HEADLINE

Latest Post
Loading...

30 April 2025

Sirkus Taman Safari

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- 

Dibawah gelapnya langit malam

Diatas panggung yang megah

Dengan sorot lampu yang bersinar

Pertunjukan yang indah dimulai

Sorak sorai penonton yang bertepuk tangan

Menyaksikan sebuah penampilan sirkus

Sirkus ini bukan sekadar hiburan,

Tapi panggung cerita penuh keajaiban.

Namun di balik tepuk tangan yang ramai,

Ada suara sunyi dari balik jeruji damai.

Apakah mereka bahagia di tengah sorak?

Ataukah hanya diam dalam topeng gemerlap?

Sirkus Taman Safari, kini kau terkenal,

Namun bisakah viralmu tetap bermoral?

Tertawa boleh, kagum pun pantas,

Asal tetap ingat hati yang bebas.


Karya: Syamsiah (Rilis)

29 April 2025

Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Mahasiswa: Tantangan yang Perlu Dihadapi Bersama

Foto: Pixabay
www.lpmalkalam.com- Di tengah tekanan akademik yang semakin meningkat, banyak mahasiswa yang menghadapi masalah kesehatan mental yang serius. Tuntutan untuk berprestasi, memenuhi harapan keluarga, serta menjalani kehidupan sosial yang dinamis, sering kali menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. Meskipun masalah ini semakin dibicarakan, kenyataannya banyak mahasiswa yang masih enggan mengungkapkan perasaan mereka dan lebih memilih untuk menahan masalah tersebut, karena takut dihakimi atau dianggap lemah. Akibatnya, masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa kerap kali terabaikan dan tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.

Stres akademik adalah salah satu pemicu utama dari masalah kesehatan mental yang dialami mahasiswa. Beban tugas yang terus menumpuk, ujian yang datang silih berganti, dan ekspektasi tinggi yang datang dari keluarga sering kali membuat mahasiswa merasa tertekan. Selain itu, banyak di antara mereka yang belum memiliki keterampilan untuk mengatur waktu dan mengelola tekanan, yang menjadikan mereka lebih rentan terhadap stres. Tak jarang, tekanan akademik ini berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti kecemasan dan depresi. Ketidakpastian mengenai masa depan, rasa tidak cukup baik, dan perasaan terjebak dalam rutinitas yang membebani dapat memperburuk kondisi tersebut.

Selain stres akademik, mahasiswa juga menghadapi tantangan sosial yang besar. Menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus yang baru, jauh dari keluarga, serta beradaptasi dengan teman-teman dan lingkungan sosial yang berbeda bisa memicu perasaan kesepian dan isolasi emosional. Di tengah keramaian kampus, beberapa mahasiswa merasa terpinggirkan dan sulit membangun hubungan sosial yang mendalam. Perasaan kesepian ini menjadi salah satu faktor pemicu masalah kesehatan mental, yang sering kali tidak terungkap karena mahasiswa cenderung menyembunyikan perasaan mereka.

Bahkan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, stigma terhadap masalah ini masih sangat kuat. Banyak mahasiswa yang enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau tidak mampu menghadapi masalah mereka sendiri. Layanan konseling yang tersedia di banyak kampus pun sering kali tidak dimanfaatkan secara maksimal, meskipun sudah ada upaya dari pihak universitas untuk menyediakan fasilitas tersebut. Stigma ini menciptakan tembok tebal antara mahasiswa dan bantuan yang mereka butuhkan.

Namun, solusi untuk krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa tidaklah mustahil. Kampus harus menjadi tempat yang mendukung dan aman bagi mahasiswa untuk membicarakan masalah kesehatan mental mereka. Pertama, kampus perlu lebih aktif dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Mengadakan seminar, workshop, atau kegiatan lain yang mengedukasi mahasiswa tentang cara mengelola stres dan kecemasan bisa membantu mengurangi stigma serta memberikan informasi yang berguna untuk mereka yang merasa tertekan. Selain itu, layanan konseling yang ada perlu diperkuat agar lebih mudah diakses dan digunakan tanpa rasa takut dinilai negatif.

