi menjadi siswa IPS.

Mengingat masa itu, aku sangat bersyukur. Jika Tuhan tidak membuatku sakit saat itu, mungkin sekarang aku akan kesulitan bertahan di jurusanku, karena tidak ada dasar dari sebelumnya serta tidak berhubungan dengan jurusan yang pertama kali kuambil di SMA.

Yang paling kusukai sekarang adalah aku berada di titik di mana aku bisa berpeluang untuk berkarya dan bermanfaat. Aku percaya bahwa rencana-Nya tidak pernah salah, hanya saja kita belum mengerti maksud Tuhan atas jalan hidup yang sudah ditetapkan-Nya. Dia lebih tahu mana yang kita butuhkan, bukan mana yang kita inginkan.


Penulis: Rizky Ramadhani (Magang)

Editor: Zuhra

21 Oktober 2025

Langkah yang Terhenti

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Aku pernah mengira semua pertemuan punya alasan.

Tapi ternyata, tidak semua perasaan punya tujuan.

Ada cinta yang hadir hanya untuk mengajarkan arti kehilangan, bahkan sebelum memiliki.

Dan mungkin, itulah kami.

Aku mengenalnya di sebuah sekolah dasar mungkin itu sudah terlalu lama untuk dibahas. Dulu, aku hanya menganggapnya teman biasa, teman masa kecil yang asyik, yang memiliki aliran frekuensi yang sama denganku.

Saat kelas 5 SD, dia melanjutkan sekolah di daerah yang berbeda karena mengikuti pekerjaan ayahnya. Di situlah kami tidak pernah bertemu lagi, hingga masa remaja menghampiri sosok bocah kecil ini.

Di masa SMP, dia kembali lagi ke daerah asalnya. Namun, kami hanya bertemu satu atau dua kali saja, dalam pertemuan yang sangat singkat, seperti reuni kecil. Aku sangat bahagia bisa bertemu dengannya lagi setelah lama tidak berkomunikasi.

Masa remaja pun berlanjut. Kami kembali disatukan dalam satu sekolah. Saat itu, perasaanku kembali terasa hangat dan senang karena bisa melihat senyumnya lagi serta lentik matanya yang entah mengapa membuatku damai dengan semua keadaan yang menghampiriku.

Namun, keinginan untuk mendekatinya tidak langsung bisa kulakukan begitu saja di masa itu.

Suatu ketika, kami mulai memasuki masa yang paling ditakuti remaja saat itu masa memilih masa depan yang sudah di depan mata. Aku pun merasa bimbang dengan semua hal tersebut. Dengan ikhtiar yang luar biasa, kami akhirnya diterima di kampus impian masing-masing.

Kebetulan, kami berada di fakultas yang sama. Di sanalah mulai terjalin ikatan pembicaraan yang lebih mendalam mulai dari menanyakan tugas hingga menanyakan kabar satu sama lain.

Waktu terus berjalan. Aku menunggu, entah sampai kapan titik dan sesi yang tepat untuk menyatakan perasaan yang sudah kupendam sejak tiga tahun terakhir ini.

Hari di mana aku ingin jujur ingin mengatakan semuanya tentang perasaan yang kupendam akhirnya tiba tanpa kusadari. Tapi aku sangat mempertimbangkan untuk menyatakannya, karena dialah teman masa kecilku yang masih berteman hingga kini.

Aku takut jika ia tidak bisa menerima perasaan ini, dan segalanya justru berubah.

Hari pun berganti. Dalam hati aku bergumam, “Kalau tidak aku nyatakan perasaan ini, bagaimana aku tahu dia suka atau tidak padaku?”

Sebuah pikiran yang logis, tapi penuh adrenalin.

Malam itu juga aku memberanikan diri merelakan harga diriku untuk mengutarakan perasaan ini kepadanya.

Aku memulai dengan pembuka yang dalam, karena aku yakin perasaanku akan dibalas dengan jawaban seperti yang selama ini kuharapkan.

Namun kenyataannya, perasaanku berbalas dengan alasan yang begitu kuat.

Ujarnya, “Wah, aku nggak bisa melanjutkan cerita ini ke soal perasaan yang lebih dalam. Kamu juga tahu, kan? Kita sudah lama berteman, dan aku sudah menganggap kamu seperti keluarga sendiri—tempat aku cerita tentang suka dan duka. Aku nggak bisa meruntuhkan semua yang sudah aku bangun selama ini. Aku hanya menganggap kamu teman yang baik, yang bisa mengayomi aku menjadi pribadi yang lebih baik juga. Maaf ya, aku nggak bisa membalas perasaan tulus kamu. Mungkin perasaan itu bisa kamu utarakan kepada perempuan yang lebih pantas dan akan bahagia bersamamu.”

Malam terasa runtuh seketika. Tidak sesuai dengan ekspektasi yang sudah kurangkai begitu indah ternyata berbalik dengan kenyataan yang sangat pahit. Tapi aku harus menerima itu.

Mungkin ini bukan akhir dari pelabuhan cintaku yang terbaik.

Di sinilah aku belajar, bahwa mencintai terkadang bukan tentang memiliki, melainkan tentang menjaga agar yang dicintai tetap bahagia, meski bukan bersama kita.

Dan begitulah akhirnya.

Kami menjadi dua orang yang pernah dekat, tapi tak pernah benar-benar bersama.

Aku menyimpan namanya dalam ingatan, bukan karena belum bisa melupakan, tetapi karena aku ingin mengingat bahwa cinta tak selalu harus bersemi untuk berarti.

