![]() |
Foto: istockphoto.com |
PENDAHULUAN
Politik Islam adalah sebuah konsep yang sejak lama mengundang perhatian. Dari masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, hingga zaman kontemporer, keberadaan politik yang berlandaskan ajaran Islam memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan masyarakat dan negara. Islam, sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, mencakup di dalamnya aspek politik, ekonomi, sosial, dan hukum. Namun, dalam perkembangannya di abad modern, politik Islam seringkali mengalami pergeseran makna yang disesuaikan dengan konteks kekuasaan dan kepentingan kelompok tertentu. Ini membawa pertanyaan, apakah politik Islam masih relevan dengan tujuan awalnya sebagai alat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi umat?
Seiring berjalannya waktu, fenomena politik identitas berbasis agama mulai mendominasi berbagai perdebatan politik di dunia Muslim, termasuk di Indonesia. Islam yang seharusnya menjadi petunjuk hidup yang memandu umat menuju kehidupan yang lebih baik, justru sering dipolitisasi untuk kepentingan elektoral dan mendapatkan dukungan massa. Kampanye dengan menggunakan simbol-simbol agama, seperti klaim bahwa “pemimpin yang baik adalah pemimpin Muslim” atau “partai Islam adalah satu-satunya solusi”, banyak ditemui dalam dinamika politik modern. Simbol-simbol ini menciptakan kesan seolah-olah kepemimpinan berbasis agama adalah jalan terbaik untuk kemajuan bangsa, padahal sering kali terabaikan substansi dari kebijakan yang dihasilkan.
Pada dasarnya, Islam mengajarkan politik yang berorientasi pada keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan umat. Dengan landasan ini, politik Islam seharusnya mampu menciptakan sistem pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan (al-‘adl), kesetaraan, dan perlindungan terhadap hak-hak dasar setiap individu, baik Muslim maupun non-Muslim. Namun, dalam praktiknya, politik berbasis agama sering kali lebih mengutamakan identitas politik dan afiliasi kelompok tertentu daripada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir kelompok, sementara yang lain tetap terpinggirkan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah politik Islam masa kini hanya menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu, ataukah ia bisa kembali kepada tujuan asalnya, yakni untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur? Untuk menjawabnya, kita perlu kembali kepada prinsip dasar yang terkandung dalam maqashid syari’ah tujuan hukum Islam yang menekankan pada perlindungan agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Maqasid ini seharusnya menjadi landasan yang kuat dalam setiap kebijakan politik, mengingat bahwa inti dari politik Islam adalah untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat.
Oleh karena itu, artikel ini berupaya untuk menganalisis kembali bagaimana politik identitas dalam Islam berkembang di dunia modern dan apa pengaruhnya terhadap pembentukan kebijakan publik yang berlandaskan pada maqashid syari’ah. Di dalamnya, akan dibahas pula bagaimana politik berbasis agama seringkali menyimpang dari tujuan awal Islam dalam menciptakan keadilan sosial, serta bagaimana politik Islam yang sejati dapat kembali memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia. Artikel ini bertujuan untuk membuka ruang bagi refleksi dan kritik terhadap praktik politik Islam kontemporer, dengan harapan dapat memperkuat penerapan nilai-nilai Islam yang sejati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
PEMBAHASAN
1. Politik Islam dan Maqashid syari’ah
Politik Islam pada dasarnya tidak hanya berfokus pada penerapan hukum syariah, tetapi lebih luas, yakni menciptakan kesejahteraan umat dengan mengedepankan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan perlindungan hak-hak dasar. Salah satu konsep utama yang perlu dipahami adalah maqashid syari’ah, yang berfokus pada lima aspek utama: agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta. Konsep ini menuntut kebijakan yang tidak hanya mempertimbangkan hukum semata, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial dan ekonomi demi kebaikan umat.
Namun, pada kenyataannya, banyak kebijakan yang mengklaim berbasis Islam sering kali lebih mementingkan simbol identitas keagamaan daripada menjalankan prinsip-prinsip maqasid yang substansial. Banyak pihak yang memanfaatkan Islam sebagai alat politik demi kekuasaan, sementara esensi keadilan yang menjadi tujuan utama dalam ajaran Islam seringkali terabaikan. Inilah yang memunculkan dilema, apakah politik Islam masa kini benar-benar mencerminkan tujuan aslinya atau sekadar menjadi alat untuk meraih kekuasaan.
