Portal Berita Al-Kalam

Rektor UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Gelar Zikir dan Pembacaaan Al-Quran Bersama dalam Rangka Merayakan Milad ke-56

Foto: Muhammad Alif Maulana www.lpmalkalam.com-  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menggelar kegiatan zi...

HEADLINE

Latest Post

10 Juni 2025

#JusticeForArgo - Ketika Hukum Membungkuk di Hadapan Privilege

 

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Peristiwa tragis yang menimpa Argo Ericko Achfandi, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), tidak bisa dianggap sekadar kecelakaan lalu lintas biasa. Kasus ini mencerminkan bagaimana ketidakadilan masih hidup di tengah masyarakat kita, terutama ketika kekuasaan dan pengaruh ikut bermain dalam proses penegakan hukum. Argo adalah mahasiswa muda yang cerdas, berasal dari keluarga sederhana, dan dikenal memiliki banyak prestasi akademik. Namun, hidupnya berakhir tragis setelah ditabrak mobil BMW yang dikendarai oleh Christiano Tarigan, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis di UGM yang merupakan anak dari petinggi perusahaan besar.

Setelah kejadian itu, publik dikecewakan oleh lambannya penanganan hukum. Meski pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka, ia tidak langsung ditahan. Bahkan, muncul rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa pelat nomor mobil sempat diganti secara diam-diam saat berada di kantor polisi. Tindakan tersebut semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

Suara publik pun menggema di media sosial. Tagar #JusticeForArgo menjadi trending dan dipenuhi oleh protes serta seruan keadilan. Salah satu unggahan dari akun @craven** menunjukkan gambar pelaku dengan tulisan “Awas! Pembunuh!” sebagai bentuk kemarahan atas ketidakjelasan proses hukum. Sementara itu, akun @pxx* mengunggah doa penuh haru untuk Argo, yang menunjukkan betapa besarnya empati dan solidaritas dari masyarakat.

Latar belakang Argo yang berasal dari keluarga kurang mampu menambah kepedihan cerita ini. Ayahnya telah meninggal, dan ibunya menghidupi keluarga dengan berjualan kue. Argo adalah harapan keluarga, pemuda yang ingin menjadi pengacara korporat demi mengubah nasib. Kini, harapan itu sirna bukan hanya karena kelalaian, tetapi karena sistem hukum yang lemah di hadapan kekuasaan.

Kita harus bertanya secara jujur, apakah hukum masih mampu berdiri tegak di hadapan orang-orang yang memiliki jabatan dan uang? Sampai kapan hukum hanya berlaku keras untuk mereka yang lemah dan tunduk pada mereka yang kuat? Keadilan seharusnya menjadi hak semua warga negara, bukan hak istimewa yang hanya bisa dibeli oleh segelintir orang.

Jika hukum tidak mampu memberikan keadilan bagi Argo, maka ini bukan sekadar kegagalan prosedur, melainkan kegagalan moral. Sebuah bangsa yang membiarkan hukum tunduk pada kekuasaan adalah bangsa yang sedang kehilangan jiwanya. Kita semua punya tanggung jawab untuk terus menyuarakan keadilan agar tragedi seperti ini tidak terulang lagi.


Penulis: Putri Ruqaiyah
Editor: Tiara Khalisna

09 Juni 2025

Raja Ampat Digusur: Ketika Surga Dikorbankan Demi Rakusnya Beton dan Investor

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Penggusuran kawasan adat dan pesisir di Raja Ampat atas nama pembangunan merupakan tamparan keras bagi akal sehat dan nurani. Di negara yang kerap membanggakan kekayaan alamnya ke seluruh dunia, justru masyarakat asli yang menjaga tanah itu turun-temurun malah dipaksa pergi, seolah-olah mereka tidak punya hak atas ruang hidup sendiri. Ironisnya, semua ini dibungkus rapi dengan label kemajuan dan kesejahteraan.

Raja Ampat bukan hanya tempat wisata yang indah di mata dunia. Ia adalah tanah kelahiran, tempat berteduh, dan ruang hidup masyarakat adat yang menjaganya dengan nilai-nilai luhur. Tapi hari ini, mereka yang menjaga alam justru dituding sebagai penghambat, sementara pihak luar yang membawa proyek beton dan infrastruktur dianggap pahlawan pembangunan.

Situasi ini menyisakan pertanyaan besar. Siapa sebenarnya yang menikmati hasil dari pembangunan tersebut? Apakah warga lokal yang terusir dan kehilangan ruang hidup atau para pemodal besar yang membangun resor mewah di atas tanah yang bukan milik mereka, lalu menjual keindahan alam untuk keuntungan pribadi?

Lebih menyakitkan lagi, negara yang seharusnya melindungi hak rakyat justru terlihat lebih sibuk melayani kepentingan investor. Hukum adat diabaikan, suara masyarakat dibungkam, dan warisan budaya dianggap tidak lebih penting dari selembar izin proyek.

