![]() |
Foto: istockphoto.com |
Pendahuluan
Sejak
reformasi 1998, Indonesia mengalami gelombang demokratisasi yang membuka ruang
publik secara luas, termasuk untuk wacana keagamaan. Di tengah euforia
kebebasan sipil, muncul pertarungan ideologis antara berbagai arus pemikiran
Islam, baik yang berakar dari tradisi lokal maupun yang terinspirasi dari
gerakan transnasional. Fenomena ini menandai era baru politik Islam di
Indonesia,bukan hanya sekadar partisipasi partai Islam dalam pemilu, tetapi
juga dinamika wacana, pengaruh budaya global, dan benturan ideologis yang
memengaruhi arah kebijakan negara.
Pengaruh Arus
Islam Global
Gerakan
Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, Salafiyah-Wahabiyah, Hizbut
Tahrir, hingga kelompok Jihadi transregional seperti Al-Qaeda dan ISIS telah,
secara langsung maupun tidak langsung, memengaruhi segmentasi masyarakat Muslim
Indonesia. Meskipun tidak semua gerakan ini memiliki basis kuat secara
institusional, pengaruh wacananya menyebar cepat melalui media sosial, dakwah
daring, dan pendidikan informal.
Dalam
konteks politik domestik, beberapa gerakan Islam ini menawarkan alternatif
terhadap sistem demokrasi liberal yang dianggap sarat kompromi. Narasi
khilafah, penolakan terhadap pluralisme, serta ide tentang “Islam kaffah”
menjadi jargon yang menantang ideologi kebangsaan dan prinsip Pancasila. Ini
menciptakan dualisme antara Islam sebagai moral-spiritual versus Islam sebagai
ideologi politik kekuasaan.
Politik Islam
Lokal vs Transnasional
Kekuatan
Islam lokal seperti NU dan Muhammadiyah tetap menjadi jangkar utama Islam
moderat di Indonesia. Namun, dalam dua dekade terakhir, kelompok-kelompok
dengan orientasi transnasional mulai menembus ruang politik dan sosial.
Fenomena 212 adalah bukti kuat bagaimana mobilisasi berbasis identitas agama
dapat mengguncang struktur politik nasional.
Ironisnya, sebagian partai politik baik Islam maupun nasionalis menunggangi isu-isu keagamaan untuk mendapatkan legitimasi elektoral. Akibatnya, batas antara ekspresi keagamaan dan eksploitasi politik menjadi kabur. Politik identitas berbasis agama pun kerap melahirkan polarisasi yang tajam di masyarakat.
Negara di Persimpangan
Negara
Indonesia sebagai entitas sekuler dengan mayoritas Muslim, berada di
persimpangan jalan. Di satu sisi, negara menjamin kebebasan beragama dan ruang
ekspresi keislaman. Namun di sisi lain, negara dituntut menjaga kohesi sosial,
melawan intoleransi, dan mencegah penyusupan ideologi transnasional yang
mengancam konstitusi.
Upaya seperti pembubaran HTI, pelarangan paham khilafah di sekolah, dan penertiban konten ekstrem di media sosial adalah bentuk respons negara terhadap pertarungan global ini. Namun langkah ini harus diimbangi dengan penguatan Islam kultural dan pembaruan pemikiran Islam yang progresif agar umat tidak mudah tergoda oleh retorika ideologis semata.
penutup
Pertarungan Islam global dalam dinamika politik Indonesia pasca reformasi bukan sekadar benturan ideologis, tetapi juga pertarungan wacana, kepentingan, dan legitimasi. Masyarakat Indonesia harus jeli membedakan antara agama sebagai nilai luhur dan agama sebagai alat politik. Bila tidak, kita berisiko kehilangan substansi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dan terjebak dalam arena konflik simbolik yang mengoyak kesatuan bangsa.
Editor: Indira Ulfa