Kini, setiap kali aku melihatnya dari kejauhan, aku hanya tersenyum.

Ada perih yang tersisa, tapi juga ada damai yang tumbuh perlahan.

Mungkin karena akhirnya aku sadar, beberapa orang memang ditakdirkan hanya untuk singgah bukan untuk menetap.


Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

20 Oktober 2025

Kepergian Orang Baik

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Beberapa tahun lalu, lahirlah seorang laki-laki yang kini sedang terbaring lemah di rumah sakit. Namanya Rahul. Sejak kecil, ia sudah kehilangan ibunya. Ia tinggal bersama ayah dan saudara laki-lakinya yang tidak terpaut jauh usia. Ayah Rahul memiliki saudara laki-laki yang sudah lama menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Hingga akhirnya, Rahul diangkat oleh pamannya dan menjadi anak tunggal dalam keluarga itu.

Rahul tumbuh besar di rumah pamannya dan hidup layaknya anak-anak lain. Ia memiliki segala yang diinginkannya, hidup mewah bersama pamannya yang kini ia panggil “Bapak”. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat berusia sekitar delapan tahun, pamannya bercerai dan menikah lagi dengan perempuan lain. Peristiwa itu membuat Rahul harus memilih: tinggal bersama ibu angkatnya atau pamannya.

Karena masih kecil dan labil, Rahul akhirnya dibawa oleh ibu angkatnya dan hidup bersamanya. Ibu angkatnya bernama Bu Ida. Bersama Bu Ida, Rahul tumbuh menjadi anak yang baik, sederhana, dan penuh kasih sayang.

Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Rahul pun dewasa dan menikah dengan seorang perempuan sederhana yang dikenalnya di tempat kerja. Mereka hidup bahagia, meskipun tidak dikaruniai anak. Rahul sering merasa sepi, tetapi ia tetap bersyukur karena memiliki istri yang setia mendampinginya.

Dalam kesendiriannya, Rahul sempat merasa putus asa. Namun, ia selalu mengingat bahwa di balik setiap ujian, Allah telah menyiapkan hikmah yang indah di masa depan. Tahun demi tahun berlalu, hidup Rahul tetap sederhana. Hingga akhirnya, pada Kamis, 16 Oktober 2025, Rahul menghembuskan napas terakhirnya.

Istrinya, Almira, yang sejak kemarin bolak-balik ke rumah sakit, menangis histeris saat melihat jenazah suaminya terbujur kaku. Semua kenangan mereka terlintas di benaknya — kebersamaan tanpa anak, tapi penuh cinta dan kesetiaan. Seketika, Almira pingsan di lorong rumah sakit dan segera dibantu oleh keluarganya.

Beberapa hari kemudian, tepat pada hari ketujuh setelah kepergian Rahul, datanglah seorang laki-laki ke rumah mereka. Pakaian laki-laki itu lusuh dan acak-acakan, suaranya lirih, hampir tak terdengar. Almira mempersilakan laki-laki itu masuk. Saat duduk di ruang tamu, air mata laki-laki itu mulai menetes. Ia bercerita bahwa ia sangat mengenal almarhum Rahul.

Menurutnya, semasa hidup Rahul adalah orang yang dermawan dan ramah kepada semua orang, bahkan kepada orang gila sekalipun. Rahul sering mentraktir dan menolongnya tanpa pamrih.

Kepergian Rahul membuat banyak orang bersedih. Tidak hanya keluarga, tetapi juga mereka yang pernah merasakan kebaikannya. Almira menangis tersedu saat mendengar kisah itu. Ia memeluk ibunya erat, mengenang setiap kenangan bersama sang suami yang kini hanya bisa ia dengar melalui rekaman audio yang diambil saat di rumah sakit.

Bu Ida, ibu angkat Rahul, juga sangat berduka. Ia menyesal karena terlalu sibuk hingga jarang menghabiskan waktu bersama anak angkatnya. Untuk menebus rasa bersalahnya, Bu Ida akhirnya memberikan hadiah tiket umrah kepada Almira, yang rencananya akan berangkat pada bulan November nanti.

“Terima kasih, ya Allah.

Engkau telah mengambil separuh hidupku,

tetapi Engkau juga memberikan banyak hal yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Terima kasih, ya Allah,” ucap Almira dalam doanya.


Penulis: Lutfhiyatil Syaqirah (Magang)

Bersyukur Kunci dari Semuanya

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com- Di sebuah desa hiduplah sepasang keluarga yang amat bahagia. Mereka hidup sederhana, namun selalu penuh tawa.

“Ibuuu!” tiba-tiba suara terdengar dari kejauhan sehingga membuat seorang ibu yang sedang fokus mencuci menoleh.

“Kenapa, Nak?” tanya ibu anak itu.

“Ibu, lihat nilai aku! Aku mendapatkan peringkat satu, Bu!” ujarnya dengan sangat bersemangat.

“Huk huk huk…” terdengar suara batuk seseorang. Ternyata itu adalah suara ayahnya.

“Kenapa ini teriak-teriak, Aisyah?” tanya ayahnya dengan bingung.

“Aku dapat peringkat satu, Ayah,” ujar Aisyah.

“Alhamdulillah,” ucap ayahnya sambil menepuk pundaknya.

“Ya sudah, kamu masuk, mandi, dan langsung salat,” ujar ibunya.

“Baik, Bu.”