Jika pembangunan hanya berarti menggusur, menghancurkan ruang hidup, dan meminggirkan masyarakat adat, maka kita tidak sedang maju melainkan mundur secara perlahan namun pasti. Pembangunan tersebut bukanlah masa depan yang cerah, tapi kenangan pahit yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.

Jika Raja Ampat hilang, bukan hanya destinasi wisata yang musnah melainkan jati diri bangsa, harga diri masyarakat adat, dan keseimbangan alam yang tak bisa digantikan uang sebesar apa pun.


Penulis: Putri Ruqaiyah 

Editor: Tiara Khalisna 

05 Juni 2025

Ketika Kesopanan Menjadi Harta yang Langka

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Dulu, kita tumbuh dengan kalimat-kalimat sederhana seperti "permisi", "maaf", "terima kasih", dan "tolong". Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan bagian dari budaya kesopanan yang diajarkan sejak dini. Namun hari ini, kita mulai bertanya-tanya, ke mana perginya kesopanan itu?

Di ruas jalan kota besar, orang merasa paling benar sendiri seperti klakson ditekan tanpa henti dan pejalan kaki diabaikan. Di media sosial, komentar pedas seolah-olah lebih dihargai daripada pendapat yang santun. Di ruang publik, remaja menyela percakapan orang tua, dan orang dewasa berbicara tanpa rasa hormat. Seakan-akan kesopanan adalah barang kuno yang tak lagi relevan di era modern.

Padahal, kesopanan bukan sekadar etika atau sikap sopan, ia adalah cermin dari karakter dan kematangan seseorang dalam berpikir. Sopan santun mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi, menghormati sesama, menghargai perbedaan, dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika kesopanan hilang, yang tersisa hanyalah arogansi, kebisingan, dan konflik.

Ironisnya, kemajuan teknologi justru mempercepat hilangnya sopan santun. Dunia digital menciptakan ruang tanpa wajah, di mana orang merasa bebas berkata apa saja tanpa memikirkan konsekuensinya. Akun anonim digunakan untuk menyerang, bukan berdiskusi. Kritik berubah menjadi hujatan. Diskusi berubah menjadi debat tanpa ujung.

Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Hilangnya kesopanan adalah hasil dari banyak hal mulai dari kurangnya keteladanan, lemahnya pendidikan karakter, dan budaya populer yang sering mengagungkan kontroversi daripada nilai-nilai moral.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Jawabannya sederhana, yaitu mulai dari diri sendiri. Jadilah pribadi yang tetap menjaga tutur kata, meskipun berbeda pendapat. Ajarkan pada anak-anak kita bahwa bersopan santun bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Bangun ruang-ruang dialog yang sehat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Jangan pernah lelah menjadi orang yang santun, walaupun dunia terasa semakin kasar.

Karena di tengah dunia yang keras, mereka yang tetap lembut akan menjadi penyejuk. Meski kini langka, kesopanan akan selalu bernilai tinggi di mata siapa pun yang masih waras.


Penulis: Lisa Ayu Lestari

Editor: Putri Ruqaiyah

02 Juni 2025

Antara Kewajiban dan Tekanan: Praktik Pungli di Dunia Pendidikan

 

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Lembaga pendidikan sering kali dianggap sebagai tempat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, integritas, dan kebebasan akademik. Namun, realitas di lapangan tak selalu seideal itu. Di balik semangat mendidik, masih ada praktik-praktik yang mencederai nilai-nilai luhur pendidikan, salah satunya adalah pungutan liar (pungli) terselubung.

Sebagian mahasiswa pernah menghadapi situasi di mana mereka harus membeli buku yang ditulis oleh dosen sendiri, bukan sebagai pilihan, melainkan sebagai kewajiban agar dapat mengikuti ujian. Fenomena ini bukan sekadar kabar burung. Seperti yang dilaporkan oleh media kampus Washilah di Makassar, seorang dosen diduga mewajibkan mahasiswanya membeli buku senilai Rp60.000, dengan ancaman bahwa nilai mereka tidak akan dikeluarkan jika tidak menuruti perintah tersebut (Washilah.com, 2023).

Kondisi serupa juga ditemukan di wilayah lain. Mahasiswa yang enggan membeli buku kerap kali menerima tekanan halus, seperti pernyataan bahwa nilai bisa terganggu jika mereka tidak membeli temuan dari Ekspresionline menyoroti bagaimana dosen kerap menyampaikan himbauan tidak langsung yang menyudutkan mahasiswa untuk membeli buku tersebut sebagai syarat kelulusan (Ekspresionline.com, 2023).

