Portal Berita Al-Kalam

Klasik Goes to SMA Negeri 1 Syamtalira Bayu Raih Antusias Siswa Pelajari Cara Penulisan Berita

Foto: Nurul Fadilah   www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) L...

HEADLINE

Latest Post

03 November 2025

Anak di Bawah Umur Merelakan Waktu Mudanya untuk Mencari Rezeki: Siapa yang Menjamin Masa Depan Anak Bangsa ke Depannya?

Foto: Daffa Alkausar (magang)

www.lpmalkalam.com- Di tengah hiruk pikuk modernisasi dan derasnya arus ekonomi global, masih banyak anak di bawah umur yang terpaksa menukar masa kecil mereka dengan kerasnya kehidupan. Di sudut pasar, di jalanan yang ramai, hingga di area konstruksi, terlihat wajah-wajah belia yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah, namun justru memanggul beban pekerjaan orang dewasa demi sesuap nasi.

Fenomena ini bukan hal baru di Indonesia. Banyak anak yang lahir dari keluarga kurang mampu merasa memiliki tanggung jawab besar untuk membantu orang tua. Mereka menjajakan dagangan, menjadi buruh cuci, pengamen, atau bahkan pemulung. Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan tidak tahu rasanya mengenakan seragam sekolah.

Dari sisi moral, kita patut mengapresiasi semangat dan keikhlasan anak-anak ini. Mereka menunjukkan kemandirian dan rasa tanggung jawab yang luar biasa. Namun di sisi lain, ini adalah cermin buram ketimpangan sosial dan lemahnya perlindungan anak di negeri ini. Seharusnya anak anak menikmati masa muda dengan belajar, bermain, dan bermimpi, bukan terjaga hingga larut malam demi penghasilan yang bahkan tidak seberapa.

Feri berkata, “Aku mengambil keputusan besar yang jarang diambil anak seusiaku. Aku memilih berhenti sekolah dan meneruskan usaha kecil ayahku, yaitu menjual martabak di Rek Bireuen, demi membantu perekonomian keluarga.”

Feri telah memahami arti kerja keras dan pengorbanan, sesuatu yang seharusnya belum menjadi beban anak seusianya.

Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar dari kemiskinan justru harus ditinggalkan. Akibatnya, lingkaran kemiskinan pun terus berputar: anak yang bekerja di usia muda berpotensi tumbuh tanpa pendidikan memadai dan akhirnya sulit mendapatkan pekerjaan layak di masa depan.

Pemerintah sejatinya telah memiliki undang-undang yang melarang pekerja di bawah usia 15 tahun, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta peraturan turunan lainnya yang menjamin hak anak untuk tumbuh, belajar, dan bermain. Namun, peraturan tersebut sering kali hanya berhenti di atas kertas. Di lapangan, penegakannya masih lemah dan pengawasan terhadap pekerja anak di sektor informal nyaris tidak ada. Masih banyak perusahaan kecil maupun sektor informal yang mempekerjakan anak karena alasan “membantu keluarga.” Padahal, hal tersebut justru memperpanjang lingkaran kemiskinan dan menghambat perkembangan sumber daya manusia di masa depan.

Sudah seharusnya kita semua, masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan bersatu menjaga hak anak-anak. Membuka peluang beasiswa, menyediakan lapangan kerja bagi orang tua, serta menegakkan hukum bagi para pelanggar. Karena sesungguhnya, setiap anak berhak memiliki masa kecil yang bahagia, bukan masa kecil yang diselimuti tanggung jawab orang dewasa.

Mari berhenti menganggap kerja anak sebagai “bukti kepatuhan” atau “kemandirian.”

Sebaliknya, mari kita jadikan itu sebagai alarm nurani bahwa masih ada mimpi yang tertunda, mimpi anak anak yang merelakan waktu mudanya untuk mencari rezeki.


