Portal Berita Al-Kalam

LPM Al-Kalam Gelar Kegiatan KLASIK di MAN Kota Lhokseumawe: Menumbuhkan Semangat Jurnalisme Sejak Dini

Foto: Jati Mainah www.lpmalkalam.com – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menyelenggarakan kegiatan K...

HEADLINE

Latest Post

20 Agustus 2025

BISIKAN HATI

Foto: Pexel.com

 www.lpmalkalam.com- 

Semilir angin kurasakan berhembus menerpa wajahku. Ternyata sudah sejauh ini aku bertahan. Tiga tahun telah berlalu setelah kejadian itu. Namaku Maura Sanjaya, biasa dipanggil Ara. Kejadian tiga tahun lalu adalah hal yang paling pilu yang pernah kurasakan. Mengingatnya pun serasa hati ini masih pedih. Saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki bernama Rian Ardiansyah. Ya, nama itu telah mengukir memori indah sekaligus perih dalam hidupku.

Aku dan dia telah menjalin hubungan selama empat tahun. Bersamanya aku merajut masa depan. Dia tak pernah sekalipun mengecewakanku, bahkan selalu membuatku bahagia. Setiap tingkah lakunya yang manis membuatku nyaman berada di dekatnya. Dia bisa memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, ayah, ataupun kekasih. Rasanya aku sangat beruntung memilikinya saat itu. Dia berjanji bahwa suatu saat nanti ia akan meminangku. Hingga pada tiga bulan terakhir sebelum kejadian itu, dia berubah. Bahkan tak menggubrisku sama sekali. Dia yang begitu hangat, mendadak menjadi dingin.

Entah apa yang membuatnya berubah. Ia bahkan menghilang tanpa kabar setelah itu. Hari demi hari aku terpuruk karena kepergiannya. Hidupku terasa sesak. Aku berpikir keras apa salahku. Kucoba hubungi dia berkali-kali, tetapi tetap nihil, tak ada balasan darinya. Hingga suatu hari ia menghubungiku melalui telepon. Hatiku berdegup kencang, rasa rinduku membuncah. Ingin sekali kudengar alasan panjang mengapa ia pergi tanpa kabar. Dalam hati aku berharap bahwa kabar darinya bukanlah kabar buruk, melainkan kabar bahagia.

“Hai, Ara, sudah lama ya kita tidak berkabar,” sapanya dari seberang.

Aku tersenyum meski sudah tak sabar menunggu penjelasannya.

“Hai, Rian, bagaimana kabarmu? Kau tahu, setiap detik aku menunggu kabar darimu.”

“Ara, maafkan aku ya. Rasanya hubungan kita tidak perlu dilanjutkan lagi. Aku dijodohkan oleh orang tuaku dan aku menerima perjodohan itu.”

Duniaku seakan runtuh seketika. Aku terpaku dengan kata-katanya. Bagai petir menyambar, hatiku perih mendengarnya, terlebih karena itu terucap langsung dari mulutnya. Kuterdam sejenak, tak menggubrisnya yang terus memanggilku lewat telepon.

Air mataku mengalir begitu saja. Teringat janji-janji manisnya yang ternyata semu belaka. Kuseka air mataku, berusaha agar suaraku tidak terdengar parau.

“Alasanmu apa, Rian, menerima perjodohan ini?” tanyaku, berharap ia memberi penjelasan.

“Kurasa perasaanku sudah hilang untukmu, Ara. Aku bosan denganmu. Aku juga merasa kita tidak cocok.”

Aku tak bisa berkata-kata. Kututup teleponku. Seketika tubuhku lemas tak berdaya. Pikiranku terus terngiang-ngiang: lalu apa arti dari hubungan empat tahun itu dengan segala kenangannya?

Kuputuskan untuk pergi berziarah ke makam Sunan Ampel. Berharap ada ketenangan jiwa di sana dan membuat perasaanku lebih baik. Sesampai di sana, kuluapkan segala emosi yang kurasakan selama ini. Tangisku pecah tak terbendung. Dalam tangisan itu, terkadang kusalahkan diriku sendiri. Mengapa aku harus bertemu dengan lelaki sepertinya? Mengapa aku harus jatuh cinta? Rasanya tak sanggup aku menahan segala pedih ini.