Lebih jauh lagi, kampus perlu menciptakan budaya yang mendukung, di mana mahasiswa merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah kesehatan mental mereka. Mahasiswa harus merasa bahwa mereka tidak akan dihukum atau dipandang rendah hanya karena mengakui adanya masalah psikologis. Dalam hal ini, penting untuk membangun hubungan yang lebih manusiawi dan empatik di dalam lingkungan kampus. Program-program yang melibatkan teman-teman sebaya, di mana mereka bisa saling mendukung dan memberikan perhatian terhadap kondisi kesehatan mental satu sama lain, juga bisa sangat efektif.

Selain itu, integrasi pendidikan tentang kesehatan mental dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi langkah preventif yang sangat penting. Mengajarkan mahasiswa tentang pentingnya keseimbangan antara kehidupan akademik dan pribadi, serta cara-cara untuk mengelola stres secara sehat, dapat mengurangi dampak negatif dari tekanan yang mereka hadapi.

Krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa adalah masalah yang perlu ditangani bersama. Semua pihak dosen, teman-teman, dan pihak kampus-harus saling bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih peduli dan mendukung kesehatan mental. Hanya dengan menciptakan ruang yang aman dan terbuka, mahasiswa dapat merasa didengar dan mendapat dukungan yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan kesehatan mental mereka. Dengan begitu, mereka dapat lebih fokus pada perkembangan pribadi dan akademik mereka, serta menghadapi masa depan dengan lebih percaya diri dan sehat secara mental.


Sumber: Rilis

Editor: Redaksi

Berantas Secara Sistematis Kasus Pelecehan Seksual

Foto: Pixabay

www.lpmalkalam.com- Pelecehan seksual ialah tindakan yang tidak diinginkan oleh seseorang yang mengarah kepada seksual baik itu secara verbal, fisik, dan non-verbal. Segala bentuk tindakan yang mengganggu orang lain dan membuatnya tidak nyaman (dalam ranah seksual) maka itu sudah disebut sebagai pelecehan. Hal ini menjadi ancaman besar bagi negara dalam memberikan kenyamanan dan keamanan bagi masyarakatnya. Pelecehan tidak hanya terjadi pada perempuan tapi juga dapat terjadi pada laki-laki. Saat ini, masyarakat banyak yang tidak menghiraukan, mengolok-olok, bahkan menertawakan laki-laki yang melaporkan tindakan yang tidak mengenakan tersebut.

Meskipun begitu, korban pelecehan seksual banyak terjadi pada perempuan. Hal dibuktikan pada data UN Women yaitu, 1 dari 3 wanita dan Komnas Perempuan melaporkan 70% perempuan pernah merasakan pelecehan seksual ketika berada dilingkungan sekitar. Tidak hanya diluar, pelecehan bahkan kekerasan seksual dapat terjadi didalam rumah oleh anggota keluarga. Salah satu faktor terjadinya pelecehan seksual dalam keluarga disebabkan budaya patriarki. Patriarki adalah sebutan sosial masyarakat yang merujuk pada laki-laki yang lebih dominan dalam mengambil sebuah keputusan dan mengambil alih peran kekuasaan. Pada umumnya laki-laki memang memiliki kewibawaan dalam memimpin, namun terkadang keegoisan dalam memimpin membuatnya ingin mengambil sebuah keputusan tanpa pertimbangan orang lain bahkan memandang rendah pendapat orang lain terutama perempuan.

Sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pelecehan kerap terjadi pada perempuan. Karena laki-laki menganggap wanita adalah makhluk yang lemah dan dapat diperintah sehingga mudah bagi laki-laki dalam menuntut, membujuk dengan rayuan, hingga memaksa korban untuk melakukan aksinya tersebut. Jika dulu aksi seperti ini hanya dilakukan oleh orang dewasa, saat ini berbanding terbalik. Dalam sebuah kasus menyatakan bahwa ada seorang anak SMP yang mencabuli anak SD. Hal ini menunjukan pentingnya edukasi kepada anak-anak akan hal tersebut. Orang tua dan guru bahkan pemerintah harusnya memberikan sebuah upaya dalam memberitahukan organ tubuh apa saja yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Dibawah bimbingan orang tua dan guru seharusnya anak juga diberi pemahaman bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan juga mempunyai batas dalam bergaul.