Sesampainya di kamar, Aisyah langsung mandi dan bergegas untuk salat. Seusai salat, ia melantunkan doanya,

“Ya Allah, terima kasih atas segala anugerah yang Engkau berikan. Terima kasih Engkau telah memberikan keluarga yang sempurna kepada hamba ini. Tapi ya Allah, Aisyah bingung… bagaimana Aisyah harus mengatakan sesuatu yang mungkin akan memberatkan orang tua Aisyah.”

Air mata terus mengalir dan membasahi pipinya.

Ternyata setelah pengumuman peringkat, ada juga pengumuman tentang acara perpisahan sekolah. Sejak saat itu, Aisyah termenung hingga lupa bahwa dirinya baru saja meraih peringkat pertama. Namun, ketika tiba di rumah, ia tetap berusaha tegar dan seolah-olah tidak terjadi apa pun.

“Assalamualaikum, Aisyah.”

Ia segera mengusap air matanya. Ternyata itu ibunya yang masuk.

“Waalaikumsalam, Bu. Masuk,” jawab Aisyah sambil melipat mukenanya.

“Kenapa, Bu?” tanya Aisyah dengan kebingungan, karena ibunya jarang sekali masuk ke kamarnya.

“Tidak, Ibu hanya ingin bertanya. Ini kan kalian sudah tamat, apakah di sekolah sudah diinformasikan tentang acara perpisahan, Aisyah?” tanya ibunya dengan lembut.

“Sebenernya…” Aisyah terdiam dan tampak gemetar. “Sebenarnya sudah, Bu. Cuma… untuk acara perpisahannya agak mahal, Bu. Kalau Aisyah nggak ikut juga nggak apa-apa kok. Lagian ribet, Bu, nanti harus pakai baju ini itu,” ujarnya dengan nada meyakinkan ibunya.

“Tidak. Pokoknya kamu tetap harus ikut acara itu. Nanti pasti akan Ibu usahakan. Jangan pikirkan Ibu atau Ayah, Nak. Tugas kami hanya memenuhi kebutuhanmu,” ujar ibunya tegas namun lembut.

Keesokan harinya tiba — hari pengumpulan uang untuk acara perpisahan.

“Bagaimana ini? Aku harus bilang apa?” bisik hati Aisyah.

“Jadi, hari ini kita akan mengumpulkan uang dan menentukan baju yang akan dipakai untuk acara perpisahan,” ujar Bu Guru.

“Baik, Bu,” jawab para siswa serentak.

Guru pun mulai mengutip uang dari setiap siswa. Saat giliran Aisyah, ia terdiam.

“Maaf, Bu… Aisyah belum punya uang,” ujarnya sambil menunduk.

“Oh, tidak apa-apa. Besok juga boleh, Aisyah,” jawab Bu Guru dengan lembut.

“Oh iya, makasih, Bu,” sahutnya pelan.

“Baiklah, anak-anak. Untuk acara perpisahan nanti, kita akan memakai baju putih, ya. Pastikan semua hadir!” ujar Bu Guru.

“Baik, Buk!” jawab semua murid bersamaan.

Aisyah pun pulang sambil termenung. “Di mana aku harus mendapatkan baju putih itu?” gumamnya dalam hati.

Sesampainya di rumah, ia memanggil ibunya.

“Ibu, Ibu!”

“Iya, Nak, Ibu di dapur,” sahut ibunya.

“Ibu, besok saat perpisahan kami harus pakai baju putih, tapi Aisyah nggak punya baju putih, Bu,” ujarnya lesu.

“Tenang saja, Nak. Tidak usah dipikirkan. Ibu pasti akan usahakan. Sekarang kamu mandi dulu, habis itu makan, ya,” ujar ibunya lembut.

Malam pun tiba. Saat Aisyah tertidur lelap, ibunya masih terjaga, memikirkan bagaimana cara mendapatkan baju putih untuk putrinya. Sambil menatap gorden lusuh yang tertiup angin, ia bergumam, “Apa saya jahit gorden ini saja, ya?”

Tanpa pikir panjang, ia melepas gorden itu dan mulai menjahitnya hingga pagi tiba.

Ketika Aisyah bangun, ia terkejut melihat baju putih yang tergantung di hanger.

“Ibu, ini baju siapa?” tanyanya.

“Itu baju kamu, Nak. Tadi malam Ibu menjahitnya dari kain gorden kita. Maaf ya, kalau tidak sebagus yang kamu inginkan,” ucap ibunya penuh rasa khawatir.

“Tidak, Bu! Ini sudah sangat bagus. Aisyah suka sekali. Terima kasih, Bu,” ujarnya sambil memeluk ibunya.

Dengan semangat, Aisyah mengenakan baju itu dan berangkat ke sekolah.

Sesampainya di sana, halaman sekolah sudah dipenuhi siswa-siswi. Ia datang bersama ibunya, karena ayahnya sedang sakit dan tidak bisa ikut. Seusai acara, diadakan sesi foto bersama.

“Wah, semua bajunya bagus-bagus ya hari ini,” batin Aisyah. Namun, ia tidak merasa malu.

“Aku tidak malu memakai baju ini. Ini malah sangat bagus, karena dijahit dengan penuh cinta dan kasih sayang ibuku. Aku sangat bersyukur,” ucapnya dalam hati.

Seusai acara, mereka pun pulang. Ibu Aisyah sangat bangga padanya, karena Aisyah pulang sambil membawa banyak penghargaan.