Cukup lama aku berada di sana, mengutuki diriku yang percaya dengan segala janji manisnya. Sepulang dari sana, entah mengapa hatiku serasa lebih tenang dan lebih ikhlas. Meski aku tahu luka itu butuh waktu untuk sembuh dengan sendirinya. Hari-hari berikutnya kuj jalani dengan lebih tenang dan ikhlas. Aku ikhlas menerima segala yang sudah terjadi. Kupercaya bahwa Allah tahu yang terbaik untukku. Aku yakin Allah berhak membolak-balikkan hati seseorang. Aku rela menerima segala takdir yang telah diberikan.

Di balik setiap ketentuan Allah, pasti ada hikmah. Namun tak bisa kupungkiri, setelah tiga tahun berlalu, aku masih tak bisa membuka hati untuk siapa pun. Saat ini, aku fokus memperbaiki diri. Terkadang aku ingin merasakan cinta sama seperti teman-temanku. Tetapi aku tak ingin memaksakan diriku. Biarlah semua berjalan apa adanya, sambil terus kupanjatkan doa agar Allah memberikanku pengganti yang terbaik menurut-Nya. Aku merasa tak apa lelah menanti, jika kelak orang itu yang akan membuatku bahagia dan menerimaku apa adanya.

Kejadian itu membuatku belajar bahwa tak semua yang kita cintai akan berakhir menjadi milik kita. Cukup cintai sewajarnya, karena jika suatu saat ia pergi, kita sudah tahu bahwa segala sesuatu yang datang pasti akan pergi. Satu lagi kata-kata dari temanku yang tak akan kulupa.

“Tak perlu buru-buru mencari yang baru, karena yang terbaik akan datang dengan sendirinya.”


Penulis: Maulidyatul Khaira

Editor: Putri Ruqaiyah

15 Mei 2025

BOM WAKTU

foto: Pixabay


www.lpmalkalam.com- Ini dongeng tentang sepasang anak manusia yang memiliki bom waktu. Mereka mengasuhnya dengan baik, teliti, dan mengagungkannya bak anugerah terindah bagi mereka. Tapi mereka keliru, yang mereka rawat itu bukanlah anugerah melainkan bom waktu. Ia lahir dari harapan-harapan yang mereka ciptakan sendiri. Mereka memberi makanan, pakaian, pendidikan yang sedemikian rupa serta tempat berteduh. Namun, bersamaan dengan itu mereka menanggalkan telinga mereka, menutup rapat-rapat mata mereka akan kenyataan bahwa bom waktu itu juga punya perasaan, punya keinginan. Mereka tak pernah benar-benar melihatnya. Tak pernah benar-benar mendengarnya. Mereka selalu membungkam sang bom waktu dengan kata-kata yang terdengar seperti mantra "kami tahu yang terbaik untukmu,"  ataupun "ini demi kebaikanmu." 

Meski begitu, bom waktu itu terus tumbuh. Walau tanpa jati diri, tanpa suara. Seakan ia tidak pernah berhak akan hidupnya. Baginya, akan selalu ada hari dengan bayang-bayang pertanyaan, "untuk apa aku dilahirkan? mengapa aku tetap menjalani hidup ini?" diikuti dengan kesedihan yang segelap lautan, seakan ia hidup dalam gelap malam tak berujung. 

Pernah ia bersuara akan hal sepele "kapan terakhir kali ayah menanyakan warna kesukaan-ku?" manusia yang disebut ayah itu menoleh "bukankah kau menyukai hijau?"  ia tersenyum getir. Tidak, seumur hidupnya ia membenci warna itu, tapi karena jika ia mengatakan warna lain, yang datang hanyalah sindiran atau tatapan kecewa. Maka ia belajar untuk menyukai apa yang mereka sukai. Bukan karena suka, tapi karena takut akan cacian yang akan ia dapatkan karena bersuara. 

