![]() |
Foto: Pexels.com |
Aku duduk di teras rumah, sendirian, sambil memainkan cangkir teh hangat yang sudah hampir dingin. Sejujurnya, aku menunggu hujan. Bukan karena ingin melihat air turun dari langit, tetapi karena setiap kali hujan turun, rasanya seperti ada sesuatu yang ikut jatuh sesuatu yang selama ini tertahan di dada. Dan sore ini, entah kenapa, perasaan itu terasa lebih berat dari biasanya.
Dulu, setiap kali hujan turun, aku tidak pernah sendiri. Ada seseorang yang selalu datang dengan payung biru dan senyum cerobohnya. Namanya Fahrial.
Kami tumbuh bersama, dari bocah yang bermain petak umpet di halaman, sampai remaja yang sering nongkrong di pos ronda sambil mendengarkan hujan. Dia orangnya ceria, susah diam, dan entah bagaimana selalu tahu cara membuat aku tertawa walau sedang kesal. Tapi waktu berjalan, dan seperti kebanyakan cerita masa kecil, kami akhirnya renggang.
Masalahnya sepele. Cuma soal ulangan. Waktu itu aku minta contekan, tapi dia tidak mau memberi. Aku marah, lalu besoknya tidak mau bicara dengannya. Anak-anak lain malah mengejek kami seperti pasangan yang sedang putus. Tapi bedanya, kami benar-benar tidak berbaikan lagi, sampai akhirnya dia pindah ke luar kota.
Sejak itu, setiap kali hujan turun, aku selalu ingat dia payung birunya, tawanya, bahkan suaranya saat bernyanyi asal-asalan di tengah hujan. Semua masih jelas, meski sudah bertahun-tahun berlalu.
Aku menatap langit yang mulai gelap. Rintik hujan pertama jatuh di tangan, disusul suara gemericik lembut di atap. Satu menit, dua menit, tiga menit… hujan berubah menjadi deras. Aku menarik napas panjang, mencoba menikmati suara hujan yang menenangkan.
Dan di tengah suara itu, aku mendengar langkah kaki. Suara itu mendekat berat, tapi teratur. Lalu terdengar suara seseorang di depan pagar.
“Masih suka duduk di sini tiap hujan, ya?”
Aku menoleh cepat. Di sana berdiri seorang pria dengan jas hujan abu-abu dan payung hitam yang salah satu sisinya sobek. Rambutnya basah, tapi senyumnya tidak berubah sedikit pun.
“Fahrial?” suaraku nyaris bergetar.
Dia nyengir. “Sudah lupa muka aku, ya?”
Aku tertegun. Lima tahun tidak bertemu, dan tiba-tiba dia muncul begitu saja di tengah hujan sore yang entah kenapa terasa begitu pas.
“Aku kira kamu sudah pindah selamanya,” kataku pelan.
Dia menutup payungnya, lalu duduk di kursi sebelahku tanpa basa-basi. “Pindah, sih, iya, tapi tidak selamanya. Lagian, kota sekecil ini susah dilupain apalagi orang-orangnya.”
Aku menghela napas. “Masih suka ngomong ngelantur, ya.”
Dia tertawa kecil. “Masih. Soalnya kalau aku diam, kamu pasti malah mikir aneh-aneh.”
Kami berdua tertawa. Aneh, tapi hangat. Rasanya seperti membuka kembali halaman lama yang selama ini kusimpan rapat-rapat.
Beberapa menit kemudian, suasana hening lagi. Hujan masih turun deras, tapi kini terasa menenangkan. Fahrial memandangi jalan yang mulai tergenang air, lalu berkata pelan,
“Aku sering kepikiran, kamu masih marah nggak sih?”
“Marah?” aku menatapnya. “Nggak, udah lama banget. Aku bahkan lupa kenapa dulu kita bisa berantem.”
Dia tersenyum samar. “Aku nggak lupa. Karena aku nggak mau kasih kamu contekan waktu ulangan IPA.”
Aku tertawa, agak malu. “Serius cuma itu?”
“Iya. Dan aku nyesel waktu kamu beneran nggak mau ngomong lagi sama aku. Aku kira kamu cuma bercanda.”
Aku menunduk, menatap ujung sendalku yang basah. “Aku juga nyesel. Tapi waktu itu kita masih bocah, belum ngerti apa-apa.”
Dia mengangguk. “Iya, dan ternyata butuh lima tahun buat nyadarin aku kalau nggak semua masalah harus ditinggal pergi.”
Aku menatapnya lama. “Dan ternyata butuh hujan sesaat buat bikin kamu balik ke sini.”
Dia tersenyum, kali ini lebih lembut. “Aku udah lama pengen balik, tapi baru sekarang punya cukup keberanian.”
Hujan mulai mereda. Udara jadi lebih dingin, tapi anehnya dadaku justru terasa hangat. Kami tetap duduk di sana, menikmati sisa rintik yang pelan-pelan berhenti.
“Masih ingat nggak waktu kita pernah main hujan bareng di lapangan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku tersenyum. “Yang waktu kamu kepleset terus nyungsep di lumpur itu?”
Dia ngakak. “Nah, itu! Aku kira kamu bakal nolongin, eh malah ketawa sampai nangis.”
Aku ikut tertawa, membayangkan kejadian itu. Betapa polosnya kami dulu, betapa mudahnya tertawa tanpa memikirkan apa pun.
Tawa kami pelan-pelan hilang, diganti hening yang nyaman. Hujan benar-benar berhenti, menyisakan langit sore yang mulai oranye di ujung barat. Anak-anak kecil berlarian di luar, menginjak genangan air sambil bersorak-sorai.
Fahrial berdiri, menatap langit. “Kayaknya Aku harus pulang. Udah sore.”
Aku ikut berdiri. “Udah lama nggak lihat kamu, masa baru datang udah pergi.”
Dia menatapku, matanya jernih tapi dalam. “Kadang, Fa, hujan nggak harus lama buat bikin bumi segar lagi. Kadang cuma sebentar, tapi cukup buat nyembuhin apa yang kering.”
Aku terdiam. Kata-katanya menancap di hati seperti suara hujan di malam sepi.
Dia melanjutkan, “Aku nggak tahu besok bakal balik lagi ke kota mana, tapi sore ini… aku cuma pengen nutup hal yang dulu belum sempat.”
Aku tersenyum pelan. “Kamu berhasil.”
Dia membalas senyumku, lalu berjalan pelan menuruni tangga teras. Payung hitamnya kembali terbuka, meski hujan sudah benar-benar berhenti. Langkahnya menjauh, sampai akhirnya hanya tersisa punggungnya dan bayangan panjang di jalan yang masih basah.
Aku duduk lagi, memandangi langit yang perlahan berubah cerah. Dalam hati, aku tahu kadang pertemuan singkat bisa berarti lebih daripada pertemuan panjang yang hampa.
Hujan sore itu memang cuma sesaat, tapi cukup untuk menghapus jarak lima tahun di antara kami.
Penulis: Daffa Alkausar (Magang)