2. Politik Identitas: Mobilisasi atau Perebutan Kuasa?
Fenomena politik identitas berbasis agama semakin marak, terutama di negara-negara dengan mayoritas Muslim. Penggunaan simbol agama, seperti "pemimpin muslim" atau "partai Islam", sering digunakan sebagai cara untuk mendapatkan dukungan politik, meski sering kali tidak diikuti dengan komitmen pada nilai-nilai yang seharusnya diusung oleh politik Islam itu sendiri. Dalam banyak kasus, politik identitas ini cenderung lebih fokus pada pembentukan citra dan penguatan basis massa ketimbang menciptakan kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Politik identitas berbasis agama ini sering memecah belah masyarakat dan mengabaikan tujuan utama Islam, yaitu menjaga persatuan dan kesatuan umat. Ali Abdel Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Usul al-Hukm mengingatkan bahwa Islam tidak memerlukan negara berbasis agama untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, politik berbasis agama harusnya berfungsi untuk memajukan umat, bukan justru memperburuk polarisasi dan mengabaikan kepentingan kelompok-kelompok yang lebih lemah.
3. Maqashid syari’ah sebagai Koreksi Politik Islam
Untuk mengembalikan politik Islam ke jalur yang benar, maqashid syari’ah harus dijadikan pedoman dalam pembuatan kebijakan. Politik Islam yang seharusnya menekankan kesejahteraan umat bukan hanya dalam bentuk simbol agama, tetapi juga dalam bentuk kebijakan yang konkret dan menyentuh kehidupan rakyat. Misalnya, negara harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil berfokus pada perlindungan hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi, bukan sekadar memanfaatkan agama sebagai alat mobilisasi politik.
Penerapan maqashid syari’ah dapat memperbaiki kualitas hidup umat dengan cara menciptakan sistem yang adil dan inklusif, serta mengurangi ketimpangan sosial. Politik yang berfokus pada maqāṣid ini juga dapat mendorong negara untuk memprioritaskan program- program sosial yang memperhatikan kepentingan rakyat kecil dan mereka yang terpinggirkan. Ini adalah bentuk implementasi sejati dari nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan sosial dan kemaslahatan umat.
4. Tantangan dan Peluang Politik Islam di Masa Depan
Tantangan terbesar dalam politik Islam ke depan adalah bagaimana menghindari politik identitas yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Untuk itu, diperlukan kesadaran kolektif dari umat Islam untuk mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bersama. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun budaya politik yang lebih matang, di mana prinsip-prinsip maqashid syari’ah menjadi dasar dalam setiap kebijakan dan keputusan yang diambil.
Namun, ada juga peluang besar dalam perkembangan teknologi dan komunikasi saat ini. Dengan adanya media sosial dan platform digital, umat Islam dapat lebih mudah mengorganisir diri dan mempengaruhi kebijakan publik secara lebih luas dan transparan. Ini membuka ruang bagi masyarakat untuk lebih aktif mengawal penerapan prinsip-prinsip maqāṣid dalam pemerintahan dan kebijakan publik yang lebih berpihak pada rakyat banyak.
PENUTUP
Politik Islam seharusnya berfokus pada penerapan prinsip-prinsip maqashid syari’ah yang menekankan keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan hak-hak dasar umat. Namun, dalam praktiknya, politik identitas berbasis agama sering kali lebih mengutamakan simbol dan kepentingan kelompok tertentu dari pada memperjuangkan kepentingan umat secara keseluruhan. Untuk mewujudkan politik Islam yang sejati, diperlukan kesadaran kolektif untuk mengembalikan substansi politik Islam ke tujuan awalnya, yaitu kemaslahatan umat. Dengan memanfaatkan teknologi dan komunikasi yang ada, umat Islam memiliki peluang untuk memperkuat penerapan prinsip maqashid syari’ah dalam kebijakan publik yang adil dan inklusif, demi kemajuan bersama tanpa terjebak dalam polarisasi identitas.
Referensi :
Abdel Rāziq, A. (2002). Al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm: Bahth fī al-Khilāfah wa al-Ḥukūmah fī al-Islam. Penerbit Jendela.
Hidayah, N. B. (2024). Makna kekuasaan dalam politik Islam di Indonesia. De Cive: Jurnal Penelitian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 4(10), 369–374.
Muchlis, S. (2022). Analisis maqashid syariah mengenai kaitan kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial. Al-Mustadam: Jurnal Studi Islam dan Pembangunan, 9(1), 1–15.
Ridwan, & Pababbari, M. (2025). Politisasi agama dan politik identitas. Litera Academica,
Ridwan, M., & Pababbari, M. (2024). Politik Islam, prinsip keadilan dan kemaslahatan umat. Kompasiana.