Anehnya bom waktu itu tetap tumbuh, meski dengan jiwa yang menyimpan luka. Tidak sekalipun ia meledak, belum tentu jiwanya akan sembuh. Tapi, dentumnya kini terdengar lebih jelas dalam pikirannya. Sebuah pertanyaan terus mengendap "Kapan kalian akan mengerti? Apakah kata maaf sesulit itu untuk diucapkan?" Menghitung detik demi detik hingga dimana bom waktu itu akan berhenti berdetak. Bukan karena akhirnya ia meledak, tapi karena lelah. Diam tak lagi cukup untuk didengar, dan menangis pun tak lagi punya tempat untuk jatuh. Bangunan yang mereka sebut rumah untuk pulang pun sudah lama kehilangan damainya. Dan saat itu tiba, mereka hanya bisa menyesal dan bertanya-tanya, "Mengapa ia tak pernah bicara?" padahal suara itu sudah lama ada, hanya saja tak pernah mereka anggap sebagai kebenaran.


Penulis: Khairatun Naja

Editor: Tiara Khalisna

13 Mei 2025

Perempuan yang Membawa Senja

 

foto: pexels.com

www.lpmalkalam.com- Setiap sore, di jalan berbatu menuju bukit kecil di pinggir desa, tampak sosok perempuan bergaun sederhana membawa sesuatu di pelukannya, seberkas warna jingga yang mengalir dari tangannya ke udara. Anak-anak sering berlari mengikutinya, tertawa-tawa, berusaha menangkap kelopak cahaya yang mengambang di sekitarnya.

Mereka memanggilnya Dara. Bagi penduduk desa, Dara bukan perempuan biasa. Ia datang entah dari mana, dan membawa senja di jemarinya. Setiap langkahnya menaburkan langit merah, setiap helaan napasnya mengalirkan bayang-bayang emas ke sawah dan pepohonan.

Tak ada yang tahu dari mana Dara mendapatkan senja itu. Beberapa orang bilang ia adalah utusan dewa, dikirim untuk mengobati bumi yang mulai lelah. Yang lain berkata, ia hanya perempuan yang patah hati, membawa warna langit untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Namun Dara tidak pernah bicara banyak. Ia hanya tersenyum tipis, matanya memantulkan semburat warna yang berubah-ubah, seakan menyimpan seribu matahari kecil di dalamnya.

Suatu sore, hujan turun tanpa peringatan. Desa menjadi abu-abu. Anak-anak yang biasa mengejar Dara bersembunyi di kolong rumah, sementara para petani menutup ladang dengan tarpal lusuh. Tapi Dara tetap berjalan.

Di bawah hujan, senja di tangannya tidak padam. Warnanya justru menjadi lebih dalam merah darah, jingga pekat, ungu membara. Langit melihat Dara, dan sejenak hujan pun mereda, membiarkan perempuan itu melukis cakrawala sekali lagi.

Sejak hari itu, desa percaya senja bukan hanya tentang matahari yang jatuh. Senja adalah tentang perempuan kecil yang berjalan di antara hujan dan harapan, membawa warna untuk dunia yang nyaris lupa bagaimana caranya bermimpi.

karya: Rahmi Izzati (Rilis)

26 April 2025

Great Mates

Sumber: Unsplash.com


www.lpmalkalam.com- Matahari baru saja terbit ketika Rizza dan Adit bersiap meninggalkan kostan mereka. Mereka tinggal di tempat kostan yang berbeda, Rizza tinggal di sebuah kost-an gang kecil yang tak jauh dari kampus, sementara Adit tinggal di kost-kostan berbentuk ruko di seberang jalan kampus, mereka tetap selalu berangkat bersama.

Saat Rizza hendak berangkat kuliah dan sedang menyeberang jalan, matanya tertuju pada Adit yang masih berada di kosan, yang sedang mencoba menyalakan motornya, namun tak kunjung menyala.

“Oii, Dit!, kenapa? mogok, ya?,” teriak Rizza dari seberang jalan, yang tak jauh dari kost Adit.

Rizza lalu menghampirinya dan Adit menjawab, “Ngambekan lagi nih motorku.”

“Yasudah, bareng aku aja,” ujar Rizza.