Penulis: Daffa Alkausar (magang)

Editor: Putri Ruqaiyah

01 November 2025

Independent Women: Pembelaan Bagi Jiwa Perempuan di Era Modern

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Safa, dosen muda sekaligus Sekretaris Jurusan (Sekjur) Fisika yang populer di kampus karena prestasinya yang luar biasa. Di tengah kesibukan para ibu muda mengurus anak-anak mereka sekolah di pagi hari, Safa sibuk membalas chat (pesan) mahasiswa yang meminta parafnya di kampus. Setiap wanita paruh baya yang melihat Safa pasti akan berkata, "Andai dia menjadi menantuku."

Dia di puja-puja oleh mahasiswanya dan menjadi inspirasi bagi mereka. Berbeda keadaannya jika Safa berada di luar kampus. Keluarga Safa mengkhawatirkan keadaan Safa yang menginjak usia 29 tahun. Para tetangga sibuk membicarakan Safa yang tak kunjung memiliki tujuan hidup, yaitu "menikah." Padahal, bagi Safa tujuan hidupnya bukan hanya sekedar menikah, tetapi benar-benar menikmati hidupnya menjadi seorang perempuan. Perempuan yang berperan dalam hidup sendiri, tidak hanya bergantung pada pasangannya kelak. Bukan tidak mau, tapi Safa masih menunggu seseorang yang benar-benar bisa menjadi partner hidup yang searah dengannya. "Karena wanita independen harus mendapatkan cinta berkelas," itu kata-kata yang selalu menjadi pegangan Safa.

"Perempuan itu tugasnya hanya di rumah. Nanti juga bakal urus dapur, sumur, dan kasur." Kalimat yang tak jarang di dengar oleh Safa, namun dia hanya fokus pada tujuannya. Karena menurutnya, menjadi wanita harus cerdas dan berkualitas sehingga bisa menjadi orang tua yang mampu memberikan semangat untuk anak-anaknya kelak.

Di era modern ini, tak jarang terdengar tentang wanita yang berjuang. Banyak dari mereka yang memilih menjadi independent women. "Untuk perempuan, jika kalian mengikuti aturan agama, tidak perlu bekerja, kalian akan baik-baik saja," begitu kata seseorang yang belum paham betul tentang beberapa perempuan yang belum mendapatkan keberuntungan seperti yang dia katakan. Bukan menyalahi aturan agama, namun banyak muslimah hebat yang bisa dijadikan panutan. 

Menjadi independent women yang sesuai aturan syariat tak kalah hebat, bukan? Dalam Islam pun banyak wanita yang yang bisa dijadikan contoh, seperti: Ibunda Khadijah bint Khuwailid; Arwa al-Sulayhi, sebagai ratu di Yaman yang memimpin politik; Fatimah al-Fihri, yang mendirikan Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko; dan banyak lainnya. Dalam Islam pun tidak menyebutkan bahwa wanita independen termasuk pemberontak, karena sejatinya perempuan berhak mencari keadilan untuk hidupnya.

"Mari menjadi wanita independen, karena perempuan adalah tiang. Tiang tidak harus cantik, tapi harus kuat," tutur Safa sebagai penutup kelasnya pada sore itu.


Penulis: Annisa Maulianda (Magang)

Editor: Tiara Khalisna
 

29 Oktober 2025

Hari Sumpah Pemuda: Menyalakan Kembali Api Sumpah Pemuda di Era Digital

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.comDalam hiruk-pikuk arus modern di masa globalisasi, muncul sebuah pertanyaan yang esensial, apakah generasi masa kini masih memahami makna persatuan layaknya para pemuda 1928 sebelumnya? Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah yang selalu dikenang pada tanggal 28 Oktober, melainkan semangat juang yang berlandaskan identitas bangsa, yakni Tanah Air Satu, Berbangsa Satu, dan Berbahasa Satu (Indonesia).

Sumpah pemuda merangkai makna ikrar:

1. Persatuan di atas Perbedaan

Sumpah pemuda lahir atas kesadaran bahwasanya bangsa yang besar bisa dibangun di kala adanya persatuan para pemuda dari berbagai suku, agama, dan daerah, serta rela menepikan ego kelompok demi satu tujuan, yakni Indonesia merdeka.

2. Bahasa sebagai Simbol Identitas

Bahasa Indonesia menjadi pemersatu yang menghapus batas-batas daerah. Di tengah agresi bahasa asing sekarang, menjaga bahasa Indonesia tetap hidup adalah sebuah bukti juang generasi muda bangsa.