Tak hanya soal buku, pungli juga muncul dalam bentuk iuran kegiatan akademik yang tidak jelas dasar hukumnya. Mahasiswa kadang diwajibkan membayar sejumlah uang untuk mengikuti acara seminar atau kunjungan akademik yang diselenggarakan dosen, tanpa kejelasan anggaran atau laporan pertanggungjawaban.

Masalah ini bukan hal sepele. Dalam Laporan Tahunan 2022, Ombudsman RI menyatakan bahwa sektor pendidikan masih menjadi salah satu yang paling banyak menerima laporan pelanggaran pelayanan publik, termasuk pungli berkedok akademik. Mereka menegaskan bahwa setiap pungutan yang tidak berdasar hukum, seperti pemaksaan membeli buku atau sumbangan tanpa legalitas, merupakan bentuk penyimpangan administratif dan etika publik (Ombudsman RI, 2022).

Bahkan media nasional seperti Media Indonesia juga menyoroti kasus serupa, menyatakan bahwa praktik menjual buku sebagai syarat lulus ujian adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang harus dihentikan karena bertentangan dengan prinsip pendidikan yang adil dan transparan (Media Indonesia, 2019).

Pendidikan semestinya membebaskan, bukan menekan. Ketika tekanan finansial justru datang dari pihak yang seharusnya menjadi pendamping pembelajaran, maka proses pendidikan kehilangan makna moralnya. Mahasiswa menjadi korban sistem yang diam-diam membebani mereka, bukan hanya secara akademik, tetapi juga secara ekonomi dan psikologis.

Maka, penting bagi semua pihak, baik kampus, pengawas, maupun mahasiswa untuk tidak tinggal diam. Kesadaran dan keberanian untuk bersuara menjadi kunci. Karena jika praktik-praktik ini terus dibiarkan, maka lembaga pendidikan hanya akan menjadi tempat reproduksi kekuasaan yang sewenang-wenang, bukan tempat menumbuhkan pemikiran kritis dan nilai-nilai keadilan.


Penulis: Putri Ruqaiyah

Editor: Zuhra

01 Juni 2025

Media Sosial: Teman atau Musuh?

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Seiring berkembangnya zaman yang semakin maju, media sosial menjadi sarana yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Perkembangan teknologi membawa perubahan yang sangat pesat bagi masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat mengalami pergeseran, baik dari segi budaya, etika, maupun norma. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar dengan berbagai suku, ras, dan agama, yang turut mengalami perubahan sosial.

Media sosial merupakan platform yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, mulai dari mudahnya memperoleh dan menyebarkan informasi dengan sangat cepat, berinteraksi, memiliki banyak teman, hingga berkomunikasi. Dari berbagai kalangan dan usia, hampir seluruh masyarakat Indonesia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, memiliki akun platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan WhatsApp. Bahkan, media sosial membuat masyarakat menjadi kecanduan mulai dari bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur dan hampir sepanjang waktu dihabiskan untuk menatap layar handphone guna melihat berbagai platform seperti Instagram dan TikTok.

Lalu, pertanyaannya: Apakah media sosial merupakan teman atau musuh?

Di satu sisi, media sosial memberikan banyak manfaat, seperti yang telah dijelaskan di atas. Media sosial mempermudah kita dalam berinteraksi, berkomunikasi, serta menyebarkan informasi dengan mudah dan cepat hanya dengan satu klik. Bahkan, platform media sosial juga dapat menjadi sumber penghasilan yang mudah bagi banyak orang. Di media sosial kita juga bisa melihat berita-berita yang sedang trending, belajar hal baru, berbagi, serta menyimak isu-isu atau video viral yang menghebohkan masyarakat.

Namun, di sisi lain, media sosial juga mempunyai dampak negatif yang sangat nyata. Misalnya, anak-anak menjadi kurang konsentrasi dalam belajar, dan media sosial menjadi tempat maraknya perundungan (bullying). Media sosial juga dapat merusak kesehatan mental, terutama bagi para remaja. Banyak video atau konten yang menampilkan gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini membuat banyak masyarakat membandingkan dirinya dengan orang lain, sehingga menyebabkan kurang percaya diri, stres, hingga depresi.

Jadi, media sosial bukanlah teman atau musuh, melainkan netral, tergantung pada bagaimana cara kita menggunakannya. Jika media sosial digunakan dengan bijak dan baik, maka kita akan mendapatkan banyak manfaat. Sebaliknya, jika tidak digunakan dengan bijak, media sosial bisa membawa kemudaratan, membuat kita lalai, dan menimbulkan dampak negatif.

Intinya, semua tergantung pada diri kita masing-masing, karena kuncinya ada pada kita.