Akhirnya, mereka pun berangkat bersama menuju kampus.

Sesampainya di kampus, mereka melihat Dika dan Ilham yang juga baru tiba di area parkir. Mereka saling menyapa hangat dan melakukan tos sebagai bentuk salam persahabatan, lalu bersama-sama berjalan masuk ke ruang kelas untuk mengikuti perkuliahan.

Setelah perkuliahan usai, Rizza dan Adit menuju ruang jurusan untuk mengembalikan infokus.

“Buruan, Dit! Dika sama Ilham udah pada nungguin di kantin Bude!,” seru Rizza sambil memegang pulpen entah dari mana ia dapatkan.

Adit meraih jaketnya. “Iya, iya! Sabar dulu napa,” ujarnya sambil mengikat tali sepatu. Rizza, yang mulai tak sabar, meraih tas di punggung Adit lalu menariknya paksa.

“Lama banget, nih anak. Kalau nggak diseret, nggak jalan-jalan,” gumam Rizza.

“OI OI SABARR!! YA ALLAH…” Teriak Adit disepanjang koridor kampus.

Sementara itu, Dika dan Ilham sudah menunggu di kantin Bude. Mereka memang berbeda latar belakang. Keduanya tinggal di rumah masing-masing yang cukup jauh dari kampus. Tapi perbedaan itu tak pernah menciptakan jarak di antara mereka. Sejak awal semester, keempatnya langsung klop gara-gara 1 kelompok, maka berawal dari situ mereka kuliah bareng, main futsal, nongkrong, sampai saling curhat soal cinta dan hidup.

Kantin Bude sudah menjadi markas tetap mereka. Tempat semua cerita bermula, dari tugas kelompok, drama percintaan, hingga impian masa depan. Kadang mereka sampai terlambat masuk kuliah karena terlalu asyik mengobrol di kantin Bude.

Ketika Rizza dan Adit sampai di kantin, Ilham berkata sambil bercanda, “Waktu habis, pulang Juna!.”

“Lama banget, bro! Udah laper nih,” goda Dika saat melihat dua anak kos itu datang.

“Lho? Tadi dirumah ga makan?,” balas Adit sambil duduk.

“Keburu telat bro, ytta lah ya.” Ucap Dika.

Ilham tertawa. “Tapi anak kost biasanya yang paling tahan banting. Hebat kalian berdua, it’s the best! otok otok otok.”

“Oh iya dong, anak jantannya emak nih!,” jawab Rizza sambil memamerkan ototnya.

Obrolan pun mengalir seperti biasa, diiringi tawa dan candaan. Namun hari itu, suasananya terasa sedikit berbeda. Ada kegelisahan yang menggantung di antara mereka.

“Nanti kalau kita lulus... masih bisa begini nggak, ya?”, tanya Rizza tiba-tiba.

Hening sejenak, pertanyaan itu menyentuh hati setiap orang di meja itu.

“Kita bakal sibuk. Mungkin kerja di kota yang berbeda. Tapi...” Ilham menjawab, “Kalau kita benar-benar sahabat, kita pasti nyempetin ketemu. Teman sejati nggak akan luntur cuma karena jarak.”

Dika mengangguk. “Kita ini bukan cuma teman kampus. Kita ini Great Mates teman main, teman hidup.”

Rizza tersenyum. Ia menatap ketiga sahabatnya dengan penuh rasa syukur. Mereka memang bukan saudara sedarah, tapi ikatan di antara mereka mungkin jauh lebih kuat.

Di kantin kecil itu, di antara deru motor dan aroma nasi goreng, empat sahabat mengikat janji tak tertulis, apa pun yang terjadi, mereka akan tetap bersama.


Sumber: Rilis

Editor: Redaksi

12 November 2024

Arti Sebuah Perjuangan Seorang Ayah Untuk Anaknya

 

Foto: Pixabary.com

www.lpmalkalam.com- Perjuangan seorang ayah untuk anaknya adalah bentuk kasih sayang yang mendalam dan tak kenal lelah. Ayah berjuang demi masa depan anak-anaknya, sering kali dalam diam dan tanpa pamrih. Ia mungkin tidak selalu mengungkapkan perasaannya, tetapi semua kerja keras, pengorbanan waktu, bahkan rasa lelah yang ditahan, adalah bukti cinta dan kasih sayang.

