![]() |
Foto: Pixabay.com |
www.lpmalkalam.com- Di sebuah desa hiduplah sepasang keluarga yang amat bahagia. Mereka hidup sederhana, namun selalu penuh tawa.
“Ibuuu!” tiba-tiba suara terdengar dari kejauhan sehingga membuat seorang ibu yang sedang fokus mencuci menoleh.
“Kenapa, Nak?” tanya ibu anak itu.
“Ibu, lihat nilai aku! Aku mendapatkan peringkat satu, Bu!” ujarnya dengan sangat bersemangat.
“Huk huk huk…” terdengar suara batuk seseorang. Ternyata itu adalah suara ayahnya.
“Kenapa ini teriak-teriak, Aisyah?” tanya ayahnya dengan bingung.
“Aku dapat peringkat satu, Ayah,” ujar Aisyah.
“Alhamdulillah,” ucap ayahnya sambil menepuk pundaknya.
“Ya sudah, kamu masuk, mandi, dan langsung salat,” ujar ibunya.
“Baik, Bu.”
Sesampainya di kamar, Aisyah langsung mandi dan bergegas untuk salat. Seusai salat, ia melantunkan doanya,
“Ya Allah, terima kasih atas segala anugerah yang Engkau berikan. Terima kasih Engkau telah memberikan keluarga yang sempurna kepada hamba ini. Tapi ya Allah, Aisyah bingung… bagaimana Aisyah harus mengatakan sesuatu yang mungkin akan memberatkan orang tua Aisyah.”
Air mata terus mengalir dan membasahi pipinya.
Ternyata setelah pengumuman peringkat, ada juga pengumuman tentang acara perpisahan sekolah. Sejak saat itu, Aisyah termenung hingga lupa bahwa dirinya baru saja meraih peringkat pertama. Namun, ketika tiba di rumah, ia tetap berusaha tegar dan seolah-olah tidak terjadi apa pun.
“Assalamualaikum, Aisyah.”
Ia segera mengusap air matanya. Ternyata itu ibunya yang masuk.
“Waalaikumsalam, Bu. Masuk,” jawab Aisyah sambil melipat mukenanya.
“Kenapa, Bu?” tanya Aisyah dengan kebingungan, karena ibunya jarang sekali masuk ke kamarnya.
“Tidak, Ibu hanya ingin bertanya. Ini kan kalian sudah tamat, apakah di sekolah sudah diinformasikan tentang acara perpisahan, Aisyah?” tanya ibunya dengan lembut.
“Sebenernya…” Aisyah terdiam dan tampak gemetar. “Sebenarnya sudah, Bu. Cuma… untuk acara perpisahannya agak mahal, Bu. Kalau Aisyah nggak ikut juga nggak apa-apa kok. Lagian ribet, Bu, nanti harus pakai baju ini itu,” ujarnya dengan nada meyakinkan ibunya.
“Tidak. Pokoknya kamu tetap harus ikut acara itu. Nanti pasti akan Ibu usahakan. Jangan pikirkan Ibu atau Ayah, Nak. Tugas kami hanya memenuhi kebutuhanmu,” ujar ibunya tegas namun lembut.
Keesokan harinya tiba — hari pengumpulan uang untuk acara perpisahan.
“Bagaimana ini? Aku harus bilang apa?” bisik hati Aisyah.
“Jadi, hari ini kita akan mengumpulkan uang dan menentukan baju yang akan dipakai untuk acara perpisahan,” ujar Bu Guru.
“Baik, Bu,” jawab para siswa serentak.
Guru pun mulai mengutip uang dari setiap siswa. Saat giliran Aisyah, ia terdiam.
“Maaf, Bu… Aisyah belum punya uang,” ujarnya sambil menunduk.
“Oh, tidak apa-apa. Besok juga boleh, Aisyah,” jawab Bu Guru dengan lembut.
“Oh iya, makasih, Bu,” sahutnya pelan.
“Baiklah, anak-anak. Untuk acara perpisahan nanti, kita akan memakai baju putih, ya. Pastikan semua hadir!” ujar Bu Guru.
“Baik, Buk!” jawab semua murid bersamaan.
Aisyah pun pulang sambil termenung. “Di mana aku harus mendapatkan baju putih itu?” gumamnya dalam hati.
Sesampainya di rumah, ia memanggil ibunya.
“Ibu, Ibu!”
“Iya, Nak, Ibu di dapur,” sahut ibunya.
“Ibu, besok saat perpisahan kami harus pakai baju putih, tapi Aisyah nggak punya baju putih, Bu,” ujarnya lesu.
“Tenang saja, Nak. Tidak usah dipikirkan. Ibu pasti akan usahakan. Sekarang kamu mandi dulu, habis itu makan, ya,” ujar ibunya lembut.
Malam pun tiba. Saat Aisyah tertidur lelap, ibunya masih terjaga, memikirkan bagaimana cara mendapatkan baju putih untuk putrinya. Sambil menatap gorden lusuh yang tertiup angin, ia bergumam, “Apa saya jahit gorden ini saja, ya?”
Tanpa pikir panjang, ia melepas gorden itu dan mulai menjahitnya hingga pagi tiba.
Ketika Aisyah bangun, ia terkejut melihat baju putih yang tergantung di hanger.
“Ibu, ini baju siapa?” tanyanya.
“Itu baju kamu, Nak. Tadi malam Ibu menjahitnya dari kain gorden kita. Maaf ya, kalau tidak sebagus yang kamu inginkan,” ucap ibunya penuh rasa khawatir.
“Tidak, Bu! Ini sudah sangat bagus. Aisyah suka sekali. Terima kasih, Bu,” ujarnya sambil memeluk ibunya.
Dengan semangat, Aisyah mengenakan baju itu dan berangkat ke sekolah.
Sesampainya di sana, halaman sekolah sudah dipenuhi siswa-siswi. Ia datang bersama ibunya, karena ayahnya sedang sakit dan tidak bisa ikut. Seusai acara, diadakan sesi foto bersama.
“Wah, semua bajunya bagus-bagus ya hari ini,” batin Aisyah. Namun, ia tidak merasa malu.
“Aku tidak malu memakai baju ini. Ini malah sangat bagus, karena dijahit dengan penuh cinta dan kasih sayang ibuku. Aku sangat bersyukur,” ucapnya dalam hati.
Seusai acara, mereka pun pulang. Ibu Aisyah sangat bangga padanya, karena Aisyah pulang sambil membawa banyak penghargaan.
Penulis: Intan Sarifah (Magang)