3. Pemuda sebagai Pelaku Perubahan 

Di masa kini, perjuangan bukan lagi mengangkat senjata, tetapi dengan ide karya dan teknologi untuk membangun bangsa. Kreativitas dan kepedulian sosial adalah sebuah bukti nyata Sumpah Pemuda di masa modern kini.

Sumpah Pemuda mengajarkan kita bahwa masa depan bangsa ada pada tangan generasi muda yang berani bersatu, berpola pikir kritis, dan bertindak positif. Semoga semangat juang 1928 tidak hanya dikenang setiap tahun, tetapi dalam tindakan sehari-hari, baik dunia nyata maupun dunia maya.


Penulis: Rozatun Navais (Magang) 

Editor: Tiara Khalisna

 

Hormat Sumpah Pemuda, Merajut Kembali Semangat

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Tanggal 28 Oktober merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, kita semua memperingati Hari Sumpah Pemuda, sebuah momentum yang tercatat dalam sejarah sebagai lahirnya semangat persatuan di tengah keberagaman suku, bahasa, dan daerah yang berjauhan, untuk menjadi satu kesatuan bernama Indonesia.

Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa yang termaktub dalam buku sejarah, tetapi juga merupakan tonggak lahirnya kesadaran bagi para pemuda negeri ini untuk bersatu. Waktu demi waktu terus berlalu, hingga kini kita perlu menanyakan kepada diri masing-masing: “Apakah semangat itu masih ada dan terus kita tumbuhkan?”

Di era digitalisasi saat ini, kita mampu mengakses informasi secara luas. Namun ironisnya, kemudahan tersebut justru sering menimbulkan masalah baru, seperti perpecahan, penyebaran informasi yang salah, serta menurunnya kemampuan berpikir kritis dan berempati di kalangan masyarakat.

Semangat Sumpah Pemuda pada dasarnya terdiri dari tiga pilar utama, yaitu persatuan, kesadaran identitas, dan tanggung jawab kebangsaan. Tantangan pemuda masa kini bukan lagi tentang mengangkat senjata, melainkan melawan bentuk penjajahan baru: penjajahan mental, seperti sikap acuh tak acuh, mementingkan diri sendiri, dan kehilangan arah di tengah arus globalisasi.

Oleh karena itu, memperingati Hari Sumpah Pemuda seharusnya bukan sekadar seremonial atau kegiatan unggah konten di media sosial. Lebih dari itu, peringatan ini menjadi momen untuk kita menghayati kembali dan memahami makna sejati dari Sumpah Pemuda: semangat persatuan, tanggung jawab, dan cinta terhadap tanah air.


Penulis: Ilham Dwi Temas Miwa

Editor: Putri Ruqaiyah
 

28 Oktober 2025

Mengenal Istilah Strict Parents: Pola Asuh Anak yang Berujung Trauma

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Pola asuh orang tua sangat penting dan berpengaruh terhadap anak. Hal tersebut mempengaruhi bagaimana cara anak berperilaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pola asuh yang diterapkan pun sangat beragam, bahkan ada yang sampai menerapkan pola asuh strict parents. Strict parents adalah pola pengasuhan ketat dari orang tua yang melibatkan berbagai aturan dan pembatasan yang kaku terhadap anak. Kekakuan tersebut dapat berupa perilaku, pilihan, hingga rutinitas. Aturan yang diterapkan oleh orang tua dengan pola asuh demikian biasanya diikuti dengan hukuman tertentu. Tak hanya itu, aturan yang ditetapkan juga tidak bisa ditawar sehingga pergerakan anak semakin dibatasi. Sehingga bukannya mendidik anak dengan tepat melainkan mengekang anak tanpa tujuan yang jelas, terutama jika didasari gaya otoriter tanpa kompromi.