Penulis: Intan Sarifah (Magang)
 

19 Oktober 2025

Tidak Konsisten

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com- Suara alarm terdengar begitu keras hingga membuat tidur Intan terganggu. Ia masih sangat mengantuk dan terlelap, namun dengan menahan rasa kantuk yang luar biasa, ia membuka kedua matanya.

“Ya Tuhan!” Intan terkejut ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia pun langsung bergegas mandi, merapikan diri, lalu segera berangkat.

“Pak! Pak!” Ia berusaha mengejar bus yang hampir pergi.
“Ayo cepat!” teriak sopir bus.

Ketika tiba di kampus, ternyata pelajaran sudah dimulai karena jadwalnya dimajukan untuk menyesuaikan dengan kegiatan dosen.

“Permisi, Bu. Apakah saya boleh masuk?” tanya Intan kepada dosen yang sedang menjelaskan.

“Iya, silakan duduk, Intan. Namun, maaf, untuk hari ini kamu tidak saya anggap hadir,” jawab dosen.

“Tapi kenapa, Bu? Saya hanya terlambat sebentar,” sahut Intan.

“Bukan masalah lama atau sebentar. Ibu ingin kamu terbiasa disiplin dan pandai mengatur waktu. Meski kamu terlambat hanya sebentar, itu tetap disebut tidak disiplin. Besok-besok jangan diulang lagi. Sudah bagus Ibu masih izinkan kamu masuk kelas,” ujar dosen dengan tegas.

Seketika Intan terdiam dengan wajah pucat. Padahal, ia biasanya termasuk mahasiswa yang disiplin dan jarang melanggar aturan.

“Baik, anak-anak, sekarang kita lanjutkan lagi materinya,” ucap dosen.

Kelas pun menjadi hening. Dosen melanjutkan penjelasan, sementara Intan masih termenung memikirkan ucapan dosennya tadi. Ia tidak fokus mendengarkan pelajaran.

“Intan, apa kesimpulan dari penjelasan Ibu tadi? Coba kamu bangun dan jelaskan apa yang kamu dengar,” ujar dosen sembari memanggilnya.

Seketika Intan bingung. Ia tidak tahu harus mengatakan apa karena tadi hanya diam termenung di tempat duduknya.

“Intan!” panggil dosen sekali lagi dengan tegas.

“I… iya, Bu. Maaf, Intan tidak bisa menjelaskannya,” jawabnya dengan suara gemetar.

“Kamu sudah terlambat, tidak menyimak pula. Untung kamu masih saya izinkan masuk kelas. Seharusnya kamu mendengarkan dengan baik!” ujar dosen dengan nada marah.

Setelah kelas selesai, dosen pun keluar, sementara Intan masih termenung. Ia berpikir, ada apa denganku hari ini?

“Tan, nggak mau ikut ke kantin?” tanya Nadin sambil berteriak.
“Enggak, kalian duluan aja,” jawab Intan dengan lesu sambil berjalan keluar kelas.

Ketika Nadin kembali ke kelas, ia melihat Intan masih duduk sambil menumpangkan kepalanya di atas meja.
“Eh, Tan, kamu nggak jajan? Kan belum sarapan, kan?” tanya Nadin.
“Udah, nggak apa-apa. Udah biasa,” jawab Intan pelan.

Nadin pun menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Ada apa denganmu hari ini, Tan? Nggak seperti biasanya kamu telat. Habis itu, kamu juga nggak bisa jawab pas dosen nanya,” tanya Nadin heran.

“Ini murni salahku, Nad. Aku semalam begadang nonton drakor sampai larut. Saking serunya episode-nya, aku lupa waktu tidur sampai akhirnya terlambat seperti ini,” jelas Intan.

“Oh, gitu. Tapi kenapa kamu sedih dan nggak semangat? Itu kan salahmu sendiri juga, Tan,” ujar Nadin sambil meniru posisi Intan yang menumpangkan kepala di meja.

“Iya sih, salahku. Cuma aku kepikiran nilainya aja. Terus aku juga pusing, mungkin karena semalam begadang,” jawab Intan dengan suara lemah.

“Makanya, Tan, mulai sekarang utamakan kewajibanmu. Jangan sampai hobi lebih duluan! Kita sebagai mahasiswa harus pandai-pandai mengatur waktu, seperti kata Pak Dicky: ‘Kita harus bisa memanajemen waktu dengan baik.’” ujar Nadin memberi nasihat.

Penulis: Intan Sarifah (Magang)

Hujan Sesaat

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Langit sore itu tampak seperti kanvas abu-abu. Awan menggumpal tebal, menggantung berat di atas atap rumah-rumah kecil di gangku. Udara yang tadi panas mulai berubah menjadi lembap dan sejuk, menandakan hujan sebentar lagi akan datang.

Aku duduk di teras rumah, sendirian, sambil memainkan cangkir teh hangat yang sudah hampir dingin. Sejujurnya, aku menunggu hujan. Bukan karena ingin melihat air turun dari langit, tetapi karena setiap kali hujan turun, rasanya seperti ada sesuatu yang ikut jatuh sesuatu yang selama ini tertahan di dada. Dan sore ini, entah kenapa, perasaan itu terasa lebih berat dari biasanya.

Dulu, setiap kali hujan turun, aku tidak pernah sendiri. Ada seseorang yang selalu datang dengan payung biru dan senyum cerobohnya. Namanya Fahrial.