Di Indonesia justru korban pelecehan seksual dianggap sebagai pelaku utama dalam hal ini. Kejadian ini biasanya disebut dengan victim blaming, yaitu sikap yang menyalahkan, menyudutkan, serta menganggap korban yang harus bertanggung jawab dalam hal ini. Salah satu contohnya ialah, perempuan yang disalahkan karena memakai baju yang terbuka. Padahal data menunjukan pada tahun 2018, yang mengenakan lengan Panjang (15,82%) baju longgar (13,80%), hijab pendek dan sedang (13,20%), hijab Panjang (3,68%), bahkan berhijab dan bercadar (0,17%) menurut survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA). Melalui data ini jelas bahwa korban tetaplah korban dan bukan tersangka atas kasus ini. Tapi tidak dapat dipungkiri di Indonesia yang menjadikan faktor pelecehan, ada dalam satu paket menyudutkan korbannya. Padahal korban saat itu perlu untuk dilindungi, ditemani, dan didengarkan karena trauma yang dialaminya, bukan malah disudutkan. Perlindungan pada korban juga sudah ada dalam UU No.13 tahun 2006 mengenai perlindungan saksi dan korban. Tapi anehnya mengapa korban terkadang mendapatkan perlakuan tidak mengenakan bahkan diberi labeling orang tidak benar. Bukankah korban tetaplah korban seperti pada kalimat di atas.

Dari faktor-faktor pemicu pelecehan seksual yang dipaparkan di atas maka solusi yang ditawarkan ialah mengenai kesadaran masyarakat umum dan wewenang pemerintah dalam menangani permasalahan tersebut. Perlunya efek jera bagi pelaku pelecehan seksual yang menimbulkan akibat enggan berbuat hal demian pada waktu yang akan datang. Hal ini juga mampu mendorong orang lain untuk tidak melakukannya karena takut terhadap konsekuensi yang didapatkannya. Masyarakat juga harusnya terus melindungi korban bukan justru memaksa korban untuk mengungkit dan menambah trauma yang dialami. Pelecehan seksual bukan terjadi karena pakaian yang digunakan korban. Oleh karenanya perlu diberantas secara sistematis.


Sumber: Ririndayanti Harahap

Editor: Redaksi

Maraknya Aksi Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Mahasiswa adalah kelompok usia muda yang berada di persimpangan kehidupan,mereka tengah membangun jati diri, mengejar pendidikan tinggi, dan menyiapkan masa depan di tengah dunia yang semakin kompetitif dan penuh ketidakpastian. Namun di balik semangat dan ambisi itu, terdapat tekanan besar yang sering kali luput dari perhatian. Beban akademik yang berat, persaingan ketat, tuntutan ekonomi, ekspektasi keluarga, dan tantangan personal lainnya menjadi kombinasi tekanan yang, jika tidak dikelola dengan baik, dapat berujung fatal.

Tekanan akademik menjadi salah satu penyebab dominan. Sistem pendidikan tinggi sering kali terlalu menekankan pada capaian akademik, IPK tinggi, dan kelulusan cepat, tanpa memberikan perhatian cukup terhadap kesejahteraan psikologis mahasiswa. Tugas yang menumpuk, deadline yang ketat, serta ketakutan akan kegagalan menciptakan lingkungan yang tidak ramah terhadap kesehatan mental. Mahasiswa yang mengalami kesulitan sering kali merasa malu untuk mengakui ketidakmampuannya, takut akan stigma negatif, dan akhirnya memilih memendam sendiri hingga stres menumpuk menjadi depresi berat.Tidak hanya itu, masalah finansial juga menjadi tekanan berat yang kerap diabaikan. Biaya pendidikan yang tinggi, biaya hidup sehari-hari, dan beban hutang kuliah membuat banyak mahasiswa harus bekerja sambilan, yang justru menguras tenaga dan pikiran mereka. Ketidakstabilan ekonomi ini menambah beban mental, apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu yang menaruh harapan besar di pundak mereka.

Aspek sosial juga tak bisa dilepaskan. Era media sosial menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis. Melihat teman-teman sebaya yang tampak "sukses" di dunia maya sering kali membuat mahasiswa merasa kurang dan gagal. Kurangnya koneksi sosial yang otentik, kesepian, serta minimnya ruang aman untuk berbagi membuat banyak mahasiswa merasa terasing di tengah keramaian.Bunuh diri bukan terjadi karena satu faktor tunggal; ia adalah hasil dari akumulasi tekanan yang bertubi-tubi tanpa adanya saluran sehat untuk melepaskan dan mengelola stres. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan pun harus bersifat holistik: dari pencegahan, edukasi, hingga intervensi nyata.