Penulis: Ishfa Naisila
Editor: Putri Ruqaiyah

30 Mei 2025

Produktif dan Sibuk: Dua Hal yang Berbeda

 

Foto: pexels

www.lpmalkalam.com- Terkadang kita merasa bahwa kita hebat karena melakukan banyak hal dari pagi sampai malam. Tapi, pernahkah kita berpikir, apakah kesibukan kita tersebut merupakan hal yang bermakna? Atau hanya terbuang sia-sia begitu saja?

Banyak orang salah dalam memahami produktif dan sibuk, padahal keduanya sangat berbeda terkait kualitas dan kuantitasnya. Sibuk merupakan kegiatan yang kita jadwalkan dari pagi sampai malam, akan tetapi yang dikerjakan belum tentu hal yang penting. Seperti kita men-scroll media sosial, tetapi sambil mengatakan, “Wah, kerjaanku saat ini banyak banget.”

Sedangkan produktif adalah mengerjakan sesuatu dan dapat menghasilkan kualitas yang baik dan bernilai. Bukan tentang sebanyak apa yang sudah kita lakukan, tetapi seberapa bernilainya apa yang sudah kita lakukan. Orang yang produktif tahu bagaimana cara memprioritaskan sesuatu, mana yang bisa ditunda dan mana yang harus diselesaikan saat itu juga.

Jadi, bagaimana keadaan kita saat ini? Sibuk atau produktif? Jika kita ingin mempunyai hidup yang lebih bermakna, maka coba tanya ke diri sendiri, “Sebenernya aku ini sibuk atau produktif?” Karena lebih baik kita fokus mengerjakan dua hal penting daripada mengerjakan dua puluh hal yang belum tentu jelas arahnya ke mana.


Penulis: Neiva Zaida Hasanah Saragih

Editor: Putri Ruqaiyah


22 Mei 2025

Realita Pendidikan yang Jarang Disadari oleh Para Pelajar

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Sebagaimana kita ketahui semuanya bahwa sebagai manusia perlu yang namanya ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkannya kita perlu yang namanya pendidikan, baik itu dari formal seperti sekolah, ataupun non-formal seperti belajar melalui media sosial. Tapi, apakah kita pernah sadar apa sebenarnya tujuan kita mempelajari ilmu pengetahuan? dan di sini, maksud dari ilmu pengetahuan adalah pengetahuan umum, bukan tentang pengetahuan Islam. Kalau pengetahuan Islam sudah pasti tujuan akhirnya adalah surga. Nah, sekarang yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana dengan pengetahuan umum? kalau yang sering kita dengar, tujuan kita belajar ya untuk menambah wawasan, agar tidak dibodohi orang, agar pintar, dan sebagainya. Tapi, coba Anda pikir kembali, apa iya itu tujuan sebenarnya ilmu pengetahuan?

Saya rasa bukan itu tujuan ataupun inti dari ilmu pengetahuan, justru ada inti yang terpenting di balik itu semua. Lantas apa itu? jawabannya adalah uang dan bertahan hidup. Mengapa saya berani mengatakan hal itu? Pertama, saat kita menuju dewasa, apa hal yang sering terlintas dalam hidup kita? Saya yakin banyak dari kita memiliki pemikiran yang sama, yaitu tentang ekonomi ataupun hal-hal yang berkaitan dengan finansial. Dan di sini cara kita untuk mendapatkan uang adalah dengan adanya ilmu pengetahuan. Tanpa adanya ilmu, kita sulit untuk mencari uang, dan di sinilah ilmu pengetahuan kita bermain. Apakah dengan ilmu kita, kita mampu untuk bertahan hidup untuk bersaing dengan para manusia yang lain?

Di sini saya contohkan Bill Gates, yaitu salah satu pria terkaya di dunia, pemilik Microsoft, ataupun bisa juga seperti Mark Zuckerberg, pendiri Facebook. Mereka berdua merupakan contoh bahwa pentingnya ilmu pengetahuan dan apa tujuan sebenarnya selama ini kita berpendidikan bukan hanya semata-mata untuk wawasan saja. Ilmu sangat berpengaruh terhadap keterampilan bertahan hidup dan juga tentang mencari uang. Ilmu pengetahuan itu banyak, dan semua ilmu pengetahuan bisa dijadikan uang jika kita tahu ke mana ilmu tersebut bisa berguna, seperti Bill Gates, Elon Musk, Mark Zuckerberg, mereka merupakan contoh orang yang sadar bahwa apa tujuan sebenarnya pendidikan.

Penulis: T. Akmal Rizki Phonna

Editor: Putri Ruqaiyah

18 Mei 2025

Anak Jalanan: Mereka Bukan Sampah Kota, tapi Harapan yang Terabaikan

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Setiap hari, kita menyaksikan anak-anak kecil mengamen, mengemis, bahkan mengelap kaca mobil di lampu merah. Mereka disebut “anak jalanan”, sebuah istilah yang kerap membuat kita berpaling, bukannya peduli. Padahal, mereka bukan masalah kota, namun korban dari sistem sosial yang gagal memberi keadilan ke kehidupannya. 