Kami tumbuh bersama, dari bocah yang bermain petak umpet di halaman, sampai remaja yang sering nongkrong di pos ronda sambil mendengarkan hujan. Dia orangnya ceria, susah diam, dan entah bagaimana selalu tahu cara membuat aku tertawa walau sedang kesal. Tapi waktu berjalan, dan seperti kebanyakan cerita masa kecil, kami akhirnya renggang.

Masalahnya sepele. Cuma soal ulangan. Waktu itu aku minta contekan, tapi dia tidak mau memberi. Aku marah, lalu besoknya tidak mau bicara dengannya. Anak-anak lain malah mengejek kami seperti pasangan yang sedang putus. Tapi bedanya, kami benar-benar tidak berbaikan lagi, sampai akhirnya dia pindah ke luar kota.

Sejak itu, setiap kali hujan turun, aku selalu ingat dia payung birunya, tawanya, bahkan suaranya saat bernyanyi asal-asalan di tengah hujan. Semua masih jelas, meski sudah bertahun-tahun berlalu.

Aku menatap langit yang mulai gelap. Rintik hujan pertama jatuh di tangan, disusul suara gemericik lembut di atap. Satu menit, dua menit, tiga menit… hujan berubah menjadi deras. Aku menarik napas panjang, mencoba menikmati suara hujan yang menenangkan.

Dan di tengah suara itu, aku mendengar langkah kaki. Suara itu mendekat berat, tapi teratur. Lalu terdengar suara seseorang di depan pagar.

“Masih suka duduk di sini tiap hujan, ya?”

Aku menoleh cepat. Di sana berdiri seorang pria dengan jas hujan abu-abu dan payung hitam yang salah satu sisinya sobek. Rambutnya basah, tapi senyumnya tidak berubah sedikit pun.

“Fahrial?” suaraku nyaris bergetar.

Dia nyengir. “Sudah lupa muka aku, ya?”

Aku tertegun. Lima tahun tidak bertemu, dan tiba-tiba dia muncul begitu saja di tengah hujan sore yang entah kenapa terasa begitu pas.

“Aku kira kamu sudah pindah selamanya,” kataku pelan.

Dia menutup payungnya, lalu duduk di kursi sebelahku tanpa basa-basi. “Pindah, sih, iya, tapi tidak selamanya. Lagian, kota sekecil ini susah dilupain apalagi orang-orangnya.”

Aku menghela napas. “Masih suka ngomong ngelantur, ya.”

Dia tertawa kecil. “Masih. Soalnya kalau aku diam, kamu pasti malah mikir aneh-aneh.”

Kami berdua tertawa. Aneh, tapi hangat. Rasanya seperti membuka kembali halaman lama yang selama ini kusimpan rapat-rapat.

Beberapa menit kemudian, suasana hening lagi. Hujan masih turun deras, tapi kini terasa menenangkan. Fahrial memandangi jalan yang mulai tergenang air, lalu berkata pelan,

“Aku sering kepikiran, kamu masih marah nggak sih?”

“Marah?” aku menatapnya. “Nggak, udah lama banget. Aku bahkan lupa kenapa dulu kita bisa berantem.”

Dia tersenyum samar. “Aku nggak lupa. Karena aku nggak mau kasih kamu contekan waktu ulangan IPA.”

Aku tertawa, agak malu. “Serius cuma itu?”

“Iya. Dan aku nyesel waktu kamu beneran nggak mau ngomong lagi sama aku. Aku kira kamu cuma bercanda.”

Aku menunduk, menatap ujung sendalku yang basah. “Aku juga nyesel. Tapi waktu itu kita masih bocah, belum ngerti apa-apa.”

Dia mengangguk. “Iya, dan ternyata butuh lima tahun buat nyadarin aku kalau nggak semua masalah harus ditinggal pergi.”

Aku menatapnya lama. “Dan ternyata butuh hujan sesaat buat bikin kamu balik ke sini.”

Dia tersenyum, kali ini lebih lembut. “Aku udah lama pengen balik, tapi baru sekarang punya cukup keberanian.”

Hujan mulai mereda. Udara jadi lebih dingin, tapi anehnya dadaku justru terasa hangat. Kami tetap duduk di sana, menikmati sisa rintik yang pelan-pelan berhenti.

“Masih ingat nggak waktu kita pernah main hujan bareng di lapangan?” tanyanya tiba-tiba.

Aku tersenyum. “Yang waktu kamu kepleset terus nyungsep di lumpur itu?”

Dia ngakak. “Nah, itu! Aku kira kamu bakal nolongin, eh malah ketawa sampai nangis.”

Aku ikut tertawa, membayangkan kejadian itu. Betapa polosnya kami dulu, betapa mudahnya tertawa tanpa memikirkan apa pun.

Tawa kami pelan-pelan hilang, diganti hening yang nyaman. Hujan benar-benar berhenti, menyisakan langit sore yang mulai oranye di ujung barat. Anak-anak kecil berlarian di luar, menginjak genangan air sambil bersorak-sorai.

Fahrial berdiri, menatap langit. “Kayaknya Aku harus pulang. Udah sore.”

Aku ikut berdiri. “Udah lama nggak lihat kamu, masa baru datang udah pergi.”

Dia menatapku, matanya jernih tapi dalam. “Kadang, Fa, hujan nggak harus lama buat bikin bumi segar lagi. Kadang cuma sebentar, tapi cukup buat nyembuhin apa yang kering.”

Aku terdiam. Kata-katanya menancap di hati seperti suara hujan di malam sepi.

Dia melanjutkan, “Aku nggak tahu besok bakal balik lagi ke kota mana, tapi sore ini… aku cuma pengen nutup hal yang dulu belum sempat.”

