![]() |
Foto: Pexels.com |
www.lpmalkalam.com- Dulu, kita tumbuh dengan kalimat-kalimat sederhana seperti "permisi", "maaf", "terima kasih", dan "tolong". Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan bagian dari budaya kesopanan yang diajarkan sejak dini. Namun hari ini, kita mulai bertanya-tanya, ke mana perginya kesopanan itu?
Di ruas jalan kota besar, orang merasa paling benar sendiri seperti klakson ditekan tanpa henti dan pejalan kaki diabaikan. Di media sosial, komentar pedas seolah-olah lebih dihargai daripada pendapat yang santun. Di ruang publik, remaja menyela percakapan orang tua, dan orang dewasa berbicara tanpa rasa hormat. Seakan-akan kesopanan adalah barang kuno yang tak lagi relevan di era modern.
Padahal, kesopanan bukan sekadar etika atau sikap sopan, ia adalah cermin dari karakter dan kematangan seseorang dalam berpikir. Sopan santun mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi, menghormati sesama, menghargai perbedaan, dan menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika kesopanan hilang, yang tersisa hanyalah arogansi, kebisingan, dan konflik.
Ironisnya, kemajuan teknologi justru mempercepat hilangnya sopan santun. Dunia digital menciptakan ruang tanpa wajah, di mana orang merasa bebas berkata apa saja tanpa memikirkan konsekuensinya. Akun anonim digunakan untuk menyerang, bukan berdiskusi. Kritik berubah menjadi hujatan. Diskusi berubah menjadi debat tanpa ujung.
Kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja. Hilangnya kesopanan adalah hasil dari banyak hal mulai dari kurangnya keteladanan, lemahnya pendidikan karakter, dan budaya populer yang sering mengagungkan kontroversi daripada nilai-nilai moral.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Jawabannya sederhana, yaitu mulai dari diri sendiri. Jadilah pribadi yang tetap menjaga tutur kata, meskipun berbeda pendapat. Ajarkan pada anak-anak kita bahwa bersopan santun bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Bangun ruang-ruang dialog yang sehat, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Jangan pernah lelah menjadi orang yang santun, walaupun dunia terasa semakin kasar.
Karena di tengah dunia yang keras, mereka yang tetap lembut akan menjadi penyejuk. Meski kini langka, kesopanan akan selalu bernilai tinggi di mata siapa pun yang masih waras.
Penulis: Lisa Ayu Lestari
Editor: Putri Ruqaiyah