![]() |
| Foto: Pandemicktalks |
Hancurnya Pulau Sumatra seharusnya mengundang simpati dari berbagai kalangan, terutama pemerintah pusat, khususnya Bapak Presiden Prabowo Subianto beserta jajarannya. Pemerintah seolah tidak acuh akan bencana yang terjadi. Bantuan di Aceh justru lebih cepat dikirimkan oleh negara tetangga, Malaysia. Melalui media sosial, tersebar video-video yang menunjukkan banyak warga terus meminta pertolongan dari dalam air yang ganas maupun di atas atap dengan sejuta harapan untuk hidup.
Pasca bencana, Bapak Presiden turun di tengah-tengah masyarakat. Namun kehadirannya justru membuat keadaan semakin buruk di mata publik. Dalam sebuah wawancara bersama para pers, ia berkata, “Saya kira situasi membaik,” padahal kenyataannya di Aceh Tamiang mayat masih diselimuti terpal, rumah-rumah tenggelam, dan listrik padam.
Tidak hanya itu, di wilayah Aceh Tengah, infrastruktur hancur sehingga wilayah tersebut terisolasi dan tidak mendapatkan bantuan apa pun selama beberapa hari setelah bencana alam menimpa. Melalui media sosial, tersebar pula berita bahwa masyarakat tidak butuh bantuan makan dan minum, tetapi cukup dikirimkan kain kafan. Bukankah hal tersebut sangat ironis?
Keadaan jelas memburuk. Masyarakat bukan hanya mati karena bencana alam, melainkan juga mati karena kelaparan. Aceh yang mencoba sembuh dari trauma tsunami 21 tahun silam kembali berduka dan justru lebih memprihatinkan. Dahulu pemerintah langsung mengirimkan bantuan, namun sekarang pemerintah pusat hadir beberapa hari setelah bencana terjadi. Banyak yang menilai bahwa tempat yang dikunjungi oleh pemerintah merupakan wilayah yang tidak terlalu terdampak. Pemerintah mengatakan tidak ada wilayah terisolasi, tetapi realita memang tidak seindah omong-omong. Kehadiran pemerintah seolah hanya formalitas agar tidak diturunkan dari jabatannya.
Jajaran pemerintahan yang turun seolah sedang berlibur ke tempat bencana. Tidak ada wajah-wajah kepedihan terlihat di antara mereka; jika ada, jelas itu hanya formalitas. Pada unggahan video beredar, pelaku kerusakan hutan yaitu Zulkifli Hasan seolah sedang mencari popularitas dengan menggendong satu sak beras yang disorot oleh berbagai angle kamera. Di tempat lainnya, Verrel Bramasta, seorang anggota DPR RI, justru turun menggunakan rompi antipeluru dengan tulisan namanya. Apakah ia lupa bahwa ini tempat banjir bandang, bukan tempat peperangan? Ia tampak menunjukkan pose terbaiknya dengan menunjuk berbagai arah yang diikuti angle kamera yang baik pula.
Selain utusan presiden, terdapat pula Bupati Aceh Utara yang mencoba menjilat kepada presiden dengan mengatakan, “…Kalau bisa Bapak Presiden Prabowo menjadi presiden seumur hidup.” Masih banyak kejadian janggal yang disajikan pemerintah, salah satunya terkait status bencana ini yang tidak dikategorikan sebagai bencana nasional.
Bencana yang sudah menghabiskan tiga provinsi di Indonesia dengan beribu korban jiwa hingga saat ini statusnya sebagai bencana nasional masih menjadi angan-angan para korban. Banyak masyarakat bertanya: apa yang sebenarnya terjadi di Sumatra? Akankah keadaan hanya mencekam di media sosial saja seperti ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto? Jelas keadaan di lapangan jauh lebih mencekam dibandingkan di media sosial seperti yang diujarkannya.
Pemerintah mengatakan ini adalah bencana alam yang terjadi karena curah hujan yang tinggi. Argumen tersebut jelas tidak relevan dengan yang terjadi di tiga provinsi yang telah disebutkan. Para korban memperlihatkan adanya batang-batang pohon yang sudah ditebang dan terbawa arus banjir bandang di tiga provinsi.
Penemuan itu dibantah oleh pemerintah yang mengatakan bahwa pohon-pohon tersebut merupakan hasil dari tanah longsor yang kemudian terbawa hujan deras. Namun hal tersebut dinilai tidak masuk logika, karena pohon yang roboh karena bencana alam seharusnya masih memiliki ranting dan daun, tidak seperti keadaan di lapangan. Pohon-pohon yang masih keras itu justru terpotong rapi, bahkan terdapat tulisan nomor yang mengisyaratkan bahwa pohon itu dijadikan pilihan untuk ditebang. Penebangan ini bertujuan untuk perluasan lahan sawit milik oknum tertentu, salah satunya milik Presiden Republik Indonesia (RI) saat ini, Prabowo Subianto.
PT Tusam Hutani Lestari yang mengelola 97.300 hektare di tiga wilayah Aceh yaitu Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara menjadi salah satu faktor parahnya banjir yang terjadi. Penebangan hutan yang digantikan pohon sawit bukanlah reboisasi, karena sawit tidak mampu menahan air layaknya pohon-pohon hutan. Ironis sekali jika seorang pemimpin berpikir bahwa sawit mampu meresap air hujan hanya karena sama-sama pohon dan memiliki daun. Dalam hal ini, apakah menurut saudara daun putri malu mampu menampung air hujan dan jika ditanam di lereng bisa mencegah longsor? Jawabannya tentu saja tidak.
Belum habis kepedihan terkait status bencana nasional, pedihnya lagi beberapa negara luar yang juga ingin membantu justru belum mendapatkan izin dari pemerintah pusat. Ada apa dengan pemerintah pusat? Ada apa dengan Sumatra? Akankah Sumatra masih menjadi bagian NKRI? Muzakir Manaf selaku Gubernur Aceh juga telah mengungkapkan ketidaksanggupan menangani bencana ini. Bencana yang telah menghilangkan beberapa desa di Aceh menjadi alarm pengingat kisah kelam 21 tahun silam. Seharusnya status bencana nasional dikeluarkan ketika pemerintah daerah tidak mampu menangani bencana tersebut. Namun kenyataannya berbanding terbalik, seolah Presiden RI tidak mau usahanya diawasi dan ditutup. Dalam kejadian ini tampak bahwa uang berada di atas segalanya, bahkan di atas nyawa sekalipun.
Ibu Pertiwi berduka bukan karena kemarahan alam, tetapi karena ulah para penguasa yang haus kekuasaan, jabatan, dan uang.
Penulis: Ririn Dayanti Harahap