Aku tersenyum pelan. “Kamu berhasil.”

Dia membalas senyumku, lalu berjalan pelan menuruni tangga teras. Payung hitamnya kembali terbuka, meski hujan sudah benar-benar berhenti. Langkahnya menjauh, sampai akhirnya hanya tersisa punggungnya dan bayangan panjang di jalan yang masih basah.

Aku duduk lagi, memandangi langit yang perlahan berubah cerah. Dalam hati, aku tahu kadang pertemuan singkat bisa berarti lebih daripada pertemuan panjang yang hampa.

Hujan sore itu memang cuma sesaat, tapi cukup untuk menghapus jarak lima tahun di antara kami.

Dan mungkin, jika hujan berikutnya datang, aku tidak akan duduk sendirian lagi di teras ini.
 

Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

20 Agustus 2025

BISIKAN HATI

Foto: Pexel.com

 www.lpmalkalam.com- 

Semilir angin kurasakan berhembus menerpa wajahku. Ternyata sudah sejauh ini aku bertahan. Tiga tahun telah berlalu setelah kejadian itu. Namaku Maura Sanjaya, biasa dipanggil Ara. Kejadian tiga tahun lalu adalah hal yang paling pilu yang pernah kurasakan. Mengingatnya pun serasa hati ini masih pedih. Saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki bernama Rian Ardiansyah. Ya, nama itu telah mengukir memori indah sekaligus perih dalam hidupku.

Aku dan dia telah menjalin hubungan selama empat tahun. Bersamanya aku merajut masa depan. Dia tak pernah sekalipun mengecewakanku, bahkan selalu membuatku bahagia. Setiap tingkah lakunya yang manis membuatku nyaman berada di dekatnya. Dia bisa memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, ayah, ataupun kekasih. Rasanya aku sangat beruntung memilikinya saat itu. Dia berjanji bahwa suatu saat nanti ia akan meminangku. Hingga pada tiga bulan terakhir sebelum kejadian itu, dia berubah. Bahkan tak menggubrisku sama sekali. Dia yang begitu hangat, mendadak menjadi dingin.

Entah apa yang membuatnya berubah. Ia bahkan menghilang tanpa kabar setelah itu. Hari demi hari aku terpuruk karena kepergiannya. Hidupku terasa sesak. Aku berpikir keras apa salahku. Kucoba hubungi dia berkali-kali, tetapi tetap nihil, tak ada balasan darinya. Hingga suatu hari ia menghubungiku melalui telepon. Hatiku berdegup kencang, rasa rinduku membuncah. Ingin sekali kudengar alasan panjang mengapa ia pergi tanpa kabar. Dalam hati aku berharap bahwa kabar darinya bukanlah kabar buruk, melainkan kabar bahagia.

“Hai, Ara, sudah lama ya kita tidak berkabar,” sapanya dari seberang.

Aku tersenyum meski sudah tak sabar menunggu penjelasannya.

“Hai, Rian, bagaimana kabarmu? Kau tahu, setiap detik aku menunggu kabar darimu.”

“Ara, maafkan aku ya. Rasanya hubungan kita tidak perlu dilanjutkan lagi. Aku dijodohkan oleh orang tuaku dan aku menerima perjodohan itu.”

Duniaku seakan runtuh seketika. Aku terpaku dengan kata-katanya. Bagai petir menyambar, hatiku perih mendengarnya, terlebih karena itu terucap langsung dari mulutnya. Kuterdam sejenak, tak menggubrisnya yang terus memanggilku lewat telepon.

Air mataku mengalir begitu saja. Teringat janji-janji manisnya yang ternyata semu belaka. Kuseka air mataku, berusaha agar suaraku tidak terdengar parau.

“Alasanmu apa, Rian, menerima perjodohan ini?” tanyaku, berharap ia memberi penjelasan.

“Kurasa perasaanku sudah hilang untukmu, Ara. Aku bosan denganmu. Aku juga merasa kita tidak cocok.”

Aku tak bisa berkata-kata. Kututup teleponku. Seketika tubuhku lemas tak berdaya. Pikiranku terus terngiang-ngiang: lalu apa arti dari hubungan empat tahun itu dengan segala kenangannya?

Kuputuskan untuk pergi berziarah ke makam Sunan Ampel. Berharap ada ketenangan jiwa di sana dan membuat perasaanku lebih baik. Sesampai di sana, kuluapkan segala emosi yang kurasakan selama ini. Tangisku pecah tak terbendung. Dalam tangisan itu, terkadang kusalahkan diriku sendiri. Mengapa aku harus bertemu dengan lelaki sepertinya? Mengapa aku harus jatuh cinta? Rasanya tak sanggup aku menahan segala pedih ini.

Cukup lama aku berada di sana, mengutuki diriku yang percaya dengan segala janji manisnya. Sepulang dari sana, entah mengapa hatiku serasa lebih tenang dan lebih ikhlas. Meski aku tahu luka itu butuh waktu untuk sembuh dengan sendirinya. Hari-hari berikutnya kuj jalani dengan lebih tenang dan ikhlas. Aku ikhlas menerima segala yang sudah terjadi. Kupercaya bahwa Allah tahu yang terbaik untukku. Aku yakin Allah berhak membolak-balikkan hati seseorang. Aku rela menerima segala takdir yang telah diberikan.