Anak-anak ini hidup di jalan bukan karena pilihan, tapi karena keadaan. Banyak dari mereka berasal dari keluarga miskin, rumah tangga yang retak, atau lingkungan tempat tinggal yang keras. Mereka kehilangan hak kehidupan seorang anak, yaitu pendidikan, keamanan, dan juga kasih sayang. Yang lebih menyedihkan, banyak dari mereka dianggap sebagai gangguan atau ancaman, bukan manusia yang butuh uluran tangan.

Pemerintah memang punya program penanganan anak jalanan, tapi kenyataannya, mereka sering “diamankan” alias disembunyikan dari penglihatan mata hanya saat ada tamu penting atau menjelang acara besar. Setelah itu? Mereka kembali ke trotoar, ke bawah jembatan, ke kerasnya dunia jalanan yang tidak mengenal belas kasih terhadap tangan mungilnya itu. 

Sudah saatnya negara dan masyarakat berhenti menutup mata. Pendekatan harus berganti dari sekadar pengusiran ke pemberdayaan yang lebih baik, seperti pendidikan alternatif bagi mereka yang tidak mendapatkan hak pendidikan, pelatihan keterampilan untuk mengasah kemampuan mereka di dunia luar, dan perlindungan hukum yang jelas demi memberikan rasa aman kepada meraka. Anak-anak ini punya potensi jika diberi kesempatan. Mereka bukan generasi gagal, namun hanya belum pernah diberi ruang untuk tumbuh.

Anak jalanan bukan wajah buruk sebuah kota. Mereka adalah cermin kegagalan kita sebagai bangsa dalam merawat masa depan.

Penulis: Siti Rayhani

Editor: Zuhra

Teknologi Memudahkan, tapi Apakah Membuat Kita Lebih Bahagia?

foto: istockPhoto.com

www.lpmalkalam.com- Dalam dua dekade terakhir, kemajuan teknologi telah merevolusi kehidupan manusia. Dengan satu sentuhan jari, kita bisa terhubung dengan siapa saja di berbagai penjuru dunia. Aktivitas seperti belanja, bekerja, belajar, hingga mengakses layanan kesehatan kini dapat dilakukan dari rumah. Tanpa diragukan, teknologi menghadirkan kemudahan yang luar biasa. Namun, di balik segala kepraktisan itu, muncul pertanyaan penting apakah hidup kita benar-benar menjadi lebih bahagia?

Tak bisa dimungkiri, teknologi telah menyederhanakan berbagai aspek kehidupan. Komunikasi yang dulu lambat kini berlangsung dalam hitungan detik melalui pesan instan atau video call. Pekerjaan yang dulunya menyita waktu dan tenaga kini dapat diselesaikan dengan bantuan perangkat digital. Informasi dari seluruh dunia pun mudah diakses kapan saja dan di mana saja.

Namun, kemudahan ini datang dengan konsekuensi. Di tengah konektivitas digital yang semakin luas, relasi manusia justru terasa semakin renggang. Kita mungkin memiliki ratusan bahkan ribuan teman di media sosial, tetapi merasa kesepian dalam kehidupan nyata. Rasa cemas meningkat, terutama karena tekanan untuk selalu tampil sempurna di dunia maya. Tak jarang, kita terjebak dalam siklus membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak lebih bahagia, padahal itu hanya representasi sepihak dari realitas.

Ironisnya, teknologi yang seharusnya membebaskan justru sering kali membelenggu. Kita menjadi tergantung pada notifikasi, sulit beristirahat tanpa menyentuh ponsel, dan merasa bersalah jika tidak terus produktif. Pilihan yang melimpah di dunia digital bukannya menenangkan, melainkan sering membuat kita bimbang dan merasa tidak pernah cukup.

Berbagai studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkaitan dengan penurunan tingkat kebahagiaan dan peningkatan risiko depresi, terutama di kalangan remaja dan anak muda. Ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak secara otomatis membawa kesejahteraan emosional.

Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa teknologi hanyalah alat. Ia bisa menjadi sumber kebaikan jika digunakan dengan bijak, namun bisa juga menjadi jebakan yang menjauhkan kita dari makna hidup yang sesungguhnya. Maka, di tengah arus kemudahan ini, penting bagi kita untuk kembali bertanya: apakah teknologi membuat hidup kita lebih bermakna? Ataukah justru menjauhkan kita dari hal-hal sederhana yang selama ini menjadi sumber kebahagiaan?