Mahasiswa adalah harapan masa depan bangsa. Setiap nyawa yang hilang adalah kehilangan besar bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi negara. Sudah saatnya kita semua berhenti menutup mata dan telinga. Kita harus menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi kesehatan mental, tempat di mana mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menjadi "sukses", tetapi juga didukung untuk menjadi sehat, utuh, dan bahagia.

Karena sejatinya, masa depan yang cerah tidak dibangun di atas deretan angka IPK semata, tetapi di atas jiwa-jiwa yang kuat, sehat, dan penuh semangat hidup.


Sumber: Rilis


Trend Velocity: Ketika Mahasiswa Tak Lagi Punya Waktu untuk Merenung

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Di era percepatan informasi dan perubahan sosial yang sangat cepat, banyak dari kalangan mahasiswa kini dihadapkan pada fenomena yang disebut trend velocity—dimana kecepatan pergantian tren dan arus informasi yang menuntut adaptasi konstan.

Kondisi ini bukan hanya mengubah gaya hidup dan cara berpikir mahasiswa, tetapi juga berdampak serius terhadap hilangnya salah satu unsur fundamental dalam pembentukan identitas diri: waktu untuk merenung.

Di dalam dinamika perkuliahan modern, mahasiswa didorong untuk menjadi individu yang serba bisa baik didalam berprestasi akademik, aktif berorganisasi, terampil dalam dunia digital, dan eksis di media sosial. Tekanan sosial ini menuntut hasil dan usaha yang  berkelanjutan dimana mahasiswa memberikan respons cepat terhadap perubahan. Akibatnya, aktivitas merenung yang dahulu menjadi ruang bagi mahasiswa untuk berpikir kritis, mengevaluasi diri, dan merancang masa depan, kini tergeser oleh tuntutan untuk terus bergerak dan mengikuti perkembangan zaman.

Kehadiran media sosial memperparah situasi ini. Siklus tren yang berputar dalam hitungan jam menciptakan ilusi bahwa nilai seseorang diukur dari seberapa cepat ia merespons perkembangan baru, bukan dari seberapa dalam ia memaknai hidupnya. Mahasiswa cenderung lebih fokus padai ruang publik ketimbang memahami diri di ruang privat. Dalam konteks ini, trend velocity secara tidak langsung membentuk generasi yang sibuk beradaptasi, namun miskin perenungan.

Padahal, berdasarkan teori perkembangan identitas (Marcia, 1966), fase eksplorasi diri dan pengambilan keputusan yang sadar merupakan tahapan krusial dalam membangun identitas dewasa yang stabil. Hilangnya waktu untuk merenung berpotensi menimbulkan krisis identitas, keputusan impulsif, burnout, bahkan alienasi eksistensial. Hal ini diperkuat oleh temuan berbagai studi kesehatan mental yang menunjukkan meningkatnya angka stres, depresi, dan kecemasan di kalangan mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir.

Menyadari urgensi persoalan ini, diperlukan upaya kolektif untuk merehabilitasi pentingnya refleksi dalam kehidupan akademik. Institusi pendidikan tinggi dapat berkontribusi melalui integrasi aktivitas reflektif dalam kurikulum, seperti jurnal, program mentorship berbasis diskusi mendalam, hingga pelatihan-pelatihan. Selain itu, perlu perubahan budaya dalam lingkungan mahasiswa: dari yang awalnya mahasiswa terlalu memuji dan  mengikuti semua trend yang ada di media sosial kinimenuju penghargaan atas proses berpikir yang mendalam dan terarah.

Akhirnya, dalam dunia yang terus mempercepat langkahnya, keberanian untuk berhenti, merenung, dan bertanya "Mengapa," menjadi bentuk perlawanan yang paling mendasar. Mahasiswa perlu menyadari bahwa refleksi bukanlah kemewahan atau kelemahan, melainkan kebutuhan esensial untuk hidup yang otentik dan bermakna, sangat penting bagi mahasiswa untuk tau kemana tujuan hidupnya kedepan karena hidup akan terus berputar sesuai dengan porosnya dan kamu tidak boleh hanya diam ditempat tanpa tau arah dan tujuan hidupmu.


