![]() |
| Foto: Pixabay.com |
Ada hari-hari ketika aku menatap kaca,
bukan untuk melihat paras,
melainkan mencari alasan
mengapa aku layak tinggal di dunia ini.
Aku berdiri lama, diam,
seakan menunggu seseorang dari balik cermin
untuk berkata, “Hei, kamu cukup.”
Aku pernah membiarkan luka orang lain
menginjak harga diriku.
Aku menjadi terlalu baik
sampai lupa menanyakan pada diri sendiri,
“Apakah aku baik juga pada diriku?”
Aku pernah mencari cinta
di genggaman tangan yang tak ingin menggenggamku erat.
Aku berharap pelukan asing
dapat menyembuhkan patah hatiku sendiri,
tanpa kusadari bahwa pelukan paling tulus
mungkin justru berasal dari dada ini,
dari napasku yang masih setia pergi dan kembali.
Aku pernah letih mengejar standar yang tak kumengerti.
Selalu ingin dianggap hebat,
padahal aku hanya ingin diterima apa adanya.
Aku berdarah-darah membuktikan sesuatu
yang bahkan tak pernah kumau sejak awal.
Dan saat kelelahan itu menelan hatiku,
aku baru sadar:
aku tak sedang berlari demi mimpi,
aku sedang kabur dari diriku sendiri.
Namun di tengah gelap yang sunyi,
aku mulai berani bertanya:
“Apakah semua ini sepadan
jika akhirnya aku kehilangan diriku?”
Dari pertanyaan itu,
lahir keberanian untuk berhenti sementara.
Bukan karena menyerah,
tetapi karena aku ingin mengerti rasa sakitku sendiri.
Aku mulai berbicara pelan pada hati
yang selama ini kupaksa diam.
Dan untuk pertama kalinya,
aku menangis bukan karena lemah,
tetapi karena mulai berani jujur.
Perlahan, aku belajar menerima setiap retakanku.
Aku belajar bahwa tidak apa-apa
jika jalanku lebih lambat,
selama aku tetap melangkah.
Aku belajar bahwa tenang
lebih berarti daripada terlihat sempurna.
Aku belajar bahwa membahagiakan diri
bukan dosa, melainkan kewajiban.
Aku belajar menepuk pundakku sendiri
dan berkata, “Terima kasih, kamu sudah bertahan sejauh ini.”
Aku mulai mencintai kelelahan yang kupunya,
karena itu bukti bahwa aku berjuang.
Aku mulai memeluk setiap kecewa,
karena di baliknya tumbuh keikhlasan.
Kini, aku sedang membangun rumah
dari doa, penerimaan, dan harapan.
Bukan rumah mewah yang butuh pengakuan,
tetapi rumah yang hangat untuk jiwaku pulang kapan saja.
Di rumah itu, aku tidak harus kuat setiap waktu.
Aku bisa menangis tanpa takut dihakimi.
Aku bisa tertawa meski tak sempurna.
Aku bisa menjadi versi diriku
tanpa perlu menyamar menjadi orang lain.
Hari ini, aku belum selesai.
Aku masih rapuh, masih belajar,
masih menyusun serpih-serpih percaya pada diri.
Namun kini aku tahu,
meski terlambat pun tak masalah,
karena aku akhirnya pulang.
Pulang ke dalam diri
tempat cinta yang asli tumbuh,
dan tempat aku akhirnya mengerti
bahwa aku layak dicintai,
bahkan oleh diriku sendiri.
Penulis: Daffa Alkausar (Magang)