Penulis: Qurrata A'yuni

Editor: putri Ruqaiyah

15 Mei 2025

BOM WAKTU

foto: Pixabay


www.lpmalkalam.com- Ini dongeng tentang sepasang anak manusia yang memiliki bom waktu. Mereka mengasuhnya dengan baik, teliti, dan mengagungkannya bak anugerah terindah bagi mereka. Tapi mereka keliru, yang mereka rawat itu bukanlah anugerah melainkan bom waktu. Ia lahir dari harapan-harapan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka memberi makanan, pakaian, pendidikan yang sedemikian rupa serta tempat berteduh. Namun, bersamaan dengan itu mereka menanggalkan telinga mereka, menutup rapat-rapat mata mereka akan kenyataan bahwa bom waktu itu juga punya perasaan, punya keinginan. Mereka tak pernah benar-benar melihatnya. Tak pernah benar-benar mendengarnya. Mereka selalu membungkam sang bom waktu dengan kata-kata yang terdengar seperti mantra "kami tahu yang terbaik untukmu,"  ataupun "ini demi kebaikanmu." 

Meski begitu, bom waktu itu terus tumbuh. Walau tanpa jati diri, tanpa suara. Seakan ia tidak pernah berhak akan hidupnya. Baginya, akan selalu ada hari dengan bayang-bayang pertanyaan, "untuk apa aku dilahirkan? mengapa aku tetap menjalani hidup ini?" diikuti dengan kesedihan yang segelap lautan, seakan ia hidup dalam gelap malam tak berujung. 

Pernah ia bersuara akan hal sepele "kapan terakhir kali ayah menanyakan warna kesukaan-ku?" manusia yang disebut ayah itu menoleh "bukankah kau menyukai hijau?"  ia tersenyum getir. Tidak, seumur hidupnya ia membenci warna itu, tapi karena jika ia mengatakan warna lain, yang datang hanyalah sindiran atau tatapan kecewa. Maka ia belajar untuk menyukai apa yang mereka sukai. Bukan karena suka, tapi karena takut akan cacian yang akan ia dapatkan karena bersuara. 

Anehnya bom waktu itu tetap tumbuh, meski dengan jiwa yang menyimpan luka. Tidak sekalipun ia meledak, belum tentu jiwanya akan sembuh. Tapi, dentumnya kini terdengar lebih jelas dalam pikirannya. Sebuah pertanyaan terus mengendap "Kapan kalian akan mengerti? Apakah kata maaf sesulit itu untuk diucapkan?" Menghitung detik demi detik hingga dimana bom waktu itu akan berhenti berdetak. Bukan karena akhirnya ia meledak, tapi karena lelah. Diam tak lagi cukup untuk didengar, dan menangis pun tak lagi punya tempat untuk jatuh. Bangunan yang mereka sebut rumah untuk pulang pun sudah lama kehilangan damainya. Dan saat itu tiba, mereka hanya bisa menyesal dan bertanya-tanya, "Mengapa ia tak pernah bicara?" padahal suara itu sudah lama ada, hanya saja tak pernah mereka anggap sebagai kebenaran.


Penulis: Khairatun Naja

Editor: Tiara Khalisna

13 Mei 2025

Dari Pelindung Menjadi Pemangsa: Wajah Gelap Kekerasan Seksual di Indonesia

foto: pixabay

 www.lpmalkalam- Kasus pelecehan seksual di Indonesia makin hari semakin mengkhawatirkan. Bukan hanya dilakukan oleh orang asing, namun juga oleh orang-orang yang seharusnya kita percaya dan hormati, seperti guru, pemuka agama, bahkan aparat penegak hukum. Ini bukan lagi sekadar masalah moral, tapi sudah menjadi darurat sosial yang nyata.

Yang lebih menyedihkan, korban pelecehan seksual paling banyak justru berasal dari kelompok rentan, seperti perempuan dan anak-anak. Dilansir dari Kompas.id, sebanyak 74% korban kekerasan seksual sepanjang 2023 hingga awal 2024 adalah anak perempuan. Ini adalah angka yang sangat besar dan seharusnya membuat kita semua sadar bahwa lingkungan sekitar kita tidak seaman yang kita kira, terutama untuk anak-anak.

Sementara itu, dari data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang dikutip dari Detik.com, tercatat sebanyak 8.674 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi sepanjang tahun 2024. Bahkan, banyak dari kasus ini terjadi di lingkungan pendidikan seperti sekolah dan pesantren. Bayangkan, tempat yang seharusnya menjadi tempat belajar dan tumbuh, malah menjadi tempat yang merusak masa depan anak-anak.

Ironisnya, tak sedikit pelaku justru berasal dari institusi yang seharusnya memberi perlindungan. Beberapa waktu terakhir, kita mendengar kasus pelecehan yang dilakukan oleh anggota kepolisian, guru, bahkan oknum pejabat. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan bisa disalahgunakan, dan korban sering kali tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.