Di balik setiap ketentuan Allah, pasti ada hikmah. Namun tak bisa kupungkiri, setelah tiga tahun berlalu, aku masih tak bisa membuka hati untuk siapa pun. Saat ini, aku fokus memperbaiki diri. Terkadang aku ingin merasakan cinta sama seperti teman-temanku. Tetapi aku tak ingin memaksakan diriku. Biarlah semua berjalan apa adanya, sambil terus kupanjatkan doa agar Allah memberikanku pengganti yang terbaik menurut-Nya. Aku merasa tak apa lelah menanti, jika kelak orang itu yang akan membuatku bahagia dan menerimaku apa adanya.

Kejadian itu membuatku belajar bahwa tak semua yang kita cintai akan berakhir menjadi milik kita. Cukup cintai sewajarnya, karena jika suatu saat ia pergi, kita sudah tahu bahwa segala sesuatu yang datang pasti akan pergi. Satu lagi kata-kata dari temanku yang tak akan kulupa.

“Tak perlu buru-buru mencari yang baru, karena yang terbaik akan datang dengan sendirinya.”


Penulis: Maulidyatul Khaira

Editor: Putri Ruqaiyah

15 Mei 2025

BOM WAKTU

foto: Pixabay


www.lpmalkalam.com- Ini dongeng tentang sepasang anak manusia yang memiliki bom waktu. Mereka mengasuhnya dengan baik, teliti, dan mengagungkannya bak anugerah terindah bagi mereka. Tapi mereka keliru, yang mereka rawat itu bukanlah anugerah melainkan bom waktu. Ia lahir dari harapan-harapan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka memberi makanan, pakaian, pendidikan yang sedemikian rupa serta tempat berteduh. Namun, bersamaan dengan itu mereka menanggalkan telinga mereka, menutup rapat-rapat mata mereka akan kenyataan bahwa bom waktu itu juga punya perasaan, punya keinginan. Mereka tak pernah benar-benar melihatnya. Tak pernah benar-benar mendengarnya. Mereka selalu membungkam sang bom waktu dengan kata-kata yang terdengar seperti mantra "kami tahu yang terbaik untukmu,"  ataupun "ini demi kebaikanmu." 

Meski begitu, bom waktu itu terus tumbuh. Walau tanpa jati diri, tanpa suara. Seakan ia tidak pernah berhak akan hidupnya. Baginya, akan selalu ada hari dengan bayang-bayang pertanyaan, "untuk apa aku dilahirkan? mengapa aku tetap menjalani hidup ini?" diikuti dengan kesedihan yang segelap lautan, seakan ia hidup dalam gelap malam tak berujung. 

Pernah ia bersuara akan hal sepele "kapan terakhir kali ayah menanyakan warna kesukaan-ku?" manusia yang disebut ayah itu menoleh "bukankah kau menyukai hijau?"  ia tersenyum getir. Tidak, seumur hidupnya ia membenci warna itu, tapi karena jika ia mengatakan warna lain, yang datang hanyalah sindiran atau tatapan kecewa. Maka ia belajar untuk menyukai apa yang mereka sukai. Bukan karena suka, tapi karena takut akan cacian yang akan ia dapatkan karena bersuara. 

Anehnya bom waktu itu tetap tumbuh, meski dengan jiwa yang menyimpan luka. Tidak sekalipun ia meledak, belum tentu jiwanya akan sembuh. Tapi, dentumnya kini terdengar lebih jelas dalam pikirannya. Sebuah pertanyaan terus mengendap "Kapan kalian akan mengerti? Apakah kata maaf sesulit itu untuk diucapkan?" Menghitung detik demi detik hingga dimana bom waktu itu akan berhenti berdetak. Bukan karena akhirnya ia meledak, tapi karena lelah. Diam tak lagi cukup untuk didengar, dan menangis pun tak lagi punya tempat untuk jatuh. Bangunan yang mereka sebut rumah untuk pulang pun sudah lama kehilangan damainya. Dan saat itu tiba, mereka hanya bisa menyesal dan bertanya-tanya, "Mengapa ia tak pernah bicara?" padahal suara itu sudah lama ada, hanya saja tak pernah mereka anggap sebagai kebenaran.


Penulis: Khairatun Naja

Editor: Tiara Khalisna

13 Mei 2025

Perempuan yang Membawa Senja

 

foto: pexels.com

www.lpmalkalam.com- Setiap sore, di jalan berbatu menuju bukit kecil di pinggir desa, tampak sosok perempuan bergaun sederhana membawa sesuatu di pelukannya, seberkas warna jingga yang mengalir dari tangannya ke udara. Anak-anak sering berlari mengikutinya, tertawa-tawa, berusaha menangkap kelopak cahaya yang mengambang di sekitarnya.

Mereka memanggilnya Dara. Bagi penduduk desa, Dara bukan perempuan biasa. Ia datang entah dari mana, dan membawa senja di jemarinya. Setiap langkahnya menaburkan langit merah, setiap helaan napasnya mengalirkan bayang-bayang emas ke sawah dan pepohonan.

Tak ada yang tahu dari mana Dara mendapatkan senja itu. Beberapa orang bilang ia adalah utusan dewa, dikirim untuk mengobati bumi yang mulai lelah. Yang lain berkata, ia hanya perempuan yang patah hati, membawa warna langit untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Namun Dara tidak pernah bicara banyak. Ia hanya tersenyum tipis, matanya memantulkan semburat warna yang berubah-ubah, seakan menyimpan seribu matahari kecil di dalamnya.