Ayah akan berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga, memastikan anak-anaknya mendapat konsumsi dan pendidikan yang baik, dan membangun lingkungan yang aman dan nyaman. Setiap keringat yang jatuh adalah bentuk perjuangan agar anaknya tumbuh dengan peluang yang lebih baik. 

Bagi seorang ayah, kebahagiaan anak adalah kebahagiaan dirinya. Meskipun ia sering berperan sebagai sosok yang kuat dan tangguh, di dalam hatinya ia selalu berdoa dan berharap yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya. Perjuangan adalah cinta yang diwujudkan dalam tindakan nyata setiap hari.


Oleh: Alif Maulana (Magang)

Editor: Redaksi

08 Februari 2023

MUBES LPM Al-Kalam Ke-IV, M. Akbar Dipercayai untuk Memimpin Kembali

Foto: Maulidiyatul Ukhra/lpmalkalam.com

www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam IAIN Lhokseumawe menyelenggarakan Musyawarah Besar (MUBES) Ke-lV, yang diselenggarakan pada Rabu, 08 Februari 2023, dengan tema "Satukan Gagasan untuk Wujudkan Regenerasi dengan Menjunjung Tinggi Kualitas PERSMA dan Integritas yang Unggul" di gedung Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Lhokseumawe. 

Musyawarah ini dihadiri oleh segenap Pengurus LPM Al-Kalam, Kru Aktif, Kru Muda, Alumni LPM Al-Kalam dan juga Pembina LPM Al-Kalam. 

MUBES dibuka dengan laporan ketua panitia yang disampaikan oleh Maulidiyatul Ukhra. 

Ia menyebutkan, "MUBES LPM Al-Kalam ke-VI ini dilangsungkan secara online dan offline. Hal ini karena masih banyak kru aktif, pengurus, dan kru muda yang berada di luar kota," ucapnya.

MUBES Ke-IV LPM Al-Kalam dibuka langsung oleh Pembina LPM Al-Kalam, Dr. Syarifah Rahmah, M.Ag. Ia turut berpesan bahwa yang terpilih untuk menjadi Pemimpin Umum nantinya haruslah yang terbaik.

"Siapapun yang terpilih dialah yang terbaik, yang kalian anggap dapat menjalankan amanah dengan baik," ujarnya.
Foto: Maulidiyatul Ukhra/lpmalkalam.com
Setelah dibuka oleh Pembina, pelaksanaan MUBES ke-lV LPM Al-Kalam 2023 tersebut dipimpin oleh Alya Maulida Nabila, Dahlia Suryani Siregar dan M. Akbar selaku presidium sidang sementara. Kemudian dilanjutkan oleh Najimah Munira, Rayhanun Jannah dan Mutia Wardani sebagai presidium sidang tetap.

Menurut keterangan dari ketua panitia, sampai dengan sidang dilaksanakan, belum ada yang mendaftar diri sebagai calon Pemimpin Umum LPM Al-Kalam tahun 2023-2024. Sehingga hal ini pun dikembalikan kepada keputusan forum, yang mana forum sepakat untuk menyerahkan kepemimpinan LPM Al-Kalam kepada Pemimpin Umum sebelumnya. Dengan hasil keputusan bersama tersebut, ditetapkanlah M. Akbar kembali menjabat sebagai Pemimpin Umum LPM Al-Kalam untuk periode 2023-2024.

Lebih lanjut M. Akbar juga berharap dalam periode kedua kepemimpinannya nanti, ia dan para pengurus LPM Al-Kalam selanjutnya dapat membawa Lembaga Pers ini menjadi lebih baik lagi dari periode sebelumnya.

"Harapan saya pribadi yaitu dengan kepemimpinan saya yang kedua ini dapat membawa LPM Al-Kalam jauh lebih baik daripada sebelumnya," harapnya.


Reporter: Intan Nuraini

Editor: Redaksi


 

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.