Oleh: Qonita Sholihat

Editor: Redaksi

26 April 2025

Merokok = Gaul? Salah Kaprah yang Membunuh Generasi Muda

Sumber: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat. Menurut data yang tersedia, pada tahun 2025, 38,7% dari populasi diperkirakan akan diidentifikasi sebagai perokok Indonesia. Akibatnya, 38,7% individu berusia 15 tahun ke atas diklasifikasikan sebagai perokok. Selain itu, perlu dicatat bahwa sekitar 73,2% laki-laki Indonesia terlibat dalam merokok aktif. Oleh karena itu, Indonesia diakui sebagai negara yang menghadapi beban rokok yang signifikan, mengingat proporsi perokok perempuan mencapai 3,4%. Dengan statistik yang luar biasa ini, Indonesia memegang posisi tertinggi keempat di dunia, hanya tertinggal di belakang Nauru, Myanmar, dan Papua Nugini.

Pemanfaatan produk tembakau yang berlebihan di Indonesia menimbulkan dampak serius di seluruh dimensi kesehatan, ekonomi, dan sosial. Berkenaan dengan kesehatan, konsumsi rokok merupakan kontributor utama kematian dini, penyakit paru, kondisi kardiovaskular, dan berbagai bentuk kanker. Dari perspektif ekonomi, negara ini menghadapi beban keuangan yang signifikan yang disebabkan oleh pengeluaran yang terkait dengan pengobatan penyakit yang terjadi karena merokok dan mencapai triliunan rupiah. Sementara rumah tangga miskin semakin menemukan diri mereka terjebak dalam siklus kemiskinan karena pengeluaran untuk rokok melampaui pengeluaran untuk kebutuhan pokok. Pada tingkat sosial, normalisasi merokok, terutama di kalangan remaja, telah mengakibatkan munculnya generasi yang produktivitasnya menurun karena penyakit yang berhubungan dengan kesehatan.

Meningkatnya prevalensi perokok di Indonesia dibentuk oleh interaksi harga, pemasaran, pengaruh budaya, dan langkah-langkah peraturan. Keterjangkauan produk tembakau, yang berasal dari pajak cukai tembakau yang minimal, memfasilitasi akses bagi semua demografi, termasuk anak di bawah umur dan individu yang kurang beruntung secara ekonomi. Promosi tembakau yang kuat melalui media tradisional dan digital menimbulkan persepsi bahwa merokok merupakan pilihan gaya hidup yang biasa dan menarik, terutama di kalangan kaum muda. Faktor budaya juga menguatkan kebiasaan ini, di mana merokok sering dianggap sebagai bagian dari interaksi sosial di warung, tempat kerja, bahkan keluarga.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya Pasal 113 hingga 116, berfungsi sebagai bukti tegas dedikasi pemerintah untuk mengatasi konsekuensi konsumsi rokok. Inisiatif strategis ini telah diperkuat lebih lanjut melalui Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, yang diidentifikasi sebagai Nomor 88/Menkes/PB/I/2011 dan Nomor 7 tahun 2011, yang secara eksplisit menggambarkan parameter Area Non-Smoking (KTR), yang mencakup lembaga pendidikan, area rekreasi anak-anak, serta fasilitas umum lainnya yang sering dikunjungi oleh individu, terutama anak di bawah umur.

Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah untuk mengatur konsumsi rokok untuk menjaga kesehatan masyarakat, meringankan beban ekonomi, dan melindungi generasi muda. Pemerintah harus meningkatkan kerangka peraturan dengan memaksakan kenaikan pajak cukai rokok, melembagakan larangan komprehensif pada semua bentuk iklan rokok dan sponsor, dan memperluas ruang lingkup Kawasan Non-Rokok (KTR) dengan penegakan hukum yang rajin. Sektor kesehatan dan pendidikan harus secara proaktif terlibat dalam pendidikan publik, terutama yang menargetkan anak-anak dan remaja, mengenai bahaya yang terkait dengan penggunaan rokok melalui kampanye inovatif dan inisiatif pencegahan.

Sangat penting bahwa individu mengenali efek merugikan rokok, baik untuk diri mereka sendiri maupun bagi orang-orang di sekitarnya, dan menganjurkan lingkungan bebas asap rokok. Bagi individu yang merokok, berhenti merokok dapat menghadirkan tantangan; Namun, dengan bantuan layanan konseling dan tekad yang tak tergoyahkan, perjalanan menuju perubahan dapat dimulai hari ini. Bersama, kita bisa menciptakan Indonesia yang lebih sehat dan produktif tanpa jeratan asap rokok!



Sumber: Rilis 

Editor: Redaksi

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnaslis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0831 6327 5415 (Pimpinan Umum) 0895 1601 7818 (Pimpinan Redaksi) 082268042697 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.