Suatu sore, hujan turun tanpa peringatan. Desa menjadi abu-abu. Anak-anak yang biasa mengejar Dara bersembunyi di kolong rumah, sementara para petani menutup ladang dengan tarpal lusuh. Tapi Dara tetap berjalan.

Di bawah hujan, senja di tangannya tidak padam. Warnanya justru menjadi lebih dalam merah darah, jingga pekat, ungu membara. Langit melihat Dara, dan sejenak hujan pun mereda, membiarkan perempuan itu melukis cakrawala sekali lagi.

Sejak hari itu, desa percaya senja bukan hanya tentang matahari yang jatuh. Senja adalah tentang perempuan kecil yang berjalan di antara hujan dan harapan, membawa warna untuk dunia yang nyaris lupa bagaimana caranya bermimpi.

karya: Rahmi Izzati (Rilis)

26 April 2025

Great Mates

Sumber: Unsplash.com


www.lpmalkalam.com- Matahari baru saja terbit ketika Rizza dan Adit bersiap meninggalkan kostan mereka. Mereka tinggal di tempat kostan yang berbeda, Rizza tinggal di sebuah kost-an gang kecil yang tak jauh dari kampus, sementara Adit tinggal di kost-kostan berbentuk ruko di seberang jalan kampus, mereka tetap selalu berangkat bersama.

Saat Rizza hendak berangkat kuliah dan sedang menyeberang jalan, matanya tertuju pada Adit yang masih berada di kosan, yang sedang mencoba menyalakan motornya, namun tak kunjung menyala.

“Oii, Dit!, kenapa? mogok, ya?,” teriak Rizza dari seberang jalan, yang tak jauh dari kost Adit.

Rizza lalu menghampirinya dan Adit menjawab, “Ngambekan lagi nih motorku.”

“Yasudah, bareng aku aja,” ujar Rizza.

Akhirnya, mereka pun berangkat bersama menuju kampus.

Sesampainya di kampus, mereka melihat Dika dan Ilham yang juga baru tiba di area parkir. Mereka saling menyapa hangat dan melakukan tos sebagai bentuk salam persahabatan, lalu bersama-sama berjalan masuk ke ruang kelas untuk mengikuti perkuliahan.

Setelah perkuliahan usai, Rizza dan Adit menuju ruang jurusan untuk mengembalikan infokus.

“Buruan, Dit! Dika sama Ilham udah pada nungguin di kantin Bude!,” seru Rizza sambil memegang pulpen entah dari mana ia dapatkan.

Adit meraih jaketnya. “Iya, iya! Sabar dulu napa,” ujarnya sambil mengikat tali sepatu. Rizza, yang mulai tak sabar, meraih tas di punggung Adit lalu menariknya paksa.

“Lama banget, nih anak. Kalau nggak diseret, nggak jalan-jalan,” gumam Rizza.

“OI OI SABARR!! YA ALLAH…” Teriak Adit disepanjang koridor kampus.

Sementara itu, Dika dan Ilham sudah menunggu di kantin Bude. Mereka memang berbeda latar belakang. Keduanya tinggal di rumah masing-masing yang cukup jauh dari kampus. Tapi perbedaan itu tak pernah menciptakan jarak di antara mereka. Sejak awal semester, keempatnya langsung klop gara-gara 1 kelompok, maka berawal dari situ mereka kuliah bareng, main futsal, nongkrong, sampai saling curhat soal cinta dan hidup.

Kantin Bude sudah menjadi markas tetap mereka. Tempat semua cerita bermula, dari tugas kelompok, drama percintaan, hingga impian masa depan. Kadang mereka sampai terlambat masuk kuliah karena terlalu asyik mengobrol di kantin Bude.

Ketika Rizza dan Adit sampai di kantin, Ilham berkata sambil bercanda, “Waktu habis, pulang Juna!.”

“Lama banget, bro! Udah laper nih,” goda Dika saat melihat dua anak kos itu datang.

“Lho? Tadi dirumah ga makan?,” balas Adit sambil duduk.

“Keburu telat bro, ytta lah ya.” Ucap Dika.

Ilham tertawa. “Tapi anak kost biasanya yang paling tahan banting. Hebat kalian berdua, it’s the best! otok otok otok.”

“Oh iya dong, anak jantannya emak nih!,” jawab Rizza sambil memamerkan ototnya.

Obrolan pun mengalir seperti biasa, diiringi tawa dan candaan. Namun hari itu, suasananya terasa sedikit berbeda. Ada kegelisahan yang menggantung di antara mereka.

“Nanti kalau kita lulus... masih bisa begini nggak, ya?”, tanya Rizza tiba-tiba.

Hening sejenak, pertanyaan itu menyentuh hati setiap orang di meja itu.

“Kita bakal sibuk. Mungkin kerja di kota yang berbeda. Tapi...” Ilham menjawab, “Kalau kita benar-benar sahabat, kita pasti nyempetin ketemu. Teman sejati nggak akan luntur cuma karena jarak.”

Dika mengangguk. “Kita ini bukan cuma teman kampus. Kita ini Great Mates teman main, teman hidup.”

Rizza tersenyum. Ia menatap ketiga sahabatnya dengan penuh rasa syukur. Mereka memang bukan saudara sedarah, tapi ikatan di antara mereka mungkin jauh lebih kuat.

Di kantin kecil itu, di antara deru motor dan aroma nasi goreng, empat sahabat mengikat janji tak tertulis, apa pun yang terjadi, mereka akan tetap bersama.


Sumber: Rilis

Editor: Redaksi

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.