Karakteristik dari pola asuh ini diantaranya; Pertama, kontrol yang tinggi dari orang tua terhadap kehidupan anak-anak, termasuk pengawasan terhadap teman-teman dan aktivitas mereka; Kedua, kurangnya fleksibilitas dalam mengubah aturan atau memberikan izin tambahan. Orang tua cenderung memegang teguh aturan yang telah ditetapkan tanpa banyak perubahan; Ketiga, tidak menoleransi kesalahan. Orang tua yang memiliki sikap demikian cenderung memberlakukan hukuman atau konsekuensi yang berat ketika anak melakukan kesalahan; Keempat, Bersikap dingin dan tidak responsif. Orang tua jarang menunjukkan empati terhadap perasaan dan kebutuhan anak. Ketika anak merasa sedih, marah, atau bingung, orang tua dengan pola asuh ini cenderung kurang mampu memahami dan merespons perasaan tersebut; Kelima, menggunakan kata-kata kasar dan mempermalukan anak. Bisa jadi orang tua beranggapan dengan bersikap keras kepada anak dapat membangun disiplin. Hal ini membuat orang tua dengan gaya strict parents melakukan hal tersebut supaya anak tidak mengulangi kesalahan; Keenam, tertutupnya ruang untuk berdiskusi dengan anak. Tipe orang tua ini menganggap kalau anak tidak perlu memberikan pendapat.

Dari pola asuh tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi anak seperti merasakan kepuasan hidup yang rendah. Anak tidak pernah merasa bahagia akibat banyak aturan dan pengawasan dari ayah dan ibunya sehingga anak menjadi mudah stres dan tertekan. Terdapat sebuah penelitian yang menunjukkan kehidupan masa kanak-kanak yang diasuh oleh strict parents, berdampak pada kualitas kehidupan remajanya di masa depan. Dampak negatif lainnya seperti kesulitan dalam mengambil keputusan, tidak bisa mengekspresikan diri, tingkat intensitas konflik yang lebih tinggi, serta meningkatnya kecemasan dan depresi hingga berujung trauma karena ketakutan yang selalu menghantui dirinya. 

Untuk mencegah hal tersebut, penting untuk setiap orang tua mempelajari cara pola asuh yang tepat bagi anak, karena bagaimanapun anak merupakan titipan sekaligus tanggung jawab bagi orang tua. Mempelajari pola asuh yang tepat sangat penting agar membekali orang tua dengan pengetahuan untuk membantu anak tumbuh dengan optimal secara fisik dan mental, serta membangun keluarga  yang harmonis dan mencegah terjadinya strict parents . Jika strict parents ini terus dibiarkan maka akan menghambat tumbuh kembang anak secara baik dan merusak mentalnya. Mental anak yang rusak sangat berpengaruh dengan pola perilakunya sehari-hari seperti menjadi pribadi yang pendiam atau agresif, kesulitan tidur atau makan, hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Dengan mempelajari pola asuh yang tepat, diharapkan dapat mencegah terjadinya strict parents antara orang tua dan anak.


Penulis: Rizky Ramadhani (Magang) 

Editor: Zuhra

26 Oktober 2025

Belajar dari Laba-laba

Foto: Bellivia Al-Kamariana (Magang) 

www.lpmalkalam.com- Laba-laba adalah hewan yang hidup di tengah jaringnya yang kuat dan rapi. Dalam pandangan saya, laba-laba merupakan simbol ketekunan dan ketelitian. Laba-laba menunjukkan bahwa makhluk sekecil apapun memiliki kemampuan luar biasa untuk membangun sesuatu yang rumit dan indah hanya dengan naluri alami.

Laba-laba tidak pernah terburu-buru dalam membangun jaring tersebut. Ia sabar menenun benang demi benang hingga menjadi jaring sempurna. Dari situ kita bisa belajar bahwa hasil yang baik selalu lahir dari kesabaran dan konsistensi. Selain itu, jaring laba-laba juga bisa diibaratkan seperti  kehidupan rapuh jika tidak dijaga, namun kuat bila disusun dengan tekun dan hati-hati.

Meskipun sering dianggap menakutkan, laba-laba sebenarnya berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan memangsa serangga pengganggu. Jadi, daripada takut, kita seharusnya menghargai keberadaannya sebagai makhluk kecil yang membawa manfaat besar bagi alam. 


Penulis: Bellivia Al-Kamariana 

Editor: Tiara Khalisna

 

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.