Padahal, negara sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini seharusnya menjadi alat hukum untuk melindungi korban dan menghukum pelaku secara tegas. Sayangnya, penerapan UU ini masih lemah. Masih banyak aparat hukum yang tidak berpihak kepada korban, proses hukum yang lambat, bahkan ada korban yang justru dipersulit ketika melapor.

Banyak korban akhirnya memilih diam. Mereka takut, malu, atau merasa tidak akan mendapatkan keadilan. Beberapa bahkan mengalami tekanan dari keluarga, sekolah, atau lingkungan tempat tinggal. Hal ini menjadikan pelaku merasa aman dan bisa mengulangi perbuatannya lagi. Kita juga masih menghadapi budaya yang cenderung menyalahkan korban. Cara berpakaian, cara bicara, bahkan jam keluar rumah sering dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan pelaku. Inilah yang membuat korban merasa dua kali disakiti, pertama oleh pelaku dan kedua oleh masyarakat.

Sudah saatnya kita mengubah cara pandang ini. Pelecehan seksual bukan soal pakaian atau perilaku korban. Ini adalah soal kekuasaan dan penyalahgunaannya. Pelaku memilih untuk melukai karena merasa lebih kuat dan bisa lolos dari hukuman. Kita semua punya tanggung jawab. Bukan hanya pemerintah atau aparat hukum, tapi juga masyarakat. Kita harus mendukung korban, bukan menyudutkan. Kita harus berani bersuara dan mendorong agar keadilan ditegakkan. Karena jika kita terus diam, maka siapa pun bisa menjadi korban berikutnya, bahkan orang terdekat kita. Pelecehan seksual bukan hanya merusak tubuh, namun juga menghancurkan mental dan masa depan seseorang. Mari hentikan lingkaran kekerasan ini bersama-sama. Karena jika pelindung berubah menjadi pelaku, maka siapa lagi yang bisa kita percaya?


Penulis: Meutia Rahma

Editor: Zuhra

Langkah di Tengah Badai

foto: pixabay

 www.lpmalkalam.com- 

Langit menggelap, angin menggila,

dedaunan terhempas tanpa suara.

Namun kakiku tak ingin diam,

meski dunia seolah menolak langkahku.


Aku bukan perwira tanpa luka,

bukan pula pahlawan yang tak gentar.

Tapi di balik gemetar yang tersembunyi,

ada tekad yang tak bisa dibungkam.


Setiap tetes hujan yang menyapa wajah,

adalah pengingat bahwa aku masih ada.

Masih bernapas, masih melangkah,

walau arah samar, dan harapan samar-samar.


Badai boleh menari di sekelilingku,

tapi aku menari dalam diamku sendiri.

Menjemput pagi yang belum terlihat,

dengan langkah kecil, tapi tak henti.


karya: Alfiaturrahmi (Rilis)

12 Mei 2025

Tindak Hakim Sendiri: Cermin Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap Sistem Hukum

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Dewasa ini, eigenrichting atau tindak main hakim sendiri kerap menjadi isu yang marak terjadi di negara kita, Indonesia. Hal ini terjadi ketika masyarakat mengambil alih peran penegak hukum melalui tindakan kekerasan tanpa melalui prosedur hukum yang sesuai, hanya berdasar pada spekulasi atau dugaan bahwa "seseorang bersalah". Perbuatan ini jelas melanggar asas praduga tak bersalah dan semakin menjalar di masyarakat sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja para penegak hukum.

Maraknya berita di media sosial mengenai kasus atau skandal yang melibatkan oknum penegak hukum turut memperburuk citra institusi hukum. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat akibat penyalahgunaan wewenang serta perilaku amoral sebagian oknum penegak hukum.

Kegagalan penegak hukum dalam menjalankan fungsi preventif dan represif terhadap tindak kejahatan juga menjadi faktor besar yang mendorong terjadinya eigenrichting. Dalam praktiknya, ketika suatu kejahatan dianggap ditangani terlalu lambat oleh aparat, masyarakat sering merasa berhak untuk mengambil tindakan sendiri demi keadilan yang cepat dan langsung. Namun, tindakan ini pada dasarnya adalah keliru.

Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam hal kejahatan. Hak dan perlindungan bagi pelaku maupun korban telah diatur dalam sistem hukum kita demi menjaga tatanan keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh lembaga yang berwenang.

Mengatasi masalah ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi para penegak hukum untuk memulihkan kepercayaan publik dengan menjaga integritas, moral, dan martabat profesinya. Masyarakat pun dituntut untuk memiliki kesadaran hukum dan kedewasaan dalam menyikapi kasus-kasus hukum.

Oleh karena itu, dibutuhkan peran aktif pemerintah dalam menyosialisasikan edukasi hukum yang menyeluruh kepada seluruh lapisan masyarakat demi membentuk kehidupan bangsa yang lebih adil dan tertib.

Referensi :

https://journal.untar.ac.id/index.php/adigama/article/download/2168/1244/4990

https://shariajournal.com/index.php/IJIJEL/article/download/744/384/1344

https://www.penasihathukum.com/sebuah-pelanggaran-hukum-ini-5-contoh-tindakan-main-hakim-sendiri

https://kolom.espos.id/hentikan-main-hakim-sendiri-2038925

https://www.kompasiana.com/muhammaddahron2351/67a6f22ec925c45f2811e032/fenomena-main-hakim-sendiri-apa-yang-salah-dengan-sistem-hukum-kita?page=2&page_images=1

Penulis: Ismi Sayyidina Lubis

Editor: Putri Ruqaiyah

30 April 2025

Tak Bernama di Rumah Sendiri

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com-

Aku tumbuh dari sunyi yang panjang,

Di rumah yang penuh suara, tapi tak kupahami terang.

Ayah, Ibu, wajah kalian selalu kurindu,

Tapi cinta kalian seperti bayang ada, tapi tak menyentuhku.

Aku berjalan di lantai dingin tanpa pelukan,

Menata harapan yang gugur satu per satu di ruang makan.

Kalian bicara tentang masa depan,

Tapi tak pernah bertanya: “Apa kabarmu, nak?” dengan kehangatan.

Aku menyayangi kalian dalam diam,

Dalam doaku yang lirih saat malam menelan gemintang.

Namun semakin aku ingin dekat,

Semakin aku tahu: aku tak pernah jadi tempat kalian menetap.

Aku tak benci tidak akan pernah.

Tapi aku lelah mengeja cinta yang tak pernah selesai terbaca.

Maka jika nanti kita bertemu di jalan yang asing,

Biarkan aku jadi orang lain yang tak perlu kalian panggil dengan nama sendiri.


Sumber: Rilis

 

Tenang yang Retak Diam-Diam

Sumber: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com-

Aku Taurus,

katanya sih keras kepala,

padahal aku hanya belajar bertahan

di tengah dunia yang tak pernah benar-benar ramah.

Hidupku terlihat simpel,

masalah besar kupeluk seperti kabut pagi..

diam, dingin,

dan akhirnya hilang begitu saja di mata mereka.

Mereka lihat aku tenang,

tapi tak tahu betapa sulitnya aku tidur semalam.

Mereka bilang aku kuat,

padahal aku bahkan tak tahu

bagaimana caranya pulih dari luka yang tak bernama.

Aku pendengar yang baik,

wadah bagi air mata orang lain,

penenang bagi yang patah,

namun tak pernah cukup berani

untuk menjadi lemah di depan siapa pun.

Aku ingin bicara,

tapi bibirku dikunci oleh rasa takut

akan tatapan yang menilai,

atau simpati yang terasa seperti belati.

Aku memeluk lukaku sendiri,

bukan karena aku tak butuh pelukan,

tapi karena aku terbiasa

merawat luka tanpa saksi.

Aku ingin melepaskan semuanya,

tapi tak tahu kepada siapa,

tak tahu bagaimana,

tak tahu kapan.

Aku terlihat kuat.

Tapi sungguh...

aku hanya manusia

yang belajar menyembunyikan rapuh.


Karya: Nurul Ain Qistina (Rilis)

29 April 2025

Di ujung asa, ada aku

Foto: Pixabay

 www.lpmalkalam.com-

Di dalam keindahan senjakutitipkan asa

Di atas langit tinggikutampungkan doa-doa 

yang nyaris padam

Seolah angin membawa bisik ragu yang menyayat

Namun langkahku tetap berdiri tegak

 

Mimpi-mimpi yang luka dan berdarahharapan 

tetap kupelukerat

Kupahat cahaya di dinding gelap kenyataan

Aku berlari di atas badai dan berteriak tekad

Meskipun gema enggan menjawab

 

Kugoreskan mimpi-mimpi di kanvas waktu

Dengan kuas luka dan tinta air mata

Angin malam merangkai bisikmengantar kabar 

getir ke sudut hati

Namun tetap kupeluk harappercaya cahaya 

menanti di ujung sana

 

Karena aku tahu

Di balik malam paling pekat

Fajar selalu datang dengan langkah hangat

Dan di ujung asa yang nyaris hilangada aku 

yang masih bertahan

 

Tak kudambakan jalan bertabur bintangcukup

Cukup peluh dan semangat yang enggan pulang

Sebab mimpi bukan siapa cepattapi siapa yang kuat

di tengah badai

 

Jadi bila kau tanya siapa aku

Aku adalah butiran debu di tengah ragu

Tak selalu kuattak pernah utuh

Tapi tak pernah benar-benar runtuh

 

Di ujung asa

Saat dunia membisu

Ingatlah aku, yang tetap berlari

Meski dengan napas patah-patah

 


Sumber: Rilis

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.